Noah menekan pena yang berada digenggamannya hingga hampir patah. Tatapan matanya masih terkunci pada Evan yang masih menunjukkan senyuman liciknya.“Bagaimana?” tanya Evan.Noah menggeleng tegas. “Aku tidak mau.”“Tidak mau?”Senyuman Evan luntur. Ia tak menyangkah kalau akan mendapatkan penolakan dari Noah terkait syarat yang menurutnya paling mudah.“Aku izinkan kau mengakuisisi perusahaanku, tapi tidak dengan perceraia,” tegas Noah.Dahi Evan berkerut bingung. “Kenapa? Apa jangan-jangan… kau menyayanginya?”Noah memilih tak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya mendorong kertas di depannya menjauh.“Aku tidak bisa bercerai dengan Ivy,” putusnya.Ia sudah membuat Ivy menderita dan ia tak mau menyakitinya berulang kali. Apalagi dengan menceraikannya.“Kau tak mau bercerai?” Evan bertanya dengan kaget.“Ya,” jawab Noah dengan penuh keyakinan.Evan terdiam beberapa detik, lalu tertawa keras. Ia mengangguk-angguk, lalu mengambil kembali kertas itu.“Baiklah… baiklah…. kau bisa memilikinya.
“Uhuk!”Pelukan antara Noah dan Ivy terlepas saat mendengar suara batuk Ezra yang disengaja. Noah menghapus air matanya, lalu menatap Ezra dengan malas.“Kau sangat menganggu,” ujarnya.“Aku sudah menunggu lama ya di luar. Lagipula, aku juga mau melihat keadaan Ivy,” timpal Ezra.Ivy tersenyum, tapi kemudian menatap Ezra dengan bersalah. “Maaf, Ezra. Aku membuatmu terseret jebakan Ayah.”Ezra mendengus mendengarnya.“Aku lebih marah kalau masih menyebut lelaki tua itu sebagai Ayah. Dia itu Iblis, asal kau tau,” geram Ezra.Ezra berjalan mendekat ke sisi ranjang Ivy, lalu lanjut berkata, “Kau tak perlu merasa bersalah. Semuanya bukan kesalahanmu. EVan saja yang terlalu licik dan kejam.”“Benar. Kau tak perlu memendam perasaan bersalah yang hanya membebanimu.” Noah mengangguk setuju.Ivy merasa bersyukur karena Noah dan Ezra yang berusaha menenangkannya. Dan ia pun sadar kalau hubungan Noah dan Ezra tak seburuk sebelumnya.“Oh ya, Clara!”Senyuman kecil Ivy luntur saat teringat dengan t
Keadaan Ivy membaik setelah satu minggu perawatan intensif. Meskipun belum diperbolehkan pulang, Ivy bersyukur setidaknya sudah bisa keluar dari kamar dengan menggunakan kursi roda.“Aku mau menjenguk Clara,” ucapnya setelah Noah membantunya membersihkan diri dengan membilas tubuhnya dengan kain yang dicelup air hangat.“Baiklah.”Noah menggendong Ivy untuk duduk ke kursi roda, lalu mendorongnya dengan perlahan.“Apa Clara sudah siuman?” tanyanya.“Terakhir menurut kabar dokter, belum,” jawab Noah.“Ah….”Suasana hati Ivy menjadi sangat sendu setelah mendengar jawaban Noah. Namun, ia berusaha terlihat tabah. Meskipun matanya tetap berkaca-kaca saat ia sampai di ruang rawat Clara.“Hai… Kakak datang,” sapa Ivy dengan senyuman lebar.Ivy menggenggam erat tangan Clara dan menciumi punggung tangannya.“Kenapa kau tak bangun juga? Sedang mimpi indah ya?” tanyanya. Suara Ivy terdengar serak karena menahan tangis.“Ayo bangun. Aku merindukanmu…,” lirih Ivy.Noah mengelus pundahnya untuk meng
Suasana di dalam ruang rawat Clara menjadi tegang saat Evan menginjakkan kaki di sana. Noah pun berdiri tegap menyentuh kedua pundak Ivy untuk menenangkan, sedangkan Ezra bergerak maju di depan Ivy dan ranjang Clara.“Hahaha! Kenapa kalian ketakutan seperti itu?” Evan tertawa terbahak-bahak.Saat Evan berjalan maju, semua orang memilih mundur. Dan hal itu membuat Evan makin tak menghentikan tawanya.“Aku hanya datang untuk menjenguk putriku. Kenapa kalian takut?” tanyanya.“Karena kau yang sudah membuat mereka di rumah sakit! Kau yang menyakitinya!” seru Ezra.“Itu karena Ivy dan Clara sudah nakal. Sebagai orang tua, aku berhak menghukum anakku kalau tak patuh. Benar, kan?” sahut Evan dengan tersenyum miring.Ivy merasa kalau pegangan Noah di pundaknya menjadi menguat. Ia pun mengelus punggung tangannya dan menatap Noah dengan lembut.“Jangan marah, tidak apa-apa,” gumamnya.“Lihat! Kau dengar sendiri kan kata Ivy! Dia tidak apa-apa!”Evan berjalan makin maju sehingga membuat kesabara
Pintu kamar itu kembali berdebum karena ditutup dengan keras. Noah sampai memeluk Ivy dengan cepat agar tak membuatnya tersentak kaget.Sepeninggal Evan, ruangan itu masih terasa suram dan tegang. Baik Noah, Ivy, maupun Ezra tak ada yang membuka suara.Semuanya hanyut dalam pikiran masing-masing. Hanya suara mesin yang menunjukkan debar jantung Clara yang menghidupkan suasana itu.“Apa kau mau kembali ke kamar?” tanya Noah, yang akhirnya menjadi pemecah keheningan di ruangan itu.Ivy mengangguk kecil. “Hm. Ayo kembali ke ruanganku.”“Baiklah.”Noah sudah siap di belakang kursi roda Ivy untuk mendorongnya, tetapi Ezra menghadangnya dengan berdiri di depan Ivy.“Apa yang kau lakukan?” tanya Noah dengan jengkel.Ezra memandangi Ivy dengan dalam hingga membuat Ivy terdiam. Entah mengapa, Ivy mengerti arti tatapan mata itu.“Aku perlu bicara dengan Iv,” ucap Ezra, masih tak bisa melepaskan tatapan matanya dari Ivy.“Bicara apa?” tanya Noah. Ia merasa sedikit terganggu dengan tatapan mata E
Sudah dua minggu berlalu, tetapi Clara tak kunjung membuka matanya. Sedangkan Ivy sudah diizinkan pulang sejak tiga hari yang lalu, tetapi ia tetap memilih berada di rumah sakit.“Aku mau menjaga Clara,” ucapnya ketika Noah terus merayunya untuk pulang ke rumah.“Bagaimana kau bisa menjaganya saat keadaanmu sendiri perlu dijaga? Kau belum sembuh sepenuhnya, Sayang.” Noah mengelus pipi Ivy dengan gemas.Sudah tiga hari terakhir mereka mendebatkan hal yang sama; Noah ingin Ivy istirahat di rumah, sedangan Ivy kukuh tetap berada di rumah sakit dnegan Clara.“Kalau aku di sini dan kenapa-napa juga ada banyak dokter dan suster. Aku akan baik-baik saja,” balas Ivy, mencoba meyakinkan Noah.Noah berdecak. Ia berusaha memutar otaknya untuk mencari-cari alasan yang bisa meluluhkan Ivy hingga senyumnya terukir kecil saat menemukan satu ide.“Tapi aku merindukanmu.”Noah merendahkan suaranya dengan mata yang terfokus pada bibir Ivy. Sontak Ivy terhenyak dan gugup setengah mati.Ivy paham dengan
“Noah… aku sudah lelah.”Ivy mencengkeram bantal di bawahnya dengan napas terengah-enggah. Di belakangnya, Noah masih naik turun dengan bulir keringat yang menetes hingga punggungnya.“Se-sebentar lagi. Sayang… Ah….” Noah menjawab dengan napas tak kalah terengah.Ivy hanya bisa memejamkan matanya kala jutaan kembang api meledak di kepalanya. Perutnya terasa hangat saat Noah akhirnya mengeluakan cairannya untuk ke-tiga kalinya.“Terima kasih, Sayang,” bisik Noah saat membaringkan tubuh polosnya di sebelah Ivy.Ivy mengangguk kecil karena ia sudah tak memiliki tenaga untuk menjawab. Suaranya terasa habis karena terlalu banyak berteriak saat bercinta.Ia tak mengira kalau sudah lama tak berhubungan intim akan membuatnya merasakan sakit yang luar biasa lagi. Beruntung Noah melakukannya dengan penuh hati-hati hingga ia masih bisa menikmatinya.“Tidurlah. Kau pasti lelah,” ucap Noah sembari menarik tubuh Ivy ke dalam pelukan.Noah pun menata selimut untuk menutupi tubuh polos mereka. Mata I
Terhitung sudah satu bulan sejak kejadian, tetapi Clara tak kunjung membuka matanya. Ivy, Ezra, dan Noah masih berjaga silih berganti. Namun, akhir-akhir ini Ivy harus menjaga sendiri karena Ezra dan Noah yang disibukkan dengan pekerjaan.Semua ini karena ayahnya yang terus mengobrak-abrik perusahaan Noah dan Ezra dengan memecat beberapa orang secara paksa, lalu merekrut orang dalam dengan kemampuan yang di bawah rata-rata hingga menghambat kinerja.“Ada tamu yang protes karena kamarnya belum dibersihkan,” keluh Noah pada suatu malam dengan wajah kusut dan kemeja kerja yang sangat berantakan.“Baru kali ini aku turun tangan untuk membereskan masalah sepele,” gerutunya.Ketika Noah mengeluh tentang pekerjaannya, Ivy hanya bisa mengucap maaf. Karena semua itu disebabkan oleh ayahnya.Ivy selalu merasa bersalah setiap harinya saat melihat kekacauan yang terjadi. Meskipun Noah selalu meyakinkan kalau itu bukanlah kesalahannya.“Tenang saja. Aku pernah membangkitkan perusahaan ini dari keb
Sudah satu minggu berlalu sejak siaran langsung yang dilakukan Ivy menggambarkan seluruh negeri. Sampai saat ini, banyak orang yang ikut mengawal kasusnya, bahkan ada beberapa pihak yang ikut angkat suara mengenai kelicikan dan kejahatan Evan.Akan tetapi, Ivy masih gundah karena tidak ada tanda-tanda kemunculan Evan. Ia tak tahu sembunyi dimana ayahnya sampai tak ada orang yang berhasil menemukannya.“Ivy! Ivy!” Ivy yang baru melamun di taman belakang, terkejut saat mendengar teriakan Noah. Ketika ia menoleh, Noah menatapnya dengan mata penuh keharuan.“Ada apa?” tanya Ivy.“Evan sudah ditemukan di bandara. Dia akan melakukan perjalanan ke Amerika. Beruntung pihak bandara sudah mengetahui wajah Evan yang tersebar luas dan segera melaporkan ke pihak berwajib,” jelas Ezra dengan helaan napas lega. Mendengar hal itu, Ivy tak kuasa untuk menangis bahagia. Perasaan gundah yang semula memenuhi dirinya telah sirna seutuhnya.“Kita berhasil, Ivy! Kita berhasil menangkapnya!” seru Noah deng
Clara mengerti dengan suasana tegang yang tiba-tiba memenuhi ruangan. Ia pun paham dengan tatapan tajam dari Noah dan Ezra yang belum percaya kepadanya, meskipun ia sudah sepenuhnya bertaubat.Ia sudah melakukan banyak kejahatan dan menghancurkan hidup Ivy, jadi ia paham dengan perasaan Noah dan Ezra. Oleh karena itu, ia tak tersinggung meski ditatap dengan tajam.“Clara….” Ivy menoleh ke arah Clara dengan mata merahnya.Clara ingin memeluk Ivy, tetapi ia tak bisa melakukannya karena kedua tangannya sudah diborgol. Maka, ia hanya memberikan seulas senyuman dan kembali fokus menatap kamera.“Mungkin kalian terkejut melihat borgol di tangan saya, jadi saya ingin mengungkap kalau saya memang akan ditangkap karena saya terlibat dalam penculikan kakak saya,” tukas Clara.Noah dan Ezra baru bisa bernapas lega setelah mendengar ucapan Clara. Kini, mereka bisa mempercayai Clara sepenuhnya karena perempuan itu benar-benar terlihat tulus dengan mengungkap kejahatannya sendiri.“Kalian mungkin t
Ivy duduk dengan tegak. Di depan wajahnya sudah terdapat kamera yang menyalah merah, sedangkan di belakang kamera terdapat Noah, Ezra, Bibi Puja, dan Clara.Mereka sudah memutuskan untuk melakukan siaran langsung di kediaman Ezra karena Ezra memiliki banyak alat perlengkapan di bidang teknologi. Tanpa waktu panjang, Ezra dan Ivy mencoba menyusun semuanya sampai siap diluncurkan.“Aku benar-benar takjub melihat kalian,” komentar Noah saat Ivy dan Ezra sibuk menyiapkan senjata.“Sekarang kau sadar kalau sudah menikah dengan perempuan hebat?” tanya Ezra.“Aku memang sudah sadar dari dulu karena buktinya hanya Ivy yang bisa menaklukkan hatiku,” jawab Noah.Ivy hanya tersenyum saat mendengar ucapan penuh rayuan dari Noah. Setidaknya hal itu mampu untuk menenangkan dirinya yang sedang dilanda kegugupan.“Kau siap, Ivy?” tanya Ezra.Ivy mengangguk. “Ya. Mulailah.”Sebelum Ezra menekan tombol merah di komputer yang nantinya akan meretas semua media di indonesia, tangannya sudah berkeringat di
Ivy menunggu kedatangan Ezra dengan gugup. Meskipun Clara dan Noah terus menanyakan perihal maksudnya, ia tetap tak bisa menjawab.“Tunggu Ezra datang,” balasnya secara berulang kali ketika Clara bertanya ada apa.Ezra juga memegang peran penting dalam rencananya. Ia dan Ezra harus bekerja sama agar semuanya rencana berjalan dengan baik.Setelah menunggu selama hampir tiga puluh menit, akhirnya Ezra datang bersama Bibi Puja. Mereka berdua masuk ke ruangan Clara dengan raut panik. “Bibi Puja?” tanya Clara.Bibi Puja yang sudah panik semakin gelagapan karena melihat Clara. Ia bahkan langsung bersembunyi di belakang tubuh Ezra karena takut berhadapan dengan Clara.“Jadi kau tiba-tiba hilang ternyata ikut dengan mereka?” tanya Clara, lagi.“Ya. Bibi Puja yang membantu Noah dan Ezra,” sahut Ivy.Bibi Puja masih berdiri di belakang Ezra dengan gemetar. Ia takut Clara akan memarahinya ataupun memukulnya. Akan tetapi, Clara tak bereaksi apa-apa selain mengangguk.“Oh.”Melihat reaksi Clara y
“Keadaanmu sudah sangat membaik. Kau minum obat secara teratur, melakukan terapi dan konsultasi rutin, juga mengerjakan semua tugas yang saya berikan.”Dokter Serlyn tersenyum manis saat mengungkap kemajuan keadaan Ivy. Akan tetapi, ia tahu kalau Ivy sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Meskipun ia melihat senyum Ivy sekarang, gurat wajahnya yang kaku tak bisa mengelabui matanya. “Jadi, apa ada yang mengganggumu lagi akhir-akhir ini?” tanyanya kemudian. Ivy mengangguk kaku, tetapi mulutnya tak kunjung bersuara hingga Dokter Serlyn mengulangi pertanyaannya.“Apa yang mengganggumu, Ivy? Kau bisa mengatakannya kepadaku,” ujarnya. Ivy memainkan jari-jemarinya ketika otaknya berusaha menyusun kalimat yang pas. Dokter Serlyn dengan sabar menanti sampai Ivy bersuara. “Dokter….” Ivy memanggil Dokter Serlyn dengan gugup.Dokter Serlyn mengangguk. “Ya?”“Menurut Dokter apa saya boleh balas dendam?” tanya Ivy dengan sangat lirih. “Kau ingin balas dendam?” tanya sang dokter, cukup terkejut
Clara sudah dirawat selama satu minggu lebih dan selama itu pula Ivy tak kunjung mendatanginya. Ia sempat terenyuh saat mendengar ucapan Ezra beberapa waktu yang lalu, tetapi semua itu sirna karena Ivy tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.“Ezra pasti hanya bermulut besar. Aku yakin Ivy senang melihatku tak berdaya seperti ini,” gumam Clara sambil menatap langit-langit rumah sakit. Ketika Clara hanyut dalam lamunannya, sayup-sayup ia mendengar suara Ivy. Ia melirik pintu ruang kamarnya dan yakin kalau Ivy yang baru saja berteriak di depan kamarnya. Ivy seperti sedang marah kepada Noah karena ia baru mengetahui keadaannya. Mereka terus berdebat alot sampai akhirnya masuk ke dalam ruangannya. Ia pun langsung menutup matanya dan berpura-pura tidur. Clara tak tahu kenapa ia harus berpura-pura di depan Ivy. Harusnya ia langsung berteriak marah kepadanya seperti biasa. Akan tetapi, ia lebih memilih diam dan terus berakting tak sadarkan diri untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Clara merasa hidupnya sudah di ambang batas. Ia sudah yakin kalau dirinya akan mati saat disiksa dengan begitu kejam oleh ayahnya karena Ivy berhasil melarikan diri. Ia disekap selama berhari-hari dan akhirnya dibawa pergi dari rumah dengan niatan ingin dibuang.Ayahnya pasti mengira ia sudah menjadi mayat karena diam saja dan terus menutup mata, padahal ia memang sengaja berpura-pura pingsan agar siksaan itu terhenti. Ia juga menahan napasnya saat ayahnya mengecek alur napas di hidungnya.Saat berada di dalam mobil, Clara mendengar desisan ayahnya yang akan melemparkan mayatnya ke dalam lautan. Maka, saat ayahnya berhenti di pemberhentian bensin, ia segera kabur.Ia terus berlari dan bersembunyi hingga akhirnya ia tak sanggup lagi. Ia jatuh pingsan di tepian jalan dekat sungai dan sudah menyerah akan kehidupan.“Sebentar lagi aku pasti mati,” pikirnya.Di detik-detik menyakitkan itu, ia mulai terbayang dengan berbagai memori. Tentang kebersaman dengan mendian ibunya yang menghangatka
Ivy melewati lorong rumah sakit dengan jantung yang terus berdebar kencang. Setelah mendengar apa yang Noah sembunyikan, Ivy tak bisa menahan diri untuk tetap bergelung di atas tempat tidur.“Antarkan aku ke rumah sakit sekarang juga!” seru Ivy dengan berlonjak bangun.Ivy bahkan hampir lupa dengan kecacatan kakinya hingga ia hampir terjatuh dari tepat tidur sewaktu ingin bangun. Noah sontak menahan dirinya dan membantunya bersiap-siap dengan cepat.“Kau harus tenang Ivy. Jaga napasmu,” peringat Noah untuk kesekian kalinya.Noah terus mengatakan hal yang sama sejak membantunya bersiap-siap di rumah, di perjalanan menuju rumah sakit, hingga saat ini. Jika dihitung, mungkin sudah dari seratus kali Noah mengatakannya.“Aku akan tenang seandainya kau tak menyembunyikan hal ini dariku!” seru Ivy.“Aku menyembunyikannya karena tahu kalau kau akan bereaksi seperti ini. Aku tak ingin membuatmu makin khawatir,” ucap Noah.“Siapa yang tidak khawatir kalau adikku ditemukan hampir tewas dan sekar
Setelah Noah lebih tenang, ia melepaskan pelukan secara perlahan. Ivy mengapus air mata di wajah Noah dan memberi kecupan di setiap lekuk wajahnya. Noah pun melakukan hal yang sama.Bibir Noah terhenti cukup lama di bibir Ivy. Ia mengulum lembut bibir itu sembari menggendong tubuh Ivy dengan sigap dan membaringkannya ke tempat tidur. Ciuman itu tak terlepas sama sekali sampai Ivy menepuk-nepuk dadanya karena kehabisan napas.Mereka tak pernah melakukannya sejak Ivy siuman dari komanya. Mungkin sudah satu bulan berlalu Noah menahannya.Noah tahu ia harus memendam seluruh hasratnya karena keadaan Ivy yang masih lemah, sama seperti sekarang. Hanya saja posisi mereka yang sudah sangat dekat dan intim seperti ini membuat Noah lebih sulit menguasai diri.Ivy menyadari suasana yang jadi lebih intens di antara mereka. Kedua tangannya melingkar di leher Noah hingga membuat wajah Noah yang berada di atasnya hampir menempel di wajahnya.“Lakukan saja. Tak apa,” lirih Ivy.Noah menelan ludahnya