Sejak pagi, Anna sibuk berjalan-jalan dan bersenang-senang bersama Arthur. Sang suami mengenalkan ruangan-ruangan megah dan tempat indah di kediamannya. Tapi sore ini Anna merasa tidak nyaman dengan tubuhnya, terutama pada perutnya yang terasa nyeri dan sakit.
Anna berdecak berulang kali dan tetap kelimpungan di atas ranjang."A-apa yang terjadi? Kenapa perutku terasa tidak nyaman? Apa aku salah makan?"Perlahan-lahan Anna turun dari atas ranjang. Gadis itu melangkah ke lantai satu terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya."Arthur, di mana dia?" Anna menatap semua penjuru rumah.Sampai akhirnya Anna melihat pintu ruangan kerja Arthur yang terbuka, Anna pun melangkah mendekati pintu ruangan itu hingga ia mampu mendengar suara seseorang marah-marah dalam telepon yang tengah berbicara dengan suaminya."Apa-apaan kau Arthur! Bisa-bisanya kau menikah tanpa sepengetahuan Mama dan Papa?! Wanita mana yang kau nikahi, Arthur!"Suara teriakan dari sambungan telepon itu membuat Arthur menjauhkan ponselnya di tangannya dan laki-laki itu menyergah napasnya panjang.Dua hal yang Arthur tak sukai di dunia ini, selain diganggu, dia paling benci dicereweti oleh siapapun, kecuali Anna."Arthur! Jawab pertanyaan Mama!" teriak wanita itu dibalik panggilan yang sedang berlangsung."Apa Ma? Memangnya apa pentingnya?" jawab Arthur dengan santai."Siapa wanita yang kau nikahi?! Kau gila hah?! Kau sudah punya Sonya sebagai calon istrimu, Arthur!" teriak Mamanya lagi."Sonya?" Arthur tersenyum tipis mengingat gadis itu. "Dia bisa menjadi istri keduaku kalau Mama mau.""Kau memang sudah gila, Arthur!"Arthur mengusap telinganya, dia meletakkan kembali ponselnya dan sudah merasa jengah mendengar Mamanya berteriak di telepon.Tanpa Arthur ketahui, di balik dinding pintu ruangan kerjanya, Anna berdiri di sana. Gadis itu baru saja hendak meminta bantuan Arthur untuk mengantarkannya ke rumah sakit.Anna terdiam di tempat meremas perutnya sendiri.'Laki-laki itu bahkan sudah mempunyai calon dan akan menjadikan calonnya Istri kedua? A-atau setelah anak ini lahir dan dia menceraikan aku? Membawa anakku, membesarkannya dengan wanita lain? Mengapa?'Dada Anna terasa sesak dan bagai dipenuhi oleh duri yang bersamaan menusuk uluh hatinya tanpa ampun.'Aku yang salah di sini, kenapa aku pula yang merasa menjadi orang yang tersakiti? Kenapa aku menyerahkan anak ini?'Kepala gadis itu tertunduk dan dia menangis tetap menahan rasa nyeri teramat di perutnya hingga tiba-tiba tubuh Anna ambruk di tempat dan tangannya tanpa sengaja menjatuhkan sebuah vas bunga keramik.Arthur yang mendengar sesuatu pun langsung beranjak dari duduknya."Suara berisik apa lagi?!" geramnya.Pria itu keluar dari dalam ruangan kerjanya, kedua matanya terbeliak melihat Anna yang tergeletak di lantai."Anna!" pekik Arthur mendekatinya.Dalam dekapan Arthur napas Anna terasa begitu berat. Tubuhnya yang terasa dingin, Arthur menepuk pipi istrinya beberapa kali."Anna, apa yang terjadi? Anna bangun! Anna..!"Tidak ada gunanya, Anna hanya bisa membuka sedikit kedua matanya tanpa bergerak sama sekali.Kedua mata itu basah, Anna menangis. Arthur memeluknya dan mengangkat tubuh Anna membawanya pergi ke rumah sakit seketika.**'Tidak seharusnya dia berteriak dan memasang wajah cemas saat aku pingsan. Wajah khawatirnya membuat aku muak dengan pria ini.'Anna membatin, ia menatap jendela kamar rumah sakit di mana dia dirawat saat ini. Anna meremas perutnya yang tidak lagi sakit.Hingga pintu ruangan itu terbuka dan muncul Arthur menatap Anna lekat-lekat sebelum dia mendekat."Kau sudah baikan?" tanya pria itu hendak mengusap lembut pipi Anna.Tangan Anna dengan tidak sopan menepis telapak tangan Arthur dengan kasar.Sama sekali dia tidak menatap wajah suaminya, meskipun hanya istri sepuluh bulan, tapi Anna juga tidak mau diperlakukan dengan semena-mena, istri penebus hutang, wanita sementara, dan Anna memberikan segalanya untuk Arthur, kenapa? Kenapa harus Anna?"Anna..." Arthur menyentuh pipi Anna yang basah karena gadis itu menangis.Kedua telapak tangan Anna mencengkeram erat selimut putih yang menutupi kakinya. Dia tertunduk menangis."Harusnya kau bisa menyita rumahku kalau kau memang ingin hutang Ayahku lunas padamu, Arthur. Atau kau bisa mengambil perusahaan Papaku, tanpa menjadikan aku mainanmu seperti ini."Benar, Arthur sudah menduga. Anna pasti mendengar obrolannya dengan sang Mama."Tapi aku menginginkanmu, Anna. aku menginginkanmu menjadi istriku.""Tidak, kau hanya menginginkan anak ini dan kau... Kau sudah punya wanita lain yang akan kau nikahi, lalu kenapa kau tidak mengambil harta Papaku dan membiarkan aku-""Membiarkanmu dipukuli Papamu? Dalam keadaan hamil? Hamil anakku!" seru laki-laki itu mencekal erat kedua pundak Anna.Mata indah Anna kian berkaca-kaca, Anna tidak tuli untuk mendengar apa kata terakhir yang Arthur ucapakan barusan."A-anakmu?" cicit Anna menggeleng-gelengkan kepalanya.Gadis itu memeluk selimutnya dan memalingkan wajahnya dari Arthur."Ini anakku, sampai kapanpun akan menjadi anakku," lirihnya, tubuh Anna merosot dan ia kembali berbaring meringkuk memunggungi Arthur. Menangis seperti dipukuli.Arthur merasa sangat bersalah, sangat amat bersalah. Anna merasa tersakiti dengan kontrak pernikahan itu?Berdetik-detik lamanya ia memandangi Anna yang puas menangis sebelum Arthur memeluknya dari belakang dan mengecup pucuk kepala gadis itu."Tenanglah, dia anak kita, Anna.""Kau sangat jahat!""Tidak, aku tidak sejahat seperti yang kau pikirkan.""Ceraikan aku sekarang juga! Ambil semua harta Papaku dan biarkan aku pergi!""Aku tidak membiarkan milikku pergi dariku dengan mudahnya, Istriku," bisik Arthur semakin erat dia memeluk tubuh Anna.Tangisan Anna perlahan tenang, Arthur mengusap rambut panjang istrinya dengan sangat lembut.Ia tahu Anna pasti patah hati, entah cemburu atau marah, pasti Anna tidak suka saat mendengar Arthur sudah memiliki calon istri dan anak menikahinya juga."Arthur...""Tidak, aku tidak akan menduakanmu," bisik Arthur meletakkan dagunya di pundak Anna.Anna membalikkan badannya dan memeluk leher laki-laki itu. Setelah seharian Anna merasa senang karena Arthur mengajaknya berbincang, jalan-jalan di sekitar rumahnya, tapi kenapa obrolan Arthur dan Mamanya membuat Anna marah.Arthur menepuk punggung gadis itu dengan lembut."Istirahatlah, aku tidak akan pergi ke mana-mana.""Perutku sakit," cicit gadis itu."Kau kelelahan, pikiranmu terus buruk, Sayang," bisik Arthur.Untuk kali pertama dengan ucapan serius dan lembut dia memanggil Anna dengan sebutan Sayang. Anna menyukainya, tapi Anna marah."Istirahatlah," ucap Arthur mengecup kening Anna dan menggenggam satu tangannya.Anna memejamkan kedua matanya, dia meringkuk seperti anak kecil keinginan. Menatap wajah Anna membuat Arthur merasa seperti dikutuk.Harusnya tidak ada kontrak menikah, harusnya ia tidak bicara aneh-aneh, harusnya Arthur selalu menjadikan Anna sebagai tujuannya, harusnya Arthur mengaku kalau malam itu, dialah yang tidur bersama Anna.Arthur meletakkan kepalanya di tepi ranjang di samping Anna.'Apa yang sudah aku layak? Kenapa saat dia sakit baru aku merasa bersalah?' batinnya berteriak marah dan memberontak.Hingga tiba-tiba telapak tangan lembut menyentuh pipi Arthur. Anna mengusapnya pelan."Jangan pergi, Arthur..."Saat keadaan sudah membaik, Anna pun terbangun dari tidurnya. Gadis itu terdiam menatap Arthur yang tertidur dengan posisi duduk dan bersedekap. Menatap wajah suaminya, Anna tidak mengerti kenapa laki-laki ini seolah dia kadang terlihat tega pada Anna, tapi sosoknya yang asli begitu cemas dan berteriak kepanikan kalau hal buruk terjadi pada Anna, siapa sebenarnya sosok Arthur ini?"Arthur," lirih Anna, ia mengulurkan tangannya dan hendak menyentuh wajah laki-laki itu. Ya, saat ini Anna bisa menyebut kalau Arthur, adalah lelakinya. Pergerakan tangan Anna terhenti saat ujung jemarinya menyentuh rahang laki-laki itu dengan sangat lembut. "Ada apa, Istriku?" Arthur meraih tangan Anna dan menggenggamnya. Anna sedikit terkejut begitu Arthur langsung meresponnya dengan cepat. "Emm, kau tidak tidur?" tanya gadis itu. Arthur terkekeh pelan dan menggelengkan kepalanya masih dengan kedua mata terpejam. "Aku takut kau pergi," jawabnya begitu tak masuk akal. Barulah Arthur mengembuskan na
"Bisakah kau tidak menemui dan muncul lagi di hadapan Anna?!" Arthur mengatakan hal mengejutkan itu pada Caisan, Papa kandung Anna yang kini berdiri di hadapannya, di luar ruangan Anna di rawat di rumah sakit.Wajah Caisan sedikit terkejut dengan apa yang Arthur katakan barusan, laki-laki itu terlalu membutuhkan Arthur hingga dia mengangguk dan tertawa renyah. "Ya, tentu saja kalau itu yang kau mau. Aku tidak akan datang lagi menemui Anna. Tapi Arthur, kalau bisa kau harus memaksa anak itu untuk makan dan melakukan hal yang baik untuk bayinya, agar anak kalian sehat-sehat nantinya," seru Caisan dengan tampang yang tak berdosa. Arthur tersenyum tipis. "Bukannya kau menyebut anak itu, anak haram?" tanya Arthur lagi.Arthur tidak punya pertimbangan apapun pada laki-laki tua menyedihkan di depannya ini. Ia juga tidak menimbang-nimbang rasa sungkan untuk memanggilnya dengan sebutan Papa mertua. Laki-laki itu terlalu jahat untuk Anna hingga tidak akan pantas disebut Papa. "Arthur, aku
Setelah beberapa hari sudah membaik kondisinya, Anna terbiasa tinggal bersama dengan Arthur sebagai seorang suami. Bahkan di sela kesibukan seorang Arthur, Anna tahu setiap malamnya suaminya selalu menyempatkan menatap wajahnya dan mengecup kening Anna seolah-olah dia benar-benar mencintai Anna. Seperti saat ini contohnya. Arthur mengusap pipi gembil Anna saat istrinya itu belum bangun, tapi Anna hanya pura-pura. "Tertidur pun kau tetap sangat cantik, Istriku," bisik Arthur mengecup lagi pipi hingga dagu Anna. Sudut bibir gadis itu berkedut, dia ingin tersenyum. Melihatnya, Arthur menarik gemas hidung gadis itu. "Aku tahu kau hanya pura-pura," ujar laki-laki itu. "Aku masih mengantuk, kau jangan menggangguku," seru Anna cemberut menatap suaminya. "Ya, tidurlah lagi." "Sudah tidak bisa! Kau mengangguku terus sampai mengantukku hilang, aku tidak akan bisa tidur pulas lagi!" seru Anna dengan wajah muram, masam, dan kesal. Arthur mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala istrin
Menyelidiki suami sendiri adalah kegiatan yang melelahkan, apalagi Arthur seperti sedang mempermainkannya. Anna kelelahan seharian berpikir keras memikirkan Arthur, hingga kini wanita itu tertidur pulas di sofa yang ada di balkon kamar dengan posisi terduduk. "Anna!" Suara Arthur terdengar, laki-laki itu membuka pintu kamarnya dan kosong, dia tidak menemukan istrinya. Arthur berdecak. "Ke mana dia? Apa dia mengeliling mansion lagi?" gumam Arthur. Sampai tiba akhirnya perhatian Arthur teralihkan saat melihat pintu balkon terbuka, ia berjalan keluar dan melihat Anna tertidur memeluk bantal dengan posisi terduduk. "Astaga, apa yang dia lakukan?" lirih Arthur mendekati Anna. Menatap wajahnya dari dekat, degup jantung Arthur berpacu. Bibir tipis, dagu mungil dan kulit putih bening, Arthur merasakan kesempurnaan yang Anna miliki adalah hadiah dari Tuhan untuknya. Perlahan-lahan Arthur mengangkat tubuh mungil Anna, dibawanya masuk ke dalam kamar dan ia rebahkan di atas ranjang kamarny
Anna terkejut melihat kekasih sekaligus calon istri Arthur yang datang ke rumahnya. Wanita itu sangat-sangat marah dan memaki Anna yang berdiri dalam perlindungan Arthur. "Aku berjuang banyak untuk laki-laki brengsek sepertimu, Arthur!" teriak Sonya melemparkan vas bunga ke depan Arthur dan Anna. "Semua keperluan pernikahan kita sudah aku siapkan!" Sonya menangis menggeru-geru, dengan wajah kacau. Anna yang melihat wanita itu, ia tahu bagaimana posisi menjadi Sonya, pasti juga sangat menyakitkan. Tapi pernikahan ini bukan sepenuhnya kemauan Anna, justru Arthur yang memang menginginkannya. "Berhenti bersikap seolah-olah kau adalah orang yang paling tersakiti di sini, Sonya," ucap Arthur dengan nada dingin. Tangisan Sonya langsung terhenti. "Apa maksudmu?" Wanita itu berdiri, dia melangkah mendekat hingga kini berdiri di hadapan Anna dengan air matanya yang menetes membasahi pipi mulusnya. "Dibayar berapa kau dengan calon suamiku sampai kau mau dinikahi laki-laki yang satu bulan
Saat Anna bangun dari tidurnya, gadis itu tidak mendapati Arthur di sampingnya. Anna benci situasi di mana ia selalu ingin ditemani oleh laki-laki itu. Bahkan saat Anna merasa kesepian, ia ingin mencari Arthur dan mengajaknya duduk berdua dengannya. "Aku benci saat-saat ini," gumam Anna menundukkan kepalanya lesu. Telapak tangannya mencengkram perut. "Kenapa kau juga menyukaiku Papa sambungmu itu? Padahal dia terlihat tidak tulus pada Mamamu ini." Dengan wajah sebal, Anna menyibak selimutnya dan gegas turun dari atas ranjang. Gadis itu melangkah ke kamar mandi dan mencuci wajahnya. Anna keluar dari dalam kamar, di depan pintu kamarnya sudah ada Meli, sang pelayan setia yang menunggunya. "Selamat pagi Nyonya Anna," sapa Meli tersenyum manis pada Anna. "Pagi juga, Pelayan Meli," balas Anna dengan sama tersenyumnya. "Oh ya, di mana Arthur?" "Tuan ada di teras paviliun depan. Tuan sedang menemui tamunya, apa Nyonya mau saya antarkan ke sana?" tawar Meli pada Anna.Anna menggelengk
Arthur menatap bosan pada tumpukan berkas di atas meja kerjanya. Tidak sekali ia mengumpat pada pekerjaan yang tidak ada usainya. Bahkan dari pagi hingga siang ini tak ada istirahatnya namun juga tak kunjung rampung. "Hufftt... Kapan ini akan selesai?" gumam laki-laki itu frustrasi. Seorang laki-laki dengan stelan tuxedo abu-abu menatapnya, ia menurunkan kaca tipis berwarna emas yang membingkai mata bermanik hazel miliknya. "Apa Tuan ada urusan lain di luar?" tanya Reko, ia bangkit dan mengambil setengah dari berkas yang menumpuk di meja Arthur. "Tidak." Arthur menjawabnya tak acuh. Reko pun mengangguk pelan, sampai pintu ruangannya terbuka. Tanpa sopan santun seorang wanita berdiri di sana. Kembali Arthur menyergah napasnya panjang. Ia menatap lekat wanita itu. "Keluarlah, Reko!" perintah Arthur. "Baik Tuan." Reko keluar dari dalam ruangan itu, menyisakan Arthur yang seorang wanita cantik berambut sepunggung dengan stelan mini dress putihnya. Sudut bibir Arthur menyungging
Anna diam termenung setelah mendengar permintaan suaminya tadi. Hal yang cukup mengusik ketenangan Anna, kenapa Arthur melarangnya untuk mengatakan pada siapapun kalau dia hamil, padahal Anna memang benar-benar sedang mengandung. Anna menyandarkan punggungnya di papan ranjang, kedua matanya mengerjap gelisah. "Kenapa?" lirih Anna memeluk kedua lututnya. Muncul Arthur membuka pintu ruang ganti, laki-laki itu berjalan mendekatinya dan bergabung dengannya duduk di atas ranjang. "Cepat tidur, ini sudah malam," ujar Arthur mengulurkan tangannya dan mengajak Anna berbaring. "Aku belum mengantuk," jawab Anna, gadis itu menyibak selimutnya dan turun dari atas ranjang. "Mau ke mana?" Langkah Anna terhenti, wajahnya sangat muram. Paham bagi Arthur mengetahui kalau istrinya sedang diliputi rasa gelisah dan resah. "Aku ingin tidur sendiri," jawab Anna meraih boneka miliknya dan berjalan keluar dari dalam kamar. Arthur mengusap wajahnya, laki-laki itu bergeming menyergah napas panjang. "
"Ya, aku akan membakar kertas sialan ini!" Arthur menundukkan berkas itu di hadapan Anna dan merobek-robeknya dengan wajah dipenuhi amarah dan kekesalan. Wajah Anna menjadi teduh, wanita itu melangkah mendekati Arthur dan mencekal kedua tangannya. "Sudah Arthur, apa yang kau lakukan!" "Kau akan pergi kan, setelah anak itu lahir dan kau berikan padaku?" tanya Arthur dengan wajah dinginnya. "Bukannya itu yang kau minta?" tanya Anna memasang ekspresi serba salah. Arthur tertawa sumbang, dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali merobek berkas tersisa di tangannya. "Persetan dengan berkas ini, Anna!" pekiknya kesal. "Dengar, kau tidak boleh pergi dari sisiku!" Tatapan mata Anna begitu asing menatap sosok suaminya. Apa ini Arthur yang selama ini Anna kenali? Kenapa berbeda? Apa dia mabuk?Perlahan Anna mendekatinya, kedua tangannya terangkat dia berjinjit menangkup kedua pipi suaminya yang tengah emosi. "Ada apa denganmu? Kau tidak seperti Arthur yang aku kenal," ujar Anna p
"K-Keinz, kau..!" Anna memasang wajah marah, dia langsung memeluk lengan Arthur dengan kencang. Tatapan mata laki-laki berambut hitam itu tertuju pada Arthur yang berdiri menatapnya dengan tatapan datar, dingin."Siapa dia, Sayang?" tanya Arthur pada Anna. "Sayang?!" Keinz memekik dan melangkah mendekati Anna. Namun tentu saja Arthur lebih dulu menarik cepat pinggang Anna untuk merapat padanya. "Saya suaminya Anna, kau siapa?!" seru Arthur dengan wajah sombong, andalannya. Keinz seolah tak percaya. Tapi Anna memeluk tubuh Arthur dan mendongak menatap sang suami."Dia mantan kekasihku. Gara-gara dia aku terjebak dengan seorang laki-laki," ujar Anna kacau. Seringai muncul di bibir Arthur, karena laki-laki di depannya ini ia bisa bertemu dengan Anna. Dan menjadikan wanita ini miliknya seutuhnya. Tanpa Anna duga-duga, Arthur kini berjalan mendekati Keinz yang diam menatapnya waspada. Sampai akhirnya Arthur mengulurkan tangannya di hadapan Keinz dengan wajah santai. "Apa maksudmu
Sebenarnya Anna khawatir saat Arthur mengajaknya pulang, dia takut kalau Mama dari suaminya itu masih di rumah, tapi ternyata tidak, wanita itu sudah pulang. Bulu kudu Anna merinding saat Arthur membuka pintu rumahnya. Telapak tangannya mencengkram erat pergelangan tangan Arthur. "Mama sudah kembali, jangan takut." Arthur memahami perasaan Anna. "Ka-kau tidak mengusirnya, kan?" "Menurutmu?" Laki-laki itu membalikkan badannya dan menjadi sepenuhnya menatap Anna yang berdiri di tengah-tengah ruang tamu rumahnya. "Bukannya aku sudah berjanji padamu kalau aku akan menyingkirkan segala sesuatu yang membuatmu tidak nyaman, bukan?" Kan, Anna sudah menebak Arthur pasti mengusir Mamanya hanya demi Anna. Apakah ini cintanya atau sekedar perasaan peduli saja?"Ayo ke kamar, istirahat dulu." "Kau tidak sibuk? Boleh aku minta tamani sebentar saja?" pinta Anna seraya menggenggam tangan Arthur berjalan ke lantai dua. "Heem, tentu saja boleh." Arthur mengikuti Anna berjalan masuk ke dalam kam
"Anna~" Arthur menggenggam erat telapak tangan Anna saat dokter mengobatinya. Dia tidak mau keluar saat dokter memintanya meninggalkan ruangan pemeriksaan. Istrinya pingsan dan napasnya sesak, belum lagi tamparan keras Caisan hingga tak hanya membuat wajah Anna memar, tapi juga keluar darah dari hidungnya. "Bagaimana dengan Istriku? Apa sangat parah?" tanya Arthur menatap dokter laki-laki yang baru saja selesai memeriksa Anna. "Tidak Tuan, tapi mungkin pasien akan mengalami trauma. Untuk kedepannya kami masih terus memantau," jelas dokter itu pada Arthur. Anggukan Arthur berikan, dokter pun gegas keluar dari dalam ruangan kamar inap itu. Rasa marah masih menggelayuti Arthur, tak terima dan ingin menghabisi siapapun yang menyentuh Anna. "Si brengsek itu tidak pantas kau panggil Papa, Anna," bisik Arthur mengusap pipi Anna yang memar parah. "Dia hanya pecundang yang tidak tahu malu!" Memar membiru di wajah Anna membuat Arthur ingin rasanya menghajar dan menghabisi Caisan saat in
"Aku harus pulang, aku tidak punya tujuan ke mana-mana lagi." Anna berucap gelisah seraya menyandarkan kepalanya di sandaran bangku bus. Terpaksa Anna pulang ke rumahnya menggunakan bus, dia hanya mempunyai sedikit uang, dan Anna kabur dari Arthur. Sepanjang perjalanan dia hanya terus memikirkan untuk membujuk Papanya agar Anna diizinkan tinggal di sana beberapa hari saja, setidaknya setelah Letta pergi. "Permisi Nona, bus sudah berhenti di tempat yang Nona tuju," ujar sang sopir bus yang duduk di samping Anna. "Oh, ya ampun, iya Pak," jawab Anna terburu-buru. Perlahan Anna menuruni tangga bus dan kakinya kini menapaki trotoar jalanan yang berada tak jauh dari rumahnya. Langit pun gerimis menambah rasa sedih di harti Anna kian Demak terasa. Butuh lima menit Anna sampai di rumahnya dan gadis itu juga langsung masuk ke pekarangan ruang mengah milik kedua orang tuanya. "Loh Nona Anna," sapa penjaga membuka gerbang pintu cepat-cepat. "Pak, apa Mama ada?" tanya Anna pada laki-laki
Kedatangan Letta, Mama Arthur membuat Anna merasa tidak nyaman sama sekali. Wanita itu kini duduk di ruang makan sembari menyeduh secangkir teh. Sejak tadi dia menunggu Anna karena penasaran seperti apa yang bernama Anna, dan kini gadis itu sudah muncul, turun ke lantai satu berjalan ke arahnya. "Sayang, itu Mamaku," ujar Arthur yang menemani Anna dan merangkulnya. Anna tertunduk dan tetap berjalan mendekat. Sedangkan Letta langsung bangkit dari duduknya. "Wow, ini yang namanya Anna? Menantu Mama?" tanya wanita itu dengan nada ramahnya. "Cantik sekali, Arthur!" Deg...Anna langsung mengangkat wajahnya menatap wanita itu. Sulit dipercaya jika Letta menyapa dengan gaya seolah-olah dia menyukai Anna. "Pantas saja kau meninggalkan Sonya, kalau Anna ternyata secantik ini," ujar Letta."Terima kasih, Nyonya," balas Anna tertunduk. "Nyonya? Astaga... Nak, aku ini Mama mertuamu," seru wanita itu terkekeh. Arthur hanya diam, ia tidak tahu ini sungguhan atau sebuah sandiwara yang memang
Anna diam termenung setelah mendengar permintaan suaminya tadi. Hal yang cukup mengusik ketenangan Anna, kenapa Arthur melarangnya untuk mengatakan pada siapapun kalau dia hamil, padahal Anna memang benar-benar sedang mengandung. Anna menyandarkan punggungnya di papan ranjang, kedua matanya mengerjap gelisah. "Kenapa?" lirih Anna memeluk kedua lututnya. Muncul Arthur membuka pintu ruang ganti, laki-laki itu berjalan mendekatinya dan bergabung dengannya duduk di atas ranjang. "Cepat tidur, ini sudah malam," ujar Arthur mengulurkan tangannya dan mengajak Anna berbaring. "Aku belum mengantuk," jawab Anna, gadis itu menyibak selimutnya dan turun dari atas ranjang. "Mau ke mana?" Langkah Anna terhenti, wajahnya sangat muram. Paham bagi Arthur mengetahui kalau istrinya sedang diliputi rasa gelisah dan resah. "Aku ingin tidur sendiri," jawab Anna meraih boneka miliknya dan berjalan keluar dari dalam kamar. Arthur mengusap wajahnya, laki-laki itu bergeming menyergah napas panjang. "
Arthur menatap bosan pada tumpukan berkas di atas meja kerjanya. Tidak sekali ia mengumpat pada pekerjaan yang tidak ada usainya. Bahkan dari pagi hingga siang ini tak ada istirahatnya namun juga tak kunjung rampung. "Hufftt... Kapan ini akan selesai?" gumam laki-laki itu frustrasi. Seorang laki-laki dengan stelan tuxedo abu-abu menatapnya, ia menurunkan kaca tipis berwarna emas yang membingkai mata bermanik hazel miliknya. "Apa Tuan ada urusan lain di luar?" tanya Reko, ia bangkit dan mengambil setengah dari berkas yang menumpuk di meja Arthur. "Tidak." Arthur menjawabnya tak acuh. Reko pun mengangguk pelan, sampai pintu ruangannya terbuka. Tanpa sopan santun seorang wanita berdiri di sana. Kembali Arthur menyergah napasnya panjang. Ia menatap lekat wanita itu. "Keluarlah, Reko!" perintah Arthur. "Baik Tuan." Reko keluar dari dalam ruangan itu, menyisakan Arthur yang seorang wanita cantik berambut sepunggung dengan stelan mini dress putihnya. Sudut bibir Arthur menyungging
Saat Anna bangun dari tidurnya, gadis itu tidak mendapati Arthur di sampingnya. Anna benci situasi di mana ia selalu ingin ditemani oleh laki-laki itu. Bahkan saat Anna merasa kesepian, ia ingin mencari Arthur dan mengajaknya duduk berdua dengannya. "Aku benci saat-saat ini," gumam Anna menundukkan kepalanya lesu. Telapak tangannya mencengkram perut. "Kenapa kau juga menyukaiku Papa sambungmu itu? Padahal dia terlihat tidak tulus pada Mamamu ini." Dengan wajah sebal, Anna menyibak selimutnya dan gegas turun dari atas ranjang. Gadis itu melangkah ke kamar mandi dan mencuci wajahnya. Anna keluar dari dalam kamar, di depan pintu kamarnya sudah ada Meli, sang pelayan setia yang menunggunya. "Selamat pagi Nyonya Anna," sapa Meli tersenyum manis pada Anna. "Pagi juga, Pelayan Meli," balas Anna dengan sama tersenyumnya. "Oh ya, di mana Arthur?" "Tuan ada di teras paviliun depan. Tuan sedang menemui tamunya, apa Nyonya mau saya antarkan ke sana?" tawar Meli pada Anna.Anna menggelengk