Anna terkejut melihat kekasih sekaligus calon istri Arthur yang datang ke rumahnya. Wanita itu sangat-sangat marah dan memaki Anna yang berdiri dalam perlindungan Arthur. "Aku berjuang banyak untuk laki-laki brengsek sepertimu, Arthur!" teriak Sonya melemparkan vas bunga ke depan Arthur dan Anna. "Semua keperluan pernikahan kita sudah aku siapkan!" Sonya menangis menggeru-geru, dengan wajah kacau. Anna yang melihat wanita itu, ia tahu bagaimana posisi menjadi Sonya, pasti juga sangat menyakitkan. Tapi pernikahan ini bukan sepenuhnya kemauan Anna, justru Arthur yang memang menginginkannya. "Berhenti bersikap seolah-olah kau adalah orang yang paling tersakiti di sini, Sonya," ucap Arthur dengan nada dingin. Tangisan Sonya langsung terhenti. "Apa maksudmu?" Wanita itu berdiri, dia melangkah mendekat hingga kini berdiri di hadapan Anna dengan air matanya yang menetes membasahi pipi mulusnya. "Dibayar berapa kau dengan calon suamiku sampai kau mau dinikahi laki-laki yang satu bulan
Saat Anna bangun dari tidurnya, gadis itu tidak mendapati Arthur di sampingnya. Anna benci situasi di mana ia selalu ingin ditemani oleh laki-laki itu. Bahkan saat Anna merasa kesepian, ia ingin mencari Arthur dan mengajaknya duduk berdua dengannya. "Aku benci saat-saat ini," gumam Anna menundukkan kepalanya lesu. Telapak tangannya mencengkram perut. "Kenapa kau juga menyukaiku Papa sambungmu itu? Padahal dia terlihat tidak tulus pada Mamamu ini." Dengan wajah sebal, Anna menyibak selimutnya dan gegas turun dari atas ranjang. Gadis itu melangkah ke kamar mandi dan mencuci wajahnya. Anna keluar dari dalam kamar, di depan pintu kamarnya sudah ada Meli, sang pelayan setia yang menunggunya. "Selamat pagi Nyonya Anna," sapa Meli tersenyum manis pada Anna. "Pagi juga, Pelayan Meli," balas Anna dengan sama tersenyumnya. "Oh ya, di mana Arthur?" "Tuan ada di teras paviliun depan. Tuan sedang menemui tamunya, apa Nyonya mau saya antarkan ke sana?" tawar Meli pada Anna.Anna menggelengk
Arthur menatap bosan pada tumpukan berkas di atas meja kerjanya. Tidak sekali ia mengumpat pada pekerjaan yang tidak ada usainya. Bahkan dari pagi hingga siang ini tak ada istirahatnya namun juga tak kunjung rampung. "Hufftt... Kapan ini akan selesai?" gumam laki-laki itu frustrasi. Seorang laki-laki dengan stelan tuxedo abu-abu menatapnya, ia menurunkan kaca tipis berwarna emas yang membingkai mata bermanik hazel miliknya. "Apa Tuan ada urusan lain di luar?" tanya Reko, ia bangkit dan mengambil setengah dari berkas yang menumpuk di meja Arthur. "Tidak." Arthur menjawabnya tak acuh. Reko pun mengangguk pelan, sampai pintu ruangannya terbuka. Tanpa sopan santun seorang wanita berdiri di sana. Kembali Arthur menyergah napasnya panjang. Ia menatap lekat wanita itu. "Keluarlah, Reko!" perintah Arthur. "Baik Tuan." Reko keluar dari dalam ruangan itu, menyisakan Arthur yang seorang wanita cantik berambut sepunggung dengan stelan mini dress putihnya. Sudut bibir Arthur menyungging
Anna diam termenung setelah mendengar permintaan suaminya tadi. Hal yang cukup mengusik ketenangan Anna, kenapa Arthur melarangnya untuk mengatakan pada siapapun kalau dia hamil, padahal Anna memang benar-benar sedang mengandung. Anna menyandarkan punggungnya di papan ranjang, kedua matanya mengerjap gelisah. "Kenapa?" lirih Anna memeluk kedua lututnya. Muncul Arthur membuka pintu ruang ganti, laki-laki itu berjalan mendekatinya dan bergabung dengannya duduk di atas ranjang. "Cepat tidur, ini sudah malam," ujar Arthur mengulurkan tangannya dan mengajak Anna berbaring. "Aku belum mengantuk," jawab Anna, gadis itu menyibak selimutnya dan turun dari atas ranjang. "Mau ke mana?" Langkah Anna terhenti, wajahnya sangat muram. Paham bagi Arthur mengetahui kalau istrinya sedang diliputi rasa gelisah dan resah. "Aku ingin tidur sendiri," jawab Anna meraih boneka miliknya dan berjalan keluar dari dalam kamar. Arthur mengusap wajahnya, laki-laki itu bergeming menyergah napas panjang. "
Kedatangan Letta, Mama Arthur membuat Anna merasa tidak nyaman sama sekali. Wanita itu kini duduk di ruang makan sembari menyeduh secangkir teh. Sejak tadi dia menunggu Anna karena penasaran seperti apa yang bernama Anna, dan kini gadis itu sudah muncul, turun ke lantai satu berjalan ke arahnya. "Sayang, itu Mamaku," ujar Arthur yang menemani Anna dan merangkulnya. Anna tertunduk dan tetap berjalan mendekat. Sedangkan Letta langsung bangkit dari duduknya. "Wow, ini yang namanya Anna? Menantu Mama?" tanya wanita itu dengan nada ramahnya. "Cantik sekali, Arthur!" Deg...Anna langsung mengangkat wajahnya menatap wanita itu. Sulit dipercaya jika Letta menyapa dengan gaya seolah-olah dia menyukai Anna. "Pantas saja kau meninggalkan Sonya, kalau Anna ternyata secantik ini," ujar Letta."Terima kasih, Nyonya," balas Anna tertunduk. "Nyonya? Astaga... Nak, aku ini Mama mertuamu," seru wanita itu terkekeh. Arthur hanya diam, ia tidak tahu ini sungguhan atau sebuah sandiwara yang memang
"Aku harus pulang, aku tidak punya tujuan ke mana-mana lagi." Anna berucap gelisah seraya menyandarkan kepalanya di sandaran bangku bus. Terpaksa Anna pulang ke rumahnya menggunakan bus, dia hanya mempunyai sedikit uang, dan Anna kabur dari Arthur. Sepanjang perjalanan dia hanya terus memikirkan untuk membujuk Papanya agar Anna diizinkan tinggal di sana beberapa hari saja, setidaknya setelah Letta pergi. "Permisi Nona, bus sudah berhenti di tempat yang Nona tuju," ujar sang sopir bus yang duduk di samping Anna. "Oh, ya ampun, iya Pak," jawab Anna terburu-buru. Perlahan Anna menuruni tangga bus dan kakinya kini menapaki trotoar jalanan yang berada tak jauh dari rumahnya. Langit pun gerimis menambah rasa sedih di harti Anna kian Demak terasa. Butuh lima menit Anna sampai di rumahnya dan gadis itu juga langsung masuk ke pekarangan ruang mengah milik kedua orang tuanya. "Loh Nona Anna," sapa penjaga membuka gerbang pintu cepat-cepat. "Pak, apa Mama ada?" tanya Anna pada laki-laki
"Anna~" Arthur menggenggam erat telapak tangan Anna saat dokter mengobatinya. Dia tidak mau keluar saat dokter memintanya meninggalkan ruangan pemeriksaan. Istrinya pingsan dan napasnya sesak, belum lagi tamparan keras Caisan hingga tak hanya membuat wajah Anna memar, tapi juga keluar darah dari hidungnya. "Bagaimana dengan Istriku? Apa sangat parah?" tanya Arthur menatap dokter laki-laki yang baru saja selesai memeriksa Anna. "Tidak Tuan, tapi mungkin pasien akan mengalami trauma. Untuk kedepannya kami masih terus memantau," jelas dokter itu pada Arthur. Anggukan Arthur berikan, dokter pun gegas keluar dari dalam ruangan kamar inap itu. Rasa marah masih menggelayuti Arthur, tak terima dan ingin menghabisi siapapun yang menyentuh Anna. "Si brengsek itu tidak pantas kau panggil Papa, Anna," bisik Arthur mengusap pipi Anna yang memar parah. "Dia hanya pecundang yang tidak tahu malu!" Memar membiru di wajah Anna membuat Arthur ingin rasanya menghajar dan menghabisi Caisan saat in
Sebenarnya Anna khawatir saat Arthur mengajaknya pulang, dia takut kalau Mama dari suaminya itu masih di rumah, tapi ternyata tidak, wanita itu sudah pulang. Bulu kudu Anna merinding saat Arthur membuka pintu rumahnya. Telapak tangannya mencengkram erat pergelangan tangan Arthur. "Mama sudah kembali, jangan takut." Arthur memahami perasaan Anna. "Ka-kau tidak mengusirnya, kan?" "Menurutmu?" Laki-laki itu membalikkan badannya dan menjadi sepenuhnya menatap Anna yang berdiri di tengah-tengah ruang tamu rumahnya. "Bukannya aku sudah berjanji padamu kalau aku akan menyingkirkan segala sesuatu yang membuatmu tidak nyaman, bukan?" Kan, Anna sudah menebak Arthur pasti mengusir Mamanya hanya demi Anna. Apakah ini cintanya atau sekedar perasaan peduli saja?"Ayo ke kamar, istirahat dulu." "Kau tidak sibuk? Boleh aku minta tamani sebentar saja?" pinta Anna seraya menggenggam tangan Arthur berjalan ke lantai dua. "Heem, tentu saja boleh." Arthur mengikuti Anna berjalan masuk ke dalam kam
"Ya, aku akan membakar kertas sialan ini!" Arthur menundukkan berkas itu di hadapan Anna dan merobek-robeknya dengan wajah dipenuhi amarah dan kekesalan. Wajah Anna menjadi teduh, wanita itu melangkah mendekati Arthur dan mencekal kedua tangannya. "Sudah Arthur, apa yang kau lakukan!" "Kau akan pergi kan, setelah anak itu lahir dan kau berikan padaku?" tanya Arthur dengan wajah dinginnya. "Bukannya itu yang kau minta?" tanya Anna memasang ekspresi serba salah. Arthur tertawa sumbang, dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali merobek berkas tersisa di tangannya. "Persetan dengan berkas ini, Anna!" pekiknya kesal. "Dengar, kau tidak boleh pergi dari sisiku!" Tatapan mata Anna begitu asing menatap sosok suaminya. Apa ini Arthur yang selama ini Anna kenali? Kenapa berbeda? Apa dia mabuk?Perlahan Anna mendekatinya, kedua tangannya terangkat dia berjinjit menangkup kedua pipi suaminya yang tengah emosi. "Ada apa denganmu? Kau tidak seperti Arthur yang aku kenal," ujar Anna p
"K-Keinz, kau..!" Anna memasang wajah marah, dia langsung memeluk lengan Arthur dengan kencang. Tatapan mata laki-laki berambut hitam itu tertuju pada Arthur yang berdiri menatapnya dengan tatapan datar, dingin."Siapa dia, Sayang?" tanya Arthur pada Anna. "Sayang?!" Keinz memekik dan melangkah mendekati Anna. Namun tentu saja Arthur lebih dulu menarik cepat pinggang Anna untuk merapat padanya. "Saya suaminya Anna, kau siapa?!" seru Arthur dengan wajah sombong, andalannya. Keinz seolah tak percaya. Tapi Anna memeluk tubuh Arthur dan mendongak menatap sang suami."Dia mantan kekasihku. Gara-gara dia aku terjebak dengan seorang laki-laki," ujar Anna kacau. Seringai muncul di bibir Arthur, karena laki-laki di depannya ini ia bisa bertemu dengan Anna. Dan menjadikan wanita ini miliknya seutuhnya. Tanpa Anna duga-duga, Arthur kini berjalan mendekati Keinz yang diam menatapnya waspada. Sampai akhirnya Arthur mengulurkan tangannya di hadapan Keinz dengan wajah santai. "Apa maksudmu
Sebenarnya Anna khawatir saat Arthur mengajaknya pulang, dia takut kalau Mama dari suaminya itu masih di rumah, tapi ternyata tidak, wanita itu sudah pulang. Bulu kudu Anna merinding saat Arthur membuka pintu rumahnya. Telapak tangannya mencengkram erat pergelangan tangan Arthur. "Mama sudah kembali, jangan takut." Arthur memahami perasaan Anna. "Ka-kau tidak mengusirnya, kan?" "Menurutmu?" Laki-laki itu membalikkan badannya dan menjadi sepenuhnya menatap Anna yang berdiri di tengah-tengah ruang tamu rumahnya. "Bukannya aku sudah berjanji padamu kalau aku akan menyingkirkan segala sesuatu yang membuatmu tidak nyaman, bukan?" Kan, Anna sudah menebak Arthur pasti mengusir Mamanya hanya demi Anna. Apakah ini cintanya atau sekedar perasaan peduli saja?"Ayo ke kamar, istirahat dulu." "Kau tidak sibuk? Boleh aku minta tamani sebentar saja?" pinta Anna seraya menggenggam tangan Arthur berjalan ke lantai dua. "Heem, tentu saja boleh." Arthur mengikuti Anna berjalan masuk ke dalam kam
"Anna~" Arthur menggenggam erat telapak tangan Anna saat dokter mengobatinya. Dia tidak mau keluar saat dokter memintanya meninggalkan ruangan pemeriksaan. Istrinya pingsan dan napasnya sesak, belum lagi tamparan keras Caisan hingga tak hanya membuat wajah Anna memar, tapi juga keluar darah dari hidungnya. "Bagaimana dengan Istriku? Apa sangat parah?" tanya Arthur menatap dokter laki-laki yang baru saja selesai memeriksa Anna. "Tidak Tuan, tapi mungkin pasien akan mengalami trauma. Untuk kedepannya kami masih terus memantau," jelas dokter itu pada Arthur. Anggukan Arthur berikan, dokter pun gegas keluar dari dalam ruangan kamar inap itu. Rasa marah masih menggelayuti Arthur, tak terima dan ingin menghabisi siapapun yang menyentuh Anna. "Si brengsek itu tidak pantas kau panggil Papa, Anna," bisik Arthur mengusap pipi Anna yang memar parah. "Dia hanya pecundang yang tidak tahu malu!" Memar membiru di wajah Anna membuat Arthur ingin rasanya menghajar dan menghabisi Caisan saat in
"Aku harus pulang, aku tidak punya tujuan ke mana-mana lagi." Anna berucap gelisah seraya menyandarkan kepalanya di sandaran bangku bus. Terpaksa Anna pulang ke rumahnya menggunakan bus, dia hanya mempunyai sedikit uang, dan Anna kabur dari Arthur. Sepanjang perjalanan dia hanya terus memikirkan untuk membujuk Papanya agar Anna diizinkan tinggal di sana beberapa hari saja, setidaknya setelah Letta pergi. "Permisi Nona, bus sudah berhenti di tempat yang Nona tuju," ujar sang sopir bus yang duduk di samping Anna. "Oh, ya ampun, iya Pak," jawab Anna terburu-buru. Perlahan Anna menuruni tangga bus dan kakinya kini menapaki trotoar jalanan yang berada tak jauh dari rumahnya. Langit pun gerimis menambah rasa sedih di harti Anna kian Demak terasa. Butuh lima menit Anna sampai di rumahnya dan gadis itu juga langsung masuk ke pekarangan ruang mengah milik kedua orang tuanya. "Loh Nona Anna," sapa penjaga membuka gerbang pintu cepat-cepat. "Pak, apa Mama ada?" tanya Anna pada laki-laki
Kedatangan Letta, Mama Arthur membuat Anna merasa tidak nyaman sama sekali. Wanita itu kini duduk di ruang makan sembari menyeduh secangkir teh. Sejak tadi dia menunggu Anna karena penasaran seperti apa yang bernama Anna, dan kini gadis itu sudah muncul, turun ke lantai satu berjalan ke arahnya. "Sayang, itu Mamaku," ujar Arthur yang menemani Anna dan merangkulnya. Anna tertunduk dan tetap berjalan mendekat. Sedangkan Letta langsung bangkit dari duduknya. "Wow, ini yang namanya Anna? Menantu Mama?" tanya wanita itu dengan nada ramahnya. "Cantik sekali, Arthur!" Deg...Anna langsung mengangkat wajahnya menatap wanita itu. Sulit dipercaya jika Letta menyapa dengan gaya seolah-olah dia menyukai Anna. "Pantas saja kau meninggalkan Sonya, kalau Anna ternyata secantik ini," ujar Letta."Terima kasih, Nyonya," balas Anna tertunduk. "Nyonya? Astaga... Nak, aku ini Mama mertuamu," seru wanita itu terkekeh. Arthur hanya diam, ia tidak tahu ini sungguhan atau sebuah sandiwara yang memang
Anna diam termenung setelah mendengar permintaan suaminya tadi. Hal yang cukup mengusik ketenangan Anna, kenapa Arthur melarangnya untuk mengatakan pada siapapun kalau dia hamil, padahal Anna memang benar-benar sedang mengandung. Anna menyandarkan punggungnya di papan ranjang, kedua matanya mengerjap gelisah. "Kenapa?" lirih Anna memeluk kedua lututnya. Muncul Arthur membuka pintu ruang ganti, laki-laki itu berjalan mendekatinya dan bergabung dengannya duduk di atas ranjang. "Cepat tidur, ini sudah malam," ujar Arthur mengulurkan tangannya dan mengajak Anna berbaring. "Aku belum mengantuk," jawab Anna, gadis itu menyibak selimutnya dan turun dari atas ranjang. "Mau ke mana?" Langkah Anna terhenti, wajahnya sangat muram. Paham bagi Arthur mengetahui kalau istrinya sedang diliputi rasa gelisah dan resah. "Aku ingin tidur sendiri," jawab Anna meraih boneka miliknya dan berjalan keluar dari dalam kamar. Arthur mengusap wajahnya, laki-laki itu bergeming menyergah napas panjang. "
Arthur menatap bosan pada tumpukan berkas di atas meja kerjanya. Tidak sekali ia mengumpat pada pekerjaan yang tidak ada usainya. Bahkan dari pagi hingga siang ini tak ada istirahatnya namun juga tak kunjung rampung. "Hufftt... Kapan ini akan selesai?" gumam laki-laki itu frustrasi. Seorang laki-laki dengan stelan tuxedo abu-abu menatapnya, ia menurunkan kaca tipis berwarna emas yang membingkai mata bermanik hazel miliknya. "Apa Tuan ada urusan lain di luar?" tanya Reko, ia bangkit dan mengambil setengah dari berkas yang menumpuk di meja Arthur. "Tidak." Arthur menjawabnya tak acuh. Reko pun mengangguk pelan, sampai pintu ruangannya terbuka. Tanpa sopan santun seorang wanita berdiri di sana. Kembali Arthur menyergah napasnya panjang. Ia menatap lekat wanita itu. "Keluarlah, Reko!" perintah Arthur. "Baik Tuan." Reko keluar dari dalam ruangan itu, menyisakan Arthur yang seorang wanita cantik berambut sepunggung dengan stelan mini dress putihnya. Sudut bibir Arthur menyungging
Saat Anna bangun dari tidurnya, gadis itu tidak mendapati Arthur di sampingnya. Anna benci situasi di mana ia selalu ingin ditemani oleh laki-laki itu. Bahkan saat Anna merasa kesepian, ia ingin mencari Arthur dan mengajaknya duduk berdua dengannya. "Aku benci saat-saat ini," gumam Anna menundukkan kepalanya lesu. Telapak tangannya mencengkram perut. "Kenapa kau juga menyukaiku Papa sambungmu itu? Padahal dia terlihat tidak tulus pada Mamamu ini." Dengan wajah sebal, Anna menyibak selimutnya dan gegas turun dari atas ranjang. Gadis itu melangkah ke kamar mandi dan mencuci wajahnya. Anna keluar dari dalam kamar, di depan pintu kamarnya sudah ada Meli, sang pelayan setia yang menunggunya. "Selamat pagi Nyonya Anna," sapa Meli tersenyum manis pada Anna. "Pagi juga, Pelayan Meli," balas Anna dengan sama tersenyumnya. "Oh ya, di mana Arthur?" "Tuan ada di teras paviliun depan. Tuan sedang menemui tamunya, apa Nyonya mau saya antarkan ke sana?" tawar Meli pada Anna.Anna menggelengk