Noah menyita ponselnya dan tak mengizinkannya keluar rumah sama sekali semenjak gosip itu beredar. Semua ini mengingatkan Ivy pada apa yang dilakukan ayahnya dulu.Ayah yang selalu menjadikan rumah sebagai penjara dan tak memberikan akses komunikasi apapun hingga ia akhirnya belajar menjadi seorang hacker. Ivy tak terlalu masalah dengan hukuman yang Noah berikan. Toh, ia sudah biasa dikurung seumur hidupnya. Noah pun tak pernah menyakitinya secara fisik, jadi semuanya akan baik-baik saja.Setidaknya itulah yang Ivy pikirkan. Sampai di suatu sore, ia melihat Noah masuk dengan seroang perempuan. Hatinya sudah cukup sakit apabila perempuan itu adalah perempuan yang disewa untuk melayaninya, tapi dia adalah adiknya… Clara.“Kenapa kau datang bersama Noah?” tanya Ivy.Clara menatap Noah, lalu menggandeng lengannya dengan amat mesra. Ivy memandangnya tak percaya, apalagi saat Noah tak bereaksi apa-apa dengan genggaman Clara.“Noah mengajakku mampir sebentar karena ada barangnya yang tertin
Ivy mengalihkan pandangan ke luar jendela saat mendengar derit pintu terbuka. Ia lebih memilih memandangi rumah-rumah megah di kompleks perumahannya daripada Noah yang kini sudah berkacak pinggang di belakangnya."Mau sampai kapan kau begini?"Dari suara Noah, Ivy tahu kalau suaminya sudah frustrasi menghadapinya.Tapi, ia tak peduli. Karena tak akan ada yang peduli juga padanya.“Kau pikir dengan apatis seperti ini kau mampu membuatku luluh?”Noah memaksa membalikkan tubuhnya agar menghadapnya. Ivy sama sekali tak berekspresi meski kedua tangan Noah menekan bahunya dengan kuat.“Kau tak bisa mati dengan bunuh diri. Tak akan bisa. Jika kau harus mati, maka itu di tanganku. Begitu pula dengan adik dan ayahmu.”Noah melengos pergi setelah memborbardir Ivy dengan peringatan sekaligus ancaman.Kaki Ivy tak bisa menahan lebih lama lagi. Ia jatuh ke lantai yang dingin dengan mata hampanya.Sudah tiga hari sejak ia kehilangan akal dan pergi keluar rumah tanpa arah. Kini, ia tak hanya dikuru
Rasanya baru beberapa jam yang lalu Ivy terkurung di kamarnya, kini ia kembali terkurung tetapi di ruang yang berbeda. Ruang gelap dan sempit yang telah menjadi temannya selama belasan tahun.Ivy berjalan mundur sampai punggungnya menabrak dinding saat rungunya mendengar derap langkah kaki mendekat. Saat knop pintu itu berputar, Ivy rasanya tak bisa bernapas.“Bagaimana rasanya kembali ke tempatmu?” tanya Evan dengan tawanya.Ivy hanya diam. Dari pintu yang terbuka, akhirnya ada cahaya yang bisa masuk hingga ia melihat dengan jelas bagaimana raut wajah ayahnya.“Ayah… Ayah, aku mau pulang,” ucap Ivy dengan tergagap.“Pulang? Bukannya ini rumahmu?” sahut Evan.Langkah Evan makin mendekat. Ivy ingin kabur, tapi ia tak bisa kemana-mana. Tubuhnya makin bergetar saat melihat ayahnya mengambil tongkat bisbol yang tersimpan di balik pintu.“Bukannya kau merindukannya?” tanyanya dengan tawa yang kian meledak.Ivy menggeleng. Matanya sudah berembun karena air mata yang siap tumpah.“Ayah, jang
Saat Ivy membuka mata, Noah adalah orang pertama yang ia lihat. Mata Noah langsung terkunci dengannya.Entah ini hanya perasaannya yang terlalu percaya diri atau hanya harapan kelabu, Ivy bisa merasakan tatapan hampa dan sendu yang dalam dari balik mata Noah.“Masih adakah harapan yang tersisa saat semuanya seperti tak ada cahaya?” batin Ivy.“Noah….”Ivy berusaha meraih tangan Noah. Ada kelegaan luar biasa saat Noah tak menepis tangannya dan membalas genggaman tangan itu.“Kumohon, percayalah padaku….”Noah masih tak bicara. Ia tetap mematung dan membisu. Ia sedang dilanda dilema besar.“Istirahatlah.”Akhirnya, hanya kata itu yang keluar dari mulutnya. Ia mengelus punggung tangan Ivy sebelum keluar dari kamar. Meninggalkan Ivy yang kembali hanyut dalam tangisan lirihnya.Ivy masih kecewa dan harapan itu terasa kembali lenyap. Namun, ia tak tahu kalau di balik pintu kamarnya, Noah ikut menitikkan air mata.Pikiran Noah sibuk menduga mana yang benar dan salah. Mana yang harus dipercay
Noah tak menyangka kalau dirinya akan berada di balik jeruji besi. Apalagi bersama rivalnya, Eza. Lebih buruknya lagi, ia dijebloskan oleh musuhnya!“Lepaskan aku dari sini! Lepaskan!”Ezra terus mendorong-dorong jeruji besi hingga suara dari rantai dan gembok yang yang ada di pintu bergemerincing. Ezra terus berteriak saat petugas polisi lewat.“Diamlah. Percuma saja kau teriak seperti itu,” tukas Noah.“Menyebalkan sekali! Mereka bahkan merampas ponsel kita!” murka Ezra.“Sekretaris kita pasti akan mencari keberadaan kita saat kita tak bisa dihubungi,” jelas Noah dengan tenang.Ezra terhenyak, lalu mengangguk-angguk. “Kau benar juga.”“Dan aku yakin berita tentang kita sudah tersebar. Jadi pasti kuasa hukum kita juga sudah membuat rencana.”“Kau cukup pintar,” puji Ezra dengan setengah hati.Noah merotasikan bola matanya dengan malas saat memandang Ezra.“Itulah sebabnya perusahaanmu selalu di bawahku. Kritikal berpikirmu sangat jelek,” ejek Noah.“Apa kau bilang?!” Ezra berseru kes
Beberapa menit sebelum kejadian…Ketika Noah pergi meninggalkannya, Ivy hanya menangis di dalam kamar. Ternyata begitu sulit meluluhkan hati Noah dan membuatnya percaya lagi padanya.Ivy kira, Noah akan memeluknya setelah menyelamatkannya dari rumah. Mungkin, kemarahan Noah padanya memang sudah terlanjur menggunung hingga ia tak bisa mengentikan lavanya.SetelahLama menangis dalam kesendirian, Ivy tersentak saat sayup-sayup mendnegar suara berisik dari luar. Ia mencoba bangkit, tetapi gagal karena lukanya yang masih merah.“Argh….”Ivy berhasil berdiri dengan berpegangan pada meja. Ia mulai berjalan secara perlahan dengan terus bertumpu pada dinding, meja, dan apapun yang berada di dekatnya.Ketika berhasil keluar dari kamar, sumber suara bising itu semakin jelas terdengar. Ivy menundukkan kepalanya ke lantai bawah dan ia bisa mellihat Noah dan Ezra sedang baku hantam.“Tidak… tidak… Jangan lagi….”Ivy ingin berlari dan melerai mereka, tapi kakinya masih terlalu lemah hingga ia malah
“Apa yang kau lakukan?!”Ivy tersentak saat mendapatkan tamparan keras dari Clara saat baru memasuki kamarnya. Clara bahkan mendorong tubuhnya keras-keras sampai ia menabrak pintu kamar yang telah tertuup.“Kenapa kau menjebak Noah?! Kenapa kau menjebloskan dia ke penjara?! Apa yang sudah kau lakukan?!” Clara terus berteriak marah.“Ayah… memaksaku,” jawab Ivy dengan lirih.“Dan kau mau melakukannya begitu saja? Kau memang bodoh ya?!” bentak Clara sambil terus mendorong Ivy.Tangan kanan Clara terangkat dan siap menampar Ivy lagi, tapi Ivy menahannya dan menghempaskan tangan Clara dengan sekuat tenaga.Clara tersentak barang beberapa detik. Baru kali ini Ivy menahannya. Ivy biasanya tunduk dan diam. Ia pun hanya bisa menangis dan pasrah, tapi kini matanya terlihat lebih tajam.“Kau kira aku tak hancur saat melakukannya?” tanya Ivy dengan suara seraknya.“Aku istrinya! Aku mencintai Noah lebih dari siapapun! Rasanya aku ingin membunuh diriku sendiri daripada menghancurkannya!” suara Iv
Setelah ditahan hampir dua puluh empat jam, Noah dan Ezra akhirnya mendapatkan kabar segar. Sel mereka terbuka lebar hingga mereka langsung berdiri tegap.“Tuan Evan ingin bertemu kalian,” ucapnya.Rahang Noah mengeras. Sama halnya dengan Ezra. Tangannya bahkan sudah terkepal sempurna saat mendengar nama Evan.“Hahaha! Lihatlah keadaan kalian! Bagaimana bisa dua pemuda hebat pemilik perusahaan nomor satu dan dua terlihat berantakan seperti ini?”Evan menyambut dengan tawa penuh sindiran. Noah dan Ezra mengambil duduk di depannya dengan wajah datar. Sebisa mungkin mereka menahan diri untuk tak menghajar lelaki tua ini karena masih banyak polisi yang menjaga.“Kenapa wajah kalian cemberut seperti itu? Tersenyumlah karena aku datang dengan membawa kesepakatan yang bisa membawa keluar dari penjara,” tutur Evan.Noah dan Ezra terus memperhatikan gerak-gerik Evan. Mereka yakin kalau ada yang tak beres. Dan firasat itu benar saat melihat kertas yang ditarik keluar dari amplop cokelat.“Bacal
Setelah ditahan hampir dua puluh empat jam, Noah dan Ezra akhirnya mendapatkan kabar segar. Sel mereka terbuka lebar hingga mereka langsung berdiri tegap.“Tuan Evan ingin bertemu kalian,” ucapnya.Rahang Noah mengeras. Sama halnya dengan Ezra. Tangannya bahkan sudah terkepal sempurna saat mendengar nama Evan.“Hahaha! Lihatlah keadaan kalian! Bagaimana bisa dua pemuda hebat pemilik perusahaan nomor satu dan dua terlihat berantakan seperti ini?”Evan menyambut dengan tawa penuh sindiran. Noah dan Ezra mengambil duduk di depannya dengan wajah datar. Sebisa mungkin mereka menahan diri untuk tak menghajar lelaki tua ini karena masih banyak polisi yang menjaga.“Kenapa wajah kalian cemberut seperti itu? Tersenyumlah karena aku datang dengan membawa kesepakatan yang bisa membawa keluar dari penjara,” tutur Evan.Noah dan Ezra terus memperhatikan gerak-gerik Evan. Mereka yakin kalau ada yang tak beres. Dan firasat itu benar saat melihat kertas yang ditarik keluar dari amplop cokelat.“Bacal
“Apa yang kau lakukan?!”Ivy tersentak saat mendapatkan tamparan keras dari Clara saat baru memasuki kamarnya. Clara bahkan mendorong tubuhnya keras-keras sampai ia menabrak pintu kamar yang telah tertuup.“Kenapa kau menjebak Noah?! Kenapa kau menjebloskan dia ke penjara?! Apa yang sudah kau lakukan?!” Clara terus berteriak marah.“Ayah… memaksaku,” jawab Ivy dengan lirih.“Dan kau mau melakukannya begitu saja? Kau memang bodoh ya?!” bentak Clara sambil terus mendorong Ivy.Tangan kanan Clara terangkat dan siap menampar Ivy lagi, tapi Ivy menahannya dan menghempaskan tangan Clara dengan sekuat tenaga.Clara tersentak barang beberapa detik. Baru kali ini Ivy menahannya. Ivy biasanya tunduk dan diam. Ia pun hanya bisa menangis dan pasrah, tapi kini matanya terlihat lebih tajam.“Kau kira aku tak hancur saat melakukannya?” tanya Ivy dengan suara seraknya.“Aku istrinya! Aku mencintai Noah lebih dari siapapun! Rasanya aku ingin membunuh diriku sendiri daripada menghancurkannya!” suara Iv
Beberapa menit sebelum kejadian…Ketika Noah pergi meninggalkannya, Ivy hanya menangis di dalam kamar. Ternyata begitu sulit meluluhkan hati Noah dan membuatnya percaya lagi padanya.Ivy kira, Noah akan memeluknya setelah menyelamatkannya dari rumah. Mungkin, kemarahan Noah padanya memang sudah terlanjur menggunung hingga ia tak bisa mengentikan lavanya.SetelahLama menangis dalam kesendirian, Ivy tersentak saat sayup-sayup mendnegar suara berisik dari luar. Ia mencoba bangkit, tetapi gagal karena lukanya yang masih merah.“Argh….”Ivy berhasil berdiri dengan berpegangan pada meja. Ia mulai berjalan secara perlahan dengan terus bertumpu pada dinding, meja, dan apapun yang berada di dekatnya.Ketika berhasil keluar dari kamar, sumber suara bising itu semakin jelas terdengar. Ivy menundukkan kepalanya ke lantai bawah dan ia bisa mellihat Noah dan Ezra sedang baku hantam.“Tidak… tidak… Jangan lagi….”Ivy ingin berlari dan melerai mereka, tapi kakinya masih terlalu lemah hingga ia malah
Noah tak menyangka kalau dirinya akan berada di balik jeruji besi. Apalagi bersama rivalnya, Eza. Lebih buruknya lagi, ia dijebloskan oleh musuhnya!“Lepaskan aku dari sini! Lepaskan!”Ezra terus mendorong-dorong jeruji besi hingga suara dari rantai dan gembok yang yang ada di pintu bergemerincing. Ezra terus berteriak saat petugas polisi lewat.“Diamlah. Percuma saja kau teriak seperti itu,” tukas Noah.“Menyebalkan sekali! Mereka bahkan merampas ponsel kita!” murka Ezra.“Sekretaris kita pasti akan mencari keberadaan kita saat kita tak bisa dihubungi,” jelas Noah dengan tenang.Ezra terhenyak, lalu mengangguk-angguk. “Kau benar juga.”“Dan aku yakin berita tentang kita sudah tersebar. Jadi pasti kuasa hukum kita juga sudah membuat rencana.”“Kau cukup pintar,” puji Ezra dengan setengah hati.Noah merotasikan bola matanya dengan malas saat memandang Ezra.“Itulah sebabnya perusahaanmu selalu di bawahku. Kritikal berpikirmu sangat jelek,” ejek Noah.“Apa kau bilang?!” Ezra berseru kes
Saat Ivy membuka mata, Noah adalah orang pertama yang ia lihat. Mata Noah langsung terkunci dengannya.Entah ini hanya perasaannya yang terlalu percaya diri atau hanya harapan kelabu, Ivy bisa merasakan tatapan hampa dan sendu yang dalam dari balik mata Noah.“Masih adakah harapan yang tersisa saat semuanya seperti tak ada cahaya?” batin Ivy.“Noah….”Ivy berusaha meraih tangan Noah. Ada kelegaan luar biasa saat Noah tak menepis tangannya dan membalas genggaman tangan itu.“Kumohon, percayalah padaku….”Noah masih tak bicara. Ia tetap mematung dan membisu. Ia sedang dilanda dilema besar.“Istirahatlah.”Akhirnya, hanya kata itu yang keluar dari mulutnya. Ia mengelus punggung tangan Ivy sebelum keluar dari kamar. Meninggalkan Ivy yang kembali hanyut dalam tangisan lirihnya.Ivy masih kecewa dan harapan itu terasa kembali lenyap. Namun, ia tak tahu kalau di balik pintu kamarnya, Noah ikut menitikkan air mata.Pikiran Noah sibuk menduga mana yang benar dan salah. Mana yang harus dipercay
Rasanya baru beberapa jam yang lalu Ivy terkurung di kamarnya, kini ia kembali terkurung tetapi di ruang yang berbeda. Ruang gelap dan sempit yang telah menjadi temannya selama belasan tahun.Ivy berjalan mundur sampai punggungnya menabrak dinding saat rungunya mendengar derap langkah kaki mendekat. Saat knop pintu itu berputar, Ivy rasanya tak bisa bernapas.“Bagaimana rasanya kembali ke tempatmu?” tanya Evan dengan tawanya.Ivy hanya diam. Dari pintu yang terbuka, akhirnya ada cahaya yang bisa masuk hingga ia melihat dengan jelas bagaimana raut wajah ayahnya.“Ayah… Ayah, aku mau pulang,” ucap Ivy dengan tergagap.“Pulang? Bukannya ini rumahmu?” sahut Evan.Langkah Evan makin mendekat. Ivy ingin kabur, tapi ia tak bisa kemana-mana. Tubuhnya makin bergetar saat melihat ayahnya mengambil tongkat bisbol yang tersimpan di balik pintu.“Bukannya kau merindukannya?” tanyanya dengan tawa yang kian meledak.Ivy menggeleng. Matanya sudah berembun karena air mata yang siap tumpah.“Ayah, jang
Ivy mengalihkan pandangan ke luar jendela saat mendengar derit pintu terbuka. Ia lebih memilih memandangi rumah-rumah megah di kompleks perumahannya daripada Noah yang kini sudah berkacak pinggang di belakangnya."Mau sampai kapan kau begini?"Dari suara Noah, Ivy tahu kalau suaminya sudah frustrasi menghadapinya.Tapi, ia tak peduli. Karena tak akan ada yang peduli juga padanya.“Kau pikir dengan apatis seperti ini kau mampu membuatku luluh?”Noah memaksa membalikkan tubuhnya agar menghadapnya. Ivy sama sekali tak berekspresi meski kedua tangan Noah menekan bahunya dengan kuat.“Kau tak bisa mati dengan bunuh diri. Tak akan bisa. Jika kau harus mati, maka itu di tanganku. Begitu pula dengan adik dan ayahmu.”Noah melengos pergi setelah memborbardir Ivy dengan peringatan sekaligus ancaman.Kaki Ivy tak bisa menahan lebih lama lagi. Ia jatuh ke lantai yang dingin dengan mata hampanya.Sudah tiga hari sejak ia kehilangan akal dan pergi keluar rumah tanpa arah. Kini, ia tak hanya dikuru
Noah menyita ponselnya dan tak mengizinkannya keluar rumah sama sekali semenjak gosip itu beredar. Semua ini mengingatkan Ivy pada apa yang dilakukan ayahnya dulu.Ayah yang selalu menjadikan rumah sebagai penjara dan tak memberikan akses komunikasi apapun hingga ia akhirnya belajar menjadi seorang hacker. Ivy tak terlalu masalah dengan hukuman yang Noah berikan. Toh, ia sudah biasa dikurung seumur hidupnya. Noah pun tak pernah menyakitinya secara fisik, jadi semuanya akan baik-baik saja.Setidaknya itulah yang Ivy pikirkan. Sampai di suatu sore, ia melihat Noah masuk dengan seroang perempuan. Hatinya sudah cukup sakit apabila perempuan itu adalah perempuan yang disewa untuk melayaninya, tapi dia adalah adiknya… Clara.“Kenapa kau datang bersama Noah?” tanya Ivy.Clara menatap Noah, lalu menggandeng lengannya dengan amat mesra. Ivy memandangnya tak percaya, apalagi saat Noah tak bereaksi apa-apa dengan genggaman Clara.“Noah mengajakku mampir sebentar karena ada barangnya yang tertin
Semua gosip tentang Ivy dan Ezra telah turun dair berbagai media. Tak ada lagi satu portal berita pun yang membahas mereka.Rupanya kekuasaan Ezra tak main-main. Entah dia menggunakan kuasa sebagai CEO atau turun sendiri sebagai hacker. Yang jelas, Ivy sangat berterima kasih atas usahanya.“Kenapa kau di sini? Tak di rumah kekasihmu itu?”Ivy baru keluar dari kamar dan sudah mendapatkan sapaan panas dari Noah.Sejak kemarin, Noah memang sudah berbicara padanya tapi semua kata yang terucap dari mulutnya hanyalah penghinaan dan kesakitan.“Aku tak punya hubungan apa-apa dengan Ezra,” jawab Ivy dengan tegas.Noah menaikkan satu alisnya, lalu tertawa, “Oh ya? Kau bahkan pernah bermalam di rumahnya dan sering menemuinya diam-diam.”“Sudah kubilang kalau waktu itu aku tak tidur dengannya. Dia hanya menawarkan tempat istirahat,” sahut Ivy dengan cepat.Ivy pikir, masalah lama itu sudah selesai. Noah pun sudah mengatakan sendiri kalau ia percaya pada alasannya, tapi kenapa sekarang berubah?“