Punggung Alisha seketika menegak begitu Damian memanggil namanya. Pria itu baru saja sampai di pintu ruangan departemen kreatif, tapi sudah lebih dulu memanggil si perempuan. "Ke ruanganku sekarang!" imbuhnya masih dengan nada dingin sejak pertemuan mereka sebagai atasan dan bawahan. Pria itu bahkan tak sedikit pun menoleh ke arah Alisha ketika berjalan ke ruangannya. 'Benar-benar manusia salju! Bagaimana bisa dia bersikap begitu hangat malam itu, kalau aslinya kayak Snowman?' bisik perempuan itu dalam hati. Lagi-lagi Alisha terkenang malam panas yang telah dilewati bersama sang atasan. Dan, hal itu membuat pikirannya kembali kacau. 'Fokus, Alisha! Tujuanmu datang ke sini buat bekerja, bukan untuk terlibat hubungan romantis atau semacamnya!' seru Alisha sebelum bangkit dari tempat duduknya. "Ya, Pak." Ia menjawab singkat.Lalu, ia bergegas bangun dan mengikuti langkah kaki Damian menuju ruangan sang pria. "Kamu nggak papa? Kamu bisa tolak kalau orang mempersulit kamu, Sha," uca
Damian paling tidak suka kehidupannya terusik. Dan sejak tadi, ia terusik dengan keberadaan Arlan yang duduk di belakang kemudi. Bukan hanya kinerja lelaki itu yang dianggap buruk, tapi sikapnya pun dianggap berlebihan. Lelaki itu mengemudikan mobil dengan kecepatan rendah, akibat Alisha mengeluhkan kurang enak badan. Padahal perempuan itu sudah mengonfirmasi jika kondisi sudah lebih baik ketika berangkat dinas luar. Meski begitu, Arlan tetap memelankan laju mobilnya hanya demi membuat Alisha merasa nyaman. Tampak jelas jika lelaki itu sedang berusaha menarik simPATI si perempuan. "Cih, manusia bucin!" gumam pria itu pada dirinya sendiri ketika melihat perlakuan Arlan. Lelaki itu baru saja menyodorkan sebotol air mineral pada perempuan yang duduk di sampingnya.Padahal tangan Alisha lebih leluasa ketimbang Arlan yang tengah mengemudi. Justru lelaki itulah yang membuka tutup botol air mineral si perempuan. Sementara Arlan ataupun Alisha yang berada di bangku depan, pura-pura tak
Damian membanting pintu di belakangnya begitu sampai ruangan. Wajahnya memerah menahan geram. Kalau saja tak ingat tujuannya datang ke negara ini, Damian pasti lebih memilih hengkang. Jangankan datang untuk memenuhi permintaan Devano, pria itu tak akan sudi datang ke tempat ini. Terlebih terlibat dengan orang-orang bodoh yang membuatnya naik darah setiap saat. Baru beberapa saat lalu, salah seorang stafnya kembali membuat ulah. Iklan untuk media sosial yang seharusnya dikerjakan oleh tim dua, hancur berantakan ketika dipresentasikan di hadapan klien. Ketua tim dua salah memasukkan data yang seharusnya milik perusahaan lain. Akibatnya seluruh iklan harus revisi total dan mereka mendapatkan penilaian buruk dari klien. Padahal Damian baru saja menjalani tugas luar dan masih merasa lelah, tapi sudah dibebani masalah baru lagi. Tok ... tok ... Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Damian. Meski begitu, rahang pria itu tak juga mengendur. Justru wajahnya semakin merah bersiap menumpa
Mulut Alisha gatal untuk tidak bertanya. Namun, sisi lain dalam dirinya menahan agar tak sembarangan buka suara. Ia tidak mudah percaya begitu saja pada orang baru. Sekalipun Erika sudah sedikit mengungkapkan tentang latar belakang perempuan itu. Bahwa ia seorang single mom yang memiliki anak satu tanpa terikat pernikahan. Alisha menganggap itu pengakuan yang cukup berani. Namun, tidak mudah bagi Alisha untuk mengungkapkan hubungannya dengan Damian. Toh memang tak ada hubungan apa pun di antara mereka. Ya, kecuali tentu saja malam panas yang pernah mereka lewati bersama kala itu. Dan, tak mungkin bagi Alisha mengungkapkan hal tersebut bukan? Kalau ia memang tak ingin Damian tahu siapa dirinya sebenarnya. Meski begitu tetap saja ia penasaran, dari mana Erika memiliki anggapan bahwa dirinya memiliki hubungan romansa dengan sang atasan? "Loh? Bukan ya?" tanya Erika ketika suasana di antara mereka menjadi canggung. Alisha tersenyum kikuk. Tak memiliki kata yang tepat untuk menjelas
"Tidak mungkin kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Aku yakin sekarang, kita pasti pernah bertemu bukan?"Itulah pertanyaan pertama yang justru terucap dari bibir Damian ketika jaraknya begitu dekat dengan Alisha. Sesaat sebelum pria itu memberikan benda pipih yang memancarkan cahaya dari flash light. Damian memang tak melihat dengan jelas wajah si gadis yang telah direnggut keperawanannya lebih dari dua minggu yang lalu. Satu hal yang membuat keyakinan Damian menguat. Aroma orange blossom yang tercium dari tubuh Alisha. Pria itu yakin, aroma yang ia hidu dari tubuh Alisha adalah aroma yang sama dengan si gadis sialan itu. Gadis sialan yang telah menganggap Damian sebagai pria panggilan dan menghancurkan martabatnya. Sementara raut muka Alisha tak hanya terlihat pucat, tapi juga tegang mendapat pertanyaan dari sang atasan. Menjadikan Damian kian mencurigai perempuan itu. "Lihat dirimu, kamu seperti maling yang sudah ketahuan mencuri!" tandas si pria. "Saya benar-benar tidak mem
Semalaman Damian sudah memikirkan cara, bagaimana supaya membuat Alisha mengaku jika perempuan itu adalah perempuan yang sama yang telah melewatkan malam panas bersamanya. Intuisi Damian kian menguat setelah kejadian tadi malam. Mungkin hanya penampilan mereka saja yang berbeda, tapi Damian yakin pasti, hampir tidak ada manusia yang memiliki aroma sama persis. Bahkan satu merk parfum bisa menimbulkan aroma yang berbeda tergantung pemakainya. Ya, mirip atau menyerupai mungkin saja bisa terjadi, tapi jika sama persis, itu tak mungkin. Dan, Alisha memiliki aroma yang sama persis dengan perempuan yang malam itu ia renggut keperawanannya. Mana mungkin Damian bisa percaya begitu saja setelah melewati hal tersebut berulang kali. Berada dalam posisi di mana dirinya mencium aroma kuat yang berasal dari si perempuan. "Permisi, Pak. Boleh saya masuk?" ucap Alisha mengalihkan perhatian sang pria yang tengah fokus menatap layar komputer. Sekalipun pikirannya tengah bercabang. "Silakan!" Dami
Alisha kembali ke ruangannya dengan wajah masih pucat. Sepanjang hari itu, pikirannya sangat kacau. Bahkan ketika Damian - lagi-lagi - meminta hasil revisi, ia berjalan ke ruangan sang atasan dengan wajah linglung. Erika yang menyadari perubahan sikap si perempuan, mencegatnya ketika ia kembali ke meja kerjanya. "Sha, kamu sakit?" tanya sang ketua tim dua dengan raut muka khawatir. Demi mendengar pertanyaan rekan kerjanya, Arlan yang duduk beberapa meja dari sang ketua tim dua, melongokkan lehernya."Alisha sakit?" Lelaki itu memberikan pertanyaan yang lebih terdengar seperti memberikan perhatian. Apalagi tak lama kemudian, ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah sang junior. Tanpa permisi, Arlan menyentuh kening Alisha. Tidak panas, tapi wajah perempuan itu sangat pucat. "Apa yang sakit, Sha?" tanya lelaki itu untuk memastikan. Alisha tampak salah tingkah. Apalagi saat ini, ia tengah diperhatikan hampir seluruh karyawan dalam ruangan. "Eh? Nggak. Aku nggak apa-apa," boh
Damian baru kembali ke kantor setelah jam kerja berakhir. Ia mangkir setelah memberikan kabar pada Devano jika dirinya malas bekerja hari ini dan memilih mengasingkan diri. Sang direktur utama yang telah menggantikan tugas ayahnya sejak tiga tahun yang lalu, hanya mendengus kesal ketika menjawab telepon dari Damian. Ia tak bisa melarang apabila membantah, sebab salah satu syarat Damian mau membantunya mengurus Pixa adalah tidak terikatnya jam kerja. Bisa dikatakan, Damian akan bekerja sesuai dengan mood pria itu. Namun, ketika kembali ke kantor pada pukul lima sore, bukannya merasa lebih baik, ia justru semakin kesal. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah tawa canda dua anak buahnya yang terasa menjengkelkan. "Cih, itu yang dia bilang sakit? Atau hanya alasan saja biar bisa berduaan?" gumam Damian pada dirinya sendiri. Sementara, Alisha yang menyadari kedatangan sang atasan, seketika menghentikan candaannya dengan Arlan. Melihat sorot mata pria itu, entah mengapa ia merasa
Dua bulan kemudian ... Hall tempat pernikahan antara Alisha dan Damian berhias mewah warna putih dan kuning gading. Tamu undangan tampak memenuhi aula. Meskipun di antara mereka ada saja yang melirik nyinyir ke arah mempelai perempuan. Itu akibat perut Alisha sudah terlihat mulai buncit di balik gaun pengantin yang ia kenakan. Sebenarnya, Alisha ingin melakukan pemberkatan saja. Tanpa pesta meriah seperti yang berlangsung saat ini. Namun, mana mungkin Harvey mengizinkan? Sekalipun pria itu keras pada awalnya, seiring berjalannya waktu dia mulai melunak dan bersikap hangat kepada Alisha. Tentu saja setelah mengetahui bahwa Alisha mengandung cucunya. Dan, sebagai orang yang dikenal memiliki bisnis yang cukup besar, pria itu tak bisa abai begitu saja atas pernikahan anaknya. Sekalipun mendapat cibiran akibat pengantin perempuannya sudah lebih dulu mengandung. Namun, Harvey seolah justru merasa bangga, sebab kualitas bibit anaknya tak bisa diragukan lagi. Di samping semua it
Damian tampak bingung dengan ucapan Alisha. Tidak banyak yang tahu jika sebelumnya ia memang tidak berencana menikah jika itu tidak dengan Amber. Kalaupun menikah, ia tak ingin memiliki anak, sebab tak ingin bocah tak berdosa itu akan berakhir seperti dirinya. Biar bagaimanapun, Harvey tak akan membiarkan garis keturunannya begitu saja. Pria itu tetap membutuhkan pewaris sampai kapan pun. Oleh sebab itu, Damian tak berpikir untuk memiliki anak jika dirinya menikah kelak. Namun, semua angan itu berubah saat tahu fakta bahwa Alisha mengandung benih miliknya. Damian tidak hanya ingin bertanggung jawab. Tapi juga memiliki keinginan yang baru dalam hidupnya. Bahwa ia ingin memiliki keluarga kecilnya sendiri. Tanpa campur tangan sang ayah. Baik di masa kini ataupun masa depan. "Dari mana kamu tahu kalau aku tidak tertarik untuk menikah?" Damian mengajukan pertanyaan. Selain angannya di masa lalu, ada banyak hal yang harus ia ungkapkan pada Alisha sekarang. Itu penting, jika i
Damian mengusap wajahnya. Ia tak terkejut. Namun, setelah mendengar sendiri pengakuan Alisha membuatnya merasa bersalah. Juga gelisah. Pria itu menautkan jari-jarinya dan menunduk untuk mengambil jeda. Dengan gerakan dramatis, ia menyugar rambutnya yang semakin berantakan. Damian tak tahu harus dari mana memulai percakapan setelah mendengar pengakuan Alisha. Sementara perempuan itu, diam-diam menikmati momen yang terjadi saat ini. Kalau saja boleh jujur, ia ingin pria itu mengakui janin dalam kandungannya sebagai anak. Bertanggung jawab penuh sebagai seorang ayah. Sebab, biar bagaimanapun Alisha mulai tertarik pada sang mantan atasan. Entah sejak kapan. Namun, mengingat pembicaraan Damian dan Devano di ruangannya beberapa waktu lalu, membuatnya sangsi. Alisha tak ingin memaksakan kehendaknya yang egois. Lebih dari itu, ia tak ingin dianggap wanita murahan. Cukup lama jeda di antara mereka berlangsung. Keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga suara b
Raut muka Damian tampak tegang. Pria itu mondar-mandir di depan ruang gawat darurat rumah sakit. Sudah sekitar satu jam Alisha mendapat penanganan, tapi belum ada satu pun perawat ataupun dokter yang memberinya kepastian. Hanya setengah jam lalu, seorang perawat mengabarkan jika kondisi Alisha cukup buruk. Dokter sedang berusaha menyelamatkan perempuan itu. Kemungkinan terburuk, mungkin Damian harus mendengar kabar jika dia bakal kehilangan calon bayinya. Atau justru keduanya. Setelah mendengar ucapan sang perawat, langkah pria itu tak bisa diam. Ia terus mondar-mandir di depan ruang gawat darurat dengan raut muka cemas. Padahal rencananya, ia akan kembali ke area gudang tua untuk memastikan keselamatan Amber. Pria itu memang tidak mengenai bagian vital yang membuat si wanita dalam bahaya. Meski begitu tetap saja ada rasa khawatir yang menyusup dalam hatinya. Juga rasa bersalah sekaligus menyesal. "Tuan," panggilan Jonathan membuat Damian menoleh ke arah sumber suara.
Sepasang mata Alisha tak berhenti berkedip. Tatapannya terpaku pada sosok pria yang kini merunduk di atasnya. Melindungi dirinya dari suasana mencekam yang masih terus saja terjadi. 'Mimpi?!' bisiknya dalam hati. Dari semua kemungkinan yang ia pikirkan, tak sekalipun terlintas jika Damian yang akan muncul. Menyelamatkannya dari situasi mengerikan. Meski tak bisa ia mungkiri, kecil harapan itu sempat muncul dalam benaknya. Namun, Alisha menyadari jika hal itu mustahil terjadi. Ia tak bisa lupa sorot benci Damian yang menuduhnya. Juga rasa sakit yang begitu memeram jiwanya. 'Tidak. Ini pasti cuma halusinasi.' "Kamu aman sekarang. Jangan takut!" bisikan itu terasa begitu nyata. Tubuh gemetar Alisha berada dalam dekapan erat Damian. Ia bahkan tak bisa lagi membedakan mana mimpi atau kenyataan. Suara itu begitu dekat dan membuat dirinya terjebak dalam sensasi yang memabukkan. Itu kan yang membuatnya menyerahkan diri seutuhnya pada Damian saat pertemuan pertama mereka?! "K
Alisha tersadar jika hari mulai malam saat penjaga kafe menegurnya. Ia buru-buru melihat jam dan tampak kaget saat hari sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Astaga, maaf, Kak. Saya benar-benar lupa waktu," ucap perempuan itu kepada seorang pelayan lelaki yang terlihat lebih tua darinya. "Ya, Kak. Nggak papa. Kami bisa maklum. Banyak pelanggan yang memang merasa nyaman ketika di sini." Alisha tampak salah tingkah. Ia merasa tersindir. Meski sebenarnya ia memang benar-benar tidak bermaksud menyusahkan orang lain seperti sekarang. "Ah, saya benar-benar minta maaf," imbuh Alisha sambil membungkuk sopan. Ia merasa tak enak pada penjaga kafe karena telah menetap terlalu lama hingga menjelang tutup. Sementara hanya sedikit makanan yang ia pesan. Sejak menjelang sore, perempuan itu memang sengaja menghabiskan waktu di kafe tak jauh dari tempat tinggalnya yang baru. Sekalian beraktivitas setelah ia memilih tidur seharian begitu sampai tempat kosnya yang baru siang tadi. Saat p
Dor!! Suara tembakan kembali terdengar. Kali ini mengenai kaca samping salah satu mobil yang sebelumnya berjalan beriringan menuju gudang tua di pinggiran kota itu. Sebelum keduanya berhenti dan pria di luar mobil Damian menghampirinya. "Melindungi tuanmu bukan tanggung jawab kami, Tuan. Jadi lindungi sendiri tuanmu. Kami tidak ikut campur!" ucap Damian dingin. "Shit! Sialan!" Pria dengan tatto di pelipis kanannya itu mengumpat sebelum akhirnya berbalik. Berlari menuju mobil yang berhenti di depan gudang tua itu. Pria itu baru saja menyadari jika ada seseorang yang berusaha melenyapkan nyawa tuannya. Sementara di depan sana, sebentar saja menjadi area baku hantam antar dua pengusaha yang seharusnya terlibat transaksi penting malam ini. Dan, salah satu dari pengusaha tersebut menyewa jasa yang ditawarkan Black Rose - organisasi milik Harvey - untuk menyingkirkan rekan bisnisnya. Siapa yang mengira jika rekan bisnis yang hendak dihilangkan nyawanya itu, juga berpikiran untuk
Damian bersiap. Hari sudah menjelang pukul 11.00 malam. Pria itu tak mau menunggu lebih lama. Ia segera berkemas untuk menjalankan tugas dari Harvey. Orang yang selama ini mengaku sebagai ayah, tapi tidak pernah sekalipun bertindak sebagaimana perannya. Kali ini, ia harus pergi ke pinggiran kota yang membutuhkan perjalanan lebih lama dibandingkan biasanya. Itu yang membuatnya segera bergegas ketika malam belum benar-benar tua. Lagipula ia memiliki motto. Lebih cepat selesai, lebih baik. Itu yang selalu ia jadikan pedoman selama ini. Terlebih ketika berhadapan dengan target dari klien yang harus ia eksekusi dengan cepat. Apalagi kali ini, Harvey menggunakan orang lain sebagai ancaman jika Damian macam-macam. Pria itu semakin gelisah dan ingin hari ini cepat-cepat berlalu. "Saya sudah menyiapkan mobil Anda, Tuan" ucap sang asisten ketika Damian membuka pintu apartemen. Pria berkacamata yang malam ini tetap tampil formal dengan setelan jas warna hitam telah bersiap di depan pin
Perasaan Damian campur aduk. Sejak meninggalkan kawasan apartemen tempat tinggalnya, pikiran pria itu terus tertuju pada Alisha. Penyebabnya hanya saja, sebuah pesan yang dikirimkan sang ayah beberapa saat lalu. Meski berusaha tak peduli seperti biasa, tetap saja ia masih kepikiran. Apalagi secara terang-terangan, pria yang secara alami menjadi musuh terbesar bagi Damian itu, mencatut nama Alisha. 'Lakukan tugasmu dengan benar, atau kau tak akan pernah bertemu Alisha lagi. Selamanya!' Brakk!! "Brengsek!" Damian memukul setir mobilnya sambil mengumpat. Pikirannya semakin kacau. Pikiran dan hatinya tak mau bekerja sama. Ia bisa saja mengabaikan ucapan sang ayah. Bukankah secara langsung Alisha mengatakan jika mereka tak pernah terlibat hubungan satu malam? Itu berarti anak yang dikandung perempuan itu bukanlah benihnya. Meski begitu, kenapa hati Damian terus menolak fakta tersebut? Kenapa ia selalu berpikiran jika anak yang dikandung Alisha adalah benih miliknya? "Apa ak