"Makan yang banyak, Anna. Pelan-pelan ya nak," ujar Alea mengusap pucuk kepala Anna dengan sabar.
Anna tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Di rumah Arthur memang ia ingin mual saat menghirup aroma masakan para pelayannya, entah mengapa.Merasakan sup daging yang Mamanya masak, senyuman Anna langsung merekah seketika."Masakan Mama memang paling enak," sanjung gadis itu dengan wajah merona berseri-seri.Alea pun tersenyum dengan sanjungan putri kesayangannya, namun karena tanpa sengaja pandangannya teralih pada Arthur yang tengah menatapi Anna yang sedang makan.Tatapan mata yang tenang dan teduh, laki-laki itu begitu terlihat tulus. Namun siapa yang tidak mengenal Arthur Anderson di dalam dunia bisnis antar negara di Eropa, dia terkenal akan kepopulerannya dan juga mempunyai julukan Pria Tampan Licik yang Lembut."Mama ke belakang sebentar," pamit Alea saat menyadari Arthur ingin memperhatikan Anna lebih lama lagi.Anna sibuk memakan sup daging kesukaannya, namun tiba-tiba kunyahannya terhenti saat dia menoleh bertemu pandang dengan sang suami.Lantas gadis itu menunduk."Apa lagi yang kau pikirkan? Ayo cepat habiskan makanmu, istriku," bujuk Arthur, dia mendekati Anna.Anna menatap semangkuk sup yang masih hangat. Pikirannya kembali mengingat betapa Arthur membelanya di depan sang Papa."Kenapa kau tadi memarahi Papaku? Kau ingin membelaku?" tanya Anna dengan polos dia menatap Arthur.Helaan napas berasal dari bibir laki-laki itu dan dia enggan menjawab pertanyaan Anna yang terdengar tidak penting untuknya. Arthur meraih mangkuk di hadapan Anna dan menyuapi istrinya yang cerewet ini."Buka mulutmu," pintanya.Anna membuka mulut, barulah Arthur tersenyum puas."Dengar Istriku, pertama-tama aku tidak membelamu sama sekali. Yang kedua, karena pernikahan sepuluh bulan ini maka aku akan memperlakukanmu seperti seorang putri yang akan aku jaga. Dan yang terakhir, tentu saja karena kau sedang hamil anakku, kalau kau bersedih sudah jelas anak itu akan terganggu di dalam perutmu. Aku tidak ingin hal buruk terjadi padanya, kau jangan besar kepala."Penjelasan yang cukup jelas dan menyakitkan. Benar, Anna terlalu percaya diri untuk ingin mengetahui apa tadi Arthur membelanya. Segala kebaikan ini. Mengantarkan ia pulang sekedar untuk makan, membelanya, dan menyuapinya detik ini. Hanya karena anak yang ada di dalam perutnya, Anna tidak pantas keras kepala.Air mata gadis itu menetes. Anna pun menepis pelan tangan Arthur saat hendak menyuapinya."Aku sudah kenyang," ujarnya menolak."Dan aku tidak suka dibohongi, Anna. Apa kau mau hari ini menjadi hari terakhirmu pulang ke rumah ini?" ancam Arthur ketika Anna menolak melanjutkan makannya.Tatapan mata Anna menjadi begitu sedih, tapi dengan setia pria itu tetap menyuapinya."Aku bisa makan sendiri, kau tidak usah menyuapiku. Diamlah di sampingku saja," ujar Anna merebut piring di tangan Arthur."No, jangan melawanku!" tegasnya."Pria menyebalkan!" desis Anna kesal.Bibir Arthur terukir senyuman. "Tapi aku tetap suamimu, Stesianna Anderson."Dari lantai dua, Alea menatap putrinya yang malang. Wanita itu tahu kalau Anna tidak bahagia dengan pernikahannya. Sebaik apapun Arthur, dia tetaplah pembuat onar yang tidak akan bisa Alea percayai bisa seratus persen menjaga Anna, buktinya kini Anna menangis.**Setelah pulang dari kediaman orang tuannya, sesampainya di rumah Arthur, gadis itu langsung berjalan ke dalam kamar.Anna membiarkan penerangan kamarnya mati dan gelap. Hingga pintu kamar kembali terbuka saat Arthur masuk ke dalam sana."Arthur," lirih Anna memanggil pria itu tanpa menoleh sedikitpun."Hem?" Arthur menjawabnya dengan gumaman kecil."Bisakah malam ini aku tidur sendiri? Sekali ini saja aku meminta.""Tidak. Aku akan tidur bersamamu, kau sudah menggagalkan malam pertama kita, Anna!" seru laki-laki itu melirik Anna.Anna beranjak dari duduknya, ia melangkah dan berdiri tepat di hadapan suaminya. Bahkan Anna sampai mendongak saat ingin menatap Arthur dan tidak ada jarak sama sekali kedekatan mereka berdua.Iris mata yang bergetar memohon, apakah seorang Anderson sangat menjijikkan hingga gadis ini bersikeras inginnya dia tidur sendiri?"Ingat aturan permainannya, Tuan Putri," bisik Arthur, kali ini telapak tangannya membingkai di satu pipi Anna."A-apa artinya aku bagimu dalam pernikahan ini?" tanya Anna tiba-tiba. "Apa sekedar kau ingin menyelamatkan aku dari Papaku yang abusive, kau ingin mendapatkan bayiku, atau... Atau kau memang laki-laki yang malam itu-"Kedua mata melebar, kata-kata dan isak tangisannya kembali tertelan begitu saja saat Arthur menarik tengkuk leher Anna dan mengecup bibirnya.Kedua tangan kekarnya yang masih berbalut lengan panjang kemeja itu merengkuh tubuh kecil Anna dan menggiringnya ke ranjang tanpa melepaskan tautan bibir mereka."Arthur..." Anna menekan dada kekar laki-laki itu, namun percuma saat Anna tidak bertenaga sama sekali. "Maafkan aku, Arthur berhenti!"Kegelian menyerang Anna bertubi-tubi, ia mencengkeram kedua pergelangan tangan Anna dia atas kepala gadis itu.Anna tidak bisa melawannya sama sekali, ia hanya memejamkan kedua matanya kuat-kuat tiap bibir tipis laki-laki itu menyentuh kulit lehernya."Arthur, lapaskan tanganku... Sakit," cicit Anna merintih.Arthur mengabulkannya. Pria itu tersenyum tipis mengungkungnya, Anna merapatkan jemari kedua tangannya di depan dada. Matanya terbuka kala Arthur menatapnya dengan intens dan hangat."Kau sangat cantik, Stesianna," pujinya dengan nada pelan dan lembut. "Akan lebih cantik lagi saat..."Ucapannya dia pelankan, Arthur melepaskan satu kancing teratas dress yang Anna pakai dan turun lagi."Saat gaun ini tak lagi melekat di tubuhmu, kau akan jauh lebih cantik, Istriku...""A-apa yang kau lakukan-"Sia-sia Anna memprotesnya saat kata-katanya kembali tertelan begitu laki-laki itu mengecup bibirnya lagi."Aku menginginkanmu istriku, malam ini juga," bisik Arthur menarik lepaskan gaun panjang yang Anna pakai."Arthur, tidak aakhh..." Anna meremas punggung laki-laki itu saat permainan yang sesungguhnya Arthur mulai.Kenyataannya Anna tidak mampu melawannya, sial sekali ia malah terbuai dengan permainan yang Arthur ciptakan dalam tempo yang lembut.Dan malam ini Stesianna Hyerdi, kini kalah dari seorang Arthur Anderson.Beberapa jam kemudian.Arthur menyergah napasnya panjang, dan pelan menyunggar rambut hitamnya ke belakang. Dia duduk bersandar di atas ranjang dan menoleh menyelimuti Anna yang terlelap dengan tubuh polosnya.Sejenak Arthur membiarkan jemarinya mengusap pipi putih nan lembut milik istrinya."Dia masih sama seperti malam waktu itu, suara lembutnya malam ini memanggil namaku dan membuatku candu... Oh sial!" Arthur menepuk keningnya.Laki-laki itu ikut berbaring dan menarik pundak Anna dibawa dalam dekapan hangatnya. Dengan mesra Arthur menyembunyikan wajah cantik Anna dalam ceruk lehernya yang hangat.Ia membenamkan wajahnya di bahu polos Anna yang tak lagi putih mulus.'Maafkan aku berdusta padamu, Anna. Aku tak hanya menginginkan bayi itu, tapi aku mulai tamak dan aku... Aku sangat menginginkanmu, selamanya di sampingku.''Ukhh, tubuhku rasanya sangat kaku.'Anna meremas selimutnya dengan kedua mata yang masih terpejam. Hawa mengantuk masih menyelimutinya setelah tubuhnya terasa sangat lelah. Tok.. tok.."Nyonya Anna, selamat pagi. Sarapannya sudah saya siapkan di bawah!" Kedua mata Anna terbuka lebar mendengar ketukan pintu tersebut. Ia langsung bangun dan terduduk di atas ranjang. Kesadaran belum terlalu memenuhi pikiran gadis itu hingga tiba-tiba ia merasakan sesuatu menyentuh punggung polosnya. "Tubuh yang cantik," sanjung seseorang yang tengah menyenangkan jemarinya di kulit punggung Anna. "Kau sudah tidak malu lagi saat selimutmu terjatuh, Istri Sepuluh Bulan-ku?"Hah!!Bagai genderang dipukul di kepala Anna, sontak ia menunduk dan mendelik saat tahu selimutnya melorot dan menunjukkan bagian tubuh atasnya. "Kyaaa... Arthur!" teriak Anna menarik selimutnya tinggi-tinggi dan menatap ngeri pada sosok suaminya yang entah sejak kapan dia di samping Anna, mungkin pria menyebalkan itu belum bangun
Sejak pagi, Anna sibuk berjalan-jalan dan bersenang-senang bersama Arthur. Sang suami mengenalkan ruangan-ruangan megah dan tempat indah di kediamannya. Tapi sore ini Anna merasa tidak nyaman dengan tubuhnya, terutama pada perutnya yang terasa nyeri dan sakit. Anna berdecak berulang kali dan tetap kelimpungan di atas ranjang. "A-apa yang terjadi? Kenapa perutku terasa tidak nyaman? Apa aku salah makan?" Perlahan-lahan Anna turun dari atas ranjang. Gadis itu melangkah ke lantai satu terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. "Arthur, di mana dia?" Anna menatap semua penjuru rumah. Sampai akhirnya Anna melihat pintu ruangan kerja Arthur yang terbuka, Anna pun melangkah mendekati pintu ruangan itu hingga ia mampu mendengar suara seseorang marah-marah dalam telepon yang tengah berbicara dengan suaminya. "Apa-apaan kau Arthur! Bisa-bisanya kau menikah tanpa sepengetahuan Mama dan Papa?! Wanita mana yang kau nikahi, Arthur!" Suara teriakan dari sambungan telepon itu membuat Arthur menjau
Saat keadaan sudah membaik, Anna pun terbangun dari tidurnya. Gadis itu terdiam menatap Arthur yang tertidur dengan posisi duduk dan bersedekap. Menatap wajah suaminya, Anna tidak mengerti kenapa laki-laki ini seolah dia kadang terlihat tega pada Anna, tapi sosoknya yang asli begitu cemas dan berteriak kepanikan kalau hal buruk terjadi pada Anna, siapa sebenarnya sosok Arthur ini?"Arthur," lirih Anna, ia mengulurkan tangannya dan hendak menyentuh wajah laki-laki itu. Ya, saat ini Anna bisa menyebut kalau Arthur, adalah lelakinya. Pergerakan tangan Anna terhenti saat ujung jemarinya menyentuh rahang laki-laki itu dengan sangat lembut. "Ada apa, Istriku?" Arthur meraih tangan Anna dan menggenggamnya. Anna sedikit terkejut begitu Arthur langsung meresponnya dengan cepat. "Emm, kau tidak tidur?" tanya gadis itu. Arthur terkekeh pelan dan menggelengkan kepalanya masih dengan kedua mata terpejam. "Aku takut kau pergi," jawabnya begitu tak masuk akal. Barulah Arthur mengembuskan na
"Bisakah kau tidak menemui dan muncul lagi di hadapan Anna?!" Arthur mengatakan hal mengejutkan itu pada Caisan, Papa kandung Anna yang kini berdiri di hadapannya, di luar ruangan Anna di rawat di rumah sakit.Wajah Caisan sedikit terkejut dengan apa yang Arthur katakan barusan, laki-laki itu terlalu membutuhkan Arthur hingga dia mengangguk dan tertawa renyah. "Ya, tentu saja kalau itu yang kau mau. Aku tidak akan datang lagi menemui Anna. Tapi Arthur, kalau bisa kau harus memaksa anak itu untuk makan dan melakukan hal yang baik untuk bayinya, agar anak kalian sehat-sehat nantinya," seru Caisan dengan tampang yang tak berdosa. Arthur tersenyum tipis. "Bukannya kau menyebut anak itu, anak haram?" tanya Arthur lagi.Arthur tidak punya pertimbangan apapun pada laki-laki tua menyedihkan di depannya ini. Ia juga tidak menimbang-nimbang rasa sungkan untuk memanggilnya dengan sebutan Papa mertua. Laki-laki itu terlalu jahat untuk Anna hingga tidak akan pantas disebut Papa. "Arthur, aku
Setelah beberapa hari sudah membaik kondisinya, Anna terbiasa tinggal bersama dengan Arthur sebagai seorang suami. Bahkan di sela kesibukan seorang Arthur, Anna tahu setiap malamnya suaminya selalu menyempatkan menatap wajahnya dan mengecup kening Anna seolah-olah dia benar-benar mencintai Anna. Seperti saat ini contohnya. Arthur mengusap pipi gembil Anna saat istrinya itu belum bangun, tapi Anna hanya pura-pura. "Tertidur pun kau tetap sangat cantik, Istriku," bisik Arthur mengecup lagi pipi hingga dagu Anna. Sudut bibir gadis itu berkedut, dia ingin tersenyum. Melihatnya, Arthur menarik gemas hidung gadis itu. "Aku tahu kau hanya pura-pura," ujar laki-laki itu. "Aku masih mengantuk, kau jangan menggangguku," seru Anna cemberut menatap suaminya. "Ya, tidurlah lagi." "Sudah tidak bisa! Kau mengangguku terus sampai mengantukku hilang, aku tidak akan bisa tidur pulas lagi!" seru Anna dengan wajah muram, masam, dan kesal. Arthur mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala istrin
Menyelidiki suami sendiri adalah kegiatan yang melelahkan, apalagi Arthur seperti sedang mempermainkannya. Anna kelelahan seharian berpikir keras memikirkan Arthur, hingga kini wanita itu tertidur pulas di sofa yang ada di balkon kamar dengan posisi terduduk. "Anna!" Suara Arthur terdengar, laki-laki itu membuka pintu kamarnya dan kosong, dia tidak menemukan istrinya. Arthur berdecak. "Ke mana dia? Apa dia mengeliling mansion lagi?" gumam Arthur. Sampai tiba akhirnya perhatian Arthur teralihkan saat melihat pintu balkon terbuka, ia berjalan keluar dan melihat Anna tertidur memeluk bantal dengan posisi terduduk. "Astaga, apa yang dia lakukan?" lirih Arthur mendekati Anna. Menatap wajahnya dari dekat, degup jantung Arthur berpacu. Bibir tipis, dagu mungil dan kulit putih bening, Arthur merasakan kesempurnaan yang Anna miliki adalah hadiah dari Tuhan untuknya. Perlahan-lahan Arthur mengangkat tubuh mungil Anna, dibawanya masuk ke dalam kamar dan ia rebahkan di atas ranjang kamarny
Anna terkejut melihat kekasih sekaligus calon istri Arthur yang datang ke rumahnya. Wanita itu sangat-sangat marah dan memaki Anna yang berdiri dalam perlindungan Arthur. "Aku berjuang banyak untuk laki-laki brengsek sepertimu, Arthur!" teriak Sonya melemparkan vas bunga ke depan Arthur dan Anna. "Semua keperluan pernikahan kita sudah aku siapkan!" Sonya menangis menggeru-geru, dengan wajah kacau. Anna yang melihat wanita itu, ia tahu bagaimana posisi menjadi Sonya, pasti juga sangat menyakitkan. Tapi pernikahan ini bukan sepenuhnya kemauan Anna, justru Arthur yang memang menginginkannya. "Berhenti bersikap seolah-olah kau adalah orang yang paling tersakiti di sini, Sonya," ucap Arthur dengan nada dingin. Tangisan Sonya langsung terhenti. "Apa maksudmu?" Wanita itu berdiri, dia melangkah mendekat hingga kini berdiri di hadapan Anna dengan air matanya yang menetes membasahi pipi mulusnya. "Dibayar berapa kau dengan calon suamiku sampai kau mau dinikahi laki-laki yang satu bulan
Saat Anna bangun dari tidurnya, gadis itu tidak mendapati Arthur di sampingnya. Anna benci situasi di mana ia selalu ingin ditemani oleh laki-laki itu. Bahkan saat Anna merasa kesepian, ia ingin mencari Arthur dan mengajaknya duduk berdua dengannya. "Aku benci saat-saat ini," gumam Anna menundukkan kepalanya lesu. Telapak tangannya mencengkram perut. "Kenapa kau juga menyukaiku Papa sambungmu itu? Padahal dia terlihat tidak tulus pada Mamamu ini." Dengan wajah sebal, Anna menyibak selimutnya dan gegas turun dari atas ranjang. Gadis itu melangkah ke kamar mandi dan mencuci wajahnya. Anna keluar dari dalam kamar, di depan pintu kamarnya sudah ada Meli, sang pelayan setia yang menunggunya. "Selamat pagi Nyonya Anna," sapa Meli tersenyum manis pada Anna. "Pagi juga, Pelayan Meli," balas Anna dengan sama tersenyumnya. "Oh ya, di mana Arthur?" "Tuan ada di teras paviliun depan. Tuan sedang menemui tamunya, apa Nyonya mau saya antarkan ke sana?" tawar Meli pada Anna.Anna menggelengk
"Ya, aku akan membakar kertas sialan ini!" Arthur menundukkan berkas itu di hadapan Anna dan merobek-robeknya dengan wajah dipenuhi amarah dan kekesalan. Wajah Anna menjadi teduh, wanita itu melangkah mendekati Arthur dan mencekal kedua tangannya. "Sudah Arthur, apa yang kau lakukan!" "Kau akan pergi kan, setelah anak itu lahir dan kau berikan padaku?" tanya Arthur dengan wajah dinginnya. "Bukannya itu yang kau minta?" tanya Anna memasang ekspresi serba salah. Arthur tertawa sumbang, dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali merobek berkas tersisa di tangannya. "Persetan dengan berkas ini, Anna!" pekiknya kesal. "Dengar, kau tidak boleh pergi dari sisiku!" Tatapan mata Anna begitu asing menatap sosok suaminya. Apa ini Arthur yang selama ini Anna kenali? Kenapa berbeda? Apa dia mabuk?Perlahan Anna mendekatinya, kedua tangannya terangkat dia berjinjit menangkup kedua pipi suaminya yang tengah emosi. "Ada apa denganmu? Kau tidak seperti Arthur yang aku kenal," ujar Anna p
"K-Keinz, kau..!" Anna memasang wajah marah, dia langsung memeluk lengan Arthur dengan kencang. Tatapan mata laki-laki berambut hitam itu tertuju pada Arthur yang berdiri menatapnya dengan tatapan datar, dingin."Siapa dia, Sayang?" tanya Arthur pada Anna. "Sayang?!" Keinz memekik dan melangkah mendekati Anna. Namun tentu saja Arthur lebih dulu menarik cepat pinggang Anna untuk merapat padanya. "Saya suaminya Anna, kau siapa?!" seru Arthur dengan wajah sombong, andalannya. Keinz seolah tak percaya. Tapi Anna memeluk tubuh Arthur dan mendongak menatap sang suami."Dia mantan kekasihku. Gara-gara dia aku terjebak dengan seorang laki-laki," ujar Anna kacau. Seringai muncul di bibir Arthur, karena laki-laki di depannya ini ia bisa bertemu dengan Anna. Dan menjadikan wanita ini miliknya seutuhnya. Tanpa Anna duga-duga, Arthur kini berjalan mendekati Keinz yang diam menatapnya waspada. Sampai akhirnya Arthur mengulurkan tangannya di hadapan Keinz dengan wajah santai. "Apa maksudmu
Sebenarnya Anna khawatir saat Arthur mengajaknya pulang, dia takut kalau Mama dari suaminya itu masih di rumah, tapi ternyata tidak, wanita itu sudah pulang. Bulu kudu Anna merinding saat Arthur membuka pintu rumahnya. Telapak tangannya mencengkram erat pergelangan tangan Arthur. "Mama sudah kembali, jangan takut." Arthur memahami perasaan Anna. "Ka-kau tidak mengusirnya, kan?" "Menurutmu?" Laki-laki itu membalikkan badannya dan menjadi sepenuhnya menatap Anna yang berdiri di tengah-tengah ruang tamu rumahnya. "Bukannya aku sudah berjanji padamu kalau aku akan menyingkirkan segala sesuatu yang membuatmu tidak nyaman, bukan?" Kan, Anna sudah menebak Arthur pasti mengusir Mamanya hanya demi Anna. Apakah ini cintanya atau sekedar perasaan peduli saja?"Ayo ke kamar, istirahat dulu." "Kau tidak sibuk? Boleh aku minta tamani sebentar saja?" pinta Anna seraya menggenggam tangan Arthur berjalan ke lantai dua. "Heem, tentu saja boleh." Arthur mengikuti Anna berjalan masuk ke dalam kam
"Anna~" Arthur menggenggam erat telapak tangan Anna saat dokter mengobatinya. Dia tidak mau keluar saat dokter memintanya meninggalkan ruangan pemeriksaan. Istrinya pingsan dan napasnya sesak, belum lagi tamparan keras Caisan hingga tak hanya membuat wajah Anna memar, tapi juga keluar darah dari hidungnya. "Bagaimana dengan Istriku? Apa sangat parah?" tanya Arthur menatap dokter laki-laki yang baru saja selesai memeriksa Anna. "Tidak Tuan, tapi mungkin pasien akan mengalami trauma. Untuk kedepannya kami masih terus memantau," jelas dokter itu pada Arthur. Anggukan Arthur berikan, dokter pun gegas keluar dari dalam ruangan kamar inap itu. Rasa marah masih menggelayuti Arthur, tak terima dan ingin menghabisi siapapun yang menyentuh Anna. "Si brengsek itu tidak pantas kau panggil Papa, Anna," bisik Arthur mengusap pipi Anna yang memar parah. "Dia hanya pecundang yang tidak tahu malu!" Memar membiru di wajah Anna membuat Arthur ingin rasanya menghajar dan menghabisi Caisan saat in
"Aku harus pulang, aku tidak punya tujuan ke mana-mana lagi." Anna berucap gelisah seraya menyandarkan kepalanya di sandaran bangku bus. Terpaksa Anna pulang ke rumahnya menggunakan bus, dia hanya mempunyai sedikit uang, dan Anna kabur dari Arthur. Sepanjang perjalanan dia hanya terus memikirkan untuk membujuk Papanya agar Anna diizinkan tinggal di sana beberapa hari saja, setidaknya setelah Letta pergi. "Permisi Nona, bus sudah berhenti di tempat yang Nona tuju," ujar sang sopir bus yang duduk di samping Anna. "Oh, ya ampun, iya Pak," jawab Anna terburu-buru. Perlahan Anna menuruni tangga bus dan kakinya kini menapaki trotoar jalanan yang berada tak jauh dari rumahnya. Langit pun gerimis menambah rasa sedih di harti Anna kian Demak terasa. Butuh lima menit Anna sampai di rumahnya dan gadis itu juga langsung masuk ke pekarangan ruang mengah milik kedua orang tuanya. "Loh Nona Anna," sapa penjaga membuka gerbang pintu cepat-cepat. "Pak, apa Mama ada?" tanya Anna pada laki-laki
Kedatangan Letta, Mama Arthur membuat Anna merasa tidak nyaman sama sekali. Wanita itu kini duduk di ruang makan sembari menyeduh secangkir teh. Sejak tadi dia menunggu Anna karena penasaran seperti apa yang bernama Anna, dan kini gadis itu sudah muncul, turun ke lantai satu berjalan ke arahnya. "Sayang, itu Mamaku," ujar Arthur yang menemani Anna dan merangkulnya. Anna tertunduk dan tetap berjalan mendekat. Sedangkan Letta langsung bangkit dari duduknya. "Wow, ini yang namanya Anna? Menantu Mama?" tanya wanita itu dengan nada ramahnya. "Cantik sekali, Arthur!" Deg...Anna langsung mengangkat wajahnya menatap wanita itu. Sulit dipercaya jika Letta menyapa dengan gaya seolah-olah dia menyukai Anna. "Pantas saja kau meninggalkan Sonya, kalau Anna ternyata secantik ini," ujar Letta."Terima kasih, Nyonya," balas Anna tertunduk. "Nyonya? Astaga... Nak, aku ini Mama mertuamu," seru wanita itu terkekeh. Arthur hanya diam, ia tidak tahu ini sungguhan atau sebuah sandiwara yang memang
Anna diam termenung setelah mendengar permintaan suaminya tadi. Hal yang cukup mengusik ketenangan Anna, kenapa Arthur melarangnya untuk mengatakan pada siapapun kalau dia hamil, padahal Anna memang benar-benar sedang mengandung. Anna menyandarkan punggungnya di papan ranjang, kedua matanya mengerjap gelisah. "Kenapa?" lirih Anna memeluk kedua lututnya. Muncul Arthur membuka pintu ruang ganti, laki-laki itu berjalan mendekatinya dan bergabung dengannya duduk di atas ranjang. "Cepat tidur, ini sudah malam," ujar Arthur mengulurkan tangannya dan mengajak Anna berbaring. "Aku belum mengantuk," jawab Anna, gadis itu menyibak selimutnya dan turun dari atas ranjang. "Mau ke mana?" Langkah Anna terhenti, wajahnya sangat muram. Paham bagi Arthur mengetahui kalau istrinya sedang diliputi rasa gelisah dan resah. "Aku ingin tidur sendiri," jawab Anna meraih boneka miliknya dan berjalan keluar dari dalam kamar. Arthur mengusap wajahnya, laki-laki itu bergeming menyergah napas panjang. "
Arthur menatap bosan pada tumpukan berkas di atas meja kerjanya. Tidak sekali ia mengumpat pada pekerjaan yang tidak ada usainya. Bahkan dari pagi hingga siang ini tak ada istirahatnya namun juga tak kunjung rampung. "Hufftt... Kapan ini akan selesai?" gumam laki-laki itu frustrasi. Seorang laki-laki dengan stelan tuxedo abu-abu menatapnya, ia menurunkan kaca tipis berwarna emas yang membingkai mata bermanik hazel miliknya. "Apa Tuan ada urusan lain di luar?" tanya Reko, ia bangkit dan mengambil setengah dari berkas yang menumpuk di meja Arthur. "Tidak." Arthur menjawabnya tak acuh. Reko pun mengangguk pelan, sampai pintu ruangannya terbuka. Tanpa sopan santun seorang wanita berdiri di sana. Kembali Arthur menyergah napasnya panjang. Ia menatap lekat wanita itu. "Keluarlah, Reko!" perintah Arthur. "Baik Tuan." Reko keluar dari dalam ruangan itu, menyisakan Arthur yang seorang wanita cantik berambut sepunggung dengan stelan mini dress putihnya. Sudut bibir Arthur menyungging
Saat Anna bangun dari tidurnya, gadis itu tidak mendapati Arthur di sampingnya. Anna benci situasi di mana ia selalu ingin ditemani oleh laki-laki itu. Bahkan saat Anna merasa kesepian, ia ingin mencari Arthur dan mengajaknya duduk berdua dengannya. "Aku benci saat-saat ini," gumam Anna menundukkan kepalanya lesu. Telapak tangannya mencengkram perut. "Kenapa kau juga menyukaiku Papa sambungmu itu? Padahal dia terlihat tidak tulus pada Mamamu ini." Dengan wajah sebal, Anna menyibak selimutnya dan gegas turun dari atas ranjang. Gadis itu melangkah ke kamar mandi dan mencuci wajahnya. Anna keluar dari dalam kamar, di depan pintu kamarnya sudah ada Meli, sang pelayan setia yang menunggunya. "Selamat pagi Nyonya Anna," sapa Meli tersenyum manis pada Anna. "Pagi juga, Pelayan Meli," balas Anna dengan sama tersenyumnya. "Oh ya, di mana Arthur?" "Tuan ada di teras paviliun depan. Tuan sedang menemui tamunya, apa Nyonya mau saya antarkan ke sana?" tawar Meli pada Anna.Anna menggelengk