Khandra sendiri yang menjemput ayahnya siang itu di bandara. Setelah menunggu hampir satu jam pesawat yang membawa ayahnya tiba di tanah air. Hati Khandra mencelos saat melihat tubuh ringkih ayahnya yang keluar pintu kedatangan dengan menggunakan kursi roda. Benny Alcantara tersenyum senang melihat putra sulungnya menjemputnya langsung di bandara. Ia memeluk anak sulungnya itu seperti lama tak bertemu. Suasana di bandara itu terasa canggung bagi Khandra. Ayahnya memeluknya erat, seolah sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu. Padahal, baru dua minggu lalu Khandra mengunjungi ayahnya di Singapura. ”Papa sudah baikan?” tanya Khandra sambil berusaha melepaskan pelukan erat ayahnya. Sejak kejadian beberapa bulan lalu, Khandra merasa sedikit canggung berada dekat ayahnya. Rasa bersalah yang mengegrogoti batin Khandra membuatnya merasa memiliki jarak dengan ayahnya sendiri. Khandra melirik ke samping kiri ayahnya. Seorang perempuan paruh baya dengan dandanan lengkap berdiri tanpa seny
”Oh, ya, Khandra, besok kita akan mengadakan makan malam keluarga. Ajak istrimu juga. Kami juga harus berkenalan dengannya,” tukas Nisya tiba-tiba yang membuat Khandra memutar tumitnya cepat.”Untuk apa?” tanya Khandra.”Kok, untuk apa. Ya, untuk berkenalan dengan kami, dong. Masak kami tidak kenal dengan menantu kami sendiri. Bukan begitu, Pi?” jawab Nisya sambil tersenyum dan membelai lengan suaminya meminta dukungan.Khandra mendengus kasar begitu mendengar kata-kata Nisya. Ia menatap ibu tirinya itu dengan pandangan tak percaya.”Kenapa tiba-tiba membahas soal itu?” tanya Khandra dengan nada curiga.Nisya tersenyum manis. Namun, Khandra tahu ada maksud tersembunyi di balik senyuman itu.”Memangnya kenapa? Bukankah sudah sewajarnya kami berkenalan dengan istrimu?”Benny mengangguk membenarkan ucapan Nisya. Kali ini ia merasa setuju dengan pendapat istrinya itu.”Benar kata Nisya, Khandra. Ajak saja istrimu ke sini besok malam. Kami ingin berkenalan dengannya.”Khandra mengerutkan k
”Lebih baik kau jaga jarak dengannya,” bisik Khandra yang membuat Evanna tak enak dengan ibu mertuanya. Bisa saja ia mendengar ucapan Khandra itu.Namun, Nisya tampaknya tak menghiraukan apa yang Khandra katakan. Ia tetap berjalan mendekati Evanna dan memeluknya.”Kau cantik dan anggun. Sangat sesuai untuk menjadi menantu keluarga Alcantara,” ujar Nisya sambil tertawa riang.Evanna tersenyum senang saat menerima sambutan hangat dari ibu mertuanya itu. Wanita itu baik dan ramah, tapi entah mengapa Khandra menatap Nisya dengan pandangan tak suka.”Senang bertemu dengan Anda,” balas Evanna dengan sopan.”Jangan terlalu formal begitu. Karena kau menantuku kau boleh memanggilku dengan mama atau mami. Ah, mami tampaknya lebih familiar. Rakha memanggilku dengan sebutan itu. Jadi, kau juga boleh memanggilku mami,” ujar Nisya.”Ah, iya, terima kasih… Mami,” jawab Evanna kagok.Ia melirik suaminya dan dilihatnya rahang Khandra mengeras seperti menahan emosinya.”Di mana papa?” tanya Khandra pad
”Khandra, aku kira sudah saatnya kau harus kembali ke rumah ini,” ujar Benny pada Khandra yang membuat laki-laki itu tercekat.”Kenapa?” tanya Khandra pendek.”Kita harus membenahi keluarga ini. Dan menurutku tak akan bisa kalau kau selalu menghindar. Setelah papa menikah dengan Nisya, kau memilih tinggal dengan Angela. Setelah lulus SMA, kau ke Amerika untuk melanjutkan studimu. Setelah pulang dari Amerika pun kau memilih tinggal di apartemen. Kau selalu menghindar untuk tinggal satu atap dengan keluargamu sendiri,” tukas Benny.”Aku lebih suka tinggal di apartemen. Evanna juga suka di sana,” sahut Khandra.Evanna memperhatikan perdebatan antara suaminya dan ayahnya yang tampaknya saling memiliki idealisme masing-masing. Meskipun Khandra mencoba untuk menjaga sikapnya, tapi ia jelas akan teguh pada pendiriannya.”Kalau kita tinggal terpisah, Papa tak bisa dekat denganmu. Bertahun-tahun kau mencoba memisahkan diri dari kami dan Papa rasa sudah saatnya kau terlibat dan dekat dengan ke
Seusai makan malam, Khandra mengajak Evanna untuk pulang. Meskipun ayahnya menginginkannya menginap, tapi Khandra menolaknya. Sepanjang perjalanan menuju apartemen hanya keheningan yang melingkupi mereka berdua. Evanna segan memulai pembicaraan kalau itu hanya akan menambah kekesalah suaminya. Begitu pun dengan Khandra yang fokus dengan kemudinya meski pikirannya berkelana entah ke mana. Setibanya di apartemen, Khandra langsung menuju mini bar dan mengambil sebotol minuman favoritnya. Ia duduk di ruang santai dan menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya lelah, begitu juga dengan batinnya. Evanna menghela napas panjang. Ia tahu Khandra membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. ”Kenapa kalian bertengkar seperti itu?” tanya Evanna yang duduk di samping Khandra. Evanna mendengar perdebatan antara suaminya dengan ibu mertuanya. Dari kalimat-kalimat mereka Evanna akhirnya tahu hubungan antara Khandra, Rakha, dan juga Nisya. ”Karena itulah aku tidak mau tinggal di rumah. Per
Evanna duduk dengan resah di ruang tunggu. Beberapa saat yang lalu ia menerima telepon mengejutkan dari seseorang yang memintanya datang untuk menemuinya.Evanna baru pertama kali menginjakkan kaki di Imperium Holding Company. Ia menatap penuh kagum interior yang didominasi warna krem dan gold itu.”Nyonya Evanna Laura, silakan masuk! Tuan Alcantara sudah siap untuk menemui Anda,” ujar perempuan berparas cantik yang merupakan sekretaris Benny Alcantara.Sekretaris itu mengantarkan langkah Evanna memasuki ruang kantor ayah mertua Evanna. Benny Alcantara yang duduk di singgasananya langsung berdiri dan menyambut Evanna dengan senyum lebarnya.”Duduklah, Nak. Selamat datang di kantorku,” sambutnya, lalu memeluk Evanna dengan hangat.Evanna merasa rikuh menerima sambutan yang ramah itu. Selama hidup belum pernah ia mendapatkan perlakuan yang luar biasa hangat seperti itu.Evanna duduk dengan canggung di hadapan Benny Alcantara. Pria paruh baya itu menatapnya dengan sorot mata teduh, seola
Evanna menutup pintu ruangan Benny Alcantara dengan gamang. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini. Baru semalam Khandra bilang kalau ia akan bertahan di apartemen dan tidak mau kembali ke rumah orang tuanya. Kini, Evanna sudah bersedia membantu Benny untuk membujuk Khandra.Evanna mengeluh pelan. Meskipun ia tidak bisa menjanjikan, tapi melihat sorot mata ayah ertuanya yang penuh harap membuat Evanna takut mengecewakan laki-laki itu.Sekarang yang menjadi pikiran Evanna adalah bagaimana ia akan membujuk Khandra. Kalau ia keliru bicara, bukan tidak mungkin Khandra akan emuntahkan perbendaharaan kata-kata mutiaranya pada Evanna.Evanna masih berkutat dengan pikirannya saat pintu lift terbuka untuknya. Namun, belum juga kakinya melangkah, gerungan khas Tuan Muda Anantara langsung memenuhi gendang telinganya.”Ngapain kamu ke sini?” serunya yang membuat Evanna terlonjak kaget.Belum juga Evanna menjawab pertanyaannya, lengannya ditarik secara paksa masuk ke dalam lift. Khandra
Khandra terdiam. Berbagai spekulasi tentang ayahnya memenuhi pikirannya sekarang. Ia menimbang-nimbang kalau yang dikatakan Evanna itu memang benar adanya. Namun, sebelum mengambil keputusan, Khandra perlu mengkonfirmasi satu hal dari ayahnya itu.”Ikut aku!” perintah Khandra.Khandra bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari ruangan kantornya. Evanna yang tak tahu Khandra akan mengajaknya ke mana hanya berjalan mengikuti langkah suaminya itu dengan patuh.”Kita mau ke mana?” tanya Evanna saat mereka tengah menunggu lift.”Menemui papaku tentu saja,” jawab Khandra singkat.”Kau tak mau ribut dengan papa kan?” tanya Evanna khawatir.Khandra tak menjawab pertanyaan Evanna itu. Pintu lift terbuka dan keduanya melangkah masuk ke dalam lift yang membawa mereka ke kantor Benny Alcantara.Benny tengah duduk menghadap jendela saat pintu ruangan kantornya terbuka secara tiba-tiba. Saat melihat Khandra yang memasuki ruangannya diikuti oleh Evanna membuat laki-laki itu meninggalkan kursinya
Diva menatap jam di dinding lobi apartemen yang tak kunjung bergerak sesuai harapannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu, dan semakin lama perasaan resahnya tak bisa dikendalikan.Kursi tempat dia duduk terasa panas, dan lantai marmer yang dingin bahkan tak lagi memberi ketenangan saat ia kembali berjalan mondar-mandir.Lobi yang dingin dan luas itu terasa semakin sempit, seakan menjerat tubuhnya dalam kesunyian yang tak nyaman. Deru mesin pendingin udara yang berdengung pelan hanya menambah rasa jengkel yang bergulung di dadanya. Dia mengembuskan napas panjang, berusaha meredakan detak jantung yang berpacu.Laki-laki muda di front office menatapnya sejak tadi, pandangannya tajam seolah dia sedang menilai sesuatu yang bukan urusannya. Diva mengabaikan tatapan itu, walau perasaannya bergejolak. Bagi Diva, manusia macam dia tak perlu diperhatikan. Sekadar pengurus lobi, apa yang pantas ia pikirkan? "Masa bodoh dengan manusia rendahan macam itu," gumam Diva dalam hati, sambil menegakkan
Rakha mengusap wajahnya kasar. Setelah mendapat telepon yang tidak mengenakkan dari ibunya, kini ia kembali mendapatkan telepon. Kali ini dari nomor yang tidak dikenal.Meskipun begitu, Rakha tahu siapa yang meneleponnya kali ini. Selama beberapa hari terakhir ia mengabaikan si penelepon. Bahkan ini nomor kesekian yang akan menghiasi daftar blokirnya.Namun, tampaknya manusia satu ini tak kenal istilah menyerah dalam kamusnya. Sehari bisa belasan kali ia menghubunginya dengan nomor yang berbeda. Tingkahnya sudah seperti kolektor nomor perdana saja.Rakha menggeram kesal. Ponsel pintarnya bergetar hebat sekali lagi, layar menampilkan nomor tak dikenal yang berkedip-kedip. Sudah berapa kali sih perempuan itu menghubunginya? Jari-jarinya dengan malas meraih ponsel, matanya melirik jam dinding. Hari sudah semakin siang tampaknya.Sejak beberapa hari terakhir, Diva seakan tidak pernah lelah meneleponnya. Setiap kali Rakha memblokir satu nomor, muncul nomor baru yang menghubunginya. Perempu
Nisya memejamkan matanya, mencoba menetralisir emosinya. Tangan kanannya mencengkeram erat dadanya. Merasakan jantungnya yang berdetak menggila. Khandra dan istrinya itu sudah sangat keterlaluan. Mereka tak lagi menganggapnya sebagai nyonya rumah ini.Pandangan Nisya menerawang, menyiratkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. Nisya berdiri terpaku di tengah kamar. Pikirannya kembali melayang pada percakapan singkat namun menegangkan beberapa saat lalu.Suara Evanna, istri Khandra sekaligus anak tirinya yang kini memimpin perusahaan, terngiang-ngiang di telinganya. Tuduhan itu terasa begitu berat, menghantam tepat di titik terlemahnya - Rakha, putra kandungnya yang selama ini ia banggakan."Khandra curiga bahwa Rakha mungkin telah meretas komputer perusahaan.”Ucapan Evanna tadi kembali terngiang di benak Nisya. Tubuh wanita paruh baya itu menggigil. Kalau sampai Rakha berbuat seperti itu, alangkah bodohnya. Rakha sudah menggali lubang kuburnya sendiri.Tuduhan Khandra terhadap
Suara benturan pintu yang dibuka paksa membuat Evanna terlonjak kaget. Evanna yang memasuki kamar Rakha tanpa izin sampai terlonjak kaget ketika sosok Nisya muncul dengan wajah merah padam. Mata wanita paruh baya itu menyala-nyala, penuh amarah yang siap meledak."Apa yang kau lakukan di sini?" bentak Nisya, suaranya menggema di ruangan yang sunyi itu.Evanna tergagap, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mendadak berpacu cepat. "Mama... saya...saya…""Jangan panggil aku Mama.! Aku bukan ibumu," potong Nisya tajam."Menjadi menantuku saja kau tidak pantas. Sekarang jawab, apa yang kau lakukan di kamar anakku?" sembur Nisya.Evanna menelan ludah, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang tepat. Ia tahu bahwa apapun yang dikatakannya, Nisya pasti akan menyalahartikannya. Wanita itu sudah terlanjur membencinya sejak awal pernikahannya dengan Khandra."Saya mencari Rakha, Ma," akhirnya Evanna berhasil menjawab, suaranya bergetar. "Khandra meminta saya untuk—""Khandra?" Nisya mend
Wajah Khandra berubah tegang saat melihat nama Rendra, asistennya, tertera di layar ponselnya. Tak biasanya Rendra meneleponnya sepagi ini, kecuali ada hal yang sangat penting dan mendesak.”Ada apa, Rend?” tanya Khandra cemas.”Ada masalah penting di kantor. Sebaiknya kau segera kemari!” seru Rendra dari balik telepon. Suaranya terdengar cemas.Khandra langsung melompat dari tempat duduknya dan meraih jas yang terletak di punggung kursi dan.”Apa yang terjadi? Jelaskan!””Sistem keamanan komputer diretas dan sistem komputer di kantor menjadi kacau. Para karyawan panik dan tidak bisa bekerja,” lapor Rendra.Darah Khandra berdesir panas. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Sistem komputer perusahaannya termasuk canggih dan dilengkapi sistem keamanan yang ketat. Tak mungkin ada yang dengan begitu mudah meretas sistem komputer perusahaan, kecuali ….”Segera hubungi tim IT dan lakukan apa pun untuk memulihkan data tersebut!” perintah Khandra dengan suara menggelegar.Tanpa menunggu jawaban Re
Evanna menguap lebar dan membuka matanya yang masih sangat mengantuk. Tak terasa ia tertidur dengan pikiran berkecamik memenuhi otaknya. Evanna melirik jam dinding yang menunjukkan waktu pukul empat pagi.Pagi itu, Evanna bangun lebih awal daripada biasanya. Sambil menunggu Khandra bangun, Evanna memutuskan untuk menyiapkan makan pagi.Evanna tahu Khandra marah padanya. Mencoba sedikit mengobati kekecewaan suaminya itu, Evanna memasak makanan kesukaan Khandra.Evanna menata hasil karyanya pagi ini di meja bundar yang ada di ruang kerja Khandra di lantai tiga. Mereka biasa menghabiskan sarapan mereka di sana. Khandra seringkali malas bertemu muka dengan ibu tirinya saat sarapan.Khandra keluar dari kamar dengan wajah lebih segar. Sepertinya berendam di dalam bak air hangat sedikit meredakan emosinya.Ia memasuki ruang kerjanya dengan kemeja putih membungkus tubuh tegapnya dan dasi biru tua melingkari lehernya. Tampaknya ia ingin berangkat kerja lebih pagi."Maafkan aku," kata Evanna me
”Kau menyebut nama laki-laki lain saat aku menyentuhmu?” seru Khandra geram.Evanna menggeleng cepat menyadari kesalahannya. Sial, tanpa sadar ia malah mengucapkan nama Rakha saat mereka bercumbu.”Apa hubunganmu dengan Rakha?” tanya Khandra geram. Gairahnya hilang seketika.Khandra mencekal lengan Evanna dan menariknya memasuki kamar. Khandra meradang karena apa yang diucapkan Evanna membuatnya mengingat lagi kejadian tiga tahun yang lalu.”Ma, maaf, aku tak sengaja. Aku tadi melihat Rakha di dekat kolam renang. Aku malu dia melihat apa yang kita lakukan di balkon. Makanya aku tak sengaja berucap seperti itu,” ujar Evanna memberi alasan.Khandra menatap Evanna dengan tatapan menusuk. Dia tidak percaya dengan alasan yang diberikan Evanna.Amarahnya memuncak, dibakar oleh kecemburuan yang membara dalam dirinya. Dengan gerakan kasar, dia mendorong Evanna ke dinding, menguncinya dengan tubuhnya yang kekar.”Jangan berbohong padaku, Evanna!” bentaknya, suaranya bergetar menahan emosi.Eva
Lampu kristal berkilauan menyinari ballroom mewah Imperium Building yang terletak di jantung kota. Malam itu, perusahaan keluarga Alcantara mengadakan pesta untuk menyambut CEO baru mereka, Khandra Anantara. Khandra adalah putra sulung Benny Alcantara dan juga suami Evanna.Evanna, dengan gaun malam elegan yang melekat di tubuhnya, melangkah mendekati meja bar. Ia merasakan tatapan kagum dari para tamu undangan saat Khandra memperkenalkannya pada mereka. Namun, Evanna juga mendengar bisikan-bisikan yang membuatnya tidak nyaman.Setelah berbasa-basi dengan para tamu yang tak Evanna kenal, Evanna berpamitan dan melangkah menuju meja bartender. Kakinya terasa sedikit pegal dan kerongkongannya kering.”Satu mocktail lavender,” pesan Evanna pada bartender.Ia menyandarkan tubuhnya pada barstool, menikmati alunan musik jazz yang memainkan lagu lembut. Evanna kembali menatap Khandra yang tengah berbincang dengan beberapa investor.Evanna tengah menunggu minuman yang dipesannya saat Diva—kaka
Evanna terperangah menatap perempuan yang datang bersama Rakha. Seorang wanita muda dengan penampilan yang sangat mencolok di pesta itu. Gaun ketat berwarna emas dengan belahan rendah memamerkan lekuk tubuhnya yang semampai.Perempuan itu adalah Diva, kakak tirinya. Evanna tak pernah tahu kalau Rakha dan Diva sedekat itu. Pandangan Evanna langsung terpaku pada Diva dan Rakha yang berjalan bergandengan tangan menghampiri mereka. Ia tak menyangka Rakha akan mengajak Diva ke pesta ini.Evanna melirik Khandra yang duduk di sampingnya. Raut muka suaminya itu tak menunjukkan emosi apa-apa. Ia tampak duduk dengan tenang di kursinya.”Selamat malam semua.”Rakha menyapa mereka dengan senyum lebar. Ia menatap kedua orang tuanya juga Khandra yang tampak tak acuh dengan kehadirannya.”Selamat malam, Evanna,” sapa Diva dengan senyum manisnya, namun terlihat dibuat-buat.”Malam, Diva. Aku tak menyangka kau akan datang ke pesta ini,” balas Evanna, masih terkejut.”Tentu saja aku datang. Rakha yang