Semalaman Damian sudah memikirkan cara, bagaimana supaya membuat Alisha mengaku jika perempuan itu adalah perempuan yang sama yang telah melewatkan malam panas bersamanya. Intuisi Damian kian menguat setelah kejadian tadi malam. Mungkin hanya penampilan mereka saja yang berbeda, tapi Damian yakin pasti, hampir tidak ada manusia yang memiliki aroma sama persis. Bahkan satu merk parfum bisa menimbulkan aroma yang berbeda tergantung pemakainya. Ya, mirip atau menyerupai mungkin saja bisa terjadi, tapi jika sama persis, itu tak mungkin. Dan, Alisha memiliki aroma yang sama persis dengan perempuan yang malam itu ia renggut keperawanannya. Mana mungkin Damian bisa percaya begitu saja setelah melewati hal tersebut berulang kali. Berada dalam posisi di mana dirinya mencium aroma kuat yang berasal dari si perempuan. "Permisi, Pak. Boleh saya masuk?" ucap Alisha mengalihkan perhatian sang pria yang tengah fokus menatap layar komputer. Sekalipun pikirannya tengah bercabang. "Silakan!" Dami
Alisha kembali ke ruangannya dengan wajah masih pucat. Sepanjang hari itu, pikirannya sangat kacau. Bahkan ketika Damian - lagi-lagi - meminta hasil revisi, ia berjalan ke ruangan sang atasan dengan wajah linglung. Erika yang menyadari perubahan sikap si perempuan, mencegatnya ketika ia kembali ke meja kerjanya. "Sha, kamu sakit?" tanya sang ketua tim dua dengan raut muka khawatir. Demi mendengar pertanyaan rekan kerjanya, Arlan yang duduk beberapa meja dari sang ketua tim dua, melongokkan lehernya."Alisha sakit?" Lelaki itu memberikan pertanyaan yang lebih terdengar seperti memberikan perhatian. Apalagi tak lama kemudian, ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah sang junior. Tanpa permisi, Arlan menyentuh kening Alisha. Tidak panas, tapi wajah perempuan itu sangat pucat. "Apa yang sakit, Sha?" tanya lelaki itu untuk memastikan. Alisha tampak salah tingkah. Apalagi saat ini, ia tengah diperhatikan hampir seluruh karyawan dalam ruangan. "Eh? Nggak. Aku nggak apa-apa," boh
Damian baru kembali ke kantor setelah jam kerja berakhir. Ia mangkir setelah memberikan kabar pada Devano jika dirinya malas bekerja hari ini dan memilih mengasingkan diri. Sang direktur utama yang telah menggantikan tugas ayahnya sejak tiga tahun yang lalu, hanya mendengus kesal ketika menjawab telepon dari Damian. Ia tak bisa melarang apabila membantah, sebab salah satu syarat Damian mau membantunya mengurus Pixa adalah tidak terikatnya jam kerja. Bisa dikatakan, Damian akan bekerja sesuai dengan mood pria itu. Namun, ketika kembali ke kantor pada pukul lima sore, bukannya merasa lebih baik, ia justru semakin kesal. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah tawa canda dua anak buahnya yang terasa menjengkelkan. "Cih, itu yang dia bilang sakit? Atau hanya alasan saja biar bisa berduaan?" gumam Damian pada dirinya sendiri. Sementara, Alisha yang menyadari kedatangan sang atasan, seketika menghentikan candaannya dengan Arlan. Melihat sorot mata pria itu, entah mengapa ia merasa
Seringai di wajah Damian semakin lebar. Dugaannya benar. Alisha adalah perempuan yang sama yang ia tiduri pada malam itu. Sang tangan kanan pria itu telah menemukan bukti bahwa Alisha-lah sosok yang telah melewati malam panas bersamanya. Kali ini, Damian yakin Alisha tak akan bisa mengelak lagi setelah menunjukkan bukti yang ia miliki. "Heh, kau tak akan bisa lari dariku, Alisha!" ucap sang pria sambil menatap perempuan itu dari balik dinding kaca ruangannya. Tanpa menunggu lebih lama, Damian keluar ruangan tepat ketika kedua anak buahnya hendak pergi. "Kau, ikut aku!" ucapnya tegas pada Alisha yang kini mengerutkan kening. Tanpa sadar, Damian memperhatikan perempuan itu lebih detail ketimbang biasanya. Penampilan perempuan itu masih tetap sama ketika mereka bertemu di hari pertama di kantor Pixa. Rambut panjang yang sengaja dikuncir ekor kuda dengan kacamata yang membingkai wajahnya. Meski sekarang Damian yakin pasti, bahwa kacamata yang dikenakan perempuan itu bukanlah kacam
Wajah Alisha memucat. Seakan seluruh darah yang mengalir di tubuhnya, raib entah ke mana. Ia bahkan tak sanggup berdiri tegak di atas dua kakinya sendiri. Meski begitu, ia tak mungkin pingsan di hadapan seorang pria yang tengah menatapnya dengan raut muka murka. Terlebih orang itu adalah pria yang telah menghabiskan malam panas bersamanya. Alisha tak ingin hal buruk terjadi. Itulah sebabnya ia tetap berusaha tegar di atas kedua kakinya sendiri, meski saat ini seakan tak mampu lagi. Sedangkan Damian tak lepas menatap perubahan wajah si perempuan. Melihat raut mukanya saja, Damian menyadari jika Alisha sangat ketakutan hingga tak sanggup memberikan alasan. Dengan kata lain, perempuan itu mengakui jika dirinya adalah sosok yang sama dengan perempuan pada malam itu. Sekalipun mulutnya tak sanggup mengatakan apa pun. "Kau mau beralasan apalagi sekarang, hah? Katakan padaku, siapa yang mengirimmu?!" desak Damian semakin murka. Nada bicaranya meninggi. Penghinaan yang dulu ia rasakan a
Damian kehilangan kata ketika Alisha menunjukkan laman chat dengan seorang pria dari sebuah aplikasi kencan. Meski begitu, tidak menyurutkan amarah yang sudah terlanjur menguasai dirinya. Justru sebaliknya, ia semakin geram akibat menyadari kebodohan perempuan di depannya. Siapa yang mengira perempuan yang tampak polos dan belum pernah melakukan hubungan intim, justru memberikannya pada pria asing yang bersedia dibayar. 'Apa dia sudah sinting?!' bisik Damian dalam benaknya. Pria itu tak bisa memahami jalan pikiran Alisha yang dianggapnya sungguh gila. Bagaimana jadinya jika perempuan itu justru bertemu dengan pria yang diajaknya berkencan melalui dating app? Bukankah itu justru semakin berbahaya? Mengingat banyaknya orang jahat di dunia ini. Bagaimana jika perempuan itu justru berakhir tinggal namanya saja, ketika si pria asing yang ditemuinya di aplikasi kencan, ternyata seorang psikopat gila? Apa perempuan itu beruntung bertemu dirinya? Tidak juga. Karena bertemu dengan Damian
Harusnya, Damian menghukum Alisha begitu tahu bahwa perempuan itulah yang telah menghinanya dengan menganggap dirinya sebagai pria panggilan. Namun, saat melihat wajah pucat si perempuan, timbul perasaan tak tega dalam diri sang pria. Perlahan ia menjauhkan diri dari Alisha dan menatap perempuan itu dengan perasaan yang bahkan dirinya sendiri tak sanggup mengartikan. Hanya saja, melihat betapa pucat dan ketakutannya si perempuan menidurkan kembali monster yang hendak menguasai dirinya. Ini tak pernah terjadi pada Damian sebelumnya. Di negara yang menjadi tempat tinggalnya sebelumnya pun, ia dikenal sebagai pria berdarah dingin. Itu karena ia tak pernah pandang bulu ketika menghukum seseorang yang telah menghina dirinya. Jangankan menghina, melakukan kesalahan kecil pun, bakal membuat Damian naik pitam dan melenyapkan orang tersebut. Tidak peduli ia laki-laki ataupun perempuan. Tua, muda, anak-anak sekalipun. Bagi dirinya, orang yang telah melakukan kesalahan harus mendapatkan bal
Alisha baru saja hendak memasuki unit apartemennya ketika terdengar ledakan dari sisi kanan gedung apartemen meski tidak terlalu keras. Perempuan itu cukup kaget hingga menoleh ke arah sumber suara dan mendapati api sudah menjalar dari salah satu unit yang berada di lantai tiga. Tak lama kemudian, terdengar bunyi alarm tanda bahaya yang cukup memekakkan telinga. Disusul alat pemadam api otomatis yang nyalanya tak seberapa. Ia seketika panik. Alih-alih melarikan diri, ia justru bersimpuh si depan pintu unit apartemennya tanpa sanggup bergerak. Hingga seseorang dari salah satu unit di lantai yang sama keluar dengan wajah panik. Lelaki itu berhenti di hadapan Alisha ketika melihat kondisi si perempuan. "Mbak, Mbak nggak apa-apa? Ada unit yang terbakar, Mbak. "Kita mesti keluar dulu!" ucap lelaki itu sambil berjongkok di depan Alisha. Alisha tak segera mendapatkan kembali kesadarannya. Ia hampir sepenuhnya tenggelam dalam bayangan kelam ketika melihat api yang dengan cepat menyebar
Setelah melampiaskan kemarahannya, Arlan bergegas keluar kantor. Ia tak lagi peduli dengan rekan kerjanya yang lain ataupun sang atasan. Bahkan pria itu sama sekali tak peduli ketika Devano mencegahnya supaya jangan pergi. "Jangan kejar lagi! Beri dia waktu untuk memikirkan semua ini." Devano menahan Arlan yang hendak mencari Alisha. "Om, aku nggak bisa diam aja sementara di luar sana dia nggak punya orang lain buat bersandar!" tegas Arlan tak terkendali. Membongkar identitasnya sebagai keponakan sang CEO dari pernikahan adik sang ibu dengan Devano, yang selama ini disembunyikan. Itu pula yang membuatnya dengan mudah memasukkan Alisha dalam departemen kreatif atas rekomendasi darinya. "Ini masih jam kerja," ucap Devona mencoba menahan Arlan. Namun, sepertinya keponakannya itu tetap tak mau dengar. Arlan bergegas menuju tempat parkir yang baru saja disinggahinya beberapa saat lalu. Dengan sedikit ngebut, ia mengendarai mobilnya membelah jalanan ibukota. Macet. Sudah pasti. Hal
Arlan menjadi orang terakhir yang tahu tentang kehebohan di kantor begitu datang. Ia sama sekali tidak mengecek ponsel - apalagi grup perusahaan - selama perjalanan menuju kantor Pixa. Pria itu begitu fokus menyetir. Terlebih di jam-jam macet saat dirinya berangkat hari ini. Tidak seperti biasa, ia memang sedikit terlambat hingga membuatnya terjebak dalam kemacetan cukup lama. Begitu sampai kantor lima belas menit setelah jam masuk, ia diserbu oleh Erika dan yang lain. "Dari mana aja? Kenapa mesti telat di hari genting kayak gini?" tanya Erika dengan wajah panik. "Kenapa? Ada apa? Segenting apa sih sampe bikin kalian tegang gitu?" Arlan masih sempat bercanda. Ia sama sekali tidak mengetahui huru-hara apa yang tengah terjadi. Erika menghela napas panjang. Ia melirik kepada rekan kerjanya yang lain sebelum menjawab pertanyaan pria muda itu. "Alisha mengundurkan diri. Gosipnya rame tersebar di grup perusahaan. Apa kamu nggak tahu tentang sesuatu?" tanya Mariska cukup berhati-hati
Dada Alisha terasa sesak. Rasanya lebih menyakitkan ketika Damian merebut surat pengunduran dirinya dan membubuhkan tanda tangan. Padahal ia sendiri yang mengambil keputusan tersebut. Kenapa ia harus merasa terluka? Apa karena Damian lebih memilih percaya dengan apa yang dia lihat, ketimbang Alisha? Ya, lagipula siapa yang tidak salah paham, jika melihatnya berdua mengantre di depan poli kandungan bersama Arlan? Orang lain bisa jadi juga memiliki pemikiran yang sama. Perlu diingat lagi, Alisha bahkan tak mau mengakui jika malam di mana keduanya menghabiskan waktu bersama, telah membuahkan hasil dalam rahimnya. 'Benar Alisha, ini masalahmu sendiri!' suara dalam benak Alisha memberi peringatan. Ia tak boleh gentar. "Terima kasih, Pak. Saya pamit," ucapnya saat mengambil kembali surat pengunduran diri yang telah ditandatangani oleh Damian. Ia hendak pergi ketika Damian memanggilnya. "Tunggu! Bagaimana kamu akan menjelaskan pada pihak HRD?" tanya pria itu dengan sorot mata dingi
Arlan menatap perempuan yang duduk di sampingnya. Mereka sedang antre obat yang harus ditebus setelah melakukan pemeriksaan. Pikiran pria itu berkecamuk. Kemunculan Damian yang tiba-tiba dan mengucapkan kalimat absurd, mengganggu pikiran Arlan. Sementara Alisha tak banyak bicara. Ia memilih bungkam tanpa mengatakan apa pun, meski Arlan berulang-ulang mengajukan pertanyaan. Meski begitu, Arlan memahami satu hal. Sepertinya, pria itulah yang telah menanamkan benih dalam rahim Alisha. Melihat gelagat sang junior, sepertinya dugaannya tak terbantahkan. "Nona Alisha," panggilan dari microphone mengalihkan pikiran Arlan. Ia menoleh ke kanan, sepertinya ada manusia yang lebih penuh pikirannya ketimbang pria itu. Sebagai gantinya, Arlan yang bangkit dari tempat duduk. Menuju ke loket pengambilan obat. Setelah mendengarkan penjelasan dari petugas apoteker yang berjaga, barulah ia meninggalkan tempat tersebut. Kembali kepada Alisha yang masih tampak bengong di tempatnya. "Ayo, aku aka
Alisha tak sanggup menyembunyikan ekspresi terkejut di wajahnya. Ia tampak gugup. Membuat Damian semakin mencurigai sikap perempuan itu. "Melihat reaksimu, sepertinya benar telah terjadi sesuatu setelah malam itu bukan?" desak Damian semakin gencar. Perempuan itu menggeleng cepat. Menyangkal pertanyaan sang atasan. "Tidak terjadi apa pun, Pak. Kalau itu yang ingin Anda dengar! Anda salah paham jika beranggapan telah terjadi sesuatu malam itu." 'Kalau begitu, kenapa kamu bersikap seolah ada makhluk hidup dalam perutmu?' Itu yang ingin dikatakan Damian. Namun, lidah pria itu terasa kelu. Damian menelan kembali kalimat di ujung lidahnya setelah menyadari jika ucapannya hanya akan memperkeruh suasana di antara mereka. Apabila memang terjadi sesuatu setelah malam itu, ia harus menggunakan pendekatan yang berbeda untuk merebut hati ibu sekaligus anaknya. Ya, Damian meyakini satu hal, perempuan itu tengah mengandung anaknya. Itulah alasan kuat yang membuat pikirannya kacau akh
Alisha tak bisa menghindari tatapan Damian. Pria itu menunjukkan sikap dominannya sebagai seorang pria. Di saat yang sama, sorot matanya Alisha tak bisa menghindari tatapan Damian. Pria itu menunjukkan sikap dominannya sebagai seorang pria. Di saat yang sama, sorot matanya juga seakan pria itu begitu mendamba pada Alisha. Menyudutkan Alisha yang tak sanggup mengalihkan tatapan dari sang atasan. "Apa yang membuatmu benci padaku? Katakan!" Alisha tergagap. Ia tak pernah membenci pria di depannya itu. Bagaimana bisa Alisha memiliki perasaan itu, jika tahu bahwa Damianlah ayah dari anak yang ada dalam kandungannya. Sekalipun ingin, Alisha tak pernah benar-benar bisa membenci pria yang telah memberikan pengalaman tak terlupakan malam itu. Bahkan dengan kurang ajarnya, Alisha terkadang masih membayangkan sensasi memabukkan itu menguasai dirinya pada momen-momen tertentu. Ia terpikat. Dirinya telah menyatu dengan pria yang berdiri di depannya itu tanpa sanggup menghindarinya seperti
Damian tersenyum getir begitu Alisha menghilang dari pandangannya. Perempuan itu mengancamnya? Yang benar saja! Padahal bukan seperti ini yang Damian harapkan. Hingga pintu ruangan kembali terbuka disusul wajah Devano yang mengerut. Tampak heran dengan ekspresi wajah Damian yang seakan ingin menelan orang hidup-hidup. "Urusanmu dengan pria tua itu masih belum selesai?" ucap Devano mengalihkan perhatian Damian. Pria itu hanya bungkam tanpa berniat menjawab ucapan sang atasan yang juga sahabat karibnya. "Oh, bukan masalah itu ya. Lalu, siapa? Apa mungkin asistenmu?" ucap Devano kemudian ketika tak mendapat respon dari Damian. Meski tak secara terang-terangan, kali ini Damian memberikan respon dengan mendengus kesal. Dengan rahang tetap mengeras sambil menatap tak fokus ke sudut ruangan. "Ternyata benar karena Alisha. Sekarang apalagi?" Devano terus berbicara meski tak juga mendapatkan respon dari sahabatnya itu. Sudah biasa. Jika lelah sendiri, Damian pasti akan men
Semakin lama, Damian semakin curiga dengan sikap Alisha. Ini hari ketiga di mana perempuan itu telah resmi menjadi asistennya. Bahkan Alisha mendapatkan meja tersendiri di ruangan Damian dan terpisah dari karyawan yang lain. Melihat hal itu, sepertinya sang pemilik perusahaan sudah mengizinkan Damian mengambil langkah tersebut. Meski timbul perasaan pada Alisha mengingat orang-orang di ruang Departemen Kreatif menatapnya sejak menjadi asisten sang atasan. Kecuali para ketua tim yang sudah akrab dengan perempuan itu sejak pertama kali ini bergabung dengan perusahaan ini. Tatapan iri justru terlihat jelas dari para rekan kerja seumurannya. Tak terkecuali Mazaya dan Arin yang mendeklarasikan permusuhan di antara mereka. Setelah insiden yang membuat keduanya dihukum pun, mereka tak juga jera dan masih berusaha mencari masalah dengan Alisha. Bahkan kini secara terang-terangan menyindir perempuan itu setiap kali berpapasan. Alisha memilih tak ambil pusing. Kerjaannya semakin banyak dan
Ruangan yang sempat sunyi akibat sikap impulsif Damian, kini justru ramai akibat ucapan sang atasan. Mereka saling pandang sebelum akhirnya menggoda staf junior yang baru bergabung beberapa minggu terakhir. "Apa itu tadi? Jadi asisten Pak Damian?" Erika mengulang ucapan Damian begitu sang atasan kembali ke ruangannya. "Jadi, apa yang terjadi sampai hubungan kalian berkembang sepesat ini?" goda Rini yang lebih dulu mencium gelagat aneh sang atasan dan staf junior di divisi mereka. "Yakin, pasti ada yang terjadi kan di antara kalian? Kalau nggak, mana mungkin si Snowman itu tiba-tiba perhatian. "Lalu, apa katanya tadi? Asisten? Wah, ini sih awal kebucinan," ucap Mariska tak kalah antusias menggoda Alisha. "Mbak, bukan gitu. Yang ada, ini tuh perbudakan jenis baru tahu!" Alisha mengelak. Kebucinan apanya? Justru Damian secara terang-terangan bakal menjerat dirinya sebagai budak. Alisha menghela napas panjang. Sepertinya mulai hari ini, hari-harinya semakin berat saja. "Ck, aku si