Alisha melirik ke arah pria yang masih berjalan di belakangnya dan mengikutinya masuk ke dalam bangunan apartemen. Ia ingin menegur, tapi bayangan Alfian masih terlihat tak jauh dari apartemen Alisha. Seakan ingin memastikan, apakah pria itu benar calon suami Alisha atau hanya omong kosong belaka. Namun, keberadaan Damian juga membuatnya merasa tidak nyaman. Hingga ia memutuskan buka suara ketika keduanya berdiri di depan pintu elevator yang akan membawanya ke lantai tiga. "Anu ... makasih atas bantuan Anda, Pak. Tapi, Anda tidak perlu mengantar saya," ucap Alisha memberanikan diri. Tapi, Damian justru tersenyum kecut menanggapinya. "Apa aku terlihat peduli dan berniat mengantarmu?" Pria itu bertanya dengan nada dingin. "Eh?"'Lalu buat apa kamu mengikutiku?' imbuh Alisha dalam hati. Ia terlalu takut mengucapkan kalimat tersebut pada sang atasan. Meski tak bisa dimungkiri bahwa dirinya cukup penasaran. "Jangan terlalu percaya diri, Nona. Tidak semua hal harus berkaitan denganmu
Perasaan Alisha semakin berantakan. Baru saja ia memiliki niat untuk menghindari pria yang telah menanamkan benih di perutnya, justru sosok itu tinggal begitu dekat dengannya. 'Apa dia sedang merencanakan sesuatu?' gumam Alisha dalam benaknya. Mengingat betapa marahnya pria itu saat tahu bahwa Alisha adalah perempuan yang dianggap telah melukai harga dirinya. Dia bahkan dengan sengaja mengusik ketenangan Alisha untuk mendapatkan pertanggungjawaban dari perempuan itu. Jelas kepindahan Damian ke samping tempat tinggalnya bukanlah suatu keisengan ataupun kebetulan semata. Lagipula, bagaimana mungkin seorang pria yang semula tinggal di kawasan apartemen elit, mau pindah begitu saja di kawasan apartemen yang sama sekali tak sesuai dengan image-nya. Ya, sekalipun di apartemen tempat tinggal Alisha memiliki beberapa unit tipe mewah yang tentu sama sekali berbeda dengan apartemen sewaan yang ditempati perempuan itu. Menurut keterangan si pemilik apartemen yang ia sewa, setiap lantai mem
Selama ini, Damian terus berusaha menyangkal perasaannya. Ketertarikan pria itu pada Alisha terjadi begitu saja. Berawal dari sikap berani si perempuan yang selalu menentangnya, ditambah obrolan dengan Devano yang membahas tentang pernikahan saat pertemuan pertama mereka. Bayangan Alisha hadir begitu saja dalam hidupnya. Selalu ada sesuatu yang menggelitik setiap kali nama itu muncul dalam benaknya. Ia memang murka saat pertama kali mengenali bahwa Alisha adalah perempuan yang telah menghinanya dengan meninggalkan pria itu begitu saja setelah pertempuran panas mereka. Damian berniat membalas dendam dan membuat perempuan itu kesulitan akibat telah mempermainkan dirinya. Bahkan pikiran tersebut masih melekat dalam benak Damian. Ia sering kali kesal setiap kali bertukar tatap dengan Alisha. Bahkan hanya dengan melihat bayangannya saja. Namun, ada sesuatu dalam diri Alisha yang membuat Damian terus memikirkan si perempuan. Hal itu terjadi begitu saja di luar kendali Damian ketika te
Alisha baru saja membuka mata ketika mendengar ketukan samar di pintu apartemennya. Ini baru pukul lima pagi dan seseorang telah membangunkannya dari alam mimpi. "Siapa sih yang iseng bangunin orang pagi-pagi gini?!" gerutu perempuan itu sambil mengucek matanya yang masih terasa lengket. Meski begitu, tak urung ia tetap bangun dari tempat tidur. Langkahnya gontai menuju pintu akibat rasa kantuk yang tak tertahankan. "Siapa?" teriak Alisha disambut dehaman dari balik pintu. Tanpa melihat wujudnya sekalipun, Alisha bisa menebak siapa orang itu. "Apa yang dia lakukan pagi-pagi buta begini?" gumam Alisha seketika dilingkupi perasaan panik. Ia mondar-mandir di belakang pintu sambil menggigit ujung kuku. Sebelum akhirnya memutuskan membuka pintu dan mendapati Damian berdiri dengan gamang. "Aku menagih sarapan!" ucapnya ketus sambil mendorong pintu apartemen Alisha hingga terbuka lebar. Alisha ternganga. Adegan semalam kembali terulang dan menciptakan dejavu yang tak menyenangkan.
Tubuh Alisha menegang. Ucapan Damian benar-benar mengejutkan perempuan itu. Ia tak menyangka, jika pria itu akan mengatakan hal yang tak terduga. Lagipula, dari mana Damian memiliki anggapan yang begitu mengejutkan? Apa sebenarnya Damian sadar bahwa dirinya tengah mengandung anak pria itu? Meski begitu, Alisha tak ingin Damian mengetahui kebenarannya. Dengan cepat ia menjawab pernyataan sang atasan. "Sepertinya pikiran Anda masih tertinggal di tempat tidur, Pak. Ini masih terlalu pagi, pantas jika ucapan Anda ngelantur!""Oh ya? Apa kau pikir begitu?" Damian memangkas jarak di antara mereka. Alisha semakin terdesak dalam kamar mandi. Ruang geraknya terbatas. Ia kian tak berkutik di hadapan sang atasan. "Kalau gitu, katakan! Apa yang kau lakukan di poli kandungan rumah sakit kemarin siang?"Wajah Alisha menegang. Ia tak menyangka jika keberadaannya di rumah sakit kemarin, ternyata diketahui banyak orang. Arlan bukan satu-satunya dan masih ada orang lain yang menangkap basah keber
Damian dengan sigap menangkap tubuh Alisha sebelum perempuan itu jatuh menyentuh lantai. Beruntung, refleks si pria cukup tangkas hingga masih sempat menangkap tubuh si perempuan. Pelan, pria itu menepuk pipi Alisha yang tak sadarkan diri. "Alisha! Alisha!" panggil Damian berulang-ulang. Namun, tak juga ada respon dari si perempuan. Damian baru saja berniat membaringkan tubuh Alisha di atas lantai dan hendak melakukan tindakan darurat ketika seruan terdengar dari arah pintu. "Apa yang kau lakukan?!" seru laki-laki itu dengan nada tajam. Di saat bersamaan, Arlan muncul dari balik pintu ruangan sang atasan. Sigap ia menyingkirkan tangan Damian yang hendak memberikan tindakan darurat pada Alisha. "Bukan urusanmu! Minggir sekarang!" bantah sang pria menghalangi Arlan agar tidak ikut campur dengan urusannya. "Harusnya kau yang minggir! Biar aku yang membawa Alisha ke rumah sakit!" Arlan tak mau kalah. Sebisa mungkin, ia menghalangi Damian agar tidak menyentuh Alisha seujung kuku pu
Alisha mendapati Arlan tengah duduk di sampingnya ketika ia membuka mata. Kepalanya masih terasa pusing dengan pandangan mengabur. Namun, Alisha tak salah mengenali wajah muram lelaki itu. Seakan ada yang tengah ia pikirkan dengan serius hingga tak menyadari bahwa Alisha telah siuman. Kalau saja Alisha tak menyentuh punggung tangan lelaki yang berada di sampingnya itu, mungkin Arlan tak juga menyadarinya. "Hei, Sha. Kamu udah siuman?" tanya Arlan begitu sadar bahwa Alisha telah membuka mata. Lelaki itu dengan sigap bangkit dari tempat duduknya dan membantu Alisha yang berusaha menegakkan punggung. "Kalau masih terasa pusing, lebih baik kamu tiduran aja dulu," imbuhnya sambil menahan bobot tubuh Alisha yang hendak bangun. "Nggak apa-apa. Aku kuat kok.""Jangan dipaksakan kalau memang belum benar-benar kuat. Kepala kamu pasti masih pusing banget kan?"Hanya segaris senyum tipis yang membingkai wajah Alisha begitu mendengar ucapan Arlan. Lelaki itu terlalu memahaminya hingga membua
Dokter mengizinkan Alisha pulang pada hari itu juga. Arlan yang mengantarnya sampai apartemen perempuan itu, meski Alisha sudah menolaknya. Dengan dalih ia masih cukup kuat pulang seorang diri. "Ini bukan perkara kuat atau nggak kuat, tapi tanggung jawabku sebagai laki-laki!" Begitu ucap Arlan ketika sang junior bersikeras hendak pulang sendirian. Daripada perdebatan semakin panjang, Alisha mengalah. Dan, di sinilah mereka sekarang. Di apartemen Alisha yang mendadak terasa sunyi. Suasana canggung melingkupi mereka. Baik Alisha ataupun Arlan tiba-tiba menjadi pendiam. Bahkan tak saling bicara sedikit pun. Hingga Arlan yang tak betah berlama-lama diam, membuka percakapan lebih dulu. "Kamu belum makan. Mau kubuatkan sesuatu?" tawar Arlan setelah meminta sang junior untuk berbaring di kamar. "Nggak perlu repot-repot, Ar. Aku masih bisa bikin mie instan kalau lapar.""Sha, kamu lupa apa kata dokter? Kondisi kamu sedang nggak baik-baik saja dan janin dalam perut kamu butuh nutrisi. "