"Eungh, di mana kamar yang aku pesan? Tubuhku panas.." Seorang gadis cantik melangkah berat dan sempoyongan di lorong kamar hotel. Stesianna Hyerdi merasakan tubuhnya panas setelah ia meminum sebuah minuman yang diberikan oleh kekasih dan sahabatnya. Satu setengah jam yang lalu, gadis yang kerap dipanggil Anna tersebut merayakan pesta ulang tahun sahabatnya. Namun setelah dibuat mabuk berat, dengan tega sahabat dan kekasihnya pun pergi tanpa mempedulikannya, mereka meninggalkan Anna hingga gadis itu memutuskan memesan kamar di hotel itu untuk satu malam. Anna tidak mungkin pulang dalam keadaan mabuk, Papanya pasti akan sangat-sangat marah. Di sisa kesadarannya kini yang semakin memudar, Anna berdiri di depan sebuah pintu. Ia menatap pula pintu di seberangnya. "Ke-kenapa nomornya sama? Arrghh, pasti yang ini... Ya, pasti yang ini!" gumam gadis itu pelan menunjuk dia pintu yang berhadapan.Anna mendorong pintu kayu cokelat di hadapannya dan masuk ke dalam kamar hotel. Rasa panas yan
Tiga Bulan Kemudian,"Katakan pada Papa sekarang juga, siapa Ayah dari anak yang kau kandung, Stesianna!" Teriakan Caisan Papa kandung Anna, bersamaan dengan laki-laki itu melemparkan sebuah alat tes kehamilan di atas meja belajar di kamar Anna. Gadis itu tertunduk dan menggeleng tak bernyali, bahkan kini pipinya sudah memar dengan gambar tangan sang Papa. Anna menyeka air matanya. "Anna tidak tahu Pa, waktu itu Anna dibuat mabuk sama teman Anna. Anna tidak ingat dan tidak tahu siapa pria itu. Maafkan Anna, Pa," jelas gadis itu semakin menangis. "Kau ini membuat Papa dan Mamamu malu saja!" Caisan mengusap wajahnya dan menggebrak meja rias putrinya. "Bisa-bisanya kau mabuk hah?! Tidur dengan sembarang laki-laki, sekarang parahnya kau hamil!" "Sudah dong Pa, marah tidak akan menyelesaikan masalah!" Alea mengusap pundak suaminya. Sedangkan Anna, dia memunguti buku-bukunya, Anna memang masih kuliah. Karena itulah sang Papa mendidiknya dengan sangat keras, selama ini Anna sangat Cais
Tiga hari berjalan dengan sangat pahit. Pernikahan tidak bisa Anna hindari, gadis itu kini resmi menjadi istri dari sosok pria yang sama sekali tidak dia kenali. Seorang Boss sombong yang tidak berperasaan. Dengan balutan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya, Anna berada di dalam kamar bersama Mama dan Papanya, mereka akan pulang dan meninggalkannya di kediaman Arthur. "Ingat pesan Papa, Anna! Kau jangan membuat Arthur kecewa, kau harus jadi istri yang baik untuknya, hanya kau yang bisa menyelamatkan keluarga kita!" desak Caisan menuding wajah Anna dengan bibir menipis. Anna menatap sang Papa dengan tatapan kesal. "Harusnya Papa memikirkan cara lain, bukan malah mengorbankan kehidupanku di tangan pria yang tidak aku kenali untuk menjadi suamiku," bantah gadis itu menyeka air matanya. "Kau ini tidak tahu terima kasih atau bagaimana, hah?! Masih untung Arthur mau menikahimu meskipun kau hamil anak harammu itu!" sinis sang Papa, Caisan menekan telunjuknya di kepala Anna.
Anna merasakan udara hangat menyelimutinya, aroma segar maskulin yang terasa familiar menyambut pagi membangunkannya. Aroma parfum yang membuat kedua mata gadis itu terbuka perlahan, namun seketika tubuh Anna menegang hebat. 'Aroma ini? Pria itu!' batin Anna bergejolak. Detik itu juga Anna langsung bangkit menyingkap selimutnya dan betapa terkejutnya Anna saat mendapati dirinya berada di atas ranjang. "Selamat pagi, Tuan putri," sapa seseorang membuat gadis itu menoleh cepat ke arah pintu balkon. Dada Anna terasa sesak mendapati Arthur berdiri di sana. Dengan pakaian formal, tubuh tinggi besar, wajah segar dan tampan, seringai di bibirnya yang membuat Arthur terlihat semakin misterius untuk Anna. Dan satu, aroma parfum yang Arthur pakai membuat Anna mengingat seseorang di suatu malam lalu. "Kenapa kau membawaku ke kamar?" Anna menatap Arthur yang melangkah mendekatinya. "Kau berusaha menghindariku di malam pertama, bukan?""Aku sudah bilang, aku ingin tidur sendiri!" seru Anna
Seharian Anna mengurung diri di dalam kamar, ia mengabaikan semua orang yang menawarinya makan, termasuk para pelayan di rumah itu yang sangat cerewet. Sampai hari menjelang malam pun Anna masih duduk diam di atas ranjang diam memikirkan Arthur dan ucapan suaminya pagi tadi. "Tidak mungkin kalau pria malam itu adalah Arthur." Anna mendongakkan kepalanya pusing. Gadis itu mengerang marah memeluk bantal dan menekan sedikit perutnya dengan kedua mata terpejam. Puas Anna menangis memikirkan segalanya. Tentang kehamilannya, pernikahan sementara, dan tentang siapa Arthur sebenarnya. "Aku tidak punya bukti apapun," gumam Anna sedih. "Dia pasti bercanda. Mana mungkin Tuan Muda sepertinya tidur dengan sembarang wanita. Aaarrgghhh, aku benci ini semua!"Di tengah kemarahan yang Anna rasakan, tiba-tiba pintu kamar kembali terketuk, Anna menoleh dengan wajah kesal. Pelayan wanita itu membuka pintu kamar Anna membawa nampan berisi makanan dan minuman. Namun dia terdiam menatap makan siang An
"Makan yang banyak, Anna. Pelan-pelan ya nak," ujar Alea mengusap pucuk kepala Anna dengan sabar. Anna tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Di rumah Arthur memang ia ingin mual saat menghirup aroma masakan para pelayannya, entah mengapa. Merasakan sup daging yang Mamanya masak, senyuman Anna langsung merekah seketika. "Masakan Mama memang paling enak," sanjung gadis itu dengan wajah merona berseri-seri.Alea pun tersenyum dengan sanjungan putri kesayangannya, namun karena tanpa sengaja pandangannya teralih pada Arthur yang tengah menatapi Anna yang sedang makan. Tatapan mata yang tenang dan teduh, laki-laki itu begitu terlihat tulus. Namun siapa yang tidak mengenal Arthur Anderson di dalam dunia bisnis antar negara di Eropa, dia terkenal akan kepopulerannya dan juga mempunyai julukan Pria Tampan Licik yang Lembut. "Mama ke belakang sebentar," pamit Alea saat menyadari Arthur ingin memperhatikan Anna lebih lama lagi. Anna sibuk memakan sup daging kesukaannya, namun tiba-tiba kuny
'Ukhh, tubuhku rasanya sangat kaku.'Anna meremas selimutnya dengan kedua mata yang masih terpejam. Hawa mengantuk masih menyelimutinya setelah tubuhnya terasa sangat lelah. Tok.. tok.."Nyonya Anna, selamat pagi. Sarapannya sudah saya siapkan di bawah!" Kedua mata Anna terbuka lebar mendengar ketukan pintu tersebut. Ia langsung bangun dan terduduk di atas ranjang. Kesadaran belum terlalu memenuhi pikiran gadis itu hingga tiba-tiba ia merasakan sesuatu menyentuh punggung polosnya. "Tubuh yang cantik," sanjung seseorang yang tengah menyenangkan jemarinya di kulit punggung Anna. "Kau sudah tidak malu lagi saat selimutmu terjatuh, Istri Sepuluh Bulan-ku?"Hah!!Bagai genderang dipukul di kepala Anna, sontak ia menunduk dan mendelik saat tahu selimutnya melorot dan menunjukkan bagian tubuh atasnya. "Kyaaa... Arthur!" teriak Anna menarik selimutnya tinggi-tinggi dan menatap ngeri pada sosok suaminya yang entah sejak kapan dia di samping Anna, mungkin pria menyebalkan itu belum bangun
Sejak pagi, Anna sibuk berjalan-jalan dan bersenang-senang bersama Arthur. Sang suami mengenalkan ruangan-ruangan megah dan tempat indah di kediamannya. Tapi sore ini Anna merasa tidak nyaman dengan tubuhnya, terutama pada perutnya yang terasa nyeri dan sakit. Anna berdecak berulang kali dan tetap kelimpungan di atas ranjang. "A-apa yang terjadi? Kenapa perutku terasa tidak nyaman? Apa aku salah makan?" Perlahan-lahan Anna turun dari atas ranjang. Gadis itu melangkah ke lantai satu terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. "Arthur, di mana dia?" Anna menatap semua penjuru rumah. Sampai akhirnya Anna melihat pintu ruangan kerja Arthur yang terbuka, Anna pun melangkah mendekati pintu ruangan itu hingga ia mampu mendengar suara seseorang marah-marah dalam telepon yang tengah berbicara dengan suaminya. "Apa-apaan kau Arthur! Bisa-bisanya kau menikah tanpa sepengetahuan Mama dan Papa?! Wanita mana yang kau nikahi, Arthur!" Suara teriakan dari sambungan telepon itu membuat Arthur menjau
"Ya, aku akan membakar kertas sialan ini!" Arthur menundukkan berkas itu di hadapan Anna dan merobek-robeknya dengan wajah dipenuhi amarah dan kekesalan. Wajah Anna menjadi teduh, wanita itu melangkah mendekati Arthur dan mencekal kedua tangannya. "Sudah Arthur, apa yang kau lakukan!" "Kau akan pergi kan, setelah anak itu lahir dan kau berikan padaku?" tanya Arthur dengan wajah dinginnya. "Bukannya itu yang kau minta?" tanya Anna memasang ekspresi serba salah. Arthur tertawa sumbang, dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali merobek berkas tersisa di tangannya. "Persetan dengan berkas ini, Anna!" pekiknya kesal. "Dengar, kau tidak boleh pergi dari sisiku!" Tatapan mata Anna begitu asing menatap sosok suaminya. Apa ini Arthur yang selama ini Anna kenali? Kenapa berbeda? Apa dia mabuk?Perlahan Anna mendekatinya, kedua tangannya terangkat dia berjinjit menangkup kedua pipi suaminya yang tengah emosi. "Ada apa denganmu? Kau tidak seperti Arthur yang aku kenal," ujar Anna p
"K-Keinz, kau..!" Anna memasang wajah marah, dia langsung memeluk lengan Arthur dengan kencang. Tatapan mata laki-laki berambut hitam itu tertuju pada Arthur yang berdiri menatapnya dengan tatapan datar, dingin."Siapa dia, Sayang?" tanya Arthur pada Anna. "Sayang?!" Keinz memekik dan melangkah mendekati Anna. Namun tentu saja Arthur lebih dulu menarik cepat pinggang Anna untuk merapat padanya. "Saya suaminya Anna, kau siapa?!" seru Arthur dengan wajah sombong, andalannya. Keinz seolah tak percaya. Tapi Anna memeluk tubuh Arthur dan mendongak menatap sang suami."Dia mantan kekasihku. Gara-gara dia aku terjebak dengan seorang laki-laki," ujar Anna kacau. Seringai muncul di bibir Arthur, karena laki-laki di depannya ini ia bisa bertemu dengan Anna. Dan menjadikan wanita ini miliknya seutuhnya. Tanpa Anna duga-duga, Arthur kini berjalan mendekati Keinz yang diam menatapnya waspada. Sampai akhirnya Arthur mengulurkan tangannya di hadapan Keinz dengan wajah santai. "Apa maksudmu
Sebenarnya Anna khawatir saat Arthur mengajaknya pulang, dia takut kalau Mama dari suaminya itu masih di rumah, tapi ternyata tidak, wanita itu sudah pulang. Bulu kudu Anna merinding saat Arthur membuka pintu rumahnya. Telapak tangannya mencengkram erat pergelangan tangan Arthur. "Mama sudah kembali, jangan takut." Arthur memahami perasaan Anna. "Ka-kau tidak mengusirnya, kan?" "Menurutmu?" Laki-laki itu membalikkan badannya dan menjadi sepenuhnya menatap Anna yang berdiri di tengah-tengah ruang tamu rumahnya. "Bukannya aku sudah berjanji padamu kalau aku akan menyingkirkan segala sesuatu yang membuatmu tidak nyaman, bukan?" Kan, Anna sudah menebak Arthur pasti mengusir Mamanya hanya demi Anna. Apakah ini cintanya atau sekedar perasaan peduli saja?"Ayo ke kamar, istirahat dulu." "Kau tidak sibuk? Boleh aku minta tamani sebentar saja?" pinta Anna seraya menggenggam tangan Arthur berjalan ke lantai dua. "Heem, tentu saja boleh." Arthur mengikuti Anna berjalan masuk ke dalam kam
"Anna~" Arthur menggenggam erat telapak tangan Anna saat dokter mengobatinya. Dia tidak mau keluar saat dokter memintanya meninggalkan ruangan pemeriksaan. Istrinya pingsan dan napasnya sesak, belum lagi tamparan keras Caisan hingga tak hanya membuat wajah Anna memar, tapi juga keluar darah dari hidungnya. "Bagaimana dengan Istriku? Apa sangat parah?" tanya Arthur menatap dokter laki-laki yang baru saja selesai memeriksa Anna. "Tidak Tuan, tapi mungkin pasien akan mengalami trauma. Untuk kedepannya kami masih terus memantau," jelas dokter itu pada Arthur. Anggukan Arthur berikan, dokter pun gegas keluar dari dalam ruangan kamar inap itu. Rasa marah masih menggelayuti Arthur, tak terima dan ingin menghabisi siapapun yang menyentuh Anna. "Si brengsek itu tidak pantas kau panggil Papa, Anna," bisik Arthur mengusap pipi Anna yang memar parah. "Dia hanya pecundang yang tidak tahu malu!" Memar membiru di wajah Anna membuat Arthur ingin rasanya menghajar dan menghabisi Caisan saat in
"Aku harus pulang, aku tidak punya tujuan ke mana-mana lagi." Anna berucap gelisah seraya menyandarkan kepalanya di sandaran bangku bus. Terpaksa Anna pulang ke rumahnya menggunakan bus, dia hanya mempunyai sedikit uang, dan Anna kabur dari Arthur. Sepanjang perjalanan dia hanya terus memikirkan untuk membujuk Papanya agar Anna diizinkan tinggal di sana beberapa hari saja, setidaknya setelah Letta pergi. "Permisi Nona, bus sudah berhenti di tempat yang Nona tuju," ujar sang sopir bus yang duduk di samping Anna. "Oh, ya ampun, iya Pak," jawab Anna terburu-buru. Perlahan Anna menuruni tangga bus dan kakinya kini menapaki trotoar jalanan yang berada tak jauh dari rumahnya. Langit pun gerimis menambah rasa sedih di harti Anna kian Demak terasa. Butuh lima menit Anna sampai di rumahnya dan gadis itu juga langsung masuk ke pekarangan ruang mengah milik kedua orang tuanya. "Loh Nona Anna," sapa penjaga membuka gerbang pintu cepat-cepat. "Pak, apa Mama ada?" tanya Anna pada laki-laki
Kedatangan Letta, Mama Arthur membuat Anna merasa tidak nyaman sama sekali. Wanita itu kini duduk di ruang makan sembari menyeduh secangkir teh. Sejak tadi dia menunggu Anna karena penasaran seperti apa yang bernama Anna, dan kini gadis itu sudah muncul, turun ke lantai satu berjalan ke arahnya. "Sayang, itu Mamaku," ujar Arthur yang menemani Anna dan merangkulnya. Anna tertunduk dan tetap berjalan mendekat. Sedangkan Letta langsung bangkit dari duduknya. "Wow, ini yang namanya Anna? Menantu Mama?" tanya wanita itu dengan nada ramahnya. "Cantik sekali, Arthur!" Deg...Anna langsung mengangkat wajahnya menatap wanita itu. Sulit dipercaya jika Letta menyapa dengan gaya seolah-olah dia menyukai Anna. "Pantas saja kau meninggalkan Sonya, kalau Anna ternyata secantik ini," ujar Letta."Terima kasih, Nyonya," balas Anna tertunduk. "Nyonya? Astaga... Nak, aku ini Mama mertuamu," seru wanita itu terkekeh. Arthur hanya diam, ia tidak tahu ini sungguhan atau sebuah sandiwara yang memang
Anna diam termenung setelah mendengar permintaan suaminya tadi. Hal yang cukup mengusik ketenangan Anna, kenapa Arthur melarangnya untuk mengatakan pada siapapun kalau dia hamil, padahal Anna memang benar-benar sedang mengandung. Anna menyandarkan punggungnya di papan ranjang, kedua matanya mengerjap gelisah. "Kenapa?" lirih Anna memeluk kedua lututnya. Muncul Arthur membuka pintu ruang ganti, laki-laki itu berjalan mendekatinya dan bergabung dengannya duduk di atas ranjang. "Cepat tidur, ini sudah malam," ujar Arthur mengulurkan tangannya dan mengajak Anna berbaring. "Aku belum mengantuk," jawab Anna, gadis itu menyibak selimutnya dan turun dari atas ranjang. "Mau ke mana?" Langkah Anna terhenti, wajahnya sangat muram. Paham bagi Arthur mengetahui kalau istrinya sedang diliputi rasa gelisah dan resah. "Aku ingin tidur sendiri," jawab Anna meraih boneka miliknya dan berjalan keluar dari dalam kamar. Arthur mengusap wajahnya, laki-laki itu bergeming menyergah napas panjang. "
Arthur menatap bosan pada tumpukan berkas di atas meja kerjanya. Tidak sekali ia mengumpat pada pekerjaan yang tidak ada usainya. Bahkan dari pagi hingga siang ini tak ada istirahatnya namun juga tak kunjung rampung. "Hufftt... Kapan ini akan selesai?" gumam laki-laki itu frustrasi. Seorang laki-laki dengan stelan tuxedo abu-abu menatapnya, ia menurunkan kaca tipis berwarna emas yang membingkai mata bermanik hazel miliknya. "Apa Tuan ada urusan lain di luar?" tanya Reko, ia bangkit dan mengambil setengah dari berkas yang menumpuk di meja Arthur. "Tidak." Arthur menjawabnya tak acuh. Reko pun mengangguk pelan, sampai pintu ruangannya terbuka. Tanpa sopan santun seorang wanita berdiri di sana. Kembali Arthur menyergah napasnya panjang. Ia menatap lekat wanita itu. "Keluarlah, Reko!" perintah Arthur. "Baik Tuan." Reko keluar dari dalam ruangan itu, menyisakan Arthur yang seorang wanita cantik berambut sepunggung dengan stelan mini dress putihnya. Sudut bibir Arthur menyungging
Saat Anna bangun dari tidurnya, gadis itu tidak mendapati Arthur di sampingnya. Anna benci situasi di mana ia selalu ingin ditemani oleh laki-laki itu. Bahkan saat Anna merasa kesepian, ia ingin mencari Arthur dan mengajaknya duduk berdua dengannya. "Aku benci saat-saat ini," gumam Anna menundukkan kepalanya lesu. Telapak tangannya mencengkram perut. "Kenapa kau juga menyukaiku Papa sambungmu itu? Padahal dia terlihat tidak tulus pada Mamamu ini." Dengan wajah sebal, Anna menyibak selimutnya dan gegas turun dari atas ranjang. Gadis itu melangkah ke kamar mandi dan mencuci wajahnya. Anna keluar dari dalam kamar, di depan pintu kamarnya sudah ada Meli, sang pelayan setia yang menunggunya. "Selamat pagi Nyonya Anna," sapa Meli tersenyum manis pada Anna. "Pagi juga, Pelayan Meli," balas Anna dengan sama tersenyumnya. "Oh ya, di mana Arthur?" "Tuan ada di teras paviliun depan. Tuan sedang menemui tamunya, apa Nyonya mau saya antarkan ke sana?" tawar Meli pada Anna.Anna menggelengk