Suasana di antara mereka tampak tegang. Hampir tak ada percakapan di antara keduanya. Bukan hanya hampir, tapi memang tak ada percakapan sama sekali antara Alisha dengan sang atasan. Baik Alisha ataupun Damian sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing. Terlebih bagi Alisha yang sengaja tak ingin identitasnya diketahui sang atasan. Ia sengaja menghindari percakapan dengan Damian di luar urusan pekerjaan. Membicarakan urusan pekerjaan saja sudah membuat Alisha naik darah, bagaimana mereka bisa membicarakan hal lain? Rasanya tak mungkin mereka bakal menjadi teman ngobrol satu sama lain. Lebih dari itu, tanpa berbincang dengan sang atasan saja sudah membuat jantung Alisha berdegup kencang. Apalagi saat ia merasakan tatapan yang mengintimidasi dari sosok pria yang berdiri di belakangnya sambil bersandar pada dinding elevator. Degup jantung Alisha makin kencang dengan berbagai kemungkinan yang ia pikirkan dalam benaknya. 'Kenapa dia serius gitu sih? Tidak mungkin dia tahu siapa aku
"Tentu saja tidak!" seru Alisha menjawab pertanyaan sang atasan. Meski tak bisa menyembunyikan kegugupannya dengan sempurna, perempuan itu tetap berusaha tampak biasa saja. "Mana mungkin kita pernah bertemu? Bapak kan selama ini tinggal di Paris!" imbuhnya masih dengan suara lantang hanya demi menutupi kegugupannya. Sementara Damian menatapnya dengan sepasang alis berkerut. "Paris? Dari mana kamu tahu kalau selama ini aku tinggal di Paris?"Alisha cukup kaget dengan pertanyaan yang diajukan Damian. Namun, ia tak bisa menunjukkannya begitu saja di depan sang atasan. Ia berusaha keras mencari alasan agar Damian tak curiga. Sebab, tidak mungkin Alisha mengatakan bahwa ia bertemu dengan pria itu dan menghabiskan malam bersama sang atasan selama di Paris. "Ada rumor yang mengatakan kalau Bapak, tinggal di Paris selama ini." Kebohongan Alisha tidak sepenuhnya keliru. Ia memang mendengar rumor yang mengatakan bahwa Damian adalah seorang pria blesteran Prancis dan Indonesia. Namun, buk
Sepasang mata Alfian mengerjap cepat. Lelaki itu berusaha mencerna ucapan Alisha yang terdengar ambigu. Selama menjalin hubungan dengannya, Alisha bahkan hampir tak mau dia sentuh. Berciuman pun, jika lelaki itu tak memaksanya lebih dulu, Alisha tak akan mengizinkan Alfian menyentuhnya. Lantas bagaimana mungkin ungkapan yang terdengar ambigu itu, terucap dari mulut Alisha? Perempuan itu pasti bergurau. Namun, ekspresi serius Alisha membuat lelaki itu meragu seketika. "A-apa maksud kamu, Sha? Kamu ... jadi selama ini ... kamu juga mendua di belakangku?"Tawa Alisha lepas seketika. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran lelaki yang pernah menjadi kekasihnya itu. "Benar-benar lucu. Kamu kira aku sama kayak kamu?!" ucap Alisha dengan nada mengejek. "Lebih baik kamu pergi sekarang, sebelum aku benar-benar memanggil Satpam!" imbuhnya dengan penuh penekanan. "Tunggu, tunggu! Kamu harus jelaskan dulu apa maksud ucapan kamu, Sha? "Jadi, kamu sudah pernah tidur dengan laki-laki dan ora
Punggung Alisha seketika menegak begitu Damian memanggil namanya. Pria itu baru saja sampai di pintu ruangan departemen kreatif, tapi sudah lebih dulu memanggil si perempuan. "Ke ruanganku sekarang!" imbuhnya masih dengan nada dingin sejak pertemuan mereka sebagai atasan dan bawahan. Pria itu bahkan tak sedikit pun menoleh ke arah Alisha ketika berjalan ke ruangannya. 'Benar-benar manusia salju! Bagaimana bisa dia bersikap begitu hangat malam itu, kalau aslinya kayak Snowman?' bisik perempuan itu dalam hati. Lagi-lagi Alisha terkenang malam panas yang telah dilewati bersama sang atasan. Dan, hal itu membuat pikirannya kembali kacau. 'Fokus, Alisha! Tujuanmu datang ke sini buat bekerja, bukan untuk terlibat hubungan romantis atau semacamnya!' seru Alisha sebelum bangkit dari tempat duduknya. "Ya, Pak." Ia menjawab singkat.Lalu, ia bergegas bangun dan mengikuti langkah kaki Damian menuju ruangan sang pria. "Kamu nggak papa? Kamu bisa tolak kalau orang mempersulit kamu, Sha," uca
Damian paling tidak suka kehidupannya terusik. Dan sejak tadi, ia terusik dengan keberadaan Arlan yang duduk di belakang kemudi. Bukan hanya kinerja lelaki itu yang dianggap buruk, tapi sikapnya pun dianggap berlebihan. Lelaki itu mengemudikan mobil dengan kecepatan rendah, akibat Alisha mengeluhkan kurang enak badan. Padahal perempuan itu sudah mengonfirmasi jika kondisi sudah lebih baik ketika berangkat dinas luar. Meski begitu, Arlan tetap memelankan laju mobilnya hanya demi membuat Alisha merasa nyaman. Tampak jelas jika lelaki itu sedang berusaha menarik simPATI si perempuan. "Cih, manusia bucin!" gumam pria itu pada dirinya sendiri ketika melihat perlakuan Arlan. Lelaki itu baru saja menyodorkan sebotol air mineral pada perempuan yang duduk di sampingnya.Padahal tangan Alisha lebih leluasa ketimbang Arlan yang tengah mengemudi. Justru lelaki itulah yang membuka tutup botol air mineral si perempuan. Sementara Arlan ataupun Alisha yang berada di bangku depan, pura-pura tak
Damian membanting pintu di belakangnya begitu sampai ruangan. Wajahnya memerah menahan geram. Kalau saja tak ingat tujuannya datang ke negara ini, Damian pasti lebih memilih hengkang. Jangankan datang untuk memenuhi permintaan Devano, pria itu tak akan sudi datang ke tempat ini. Terlebih terlibat dengan orang-orang bodoh yang membuatnya naik darah setiap saat. Baru beberapa saat lalu, salah seorang stafnya kembali membuat ulah. Iklan untuk media sosial yang seharusnya dikerjakan oleh tim dua, hancur berantakan ketika dipresentasikan di hadapan klien. Ketua tim dua salah memasukkan data yang seharusnya milik perusahaan lain. Akibatnya seluruh iklan harus revisi total dan mereka mendapatkan penilaian buruk dari klien. Padahal Damian baru saja menjalani tugas luar dan masih merasa lelah, tapi sudah dibebani masalah baru lagi. Tok ... tok ... Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Damian. Meski begitu, rahang pria itu tak juga mengendur. Justru wajahnya semakin merah bersiap menumpa
Mulut Alisha gatal untuk tidak bertanya. Namun, sisi lain dalam dirinya menahan agar tak sembarangan buka suara. Ia tidak mudah percaya begitu saja pada orang baru. Sekalipun Erika sudah sedikit mengungkapkan tentang latar belakang perempuan itu. Bahwa ia seorang single mom yang memiliki anak satu tanpa terikat pernikahan. Alisha menganggap itu pengakuan yang cukup berani. Namun, tidak mudah bagi Alisha untuk mengungkapkan hubungannya dengan Damian. Toh memang tak ada hubungan apa pun di antara mereka. Ya, kecuali tentu saja malam panas yang pernah mereka lewati bersama kala itu. Dan, tak mungkin bagi Alisha mengungkapkan hal tersebut bukan? Kalau ia memang tak ingin Damian tahu siapa dirinya sebenarnya. Meski begitu tetap saja ia penasaran, dari mana Erika memiliki anggapan bahwa dirinya memiliki hubungan romansa dengan sang atasan? "Loh? Bukan ya?" tanya Erika ketika suasana di antara mereka menjadi canggung. Alisha tersenyum kikuk. Tak memiliki kata yang tepat untuk menjelas
"Tidak mungkin kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Aku yakin sekarang, kita pasti pernah bertemu bukan?"Itulah pertanyaan pertama yang justru terucap dari bibir Damian ketika jaraknya begitu dekat dengan Alisha. Sesaat sebelum pria itu memberikan benda pipih yang memancarkan cahaya dari flash light. Damian memang tak melihat dengan jelas wajah si gadis yang telah direnggut keperawanannya lebih dari dua minggu yang lalu. Satu hal yang membuat keyakinan Damian menguat. Aroma orange blossom yang tercium dari tubuh Alisha. Pria itu yakin, aroma yang ia hidu dari tubuh Alisha adalah aroma yang sama dengan si gadis sialan itu. Gadis sialan yang telah menganggap Damian sebagai pria panggilan dan menghancurkan martabatnya. Sementara raut muka Alisha tak hanya terlihat pucat, tapi juga tegang mendapat pertanyaan dari sang atasan. Menjadikan Damian kian mencurigai perempuan itu. "Lihat dirimu, kamu seperti maling yang sudah ketahuan mencuri!" tandas si pria. "Saya benar-benar tidak mem
Setelah melampiaskan kemarahannya, Arlan bergegas keluar kantor. Ia tak lagi peduli dengan rekan kerjanya yang lain ataupun sang atasan. Bahkan pria itu sama sekali tak peduli ketika Devano mencegahnya supaya jangan pergi. "Jangan kejar lagi! Beri dia waktu untuk memikirkan semua ini." Devano menahan Arlan yang hendak mencari Alisha. "Om, aku nggak bisa diam aja sementara di luar sana dia nggak punya orang lain buat bersandar!" tegas Arlan tak terkendali. Membongkar identitasnya sebagai keponakan sang CEO dari pernikahan adik sang ibu dengan Devano, yang selama ini disembunyikan. Itu pula yang membuatnya dengan mudah memasukkan Alisha dalam departemen kreatif atas rekomendasi darinya. "Ini masih jam kerja," ucap Devona mencoba menahan Arlan. Namun, sepertinya keponakannya itu tetap tak mau dengar. Arlan bergegas menuju tempat parkir yang baru saja disinggahinya beberapa saat lalu. Dengan sedikit ngebut, ia mengendarai mobilnya membelah jalanan ibukota. Macet. Sudah pasti. Hal
Arlan menjadi orang terakhir yang tahu tentang kehebohan di kantor begitu datang. Ia sama sekali tidak mengecek ponsel - apalagi grup perusahaan - selama perjalanan menuju kantor Pixa. Pria itu begitu fokus menyetir. Terlebih di jam-jam macet saat dirinya berangkat hari ini. Tidak seperti biasa, ia memang sedikit terlambat hingga membuatnya terjebak dalam kemacetan cukup lama. Begitu sampai kantor lima belas menit setelah jam masuk, ia diserbu oleh Erika dan yang lain. "Dari mana aja? Kenapa mesti telat di hari genting kayak gini?" tanya Erika dengan wajah panik. "Kenapa? Ada apa? Segenting apa sih sampe bikin kalian tegang gitu?" Arlan masih sempat bercanda. Ia sama sekali tidak mengetahui huru-hara apa yang tengah terjadi. Erika menghela napas panjang. Ia melirik kepada rekan kerjanya yang lain sebelum menjawab pertanyaan pria muda itu. "Alisha mengundurkan diri. Gosipnya rame tersebar di grup perusahaan. Apa kamu nggak tahu tentang sesuatu?" tanya Mariska cukup berhati-hati
Dada Alisha terasa sesak. Rasanya lebih menyakitkan ketika Damian merebut surat pengunduran dirinya dan membubuhkan tanda tangan. Padahal ia sendiri yang mengambil keputusan tersebut. Kenapa ia harus merasa terluka? Apa karena Damian lebih memilih percaya dengan apa yang dia lihat, ketimbang Alisha? Ya, lagipula siapa yang tidak salah paham, jika melihatnya berdua mengantre di depan poli kandungan bersama Arlan? Orang lain bisa jadi juga memiliki pemikiran yang sama. Perlu diingat lagi, Alisha bahkan tak mau mengakui jika malam di mana keduanya menghabiskan waktu bersama, telah membuahkan hasil dalam rahimnya. 'Benar Alisha, ini masalahmu sendiri!' suara dalam benak Alisha memberi peringatan. Ia tak boleh gentar. "Terima kasih, Pak. Saya pamit," ucapnya saat mengambil kembali surat pengunduran diri yang telah ditandatangani oleh Damian. Ia hendak pergi ketika Damian memanggilnya. "Tunggu! Bagaimana kamu akan menjelaskan pada pihak HRD?" tanya pria itu dengan sorot mata dingi
Arlan menatap perempuan yang duduk di sampingnya. Mereka sedang antre obat yang harus ditebus setelah melakukan pemeriksaan. Pikiran pria itu berkecamuk. Kemunculan Damian yang tiba-tiba dan mengucapkan kalimat absurd, mengganggu pikiran Arlan. Sementara Alisha tak banyak bicara. Ia memilih bungkam tanpa mengatakan apa pun, meski Arlan berulang-ulang mengajukan pertanyaan. Meski begitu, Arlan memahami satu hal. Sepertinya, pria itulah yang telah menanamkan benih dalam rahim Alisha. Melihat gelagat sang junior, sepertinya dugaannya tak terbantahkan. "Nona Alisha," panggilan dari microphone mengalihkan pikiran Arlan. Ia menoleh ke kanan, sepertinya ada manusia yang lebih penuh pikirannya ketimbang pria itu. Sebagai gantinya, Arlan yang bangkit dari tempat duduk. Menuju ke loket pengambilan obat. Setelah mendengarkan penjelasan dari petugas apoteker yang berjaga, barulah ia meninggalkan tempat tersebut. Kembali kepada Alisha yang masih tampak bengong di tempatnya. "Ayo, aku aka
Alisha tak sanggup menyembunyikan ekspresi terkejut di wajahnya. Ia tampak gugup. Membuat Damian semakin mencurigai sikap perempuan itu. "Melihat reaksimu, sepertinya benar telah terjadi sesuatu setelah malam itu bukan?" desak Damian semakin gencar. Perempuan itu menggeleng cepat. Menyangkal pertanyaan sang atasan. "Tidak terjadi apa pun, Pak. Kalau itu yang ingin Anda dengar! Anda salah paham jika beranggapan telah terjadi sesuatu malam itu." 'Kalau begitu, kenapa kamu bersikap seolah ada makhluk hidup dalam perutmu?' Itu yang ingin dikatakan Damian. Namun, lidah pria itu terasa kelu. Damian menelan kembali kalimat di ujung lidahnya setelah menyadari jika ucapannya hanya akan memperkeruh suasana di antara mereka. Apabila memang terjadi sesuatu setelah malam itu, ia harus menggunakan pendekatan yang berbeda untuk merebut hati ibu sekaligus anaknya. Ya, Damian meyakini satu hal, perempuan itu tengah mengandung anaknya. Itulah alasan kuat yang membuat pikirannya kacau akh
Alisha tak bisa menghindari tatapan Damian. Pria itu menunjukkan sikap dominannya sebagai seorang pria. Di saat yang sama, sorot matanya Alisha tak bisa menghindari tatapan Damian. Pria itu menunjukkan sikap dominannya sebagai seorang pria. Di saat yang sama, sorot matanya juga seakan pria itu begitu mendamba pada Alisha. Menyudutkan Alisha yang tak sanggup mengalihkan tatapan dari sang atasan. "Apa yang membuatmu benci padaku? Katakan!" Alisha tergagap. Ia tak pernah membenci pria di depannya itu. Bagaimana bisa Alisha memiliki perasaan itu, jika tahu bahwa Damianlah ayah dari anak yang ada dalam kandungannya. Sekalipun ingin, Alisha tak pernah benar-benar bisa membenci pria yang telah memberikan pengalaman tak terlupakan malam itu. Bahkan dengan kurang ajarnya, Alisha terkadang masih membayangkan sensasi memabukkan itu menguasai dirinya pada momen-momen tertentu. Ia terpikat. Dirinya telah menyatu dengan pria yang berdiri di depannya itu tanpa sanggup menghindarinya seperti
Damian tersenyum getir begitu Alisha menghilang dari pandangannya. Perempuan itu mengancamnya? Yang benar saja! Padahal bukan seperti ini yang Damian harapkan. Hingga pintu ruangan kembali terbuka disusul wajah Devano yang mengerut. Tampak heran dengan ekspresi wajah Damian yang seakan ingin menelan orang hidup-hidup. "Urusanmu dengan pria tua itu masih belum selesai?" ucap Devano mengalihkan perhatian Damian. Pria itu hanya bungkam tanpa berniat menjawab ucapan sang atasan yang juga sahabat karibnya. "Oh, bukan masalah itu ya. Lalu, siapa? Apa mungkin asistenmu?" ucap Devano kemudian ketika tak mendapat respon dari Damian. Meski tak secara terang-terangan, kali ini Damian memberikan respon dengan mendengus kesal. Dengan rahang tetap mengeras sambil menatap tak fokus ke sudut ruangan. "Ternyata benar karena Alisha. Sekarang apalagi?" Devano terus berbicara meski tak juga mendapatkan respon dari sahabatnya itu. Sudah biasa. Jika lelah sendiri, Damian pasti akan men
Semakin lama, Damian semakin curiga dengan sikap Alisha. Ini hari ketiga di mana perempuan itu telah resmi menjadi asistennya. Bahkan Alisha mendapatkan meja tersendiri di ruangan Damian dan terpisah dari karyawan yang lain. Melihat hal itu, sepertinya sang pemilik perusahaan sudah mengizinkan Damian mengambil langkah tersebut. Meski timbul perasaan pada Alisha mengingat orang-orang di ruang Departemen Kreatif menatapnya sejak menjadi asisten sang atasan. Kecuali para ketua tim yang sudah akrab dengan perempuan itu sejak pertama kali ini bergabung dengan perusahaan ini. Tatapan iri justru terlihat jelas dari para rekan kerja seumurannya. Tak terkecuali Mazaya dan Arin yang mendeklarasikan permusuhan di antara mereka. Setelah insiden yang membuat keduanya dihukum pun, mereka tak juga jera dan masih berusaha mencari masalah dengan Alisha. Bahkan kini secara terang-terangan menyindir perempuan itu setiap kali berpapasan. Alisha memilih tak ambil pusing. Kerjaannya semakin banyak dan
Ruangan yang sempat sunyi akibat sikap impulsif Damian, kini justru ramai akibat ucapan sang atasan. Mereka saling pandang sebelum akhirnya menggoda staf junior yang baru bergabung beberapa minggu terakhir. "Apa itu tadi? Jadi asisten Pak Damian?" Erika mengulang ucapan Damian begitu sang atasan kembali ke ruangannya. "Jadi, apa yang terjadi sampai hubungan kalian berkembang sepesat ini?" goda Rini yang lebih dulu mencium gelagat aneh sang atasan dan staf junior di divisi mereka. "Yakin, pasti ada yang terjadi kan di antara kalian? Kalau nggak, mana mungkin si Snowman itu tiba-tiba perhatian. "Lalu, apa katanya tadi? Asisten? Wah, ini sih awal kebucinan," ucap Mariska tak kalah antusias menggoda Alisha. "Mbak, bukan gitu. Yang ada, ini tuh perbudakan jenis baru tahu!" Alisha mengelak. Kebucinan apanya? Justru Damian secara terang-terangan bakal menjerat dirinya sebagai budak. Alisha menghela napas panjang. Sepertinya mulai hari ini, hari-harinya semakin berat saja. "Ck, aku si