Harusnya, Damian menghukum Alisha begitu tahu bahwa perempuan itulah yang telah menghinanya dengan menganggap dirinya sebagai pria panggilan. Namun, saat melihat wajah pucat si perempuan, timbul perasaan tak tega dalam diri sang pria. Perlahan ia menjauhkan diri dari Alisha dan menatap perempuan itu dengan perasaan yang bahkan dirinya sendiri tak sanggup mengartikan. Hanya saja, melihat betapa pucat dan ketakutannya si perempuan menidurkan kembali monster yang hendak menguasai dirinya. Ini tak pernah terjadi pada Damian sebelumnya. Di negara yang menjadi tempat tinggalnya sebelumnya pun, ia dikenal sebagai pria berdarah dingin. Itu karena ia tak pernah pandang bulu ketika menghukum seseorang yang telah menghina dirinya. Jangankan menghina, melakukan kesalahan kecil pun, bakal membuat Damian naik pitam dan melenyapkan orang tersebut. Tidak peduli ia laki-laki ataupun perempuan. Tua, muda, anak-anak sekalipun. Bagi dirinya, orang yang telah melakukan kesalahan harus mendapatkan bal
Alisha baru saja hendak memasuki unit apartemennya ketika terdengar ledakan dari sisi kanan gedung apartemen meski tidak terlalu keras. Perempuan itu cukup kaget hingga menoleh ke arah sumber suara dan mendapati api sudah menjalar dari salah satu unit yang berada di lantai tiga. Tak lama kemudian, terdengar bunyi alarm tanda bahaya yang cukup memekakkan telinga. Disusul alat pemadam api otomatis yang nyalanya tak seberapa. Ia seketika panik. Alih-alih melarikan diri, ia justru bersimpuh si depan pintu unit apartemennya tanpa sanggup bergerak. Hingga seseorang dari salah satu unit di lantai yang sama keluar dengan wajah panik. Lelaki itu berhenti di hadapan Alisha ketika melihat kondisi si perempuan. "Mbak, Mbak nggak apa-apa? Ada unit yang terbakar, Mbak. "Kita mesti keluar dulu!" ucap lelaki itu sambil berjongkok di depan Alisha. Alisha tak segera mendapatkan kembali kesadarannya. Ia hampir sepenuhnya tenggelam dalam bayangan kelam ketika melihat api yang dengan cepat menyebar
Sejak pagi Alisha telah disibukkan dengan aktivitasnya di dapur. Akibat titah sang atasan yang mengatakan bahwa ia harus menyiapkan bekal untuk pria itu. Jadilah ia sudah sibuk sejak pagi. Sebenarnya, bisa saja Alisha mengabaikan ucapan sang atasan. Ia tak harus membuat bekal bagi pria dingin itu. Apalagi setelah insiden semalam. Lewat tengah malam, api baru berhasil dipadamkan. Beruntung tak ada kerusakan yang cukup parah pada unit hunian yang lain, hingga masih bisa ditempati dengan nyaman. Tubuh Alisha terasa lelah. Itu pun, ia tak bisa langsung tidur akibat bayangan kebakaran yang mengusik pikirannya. Namun, pagi-pagi buta ia harus terbangun ketika mengingat pesan sang atasan sebelum dirinya turun dari mobil pria itu semalam. Lebih dari itu, Alisha ingin membalas perbuatan baik tetangganya yang telah menyelamatkan dirinya semalam. Ibunya pernah mengajarkan untuk membalas perbuatan baik orang lain sekecil apa pun bantuan yang telah diberikan. Termasuk berbagi makanan. Jadi,
Hingga pada hari kelima setelah permintaan Damian untuk membuatkannya bekal, pria itu tak juga terlihat di kantor. Ruangan sang pria yang biasanya tak pernah sepi dari makian, kini mendadak sunyi. Keriuhan justru terjadi di ruangan staff yang dipisahkan oleh dinding-dinding kayu di antara satu sama lain. Ada saja pembicaraan yang mereka lontarkan. Mulai dari pembicaraan sepele hingga membicarakan sang atasan yang tak juga masuk kantor setelah lima hari izin. Asumsi mereka semakin tak terkendali. Ada saja yang mereka bicarakan tentang Damian. Termasuk kemungkinan bahwa pria itu telah dibebastugaskan alias dirumahkan alias dipecat. Meski rumor itu sama sekali tak berdasar. Tetap saja kabar tentang pemecatan kepada sang direktur kreatif selalu berembus seperti angin segar. Acara makan-makan setiap kali jam istirahat pun lebih sering digelar. Berawal dari Alisha yang membawa bekal pada hari pertama untuk Damian dan berakhir di atas meja pantry akibat makanan itu tak lagi bertuan. Se
Pagi ini terasa asing bagi Alisha. Ia belum terbiasa dengan pemandangan ruangan kosong milik sang atasan. Padahal sudah lebih dari lima hari berlalu. Bisa dibilang mereka pun baru terlibat dalam beberapa hari terakhir. Itu pun tak memiliki kesan satu sama lain. Bahkan kerja sama tim pun tak terbentuk kuat di antara keduanya. Justru Damian sering kali memaki hasil kinerja Alisha yang dirasa kurang ini, kurang itu. Tidak jarang si pria dingin itu meminta Alisha merevisi hasil kinerjanya. Hingga si perempuan mengeluhkan perilaku kejam sang atasan. Meski begitu, seakan ada ruang kosong dalam diri Alisha yang membuatnya merasa hampa, ketika menatap ruangan Damian yang sudah tak berpenghuni lebih dari lima hari. "Huft!" Tanpa sadar Alisha menghela napas panjang. Tepat ketika Erika memasuki ruangan disusul Arlan yang berjalan di belakangnya. "Sha, desain yang diminta perusahaan coklat itu udah beres kan? Klien minta kita ketemu pagi ini buat liat desainnya." Wajah Erika tampak panik ke
"Ah, benar. Tentu Anda sekalian sudah mengenal CEO kami. Beliau juga membantu di Pixa belum lama ini. "Jadi, saya rasa tak perlu perkenalkan lebih jauh di antara kita." Pria yang semula menjemput Alisha dan Erika di lobi kantor, membuyarkan keterkejutan sekaligus suasana tegang di antara mereka. Lalu, meminta para tamunya untuk masuk ke ruangan sang CEO yang urung meninggalkan ruangan. Alisha masih tertegun. Hampir seminggu ia tak bertemu dengan pria berwajah dingin yang kini duduk di depannya. Suasana di antara keduanya menjadi canggung. Tak hanya berpura-pura tak kenal, Damian juga tampak lebih dingin dibandingkan saat terakhir kali mereka bertemu. Padahal, sudah jelas sebelumnya bahwa asisten pria itu - atau siapa pun pria yang sebelumnya menjemput Alisha dan Erika - mengatakan bahwa dirinya pernah bekerja untuk Pixa. Sementara Alisha kehilangan kata. Cukup banyak kalimat tanya yang berdesakan dalam benak Alisha. Namun, tak satu pun di antaranya yang sanggup diucapkan pada s
Napas Alisha masih naik-turun ketika meninggalkan ruangan sang CEO. Sungguh, ia tak ingin berurusan lagi dengan pria itu. Bertemu dengannya hanya membuat Alisha merasa frustrasi. Padahal bisa kan, seharusnya menggunakan kalimat yang lebih manusiawi ketika berbincang dengan rekan bisnisnya? Damian justru menggunakan kalimat paling kasar yang pernah Alisha dengar. Bagaimana ia tak stres mendadak jika menghadapi klien yang memiliki tipikal seperti Damian. Kalau saja Alisha tak menyadari posisinya sebagai pegawai baru di Pixa, ia pasti akan menumpahkan segala serapah yang sudah menumpuk di ujung lidahnya. Sayangnya, Alisha harus tetap bertahan dengan pekerjaannya saat ini hingga ingin bertahan hidup. Setidaknya sampai rekening tabungannya kembali aman setelah ia gunakan berfoya-foya selama beberapa hari di Paris. "Sha, kamu nggak apa-apa?" tanya Erika yang membuntuti Alisha dari belakang. Tanpa sadar, Alisha berjalan cepat hingga meninggalkan ketua timnya itu di belakang. Perempuan
Arlan yang sore itu mengantarkan ibunya untuk melakukan medical check up secara rutin, tampak terkejut ketika melihat Alisha memasuki poli kandungan. Memang, datang ke poli kandungan bukan hanya tentang memeriksakan kehamilan seperti kebanyakan anggapan orang selama ini. Namun, stereotip tentang hal tersebut tak bisa dihilangkan begitu saja dari anggapan kebanyakan orang. Bagi mereka, datang ke poli kandungan hanyalah untuk memeriksakan kehamilan. Begitu juga dengan pemikiran Arlan sebelum menepis jauh-jauh anggapan tersebut. 'Mungkin aku keliru. Bisa saja kan, dia periksa karena terjadi sesuatu pada kandungannya? Bukan berarti mesti hamil.' Ia berbisik dalam hati sebelum memutuskan beranjak dari tempat tersebut. Beberapa langkah dari tempatnya semula, Arlan berubah pikiran dan kembali dengan langkah dengan gusar. Pikiran tentang penyakit yang kemungkinan diderita Alisha justru membuatnya semakin bimbang. 'Apa ini keputusan yang tepat?' Arlan kembali mempertimbangkan keputusanny
Setelah melampiaskan kemarahannya, Arlan bergegas keluar kantor. Ia tak lagi peduli dengan rekan kerjanya yang lain ataupun sang atasan. Bahkan pria itu sama sekali tak peduli ketika Devano mencegahnya supaya jangan pergi. "Jangan kejar lagi! Beri dia waktu untuk memikirkan semua ini." Devano menahan Arlan yang hendak mencari Alisha. "Om, aku nggak bisa diam aja sementara di luar sana dia nggak punya orang lain buat bersandar!" tegas Arlan tak terkendali. Membongkar identitasnya sebagai keponakan sang CEO dari pernikahan adik sang ibu dengan Devano, yang selama ini disembunyikan. Itu pula yang membuatnya dengan mudah memasukkan Alisha dalam departemen kreatif atas rekomendasi darinya. "Ini masih jam kerja," ucap Devona mencoba menahan Arlan. Namun, sepertinya keponakannya itu tetap tak mau dengar. Arlan bergegas menuju tempat parkir yang baru saja disinggahinya beberapa saat lalu. Dengan sedikit ngebut, ia mengendarai mobilnya membelah jalanan ibukota. Macet. Sudah pasti. Hal
Arlan menjadi orang terakhir yang tahu tentang kehebohan di kantor begitu datang. Ia sama sekali tidak mengecek ponsel - apalagi grup perusahaan - selama perjalanan menuju kantor Pixa. Pria itu begitu fokus menyetir. Terlebih di jam-jam macet saat dirinya berangkat hari ini. Tidak seperti biasa, ia memang sedikit terlambat hingga membuatnya terjebak dalam kemacetan cukup lama. Begitu sampai kantor lima belas menit setelah jam masuk, ia diserbu oleh Erika dan yang lain. "Dari mana aja? Kenapa mesti telat di hari genting kayak gini?" tanya Erika dengan wajah panik. "Kenapa? Ada apa? Segenting apa sih sampe bikin kalian tegang gitu?" Arlan masih sempat bercanda. Ia sama sekali tidak mengetahui huru-hara apa yang tengah terjadi. Erika menghela napas panjang. Ia melirik kepada rekan kerjanya yang lain sebelum menjawab pertanyaan pria muda itu. "Alisha mengundurkan diri. Gosipnya rame tersebar di grup perusahaan. Apa kamu nggak tahu tentang sesuatu?" tanya Mariska cukup berhati-hati
Dada Alisha terasa sesak. Rasanya lebih menyakitkan ketika Damian merebut surat pengunduran dirinya dan membubuhkan tanda tangan. Padahal ia sendiri yang mengambil keputusan tersebut. Kenapa ia harus merasa terluka? Apa karena Damian lebih memilih percaya dengan apa yang dia lihat, ketimbang Alisha? Ya, lagipula siapa yang tidak salah paham, jika melihatnya berdua mengantre di depan poli kandungan bersama Arlan? Orang lain bisa jadi juga memiliki pemikiran yang sama. Perlu diingat lagi, Alisha bahkan tak mau mengakui jika malam di mana keduanya menghabiskan waktu bersama, telah membuahkan hasil dalam rahimnya. 'Benar Alisha, ini masalahmu sendiri!' suara dalam benak Alisha memberi peringatan. Ia tak boleh gentar. "Terima kasih, Pak. Saya pamit," ucapnya saat mengambil kembali surat pengunduran diri yang telah ditandatangani oleh Damian. Ia hendak pergi ketika Damian memanggilnya. "Tunggu! Bagaimana kamu akan menjelaskan pada pihak HRD?" tanya pria itu dengan sorot mata dingi
Arlan menatap perempuan yang duduk di sampingnya. Mereka sedang antre obat yang harus ditebus setelah melakukan pemeriksaan. Pikiran pria itu berkecamuk. Kemunculan Damian yang tiba-tiba dan mengucapkan kalimat absurd, mengganggu pikiran Arlan. Sementara Alisha tak banyak bicara. Ia memilih bungkam tanpa mengatakan apa pun, meski Arlan berulang-ulang mengajukan pertanyaan. Meski begitu, Arlan memahami satu hal. Sepertinya, pria itulah yang telah menanamkan benih dalam rahim Alisha. Melihat gelagat sang junior, sepertinya dugaannya tak terbantahkan. "Nona Alisha," panggilan dari microphone mengalihkan pikiran Arlan. Ia menoleh ke kanan, sepertinya ada manusia yang lebih penuh pikirannya ketimbang pria itu. Sebagai gantinya, Arlan yang bangkit dari tempat duduk. Menuju ke loket pengambilan obat. Setelah mendengarkan penjelasan dari petugas apoteker yang berjaga, barulah ia meninggalkan tempat tersebut. Kembali kepada Alisha yang masih tampak bengong di tempatnya. "Ayo, aku aka
Alisha tak sanggup menyembunyikan ekspresi terkejut di wajahnya. Ia tampak gugup. Membuat Damian semakin mencurigai sikap perempuan itu. "Melihat reaksimu, sepertinya benar telah terjadi sesuatu setelah malam itu bukan?" desak Damian semakin gencar. Perempuan itu menggeleng cepat. Menyangkal pertanyaan sang atasan. "Tidak terjadi apa pun, Pak. Kalau itu yang ingin Anda dengar! Anda salah paham jika beranggapan telah terjadi sesuatu malam itu." 'Kalau begitu, kenapa kamu bersikap seolah ada makhluk hidup dalam perutmu?' Itu yang ingin dikatakan Damian. Namun, lidah pria itu terasa kelu. Damian menelan kembali kalimat di ujung lidahnya setelah menyadari jika ucapannya hanya akan memperkeruh suasana di antara mereka. Apabila memang terjadi sesuatu setelah malam itu, ia harus menggunakan pendekatan yang berbeda untuk merebut hati ibu sekaligus anaknya. Ya, Damian meyakini satu hal, perempuan itu tengah mengandung anaknya. Itulah alasan kuat yang membuat pikirannya kacau akh
Alisha tak bisa menghindari tatapan Damian. Pria itu menunjukkan sikap dominannya sebagai seorang pria. Di saat yang sama, sorot matanya Alisha tak bisa menghindari tatapan Damian. Pria itu menunjukkan sikap dominannya sebagai seorang pria. Di saat yang sama, sorot matanya juga seakan pria itu begitu mendamba pada Alisha. Menyudutkan Alisha yang tak sanggup mengalihkan tatapan dari sang atasan. "Apa yang membuatmu benci padaku? Katakan!" Alisha tergagap. Ia tak pernah membenci pria di depannya itu. Bagaimana bisa Alisha memiliki perasaan itu, jika tahu bahwa Damianlah ayah dari anak yang ada dalam kandungannya. Sekalipun ingin, Alisha tak pernah benar-benar bisa membenci pria yang telah memberikan pengalaman tak terlupakan malam itu. Bahkan dengan kurang ajarnya, Alisha terkadang masih membayangkan sensasi memabukkan itu menguasai dirinya pada momen-momen tertentu. Ia terpikat. Dirinya telah menyatu dengan pria yang berdiri di depannya itu tanpa sanggup menghindarinya seperti
Damian tersenyum getir begitu Alisha menghilang dari pandangannya. Perempuan itu mengancamnya? Yang benar saja! Padahal bukan seperti ini yang Damian harapkan. Hingga pintu ruangan kembali terbuka disusul wajah Devano yang mengerut. Tampak heran dengan ekspresi wajah Damian yang seakan ingin menelan orang hidup-hidup. "Urusanmu dengan pria tua itu masih belum selesai?" ucap Devano mengalihkan perhatian Damian. Pria itu hanya bungkam tanpa berniat menjawab ucapan sang atasan yang juga sahabat karibnya. "Oh, bukan masalah itu ya. Lalu, siapa? Apa mungkin asistenmu?" ucap Devano kemudian ketika tak mendapat respon dari Damian. Meski tak secara terang-terangan, kali ini Damian memberikan respon dengan mendengus kesal. Dengan rahang tetap mengeras sambil menatap tak fokus ke sudut ruangan. "Ternyata benar karena Alisha. Sekarang apalagi?" Devano terus berbicara meski tak juga mendapatkan respon dari sahabatnya itu. Sudah biasa. Jika lelah sendiri, Damian pasti akan men
Semakin lama, Damian semakin curiga dengan sikap Alisha. Ini hari ketiga di mana perempuan itu telah resmi menjadi asistennya. Bahkan Alisha mendapatkan meja tersendiri di ruangan Damian dan terpisah dari karyawan yang lain. Melihat hal itu, sepertinya sang pemilik perusahaan sudah mengizinkan Damian mengambil langkah tersebut. Meski timbul perasaan pada Alisha mengingat orang-orang di ruang Departemen Kreatif menatapnya sejak menjadi asisten sang atasan. Kecuali para ketua tim yang sudah akrab dengan perempuan itu sejak pertama kali ini bergabung dengan perusahaan ini. Tatapan iri justru terlihat jelas dari para rekan kerja seumurannya. Tak terkecuali Mazaya dan Arin yang mendeklarasikan permusuhan di antara mereka. Setelah insiden yang membuat keduanya dihukum pun, mereka tak juga jera dan masih berusaha mencari masalah dengan Alisha. Bahkan kini secara terang-terangan menyindir perempuan itu setiap kali berpapasan. Alisha memilih tak ambil pusing. Kerjaannya semakin banyak dan
Ruangan yang sempat sunyi akibat sikap impulsif Damian, kini justru ramai akibat ucapan sang atasan. Mereka saling pandang sebelum akhirnya menggoda staf junior yang baru bergabung beberapa minggu terakhir. "Apa itu tadi? Jadi asisten Pak Damian?" Erika mengulang ucapan Damian begitu sang atasan kembali ke ruangannya. "Jadi, apa yang terjadi sampai hubungan kalian berkembang sepesat ini?" goda Rini yang lebih dulu mencium gelagat aneh sang atasan dan staf junior di divisi mereka. "Yakin, pasti ada yang terjadi kan di antara kalian? Kalau nggak, mana mungkin si Snowman itu tiba-tiba perhatian. "Lalu, apa katanya tadi? Asisten? Wah, ini sih awal kebucinan," ucap Mariska tak kalah antusias menggoda Alisha. "Mbak, bukan gitu. Yang ada, ini tuh perbudakan jenis baru tahu!" Alisha mengelak. Kebucinan apanya? Justru Damian secara terang-terangan bakal menjerat dirinya sebagai budak. Alisha menghela napas panjang. Sepertinya mulai hari ini, hari-harinya semakin berat saja. "Ck, aku si