Tiga Bulan Kemudian,
"Katakan pada Papa sekarang juga, siapa Ayah dari anak yang kau kandung, Stesianna!"Teriakan Caisan Papa kandung Anna, bersamaan dengan laki-laki itu melemparkan sebuah alat tes kehamilan di atas meja belajar di kamar Anna.Gadis itu tertunduk dan menggeleng tak bernyali, bahkan kini pipinya sudah memar dengan gambar tangan sang Papa.Anna menyeka air matanya. "Anna tidak tahu Pa, waktu itu Anna dibuat mabuk sama teman Anna. Anna tidak ingat dan tidak tahu siapa pria itu. Maafkan Anna, Pa," jelas gadis itu semakin menangis."Kau ini membuat Papa dan Mamamu malu saja!" Caisan mengusap wajahnya dan menggebrak meja rias putrinya. "Bisa-bisanya kau mabuk hah?! Tidur dengan sembarang laki-laki, sekarang parahnya kau hamil!""Sudah dong Pa, marah tidak akan menyelesaikan masalah!" Alea mengusap pundak suaminya.Sedangkan Anna, dia memunguti buku-bukunya, Anna memang masih kuliah. Karena itulah sang Papa mendidiknya dengan sangat keras, selama ini Anna sangat Caisan banggakan, meskipun tak jarang laki-laki itu memarahi Anna tanpa ampun."Bagaimana ini hah?! Kalau banyak orang yang tahu kau hamil tanpa suami, mau ditaruh mana wajah Papamu ini, Anna! Perusahaan Papa sedang kacau, kau menambah kekacauan lagi!" berang Caisan menatap Anna yang kini dirangkul oleh Mamanya.Anna menangis mendengarkan Papanya, ia terus mengusap perutnya sambil berpikir keras tentang laki-laki yang menidurinya waktu itu. Meskipun semuanya hanya sia-sia saja baginya mengingat tentang pria asing tersebut."Kalau begitu, Anna gugurkan saja bayi ini," ucap Anna frustrasi. "Daripada Papa harus malu karena Anna, dan_""Apa katamu?! Menggugurkannya?! Mau dosa yang ke berapa kalinya lagi hah?! Kau ini memang kurang ajar, Anna!"PLAKK!Tamparan keras kesekian kalinya yang mendarat di pipi Anna. Gadis itu terhuyung jatuh, Anna memegangi pipinya dan mengusapnya pelan, berdarah lagi ujung bibirnya."Papa! Apa yang Papa lakukan?! Papa sudah tidak waras menyakiti Anna?!" teriak Alea merangkul pundak Anna dan mendekapnya.Caisan menyergah napasnya panjang, laki-laki itu berdiri di ambang pintu dengan wajah memerah dan tangan terkepal kuat.Bahkan melihat Anna kesakitan tidak membuat amarah laki-laki itu mereda."Papa tidak mau tahu, kau harus segera menikah! Jangan protes kalau suami pilihan Papa, tua, jelek, atau seperti apapun rupanya, kau harus patuh!" seru Caisan dengan tajam dan dingin."Tapi Anna masih mau-""Jangan membantah!" teriak Caisan menatapnya berapi-api.Anna kembali menangis dalam pelukan Mamanya. Alea mengusap wajah Anna dan wanita itu tahu seberapa kerasnya sang suami yang abusive."Sayang, Anna peluk Mama nak, tidak papa Sayang, Mama tidak akan memarahi Anna." Alea mendekap Anna lebih erat hingga suara tangisan begitu menggema di dalam kamar.Hanya Alea lah yang kini mampu melindungi Anna, dia menahan Anna untuk tidak berbuat nekat.**Seorang pria tampan berbalut tuxedo hitam keluar dari dalam mobilnya, dengan pakaian yang rapi, aroma maskulin, wajah rupawan, aura dingin. Dia adalah Arthur Anderson yang kini berdiri di depan sebuah rumah yang cukup megah.Pria itu datang besama dengan anak buahnya datang ke kediaman keluarga Hyerdi, rekan kerjanya yang sudah lama tidak menepati janjinya untuk membayar hutang beberapa tahun yang lalu."Jadi ini rumah Caisan Hyerdi?" tanya pria tampan itu."Iya Tuan," jawab anak buahnya.Tanpa panjang lebar, Arthur melangkahkan kakinya menaiki tangga teras dan anak buahnya menekan bel pintu rumah megah berwana putih tersebut.Hingga tak berselang lama pintu rumah itu terbuka. Pria pemilik iris mata hitam lekat itu terpana melihat sosok gadis cantik berkulit putih mulus, dengan dress biru muda yang ia pakai di tubuh kecilnya, sangat cantik gadis itu memiliki rambut hitam panjang yang kini berdiri di hadapannya. Sosok gadis cantik yang tiga bulan ini Arthur cari-cari selama ia berada di Hamburg.'Gadis ini...' batin Arthur, dirinya masih terpana.Anna, dia yang sedikit tertunduk perlahan mengangkat wajahnya. Ditatapnya pria tampan di hadapannya kini."Tuan mencari siapa?" tanya Anna."Caisan Hyerdi," jawab Arthur dingin.Di dalam rumah itu, dari lantai dua nampak Caisan berjalan menuruni anak tangga. Laki-laki setengah baya itu terkejut atas kedatangan tamu yang sangat-sangat penting ke rumahnya.Dia tersenyum lebar berjalan dengan Alea yang melangkah di belakangnya. Kedatangan seorang Tuan Muda San Anderson merupakan kehormatan bagi Caisan. Karena dia adalah seorang Presiden Perusahaan besar yang selama ini membantunya."Tuan Arthur Anderson, selamat datang. Kenapa tidak mengabari saya sebelum ke sini?" Caisan berjalan mendekat."Maaf tidak mengabariku, aku terlalu sibuk," jawab Arthur berjabat tangan dengan Caisan."Baiklah Tuan, mari silakan duduk." Caisan menoleh ke arah istrinya dan juga Anna. "Ma, minta pelayan siapkan makan malam bersama! Dan... Bawa gadis itu bersamamu!"Sinisnya Caisan menatap Anna yang berdiri diam di samping sang Mama. Alea tetap sabar dan tidak berubah sama sekali meskipun tahu Anna membuat kesalahan yang fatal, karena Alea tahu kondisi ini sangat sensitif untuk putri semata wayangnya.Tatapan Arthur tidak lepas dari Anna, rupanya gadis itu tidak mengenalinya. Sosok Anna yang asli, ternyata cukup pendiam dan tidak agresif seperti saat dia mabuk beberapa bulan lalu saat di dalam kamar hotel bersamanya.Setelah beberapa menit mereka membahas tentang pekerjaannya, Arthur dan keluar Hyerdi berkumpul di rumah makan untuk makan malam bersama.Di sana, Arthur berhadapan dengan Anna, ditatapnya wajah Anna yang lebam di pipi dan sudut bibirnya. "Nona cantik ini putrimu, Tuan Caisan?"Pertanyaan Arthur membuat Anna menaikkan tatapannya."O-oh ya, Tuan. Dia Stesianna Hyerdi, putri tunggal kami." Caisan tersenyum.Arthur tersenyum tipis seraya meletakkan sendok dan garpunya."Tuan Caisan, bagaimana dengan semua janji hutang perusahaanmu tiga tahun yang lalu, Tuan Caisan? Apa kau akan membayarnya dalam waktu satu minggu ini, atau-" Arthur menggantung ucapannya dan kembali menatap Anna."Tuan, kalau satu minggu ini saya tidak bisa. Masih banyak proyek yang harus saya selesaikan," seru Caisan resah. "Andai saya punya sesuatu yang bisa saya bayarkan!"Nyatanya Arthur malah tersenyum menyeringai tipis tanpa melepaskan tatapan mata dinginnya sedikitpun pada Anna."Kau memiliki putri yang cantik," jawab Arthur.Anna langsung mengangkat pandangannya. Iris matanya bersitatap dengan Arthur.Gemetar menjalar di sekujur tubuhnya. Cukup tahu dia tentang asal-usul pria tampan dari keluarga Anderson ini, keluarga kalangan bangsawan yang terkenal cukup mengesampingkan perempuan, mereka hanya menjadikan sebagai alat penghasil keturunan saja.Dan Caisan menoleh pada Anna sekilas, sebelum kembali menatap Arthur."Ke-kenapa dengan putriku, Tuan Arthur?""Putrimu bisa melunasi hutangmu, asal dia menikah denganku!" jawab Arthur tegas tak main-main.Anna menggeleng-gelengkan kepalanya tegas. Gadis itu berdiri dan menatap Arthur dengan berani."Apa Tuan pikir saya adalah barang yang bisa menjadi penebus hutang?!""Saya tidak membuat penawaran, Nona." Arthur kembali menatap Caisan. "Hanya dua pilihan, Tuan Caisan. Lunasi hutangmu sekarang, atau putrimu sebagai gantinya!"Caisan kalang kabut mendengar seruan Arthur, ia menatap putrinya yang menggeleng-geleng. Segera Caisan menarik lengan Anna dengan cepat saat gadis itu hendak pergi.Caisan malah tersenyum pada Arthur, masih dengan mencekal pergelangan tangan Anna."Tuan jangan khawatir, Anna pasti mau menikah dengan Tuan!"Kedua mata Anna melebar. "Pa-papa... Apa yang Papa katakan?!" pekik Anna marah."Diam, Anna!" desis Caisan."Sayang..." Alea merangkul Anna yang begitu ingin meneriaki Papanya.Raut wajah Anna dipenuhi amarah yang membara, Arthur menatapnya lekat-lekat. Anna begitu tertekan, dari luka pukul di wajahnya dan kerasnya sikap Papanya membuat semua orang nampu menyimpulkan satu hal, kalau Anna sangat tersiksa.Arthur akan mendapatkan Anna dengan mudah, pertemuan pertamanya dengan Anna membuatnya jatuh cinta dan Arthur tidak pernah menikmati malam seindah itu hingga ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan Anna.Anna menatap Arthur dengan tatapan nyalang penuh penolakan. "Asal Tuan tahu, menikahiku hanya akan membuatmu kecewa! Aku... Aku sedang hamil anak orang lain!" teriak Anna dengan mata berkilat-kilat.Arthur tidak bereaksi apapun, pria angkuh itu malah bangkit dari duduknya dan merapikan tuxedo yang dia pakai sebelum Arthur memutar tubuhnya saat hendak pergi."Siapkan pernikahanku dengan Anna segera, sebelum kau membusuk di dalam penjara, Tuan Caisan!" seru Arthur mengancamnya.Pria itu melirik Anna dan tersenyum penuh seringai sebelum dia melangkah meninggalkan kediaman keluarga Hyerdi.Tiga hari berjalan dengan sangat pahit. Pernikahan tidak bisa Anna hindari, gadis itu kini resmi menjadi istri dari sosok pria yang sama sekali tidak dia kenali. Seorang Boss sombong yang tidak berperasaan. Dengan balutan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya, Anna berada di dalam kamar bersama Mama dan Papanya, mereka akan pulang dan meninggalkannya di kediaman Arthur. "Ingat pesan Papa, Anna! Kau jangan membuat Arthur kecewa, kau harus jadi istri yang baik untuknya, hanya kau yang bisa menyelamatkan keluarga kita!" desak Caisan menuding wajah Anna dengan bibir menipis. Anna menatap sang Papa dengan tatapan kesal. "Harusnya Papa memikirkan cara lain, bukan malah mengorbankan kehidupanku di tangan pria yang tidak aku kenali untuk menjadi suamiku," bantah gadis itu menyeka air matanya. "Kau ini tidak tahu terima kasih atau bagaimana, hah?! Masih untung Arthur mau menikahimu meskipun kau hamil anak harammu itu!" sinis sang Papa, Caisan menekan telunjuknya di kepala Anna.
Anna merasakan udara hangat menyelimutinya, aroma segar maskulin yang terasa familiar menyambut pagi membangunkannya. Aroma parfum yang membuat kedua mata gadis itu terbuka perlahan, namun seketika tubuh Anna menegang hebat. 'Aroma ini? Pria itu!' batin Anna bergejolak. Detik itu juga Anna langsung bangkit menyingkap selimutnya dan betapa terkejutnya Anna saat mendapati dirinya berada di atas ranjang. "Selamat pagi, Tuan putri," sapa seseorang membuat gadis itu menoleh cepat ke arah pintu balkon. Dada Anna terasa sesak mendapati Arthur berdiri di sana. Dengan pakaian formal, tubuh tinggi besar, wajah segar dan tampan, seringai di bibirnya yang membuat Arthur terlihat semakin misterius untuk Anna. Dan satu, aroma parfum yang Arthur pakai membuat Anna mengingat seseorang di suatu malam lalu. "Kenapa kau membawaku ke kamar?" Anna menatap Arthur yang melangkah mendekatinya. "Kau berusaha menghindariku di malam pertama, bukan?""Aku sudah bilang, aku ingin tidur sendiri!" seru Anna
Seharian Anna mengurung diri di dalam kamar, ia mengabaikan semua orang yang menawarinya makan, termasuk para pelayan di rumah itu yang sangat cerewet. Sampai hari menjelang malam pun Anna masih duduk diam di atas ranjang diam memikirkan Arthur dan ucapan suaminya pagi tadi. "Tidak mungkin kalau pria malam itu adalah Arthur." Anna mendongakkan kepalanya pusing. Gadis itu mengerang marah memeluk bantal dan menekan sedikit perutnya dengan kedua mata terpejam. Puas Anna menangis memikirkan segalanya. Tentang kehamilannya, pernikahan sementara, dan tentang siapa Arthur sebenarnya. "Aku tidak punya bukti apapun," gumam Anna sedih. "Dia pasti bercanda. Mana mungkin Tuan Muda sepertinya tidur dengan sembarang wanita. Aaarrgghhh, aku benci ini semua!"Di tengah kemarahan yang Anna rasakan, tiba-tiba pintu kamar kembali terketuk, Anna menoleh dengan wajah kesal. Pelayan wanita itu membuka pintu kamar Anna membawa nampan berisi makanan dan minuman. Namun dia terdiam menatap makan siang An
"Makan yang banyak, Anna. Pelan-pelan ya nak," ujar Alea mengusap pucuk kepala Anna dengan sabar. Anna tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Di rumah Arthur memang ia ingin mual saat menghirup aroma masakan para pelayannya, entah mengapa. Merasakan sup daging yang Mamanya masak, senyuman Anna langsung merekah seketika. "Masakan Mama memang paling enak," sanjung gadis itu dengan wajah merona berseri-seri.Alea pun tersenyum dengan sanjungan putri kesayangannya, namun karena tanpa sengaja pandangannya teralih pada Arthur yang tengah menatapi Anna yang sedang makan. Tatapan mata yang tenang dan teduh, laki-laki itu begitu terlihat tulus. Namun siapa yang tidak mengenal Arthur Anderson di dalam dunia bisnis antar negara di Eropa, dia terkenal akan kepopulerannya dan juga mempunyai julukan Pria Tampan Licik yang Lembut. "Mama ke belakang sebentar," pamit Alea saat menyadari Arthur ingin memperhatikan Anna lebih lama lagi. Anna sibuk memakan sup daging kesukaannya, namun tiba-tiba kuny
'Ukhh, tubuhku rasanya sangat kaku.'Anna meremas selimutnya dengan kedua mata yang masih terpejam. Hawa mengantuk masih menyelimutinya setelah tubuhnya terasa sangat lelah. Tok.. tok.."Nyonya Anna, selamat pagi. Sarapannya sudah saya siapkan di bawah!" Kedua mata Anna terbuka lebar mendengar ketukan pintu tersebut. Ia langsung bangun dan terduduk di atas ranjang. Kesadaran belum terlalu memenuhi pikiran gadis itu hingga tiba-tiba ia merasakan sesuatu menyentuh punggung polosnya. "Tubuh yang cantik," sanjung seseorang yang tengah menyenangkan jemarinya di kulit punggung Anna. "Kau sudah tidak malu lagi saat selimutmu terjatuh, Istri Sepuluh Bulan-ku?"Hah!!Bagai genderang dipukul di kepala Anna, sontak ia menunduk dan mendelik saat tahu selimutnya melorot dan menunjukkan bagian tubuh atasnya. "Kyaaa... Arthur!" teriak Anna menarik selimutnya tinggi-tinggi dan menatap ngeri pada sosok suaminya yang entah sejak kapan dia di samping Anna, mungkin pria menyebalkan itu belum bangun
Sejak pagi, Anna sibuk berjalan-jalan dan bersenang-senang bersama Arthur. Sang suami mengenalkan ruangan-ruangan megah dan tempat indah di kediamannya. Tapi sore ini Anna merasa tidak nyaman dengan tubuhnya, terutama pada perutnya yang terasa nyeri dan sakit. Anna berdecak berulang kali dan tetap kelimpungan di atas ranjang. "A-apa yang terjadi? Kenapa perutku terasa tidak nyaman? Apa aku salah makan?" Perlahan-lahan Anna turun dari atas ranjang. Gadis itu melangkah ke lantai satu terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. "Arthur, di mana dia?" Anna menatap semua penjuru rumah. Sampai akhirnya Anna melihat pintu ruangan kerja Arthur yang terbuka, Anna pun melangkah mendekati pintu ruangan itu hingga ia mampu mendengar suara seseorang marah-marah dalam telepon yang tengah berbicara dengan suaminya. "Apa-apaan kau Arthur! Bisa-bisanya kau menikah tanpa sepengetahuan Mama dan Papa?! Wanita mana yang kau nikahi, Arthur!" Suara teriakan dari sambungan telepon itu membuat Arthur menjau
Saat keadaan sudah membaik, Anna pun terbangun dari tidurnya. Gadis itu terdiam menatap Arthur yang tertidur dengan posisi duduk dan bersedekap. Menatap wajah suaminya, Anna tidak mengerti kenapa laki-laki ini seolah dia kadang terlihat tega pada Anna, tapi sosoknya yang asli begitu cemas dan berteriak kepanikan kalau hal buruk terjadi pada Anna, siapa sebenarnya sosok Arthur ini?"Arthur," lirih Anna, ia mengulurkan tangannya dan hendak menyentuh wajah laki-laki itu. Ya, saat ini Anna bisa menyebut kalau Arthur, adalah lelakinya. Pergerakan tangan Anna terhenti saat ujung jemarinya menyentuh rahang laki-laki itu dengan sangat lembut. "Ada apa, Istriku?" Arthur meraih tangan Anna dan menggenggamnya. Anna sedikit terkejut begitu Arthur langsung meresponnya dengan cepat. "Emm, kau tidak tidur?" tanya gadis itu. Arthur terkekeh pelan dan menggelengkan kepalanya masih dengan kedua mata terpejam. "Aku takut kau pergi," jawabnya begitu tak masuk akal. Barulah Arthur mengembuskan na
"Bisakah kau tidak menemui dan muncul lagi di hadapan Anna?!" Arthur mengatakan hal mengejutkan itu pada Caisan, Papa kandung Anna yang kini berdiri di hadapannya, di luar ruangan Anna di rawat di rumah sakit.Wajah Caisan sedikit terkejut dengan apa yang Arthur katakan barusan, laki-laki itu terlalu membutuhkan Arthur hingga dia mengangguk dan tertawa renyah. "Ya, tentu saja kalau itu yang kau mau. Aku tidak akan datang lagi menemui Anna. Tapi Arthur, kalau bisa kau harus memaksa anak itu untuk makan dan melakukan hal yang baik untuk bayinya, agar anak kalian sehat-sehat nantinya," seru Caisan dengan tampang yang tak berdosa. Arthur tersenyum tipis. "Bukannya kau menyebut anak itu, anak haram?" tanya Arthur lagi.Arthur tidak punya pertimbangan apapun pada laki-laki tua menyedihkan di depannya ini. Ia juga tidak menimbang-nimbang rasa sungkan untuk memanggilnya dengan sebutan Papa mertua. Laki-laki itu terlalu jahat untuk Anna hingga tidak akan pantas disebut Papa. "Arthur, aku
"Ya, aku akan membakar kertas sialan ini!" Arthur menundukkan berkas itu di hadapan Anna dan merobek-robeknya dengan wajah dipenuhi amarah dan kekesalan. Wajah Anna menjadi teduh, wanita itu melangkah mendekati Arthur dan mencekal kedua tangannya. "Sudah Arthur, apa yang kau lakukan!" "Kau akan pergi kan, setelah anak itu lahir dan kau berikan padaku?" tanya Arthur dengan wajah dinginnya. "Bukannya itu yang kau minta?" tanya Anna memasang ekspresi serba salah. Arthur tertawa sumbang, dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali merobek berkas tersisa di tangannya. "Persetan dengan berkas ini, Anna!" pekiknya kesal. "Dengar, kau tidak boleh pergi dari sisiku!" Tatapan mata Anna begitu asing menatap sosok suaminya. Apa ini Arthur yang selama ini Anna kenali? Kenapa berbeda? Apa dia mabuk?Perlahan Anna mendekatinya, kedua tangannya terangkat dia berjinjit menangkup kedua pipi suaminya yang tengah emosi. "Ada apa denganmu? Kau tidak seperti Arthur yang aku kenal," ujar Anna p
"K-Keinz, kau..!" Anna memasang wajah marah, dia langsung memeluk lengan Arthur dengan kencang. Tatapan mata laki-laki berambut hitam itu tertuju pada Arthur yang berdiri menatapnya dengan tatapan datar, dingin."Siapa dia, Sayang?" tanya Arthur pada Anna. "Sayang?!" Keinz memekik dan melangkah mendekati Anna. Namun tentu saja Arthur lebih dulu menarik cepat pinggang Anna untuk merapat padanya. "Saya suaminya Anna, kau siapa?!" seru Arthur dengan wajah sombong, andalannya. Keinz seolah tak percaya. Tapi Anna memeluk tubuh Arthur dan mendongak menatap sang suami."Dia mantan kekasihku. Gara-gara dia aku terjebak dengan seorang laki-laki," ujar Anna kacau. Seringai muncul di bibir Arthur, karena laki-laki di depannya ini ia bisa bertemu dengan Anna. Dan menjadikan wanita ini miliknya seutuhnya. Tanpa Anna duga-duga, Arthur kini berjalan mendekati Keinz yang diam menatapnya waspada. Sampai akhirnya Arthur mengulurkan tangannya di hadapan Keinz dengan wajah santai. "Apa maksudmu
Sebenarnya Anna khawatir saat Arthur mengajaknya pulang, dia takut kalau Mama dari suaminya itu masih di rumah, tapi ternyata tidak, wanita itu sudah pulang. Bulu kudu Anna merinding saat Arthur membuka pintu rumahnya. Telapak tangannya mencengkram erat pergelangan tangan Arthur. "Mama sudah kembali, jangan takut." Arthur memahami perasaan Anna. "Ka-kau tidak mengusirnya, kan?" "Menurutmu?" Laki-laki itu membalikkan badannya dan menjadi sepenuhnya menatap Anna yang berdiri di tengah-tengah ruang tamu rumahnya. "Bukannya aku sudah berjanji padamu kalau aku akan menyingkirkan segala sesuatu yang membuatmu tidak nyaman, bukan?" Kan, Anna sudah menebak Arthur pasti mengusir Mamanya hanya demi Anna. Apakah ini cintanya atau sekedar perasaan peduli saja?"Ayo ke kamar, istirahat dulu." "Kau tidak sibuk? Boleh aku minta tamani sebentar saja?" pinta Anna seraya menggenggam tangan Arthur berjalan ke lantai dua. "Heem, tentu saja boleh." Arthur mengikuti Anna berjalan masuk ke dalam kam
"Anna~" Arthur menggenggam erat telapak tangan Anna saat dokter mengobatinya. Dia tidak mau keluar saat dokter memintanya meninggalkan ruangan pemeriksaan. Istrinya pingsan dan napasnya sesak, belum lagi tamparan keras Caisan hingga tak hanya membuat wajah Anna memar, tapi juga keluar darah dari hidungnya. "Bagaimana dengan Istriku? Apa sangat parah?" tanya Arthur menatap dokter laki-laki yang baru saja selesai memeriksa Anna. "Tidak Tuan, tapi mungkin pasien akan mengalami trauma. Untuk kedepannya kami masih terus memantau," jelas dokter itu pada Arthur. Anggukan Arthur berikan, dokter pun gegas keluar dari dalam ruangan kamar inap itu. Rasa marah masih menggelayuti Arthur, tak terima dan ingin menghabisi siapapun yang menyentuh Anna. "Si brengsek itu tidak pantas kau panggil Papa, Anna," bisik Arthur mengusap pipi Anna yang memar parah. "Dia hanya pecundang yang tidak tahu malu!" Memar membiru di wajah Anna membuat Arthur ingin rasanya menghajar dan menghabisi Caisan saat in
"Aku harus pulang, aku tidak punya tujuan ke mana-mana lagi." Anna berucap gelisah seraya menyandarkan kepalanya di sandaran bangku bus. Terpaksa Anna pulang ke rumahnya menggunakan bus, dia hanya mempunyai sedikit uang, dan Anna kabur dari Arthur. Sepanjang perjalanan dia hanya terus memikirkan untuk membujuk Papanya agar Anna diizinkan tinggal di sana beberapa hari saja, setidaknya setelah Letta pergi. "Permisi Nona, bus sudah berhenti di tempat yang Nona tuju," ujar sang sopir bus yang duduk di samping Anna. "Oh, ya ampun, iya Pak," jawab Anna terburu-buru. Perlahan Anna menuruni tangga bus dan kakinya kini menapaki trotoar jalanan yang berada tak jauh dari rumahnya. Langit pun gerimis menambah rasa sedih di harti Anna kian Demak terasa. Butuh lima menit Anna sampai di rumahnya dan gadis itu juga langsung masuk ke pekarangan ruang mengah milik kedua orang tuanya. "Loh Nona Anna," sapa penjaga membuka gerbang pintu cepat-cepat. "Pak, apa Mama ada?" tanya Anna pada laki-laki
Kedatangan Letta, Mama Arthur membuat Anna merasa tidak nyaman sama sekali. Wanita itu kini duduk di ruang makan sembari menyeduh secangkir teh. Sejak tadi dia menunggu Anna karena penasaran seperti apa yang bernama Anna, dan kini gadis itu sudah muncul, turun ke lantai satu berjalan ke arahnya. "Sayang, itu Mamaku," ujar Arthur yang menemani Anna dan merangkulnya. Anna tertunduk dan tetap berjalan mendekat. Sedangkan Letta langsung bangkit dari duduknya. "Wow, ini yang namanya Anna? Menantu Mama?" tanya wanita itu dengan nada ramahnya. "Cantik sekali, Arthur!" Deg...Anna langsung mengangkat wajahnya menatap wanita itu. Sulit dipercaya jika Letta menyapa dengan gaya seolah-olah dia menyukai Anna. "Pantas saja kau meninggalkan Sonya, kalau Anna ternyata secantik ini," ujar Letta."Terima kasih, Nyonya," balas Anna tertunduk. "Nyonya? Astaga... Nak, aku ini Mama mertuamu," seru wanita itu terkekeh. Arthur hanya diam, ia tidak tahu ini sungguhan atau sebuah sandiwara yang memang
Anna diam termenung setelah mendengar permintaan suaminya tadi. Hal yang cukup mengusik ketenangan Anna, kenapa Arthur melarangnya untuk mengatakan pada siapapun kalau dia hamil, padahal Anna memang benar-benar sedang mengandung. Anna menyandarkan punggungnya di papan ranjang, kedua matanya mengerjap gelisah. "Kenapa?" lirih Anna memeluk kedua lututnya. Muncul Arthur membuka pintu ruang ganti, laki-laki itu berjalan mendekatinya dan bergabung dengannya duduk di atas ranjang. "Cepat tidur, ini sudah malam," ujar Arthur mengulurkan tangannya dan mengajak Anna berbaring. "Aku belum mengantuk," jawab Anna, gadis itu menyibak selimutnya dan turun dari atas ranjang. "Mau ke mana?" Langkah Anna terhenti, wajahnya sangat muram. Paham bagi Arthur mengetahui kalau istrinya sedang diliputi rasa gelisah dan resah. "Aku ingin tidur sendiri," jawab Anna meraih boneka miliknya dan berjalan keluar dari dalam kamar. Arthur mengusap wajahnya, laki-laki itu bergeming menyergah napas panjang. "
Arthur menatap bosan pada tumpukan berkas di atas meja kerjanya. Tidak sekali ia mengumpat pada pekerjaan yang tidak ada usainya. Bahkan dari pagi hingga siang ini tak ada istirahatnya namun juga tak kunjung rampung. "Hufftt... Kapan ini akan selesai?" gumam laki-laki itu frustrasi. Seorang laki-laki dengan stelan tuxedo abu-abu menatapnya, ia menurunkan kaca tipis berwarna emas yang membingkai mata bermanik hazel miliknya. "Apa Tuan ada urusan lain di luar?" tanya Reko, ia bangkit dan mengambil setengah dari berkas yang menumpuk di meja Arthur. "Tidak." Arthur menjawabnya tak acuh. Reko pun mengangguk pelan, sampai pintu ruangannya terbuka. Tanpa sopan santun seorang wanita berdiri di sana. Kembali Arthur menyergah napasnya panjang. Ia menatap lekat wanita itu. "Keluarlah, Reko!" perintah Arthur. "Baik Tuan." Reko keluar dari dalam ruangan itu, menyisakan Arthur yang seorang wanita cantik berambut sepunggung dengan stelan mini dress putihnya. Sudut bibir Arthur menyungging
Saat Anna bangun dari tidurnya, gadis itu tidak mendapati Arthur di sampingnya. Anna benci situasi di mana ia selalu ingin ditemani oleh laki-laki itu. Bahkan saat Anna merasa kesepian, ia ingin mencari Arthur dan mengajaknya duduk berdua dengannya. "Aku benci saat-saat ini," gumam Anna menundukkan kepalanya lesu. Telapak tangannya mencengkram perut. "Kenapa kau juga menyukaiku Papa sambungmu itu? Padahal dia terlihat tidak tulus pada Mamamu ini." Dengan wajah sebal, Anna menyibak selimutnya dan gegas turun dari atas ranjang. Gadis itu melangkah ke kamar mandi dan mencuci wajahnya. Anna keluar dari dalam kamar, di depan pintu kamarnya sudah ada Meli, sang pelayan setia yang menunggunya. "Selamat pagi Nyonya Anna," sapa Meli tersenyum manis pada Anna. "Pagi juga, Pelayan Meli," balas Anna dengan sama tersenyumnya. "Oh ya, di mana Arthur?" "Tuan ada di teras paviliun depan. Tuan sedang menemui tamunya, apa Nyonya mau saya antarkan ke sana?" tawar Meli pada Anna.Anna menggelengk