Semua gosip tentang Ivy dan Ezra telah turun dair berbagai media. Tak ada lagi satu portal berita pun yang membahas mereka.Rupanya kekuasaan Ezra tak main-main. Entah dia menggunakan kuasa sebagai CEO atau turun sendiri sebagai hacker. Yang jelas, Ivy sangat berterima kasih atas usahanya.“Kenapa kau di sini? Tak di rumah kekasihmu itu?”Ivy baru keluar dari kamar dan sudah mendapatkan sapaan panas dari Noah.Sejak kemarin, Noah memang sudah berbicara padanya tapi semua kata yang terucap dari mulutnya hanyalah penghinaan dan kesakitan.“Aku tak punya hubungan apa-apa dengan Ezra,” jawab Ivy dengan tegas.Noah menaikkan satu alisnya, lalu tertawa, “Oh ya? Kau bahkan pernah bermalam di rumahnya dan sering menemuinya diam-diam.”“Sudah kubilang kalau waktu itu aku tak tidur dengannya. Dia hanya menawarkan tempat istirahat,” sahut Ivy dengan cepat.Ivy pikir, masalah lama itu sudah selesai. Noah pun sudah mengatakan sendiri kalau ia percaya pada alasannya, tapi kenapa sekarang berubah?“
Noah menyita ponselnya dan tak mengizinkannya keluar rumah sama sekali semenjak gosip itu beredar. Semua ini mengingatkan Ivy pada apa yang dilakukan ayahnya dulu.Ayah yang selalu menjadikan rumah sebagai penjara dan tak memberikan akses komunikasi apapun hingga ia akhirnya belajar menjadi seorang hacker. Ivy tak terlalu masalah dengan hukuman yang Noah berikan. Toh, ia sudah biasa dikurung seumur hidupnya. Noah pun tak pernah menyakitinya secara fisik, jadi semuanya akan baik-baik saja.Setidaknya itulah yang Ivy pikirkan. Sampai di suatu sore, ia melihat Noah masuk dengan seroang perempuan. Hatinya sudah cukup sakit apabila perempuan itu adalah perempuan yang disewa untuk melayaninya, tapi dia adalah adiknya… Clara.“Kenapa kau datang bersama Noah?” tanya Ivy.Clara menatap Noah, lalu menggandeng lengannya dengan amat mesra. Ivy memandangnya tak percaya, apalagi saat Noah tak bereaksi apa-apa dengan genggaman Clara.“Noah mengajakku mampir sebentar karena ada barangnya yang tertin
Ivy mengalihkan pandangan ke luar jendela saat mendengar derit pintu terbuka. Ia lebih memilih memandangi rumah-rumah megah di kompleks perumahannya daripada Noah yang kini sudah berkacak pinggang di belakangnya."Mau sampai kapan kau begini?"Dari suara Noah, Ivy tahu kalau suaminya sudah frustrasi menghadapinya.Tapi, ia tak peduli. Karena tak akan ada yang peduli juga padanya.“Kau pikir dengan apatis seperti ini kau mampu membuatku luluh?”Noah memaksa membalikkan tubuhnya agar menghadapnya. Ivy sama sekali tak berekspresi meski kedua tangan Noah menekan bahunya dengan kuat.“Kau tak bisa mati dengan bunuh diri. Tak akan bisa. Jika kau harus mati, maka itu di tanganku. Begitu pula dengan adik dan ayahmu.”Noah melengos pergi setelah memborbardir Ivy dengan peringatan sekaligus ancaman.Kaki Ivy tak bisa menahan lebih lama lagi. Ia jatuh ke lantai yang dingin dengan mata hampanya.Sudah tiga hari sejak ia kehilangan akal dan pergi keluar rumah tanpa arah. Kini, ia tak hanya dikuru
Rasanya baru beberapa jam yang lalu Ivy terkurung di kamarnya, kini ia kembali terkurung tetapi di ruang yang berbeda. Ruang gelap dan sempit yang telah menjadi temannya selama belasan tahun.Ivy berjalan mundur sampai punggungnya menabrak dinding saat rungunya mendengar derap langkah kaki mendekat. Saat knop pintu itu berputar, Ivy rasanya tak bisa bernapas.“Bagaimana rasanya kembali ke tempatmu?” tanya Evan dengan tawanya.Ivy hanya diam. Dari pintu yang terbuka, akhirnya ada cahaya yang bisa masuk hingga ia melihat dengan jelas bagaimana raut wajah ayahnya.“Ayah… Ayah, aku mau pulang,” ucap Ivy dengan tergagap.“Pulang? Bukannya ini rumahmu?” sahut Evan.Langkah Evan makin mendekat. Ivy ingin kabur, tapi ia tak bisa kemana-mana. Tubuhnya makin bergetar saat melihat ayahnya mengambil tongkat bisbol yang tersimpan di balik pintu.“Bukannya kau merindukannya?” tanyanya dengan tawa yang kian meledak.Ivy menggeleng. Matanya sudah berembun karena air mata yang siap tumpah.“Ayah, jang
Saat Ivy membuka mata, Noah adalah orang pertama yang ia lihat. Mata Noah langsung terkunci dengannya.Entah ini hanya perasaannya yang terlalu percaya diri atau hanya harapan kelabu, Ivy bisa merasakan tatapan hampa dan sendu yang dalam dari balik mata Noah.“Masih adakah harapan yang tersisa saat semuanya seperti tak ada cahaya?” batin Ivy.“Noah….”Ivy berusaha meraih tangan Noah. Ada kelegaan luar biasa saat Noah tak menepis tangannya dan membalas genggaman tangan itu.“Kumohon, percayalah padaku….”Noah masih tak bicara. Ia tetap mematung dan membisu. Ia sedang dilanda dilema besar.“Istirahatlah.”Akhirnya, hanya kata itu yang keluar dari mulutnya. Ia mengelus punggung tangan Ivy sebelum keluar dari kamar. Meninggalkan Ivy yang kembali hanyut dalam tangisan lirihnya.Ivy masih kecewa dan harapan itu terasa kembali lenyap. Namun, ia tak tahu kalau di balik pintu kamarnya, Noah ikut menitikkan air mata.Pikiran Noah sibuk menduga mana yang benar dan salah. Mana yang harus dipercay
Noah tak menyangka kalau dirinya akan berada di balik jeruji besi. Apalagi bersama rivalnya, Eza. Lebih buruknya lagi, ia dijebloskan oleh musuhnya!“Lepaskan aku dari sini! Lepaskan!”Ezra terus mendorong-dorong jeruji besi hingga suara dari rantai dan gembok yang yang ada di pintu bergemerincing. Ezra terus berteriak saat petugas polisi lewat.“Diamlah. Percuma saja kau teriak seperti itu,” tukas Noah.“Menyebalkan sekali! Mereka bahkan merampas ponsel kita!” murka Ezra.“Sekretaris kita pasti akan mencari keberadaan kita saat kita tak bisa dihubungi,” jelas Noah dengan tenang.Ezra terhenyak, lalu mengangguk-angguk. “Kau benar juga.”“Dan aku yakin berita tentang kita sudah tersebar. Jadi pasti kuasa hukum kita juga sudah membuat rencana.”“Kau cukup pintar,” puji Ezra dengan setengah hati.Noah merotasikan bola matanya dengan malas saat memandang Ezra.“Itulah sebabnya perusahaanmu selalu di bawahku. Kritikal berpikirmu sangat jelek,” ejek Noah.“Apa kau bilang?!” Ezra berseru kes
Beberapa menit sebelum kejadian…Ketika Noah pergi meninggalkannya, Ivy hanya menangis di dalam kamar. Ternyata begitu sulit meluluhkan hati Noah dan membuatnya percaya lagi padanya.Ivy kira, Noah akan memeluknya setelah menyelamatkannya dari rumah. Mungkin, kemarahan Noah padanya memang sudah terlanjur menggunung hingga ia tak bisa mengentikan lavanya.SetelahLama menangis dalam kesendirian, Ivy tersentak saat sayup-sayup mendnegar suara berisik dari luar. Ia mencoba bangkit, tetapi gagal karena lukanya yang masih merah.“Argh….”Ivy berhasil berdiri dengan berpegangan pada meja. Ia mulai berjalan secara perlahan dengan terus bertumpu pada dinding, meja, dan apapun yang berada di dekatnya.Ketika berhasil keluar dari kamar, sumber suara bising itu semakin jelas terdengar. Ivy menundukkan kepalanya ke lantai bawah dan ia bisa mellihat Noah dan Ezra sedang baku hantam.“Tidak… tidak… Jangan lagi….”Ivy ingin berlari dan melerai mereka, tapi kakinya masih terlalu lemah hingga ia malah
“Apa yang kau lakukan?!”Ivy tersentak saat mendapatkan tamparan keras dari Clara saat baru memasuki kamarnya. Clara bahkan mendorong tubuhnya keras-keras sampai ia menabrak pintu kamar yang telah tertuup.“Kenapa kau menjebak Noah?! Kenapa kau menjebloskan dia ke penjara?! Apa yang sudah kau lakukan?!” Clara terus berteriak marah.“Ayah… memaksaku,” jawab Ivy dengan lirih.“Dan kau mau melakukannya begitu saja? Kau memang bodoh ya?!” bentak Clara sambil terus mendorong Ivy.Tangan kanan Clara terangkat dan siap menampar Ivy lagi, tapi Ivy menahannya dan menghempaskan tangan Clara dengan sekuat tenaga.Clara tersentak barang beberapa detik. Baru kali ini Ivy menahannya. Ivy biasanya tunduk dan diam. Ia pun hanya bisa menangis dan pasrah, tapi kini matanya terlihat lebih tajam.“Kau kira aku tak hancur saat melakukannya?” tanya Ivy dengan suara seraknya.“Aku istrinya! Aku mencintai Noah lebih dari siapapun! Rasanya aku ingin membunuh diriku sendiri daripada menghancurkannya!” suara Iv
“Eh? Ini bukannya jam tangan Noah?” Ivy mengambil jam tangan yang tergeletak di meja makan dengan bingung. “Bagaimana bisa Noah melupakan jam tangannya dan pergi begitu saja?” gumamnya kemudian.Ia segera mengantongi jam tangan Noah dan melupakan niatnya untuk membantu Bi Dina membersihkan meja.“Maaf ya, Bi. Saya harus menyusul Noah ke depan secepatnya,” pamit Ivy.“Iya, tak masalah, Nyonya. Saya memang tak enak dan sungkan kalau Nyonya selalu membantu saya,” balas Bi Dina.Ivy tersenyum. “Tenang saja. Tak merepotkan kok.”Ivy menggerakkan kruknya dengan lebih cepat agar masih sempat menahan Noah yang akan berangkat kerja. Namun, langkahnya dihentikan oleh seorang staf keamanan saat ia akan memasuki garasi.“Kenapa?” tanya Ivy dengan bingung.Pegawai bernama Beni itu tampak canggung dan gugup.“Tuan Noah masih sibuk di dalam,” jawabnya.Tentu jawaban itu sangat aneh bagi Ivy. Apa yang Noah lakukan sampai dia sibuk di garasi? Jangan-jangan ayahnya membuat ulah lagi hingga Noah samp
Clara segera mengembalikan botol yang sudah kosong ke saku celananya setelah usai melaksanakan rencana besarnya. Ia pun mengaduk kopi Noah, lalu memasukkan satu gula lagi di kopinya agar ia terlihat sibuk di depan nampan. “Kopi datang!”Clara tersenyum riang saat meletakkan kopi Noah di sebelah piringnya dan kopinya sendiri di depannya. “Terima kasih,” ucap Noah dengan acuh. “Sama-sama,” balas Clara, masih dengan senyuman lima jarinya. “Dan kurasa kau harus makan dulu sebelum minum kopi demi kebaikan lambungmu,” lanjutnya kemudian. Ivy mengangguk-angguk. “Benar kata Clara. Kau ini memang memiliki kebiasaan buruk dengan minum kopi saat perut kosong.”Cangkir yang sudah di depan bibir kembali Noah letakkan di atas meja. Ia tak bisa mengelak ketika istrinya sudah bersabda. Clara sendiri merasa cukup lega, karena efek cairan cinta yang ia letakkan di kopi Noah cukup banyak sehingga pasti langsung berefek. Ia tak ingin ada Ivy saat efek dari minuman itu mulai bereaksi. Ia harus menci
Clara membanting pintu kamarnya dengan penuh emosi. Semua ini karena Ivy yang sudah berbuat sesukanya.“Kurang ajar. Dia sudah mulai berani,” gumamnya dengan napas pendek-pendek, menahan amarah.Wajah Ivy yang menyebalkan membuatnya makin geram. Bantal di dekatnya menjadi pelampiasan emosi. Ia meninju-ninju bantal itu dengan kekuatan penuh selagi membayangkan wajah Ivy.“Awas saja. Akan kubuat kau menyesal,” geram Clara.Ada sebuah ide yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Mengundang senyuman kecil yang penuh kelicikan.“Aku hampir melupakan ide itu.”Clara segera membuka laci mejanya, lalu meraih botol kecil yang baru ia beli melalui daring beberapa hari yang lalu.“Aku tahu kalau kau akan bermanfaat, tapi aku tak tahu kalau akan kugunakan secepat ini,” ucap Clara dengan tertawa girang sambil menatap botol berisi cairan cinta itu.Clara segera memasukkannya ke dalam saku, lalu buru-buru kembali keluar dari kamar untuk melancarkan aksi.Sebentar lagi Noah akan berangkat kerja dan biasan
Sudah satu minggu terakhir Clara telihat berbeda. Bukan hanya Ivy yang merasakan perubahan sikap Clara, tapi juga Noah.“Aku merasa ada hal busuk yang sedang dia rencanakan,” ungkap Noah.Ivy memberengut. “Kau terlalu berpikir buruk. Bagaimana kalau dia memang sudah menyadari kesalahannya dan ingin memperbaiki semuanya.”“Itu lebih tak mungkin lagi.”Ivy tak bisa menahan helaan napas panjangnya saat ia dan Noah kembali berbeda pandangan. Noah masih berjalan kesana-kemari dengan wajah bingung.Tanpa bicara pun, Ivy bisa menebak bagaimana isi kepalanya.“Cobalah untuk tak terlalu mencurigainya,” pesan Ivy, yang langsung mendapat lirikan tajam dari Noah.Langkah Noah yang tak menentu itu bahkan sudah berakhir. Kini, ia berdiri di depan Ivy dengan tangan yang menyilang di depan dada.“Dan kau juga cobalah untuk tak selalu berprasangka baik. Aku tahu kalau pada dasarnya kau memang baik sehingga menyangsikan setiap kejahatan orang lain. Tapi… ayolah, Sayang.”Noah mengelus pipi Ivy. Berhara
“Iya. Aku sudah mengirim beberapa berkas yang kudapatkan ke email. Kau sudah mengeceknya?”Ivy mengapit ponselnya di antara telinga dan bahu kanan karena tangannya sibuk membereskan beberapa lembar catatan yang ia buat semalaman.Di balik telepon, terdengar suara Ezra yang berat dan lelah.“Ya, aku sudah mengeceknya. Akan kubaca sekarang. Hacim!”Dahi Ivy berkerut. Ia memindahkan ponselnya ke telinga kiri setelah berkas-berkas di tangannya sudah dimasukkan ke dalam laci.“Kau sakit?” tanyanya.“Ya. Sedikit flu. Sepertinya terlalu lelah. Pekerjaanku agak berat akhir-akhir ini.”Seketika perasaan bersalah menyeruak ke seluruh relung hati Ivy. Tanpa bertanya pun, ia tahu kalau semua kesusahan Ezra juga disebabkan oleh ayahnya.“Kalau begitu istirahatlah dulu. Baca data dariku nanti saja,” ucap Ivy sungguh-sungguh.Ia sudah cukup merasa bersalah pada Ezra dan ia akan makin tak enak hati jika membuatnya semakin kerepotan.“Tak apa. Kita juga harus bertindak cepat agar semuanya kembali sepe
Ivy berdiri diam di depan pintu kamar tamu yang akan ditempati Noah dengan cukup lama. Tangannya ragu saat ingin memutar knop pintu. Namun, ia harus memastikan kebenaran ucapan Clara.“Ivy?”Ivy tersentak saat pintu itu terbuka dari dalam. Noah berdiri di depannya dengan bingung.“Kenapa hanya berdiri di sini? Tak masuk?” tanyanya.“Ini mau masuk,” balas Ivy.Noah memundurkan langkahnya agar Ivy bisa berjalan maju dan masuk ke kamar tamu. Ia membiarkan Ivy memandang kamar yang masih berantakan itu dengan keheranan.“Pasti ada yang ingin kau bicarakan padaku, kan?” tebak Noah.Ivy yang sedang memperhatikan koper Noah hanya berdehem. Ia berjalan mendekati koper itu dan merapikan sisa pakaian yang belum diletakkan di lemari.“Mau bicara apa?” Noah kembali bertanya dengan berjalan mendekati Ivy.Noah lupa dengan niatnya untuk keluar kamar mencari minuman. Baginya, Ivy memang bagai magnet yang selalu menariknya.“Ada sesuatu….”Ivy menundukkan kepalanya. Ia tak berani memandang mata Noah k
“Aku sedih sekali melihat Noah yang menurut saja pada Ivy. Dia selalu dimanipulasi olehnya, jadi aku ingin membebaskan Noah.”Clara berusaha memancing emosional Kyla agar berada di pihaknya, tetapi menghadapi Kyla sepertinya hal yang cukup sulit saat melihat tatapan oenuh selidiknya.“Dan apa hubungannya membebaskan Noah dengan alasanmu pura-pura pingsan?” tanya Kyla dengan mata menyipit.Clara gelagapan, tetapi ia segera memutar otaknya untuk terus berbohong.“Ivy tak berani menyakitiku kalau aku masih terlihat lemah dan Noah pun jadi iba padaku, jadi saat aku masih terlihat sakit Noah bisa lebih peduli padaku. Di saat itu aku akan membuatnya sadar secara perlahan dan menjauhkannya dari kakakku.”Kyla tetap diam. Ia tak menunjukkan reaksi apapun setelah mendengar semua penjelasan Clara. “Tolong aku. Katakan saja pada mereka kalau aku harus diperlakukan hati-hati. Itu saja,” pinta Clara dengan menangkupkan kedua tangannya, memohon dengan raut memelas.Kyla menghela napas panjang. Sem
Kyla baru saja turun dari mobilnya saat mendapatkan telepon dari Noah. Yang mana hal itu membuatnya terkejut karena Noah tak pernah menghubunginya semenjak mereka lulus.Mereka hanya bertemu sesekali di reuni, itu pun tak pernah lebi dari lima kali sejak kelulusan mereka bertahun-tahun yang lalu. Selama ini, ia hanya mengetahui kabar Noah melalui media massa. Termasuk kabar jatuhnya perusahaannya di tangan ayah mertuanya.“Kenapa ini?” gumamnya sambil menatap layar ponselnya yang masih menunjukkan nama Noah besar-besar.Kyla berdehem keras sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu. Bohong jika ia merasa biasa dan tenang saat mendengar suara Noah, orang yang dulu ia sukai.“Halo? Ada apa, Noah?” tanyanya.“Kyla, apa kau masih di rumah sakit?” Noah balik menjawab dengan pertanyaan..Kyla mengerutkan dahinya. Ia tak mengira kalau Noah akan menanyakan keberadaannya. Sebenarnya apa yang dia inginkan?“Aku baru pulang. Kenapa?”“Oh, syukurlah. Apa kau bisa ke rumah? Adik iparku jatuh pingsa
“Sudah kukatakan padamu berulang kali kalau kau harus menjaga ucapanmu di depan Clara! Lihatlah apa yang terjadi karena perbuatanmu!”Ivy menatap Noah dengan penuh kekecewaan, sedangkan Noah hanya berdiri di depannya dengan berkali-kali menghela napas panjang.“Dan sudah kukatakan juga kalau Clara yang memulai duluan,” balas Noah.Mereka sudah berdebat alot sejak Clara jatuh pingsan. Namun, perdebatan itu sama seperti yang sudah-sudah. Mereka hanya terus meluapkan emosi tanpa hasil yang berarti."Walau Clara memancingmu, harusnya kau bisa menahan diri. Clara baru sembuh, Noah...," ucap Ivy dengan memelas.Noah tahu kalau Ivy sudah putus asa, tapi ia pun juga merasakan hal yang sama."Dia nanti akan semakin kurang ajar kalau dibiarkan saja. Dia bahkan sudah semena-mena di rumah ini dengan merampas kamar kita!" ucap Noah."Setidaknya beri Clara waktu untuk beradaptasi. Dia mungkin suntuk karena menghabiskan banyak waktu di rumah sakit,” pinta Ivy dengan suara yang lebih rendah.Noah mer