“Argh! Sial! Sial! Bisa-bisanya aku hampir terlambat ke bandara,” Avery mengutuk dirinya sendiri, ia berlari secepat kilat setelah turun dari taksi yang mengangkutnya menuju ke pintu masuk bandara Frankfurt, Jerman. Tiga puluh menit lagi, pesawat yang ia akan tumpangi akan take off.
Avery segera menyerahkan tiket dan paspornya ke bagian check-in. Untungnya ia tidak membawa banyak barang, hanya backpack saja berisi beberapa pakaian, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengurus bagasi. Avery berpikir, ia tidak akan lama berada di Indonesia, ia pun tidak ingin terlalu lama berada di Indonesia karena pekerjaannya sangat banyak di Jerman.
Waktu sudah tidak terlalu banyak, ia segera berlari ke bagian pengecekan oleh sekuriti selanjutnya ke bagian imigrasi. Selesai melakukan foto dan cap jari di bagian imigrasi, ia berlari lagi ke boarding gate tujuannya. Nafasnya terengah-engah karena berlarian sejak tadi. Bandara Frankfurt lumayan besar untuk dijelajahi dengan kecepatan tinggi seperti yang dilakukan Avery saat ini.
“Aduh, capek banget,” keluh Avery sambil menghentikan langkahnya. Ia mencoba mengatur nafasnya yang sudah tidak teratur. Nafas saat ini sudah terasa habis.
Pintu masuk ke pesawat sudah terbuka sejak sepuluh menit yang lalu. Dengan semua sisa tenaga, Avery berlari memasuki pesawat korean-air. Ia segera mencari tempat duduk yang terdaftar atas namanya.
“Fiuh, akhirnya aku bisa duduk di pesawat. Untung tidak terlambat. Jika tidak, uangku akan melayang sia-sia,” keluh Avery dalam hati. Ia menyeka keringat di wajahnya. “Hari ini seperti sedang lari marathon. Jika bukan karena Rosalind, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki ke Jakarta terutama ke rumah pria tua playboy itu!” ucap Avery dalam hati. Ia mematikan segala perangkat elektroniknya saat pesawat hendak take off.
Kebetulan Avery mendapatkan tempat duduk di samping jendela, sehingga ia bisa melihat pemandangan langit yang sudah gelap, bahkan sangat gelap. Matanya seakan tidak mau berkompromi, sehingga ia tertidur.
Waktu yang dibutuhkan dari Frankfurt ke bandara Soekarno-hatta adalah sekitar 18 jam 45 menit karena harus transit terlebih dahulu di Incheon International Airport, Korea Selatan. Waktu masih menunjukkan pukul 14.00 waktu korea selatan. Ia masih harus menunggu satu jam lagi untuk melanjutkan penerbangan ke Indonesia. Tubuhnya sangat lelah, sudah lebih dari sepuluh jam ia berada di pesawat dalam kondisi duduk. Dikarenakan sedang transit, ia berniat untuk meninggalkan pesawat terlebih dahulu. Mungkin sekedar mencari oleh-oleh untuk Rosalind, ia pasti sangat senang karena Rosalind adalah pecinta K-pop maupun K-drama. Cita-cita Rosalind adalah berjalan-jalan ke korea bersamanya.
Karena waktu sangat mepet, Avery cepat-cepat menuju tempat penjualan souvenir.
BRUK!
Avery menabrak seseorang di depannya dan jatuh ke lantai. Tangan dan bokongnya sangat sakit karena membentur lantai.
“I’m sorry,” ucap Avery masih tertunduk melihat ke lantai. Avery memegangi bokongnya yang terasa nyeri.
“Ah, it’s ok,” ucap pria yang ditabrak Avery dingin. “Can you get up?” tanya pria itu sambil mengulurkan tangan kanannya untuk menolong Avery yang masih terduduk di lantai.
“Sure, thanks.” Avery mengambil uluran tangan yang diberikan pria itu.
Avery terpesona pada pandangan pertama kepada pria yang ada di hadapannya saat ini. Ia tersenyum melihat ketampanan pria di depannya, wajahnya seperti blasteran entah blasteran dari mana yang pasti alis matanya tebal, mata biru, hidung mancung, bibir agak sedikit tebal, rahang yang tegas, bahu yang tegak, dan tinggi tubuh pria ini mungkin sekitar 180 cm.
"Sudah selesai memandangi wajahku dan memegangi tanganku?" goda pria itu sambil tersenyum.
Avery sadar dan segera melepaskan jabatan tangannya dengan pria yang baru menolongnya itu.
"Maaf ..." Avery menunduk malu karena ketahuan terpesona kepada pria di hadapannya.
"It's ok." Pria itu mengedipkan matanya.
Tiba-tiba Avery mendengar ada peringatan bahwa pesawat akan segera take off lagi, Avery akhirnya membatalkan mencari souvenir. “Ampun, masa ketinggalan pesawat lagi?” protes Avery menepuk keningnya. Tadi saat mencari souvenir, Avery tersesat. Bahkan karena tidak tahu bahasa Korea Selatan, maka ia semakin bingung untuk bertanya.
“Hei, kamu orang Indonesia?” tanya pria itu sambil tersenyum. Ia sangat senang ternyata wanita yang menabraknya tadi ternyata setanah air dengannya.
“Iya, kamu juga orang Indonesia?” tanya Avery penasaran
“Sorry ya, tadi aku menabrak kamu, dan sekarang aku harus ke pesawat segera. Sudah mau take off. Tapi aku bingung, dimana gate yang harus aku masukki.” Avery menggaruk kepalanya sendiri.
“Kamu mau kemana dan menggunakan pesawat apa?” tanya pria itu ingin membantu.
“Aku mau ke Indonesia, pesawat yang aku naiki Korean-Air.”
“Ah, sama denganku. Ayo kita pergi bersama. Waktu hampir habis,” pria itu menarik tangan Avery. Mereka berlarian ke boarding gate dan untungnya mereka tidak terlambat untuk masuk ke dalam pesawat. Nafas mereka sama-sama beradu, terengah-engah karena lelah berlarian.
“Kamu seat berapa?” Pria itu mencoba mencarikan nomor seat tempat duduk Avery.
“31 A,” jawab Avery.
“Ah, itu dia tempatnya.” Pria itu ingin mengantarkan Avery ke tempat duduknya.
Setelah sampai di tempat duduk Avery, Pria itu baru mau mengajak berkenalan.
“Siapa nama kamu?” tanya pria itu sambil mengulurkan tangannya untuk berjabatan.
“Belle. Kamu?”
“Jayden.”
“Kamu duduk dimana?” tanya Avery penasaran. Ia melihat pria itu tidak duduk sama sekali.
“Aku? Sebentar ...” Jayden mencari pramugari untuk memberitahukan kepada penumpang yang berada di seat 31 B agar bisa berpindah ke tempat duduk prestige suite miliknya. Ia ingin duduk bersama dengan Avery saat ini.
Setelah bernegosiasi dengan pramugari, akhirnya Jayden datang kembali ke seat milik Avery dan langsung duduk di sebelahnya, yaitu seat nomor 31 B.
“Hei, kamu di sini?” tanya Avery bingung.
“Ya. Aku tadi lupa nomor seat-ku sendiri, jadi aku bertanya pada pramugari itu,” jelas Jayden sambil tersenyum manis. Ia segera mendaratkan bokongnya di tempat duduk di samping Avery.
“Baiklah.” Avery hanya bisa tersenyum sekaligus bahagia, karena di sebelahnya ada pria tampan, setidaknya perjalanannya ke Indonesia tidaklah membosankan. Jika tidak ada kata-kata yang bisa diucapkan, setidaknya ia bisa memandangi wajah Jayden yang sangat tampan.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Jayden yang sedang memakai sabuk pengamannya.
“Aku hanya transit di sini.” Avery juga memakai sabuk pengamannya karena pesawat hendak take off.
“Ah, jadi sebelumnya kamu dari mana? Apakah kamu sedang pulang ke Indonesia?” tanya Jayden penasaran.
“Aku dari Jerman. Aku bekerja di sana, dan ya, aku dalam rencana pulang ke Indonesia. Masalah keluarga. Bagaimana dengan kamu?” Avery tersenyum manis, sementara Jayden mengarahkan duduknya ke arah Avery.
“Ah, aku. Ya, sebagai pegawai yang harus keluar negeri karena pekerjaan dari bos besar.” Jayden mengedikkan bahunya.
“Haha … Aku mengerti." Avery menertawakan Jayden. "Nasib pegawai yang masih memerlukan gaji.” ledek Avery.
“Ya, begitulah. Jadi apa pekerjaanmu di Jerman?” tanya Jayden penasaran.
“Aku seorang seniman.”
“Wow.” Jayden terkejut dengan pekerjaan Avery.
“Kenapa?” tanya Avery heran dengan perilaku Jayden, “Apakah menurutmu pekerjaanku tidak bermasa depan karena banyak orang yang berkata seperti itu?” goda Avery.
“Tidak, bukan itu. Aku kagum dengan orang yang mau berprofesi sebagai seniman. Bakat mereka luar biasa,” Jayden berdecak kagum.
“Kamu berlebihan.” Avery tersipu malu.
“Tentu saja tidak.” Jayden sangat senang berbicara santai dengan Avery. Baginya tidak ada beban untuk berbicara dengan orang yang tidak mengenal siapa dirinya sebagai Xavier Jayden Vladimir, seorang CEO dan pemilik berbagai macam perusahaan multinasional yang saat ini berusia 29 tahun.
Tidak terasa sudah hampir tujuh jam mereka bersama, tujuan bandara Soekarno-Hatta sudah terlihat dari pesawat yang mereka tumpangi. Tertawa, makan bersama bahkan saling meledek membuat mereka semakin dekat.
“Hei, Belle. Bolehkah aku meminta alamatmu tinggal selama di Jakarta?” tanya Jayden bersemangat saat mereka sudah di depan bilik imigrasi.
“Boleh. Aku tuliskan di kertas ini ya.” Avery menuliskan alamatnya di selembar kertas.
“Apakah kamu tidak memiliki nomor telepon?” tanya Jayden penasaran. Ia melihat hanya alamat saja yang tercantum di kertas itu.
“Ah, aku tidak memiliki nomor telepon di Indonesia saat ini. Mungkin nanti aku akan membelinya,” ucap Avery menepuk dahinya.
“Baiklah, coba hubungi aku saat kamu sudah memiliki nomor telepon Indonesia.” Jayden mencatat nomor teleponnya di selembar kertas memo dan memberikannya pada Avery.
“Terima kasih.” Avery membaca catatan di kertas memo yang diberikan oleh Jayden. Mencoba menghafalnya.
“Bagaimana jika aku mengantarmu pulang?” tawar Jayden.
“Tidak usah, ayahku sudah menungguku di depan. Selamat tinggal Jayden.” Avery mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Jayden.
“Bukan selamat tinggal, tapi sampai bertemu lagi, Belle,” ucap Jayden sambil mendekatkan diri ke telinga Avery.
“Baiklah, sampai jumpa, Jayden.” Avery melepaskan jabatan tangannya dan memberikan jarak dari tubuh Jayden. “Aku pergi dulu.” Avery melambaikan tangannya ke arah Jayden.
“Hati-hati, Belle ...” Jayden melambaikan tangannya ke arah Avery melihat wanita itu memasuki sebuah mobil yang terbilang mewah..
“Aku pasti akan mencarimu dan mendapatkanmu, Belle,” ucap Jayden sambil melihat catatan alamat yang diberikan oleh Avery.
“Non, nanti langsung pulang ke mansion ya, bapak sudah menunggu di sana,” ucap sopir yang sudah lama mengikuti Jordan selama ini, namanya pak Sarmin. “Iya, Pak,” ucap Avery lembut. Ia sangat menghormati Sarmin walaupun Sarmin hanya sopir di rumahnya saja. Sarmin sudah Avery anggap sebagai keluarganya sendiri. “Sudah lama bapak tidak bertemu dengan, Non. Bagaimana kabar Non di Jerman?” tanya Sarmin memulai pembicaraan dengan antusias. “Semua baik-baik saja, Pak,” balas Avery singkat. “Bagaimana kabar Nyonya Veronica di sana?” “Mama sudah meninggal,” ucap Avery lirih. “Maaf, Non, bapak tidak tahu,” Sarmin menurunkan nada bicaranya, tidak seantusias pembicaraan awalnya. I
"Av ..." panggil seorang wanita berbaju putih membangunkan Avery dari tidurnya. Avery mengucek matanya dan berusaha melihat dengan jelas wajah dari suara wanita yang memanggilnya. "Ibu ..." sapa Avery. "Apa kabar, Sayang?" tanya Veronica. Wajahnya bersinar dengan terang seperti seorang malaikat. "Aku baik, Bu. Ibu bagaimana?" "Aku juga baik disini. Apa kamu sedang ada masalah, Av?" tanya Veronica dengan lembut. Ia selalu tahu bagaimana caranya menenangkan hati Avery yang galau. "Aku sedang mencari Rosalind. Aku tidak tahu dimana dia berada, Bu," ucap Avery memberitahukan kegalauannya. "Rosalind baik-baik saja, Av." Veronica meng
Avery segera pergi ke garasi untuk melihat apakah mobilnya masih ada atau tidak. Sarmin melihat Avery sedang berjalan ke arah garasi, iapun mengikuti Avery dari belakang. “Ada apa, Non? Ada yang bisa bapak bantu?” tanya Sarmin sopan. Avery tersentak kaget mendengar panggilan dari Sarmin. “Apakah mobilku masih ada, Pak?” tanya Avery kepada Sarmin pelan. Ia masih berdiri ragu di depan garasi mobil yang tertutup pintu. Avery ingin mencari mobilnya yang berwarna merah berlogo tiga bintang. “Masih, apakah Non ingin menggunakannya sekarang?” tanya Sarmin bingung. “Ya.” Avery mengangguk. Sarmin segera membuka pintu garasi mobil. Ia menunjukkan tempat parkirnya mobil Avery.
Setelah mendapatkan kabar dari Avery tentang orang bernama Theo Santoso, Jordan menyuruh anak buahnya untuk mencari tahu keberadaan Theo tersebut. Setelah pencarian alamat melalui kampus Rosalind, akhirnya anak buah Jordan yang bernama Aldi mendapatkan alamat tempat tinggal Theo.“Pak, kami sudah mendapatkan alamat lengkap Theo dari kampus. Sekarang kami akan pergi ke Cianjur untuk mencarinya,” ujar Aldi di telepon.“Cepat pergi, temukan Rosalind. Hubungi Avery agar ia bisa pergi dengan kamu!” Jordan sangat senang, ada titik terang tentang keberadaan Rosalind.“Baik, Pak.” Aldi menutup teleponnya dengan Jordan. Ia menelepon Avery untuk ikut bersamanya pergi ke daerah Cianjur, Jawa Barat untuk mencari Rosalind.oooOOOoooCikalong Kulon, Cianjur, Jawa BaratAvery dan Aldi mencari alamat rumah sesuai dengan petunjuk alamat yang diberikan oleh kampus. Mereka menelusuri daerah persawahan dengan berjalan kaki.“Pak, permisi,” sapa Aldi sopan pada seorang p
Tok! Tok! Tok! Aldi mengetuk pintu rumah Pak RT.“Permisi.”“Ya …,” terdengar teriakan seorang wanita dari dalam menjawab sapaan Aldi.“Permisi bu, Kami mencari Pak RT,” ucap Aldi sopan di depan pintu rumah Pak RT.“Sebentar ya, ”“Iya, Bu.” ucap Aldi dan Avery bersamaan.Tidak lama seorang wanita paruh baya keluar dari rumah menggunakan daster biru dengan motif bunga.“Siapa dan ada perlu apa ya, Bapak dan Ibu?” tanya wanita itu sopan.“Perkenalkan, saya Aldi dan ini Avery. Kami datang ke sini untuk mencari tahu alamat bapak Wikrama Santoso,” ucap Aldi sopan kepada wanita di hadapannya.“Wikrama?” Wanita di hadapan Aldi dan Avery agak terkejut mendengar nama yang mereka sebutkan.“Kalau boleh ada apa dengan nama Wikrama, sepertinya Ibu terkejut mendengarnya?” tanya Avery menyelidiki.“Nanti Pak RT saja yang menjawab ya, Neng,” ucap wanita yang berada di hadapan Avery.“Oh, baik, Ibu. Terima kasih.” Avery mengangguk. Ia tidak mau memaksa wanit
“Halo …,” ucap Aldi mengangkat telepon yang sedang berbunyi dengan bluetooth earphone.“Pak, kami sudah menemukan informasi tentang Wikrama Santoso,” balas anak buah Aldi. Aldi melirik ke arah Avery yang sedang sibuk berselancar di handphonenya.“Nona, ada informasi tentang Wikrama,” ucap Aldi pelan.“Aku ambil handphone-mu!” Avery langsung mengambil handphone milik Aldi dan menekan tombol speaker phone. “Bicara!” lanjut Avery.“Baik, Nona. Wikrama adalah seorang pembunuh. Berita tentang dia sudah tersebar luas. Ia membunuh majikannya karena uang dan sakit hati. Terbukti dari hasil pengadilan bahwa ia telah membunuh saat dua puluh tahun lalu,” jelas anak buah Aldi.“Apakah kamu punya foto Wikrama?” tanya Avery kepada anak buah Aldi.“Sebentar saya kirimkan melalui chat ke nomor Pak Aldi.” “Terima kasih.” Avery menutup telepon dari anak buah Aldi. Hatinya semakin bergoncang, tidak percaya bahwa Rosalind berada di tempat yang sangat berbahaya bagi nyawanya. Apala
Tok! Tok! Tok!“Permisi.” Avery mengetuk pintu rumah yang ia sendiri tidak tahu apakah itu Wikrama atau bukan.Tok! Tok! Tok!“Permisi.” Avery mengetuk pintu rumah itu kembali tapi sepertinya tidak ada orang di rumah.“Neng, itu orangnya sudah pindah,” teriak seorang tetangga kepada Avery.“Pindah kemana, Ibu? Apakah Ibu tahu?” tanya Avery penasaran.“Enggak, Neng.” Ibu itu menggelengkan kepalanya.“Apa Ibu pernah melihat wanita ini di sini?” tanya Avery sambil memperlihatkan foto Rosalind.“Aduh, sepertinya Ibu ada lihat wanita ini. Tiga hari lalu. Dia teh dibawa sama anak muda ke rumah sebelah,” jelas ibu Tetangga.“Apakah penghuni rumah di sebelah itu seperti ini wajahnya?” Avery memberikan foto dari Wikrama Santoso kepada Ibu Tetangga.“Iyah, Neng.” Ibu Tetangga itu mengangguk.“Siapa nama pria ini, Bu?” tanya Avery lagi. Ia ingin memastikan bahwa nama pria ini belum berganti dan jikapun sudah berganti, ia harus mencari tahu lagi.“Namanya Ase
“Boleh saya lihat fotonya?” tanya Tukang Ojek itu penasaran.“Ini, Pak.” Avery memperlihatkan wajah Rosalind kepada Tukang Ojek itu.“Ya ampun, ini yang tadi saya antar, Neng.” Tukang Ojek itu menepuk keningnya sendiri.“Serius, Pak? Bisa bapak antarkan saya kepadanya?” Avery sudah kembali berseri karena ada orang yang sudah mengetahui keberadaan Rosalind. Ia merasa begitu bodoh karena mencari-cari orang yang tidak jelas seperti Asep atau Wikrama.“Dia teh mengalami kecelakaan. Sekarang ada di RSUD. Saya yang bantu antar. Sepertinya dia teh ketakutan sekali.” jelas Tukang Ojek.“Tolong antarkan saya sekarang, Pak,” tutur Avery khawatir dengan adiknya yang kecelakaan. Avery sudah mengabarkan kepada Aldi bahwa ia akan pergi ke RSUD di dekat Tugu bersama tukang ojek yang ia sewa.Tidak menunggu waktu yang lama, Avery sampai ke RSUD yang diantarkan oleh tukang ojek sewaannya."Apakah disini ada yang pasien bernama Rosalind? Korban kecelakaan. Ia belum lama d
Avery masih sibuk dengan segala berkas yang berada di mejanya. Satu per satu proyek kerja sama milik Vlad Corp harus dipelajari Avery karena untuk rencana selanjutnya, Avery harus segera menyelesaikan Xavier. Terlalu lama berada di dekat Xavier bisa saja mempengaruhi kejiwaan Avery, tepatnya, Avery takut malah ia menjadi jatuh cinta kepada sang pembunuh adiknya. Tidak akan Avery biarkan semua itu terjadi. Cukup Rosalind yang menjadi korban bagi Xavier, tidak untuk Avery. Lebih cepat Avery menyelesaikan Xavier, maka lebih cepat Avery pergi dari hadapan Xavier. Meninggalkan dalam keadaan Xavier hancur total."Belle," panggil Xavier yang baru saja keluar dari luar ruangannya."Ya, Pak." Avery menghentikan pekerjaannya sejenak untuk berfokus kepada pria yang memanggilnya itu."Hmm ... bisa kita bicara sebentar di ruanganku?""Baik, Pak."Avery berdiri dan mengikut Xavier dari belakang untuk masuk ke dalam ruangan Xavier."Tutup pintunya, Belle."Avery langsung menutup pintu ruangan sesu
Avery malas untuk menjawab pertanyaan dari Aldi. Entahlah bagaimana keadaan hati dan pikirannya sekarang. Apakah memang ia mulai menyukai pesona Xavier? Kasihan terhadap pria itu? Atau memang niat balas dendamnya yang membuat Avery terlalu terlibat dengan Xavier.Avery masih bingung. Tapi, biarkanlah semua terjadi dan berjalan sesuai rencana saja. Aldi telah menurunkan Avery di depan lobi perusahaan Xavier. Ia bergegas untuk pergi kembali untuk mencari apa yang dititahkan oleh Avery, sang nona besar. Wina ... wanita itu memang harus mendapatkan balasan dari apa yang telah ia lakukan kepada Avery sewaktu muda. "Hai, Pak," sapa Avery di ruang kerja Xavier yang sedang memijat keningnya sendiri. Terlalu banyak masalah dan ia tidak bisa menyelesaikannya dengan sangat cepat."Yes, Belle. Ada apa?"Tatapan sendu Xavier membuat hati Avery menjadi tidak enak sendiri."Hmm ... aku punya ide untuk Karina." Avery tersenyum pasti."Apa itu?""Kita menggunakan hipnotis untuk mencari tahu apa yan
"Entahlah, Av. Tapi kita bisa mulai dari komplotan Keith yang masih berada di dalam penjara. "Karina, benar apa yang dikatakan sang ayah. Pastinya dari Karina, maka Avery bisa memecahkan kasus ini satu per satu. Mungkin belum menjurus ke arah pembalasannya terhadap Rosalind, tapi setidaknya, jika ia memegang kunci siapa yang bermain di PT Heiz, maka Avery bisa menggunakannya untuk melawan Xavier. Menghancurkan Xavier sampai berkeping-keping. "Tapi masalahnya, Karina bungkam, " balas Avery mendelik kesal. "Mungkin kamu bisa menggunakan jasa psikiater, melakukan hipnotis kepada Karina." Jordan membentuk senyuman di bibirnya. Ia sangat senang karena mungkin sang anak mau mendengarkan pendapatnya itu. "Ya ... anda benar. " Avery berbalik tersenyum, tapi senyum penuh kelicikan karena ia akan mendapatkan informasi itu dari Karina. "Apakah kamu akan melibatkan Xavier?""Bisakah aku? Karena Karina sangat membenciku.""Kalau begitu, arahkan semua tanggung jawab di pundak Xavier. Biar dia
Setelah pulang dari kantor, Avery bergegas pulang menuju mansion milik ayahnya. Ia harus mencari tahu tentang apa yang telah dikatakan oleh Jordan dan sangat membuat Avery penasaran. Sebelumnya ia telah membatalkan terlebih dahulu janjinya dengan Aldi untuk bertemu di apartemennya karena pastinya ia akan bisa bertemu dengan Aldi di mansion Jordan. Ting Tong! Avery menekan bel mansion. Tidak lama kemudian, Jordan membukakan pintu untuk Avery. Ia sudah mengetahui bahwa Avery yang sedang berada di depan pintu masuk mansionnya. "Selamat malam, Av," sapa Jordan. Ia sangat merindukan anak satu-satunya itu. "Jangan berbasa-basi lagi denganku. Katakan apa yang ingin anda katakan sekarang," balas Avery ketus. Ia masih berada di depan pintu mansion dan tidak mau masuk ke dalam. "Masuklah. Kita berbicara di dalam," ajak Jordan. Avery ingin mempercepat pembicaraannya dengan Jordan sehingga ia langsung masuk ke dalam mansion. Mereka berdua
Xavier sangat lelah mencari fakta tentang proyeknya yang sedang dimanipulasi. Karina ... wanita itu sangat tidak berguna bagi Xavier. Ia tidak bisa mengorek informasi apapun dari wanita itu.Xavier segera pulang ke kantor. Ia berharap menemukan setitik harapan yang bisa membantunya untuk keluar dari masalah perusahaannya ini, masalah yang cukup berat dan bisa merugikan perusahaannya."Belle," sapa Xavier lemas ketika ia sudah sampai ke dekat ruangan kerjanya."Bagaimana, Pak? Apakah bapak sudah mendapatkan informasi dari Karina?" tanya Avery penasaran."Tidak. Wanita sialan itu malah pingsan saat aku menginterogasinya.""Hmm ... apakah dia berpura-pura?" tanya Avery curiga."Mungkin saja. Entahlah. Aku lelah.""Ya sudah, bapak beristirahat terlebih dahulu dan aku akan membawakan makanan dan minuman untuk bapak.""Terima kasih, Belle." Xavier tersenyum kaku kepada Avery. Pikirannya sangat kacau karena kejadian ini. Tentu s
“Hai, Pak Xavier …” sapa Karina sumringah karena melihat wajah mantan bosnya. Ia sendiri tidak menyangka Xavier akan menemuinya di rumah tahanan setelah sekian lama ia mendekam.“Bagaimana kabarmu?” tanya Xavier berbasa-basi.“Tidak baik. Seperti yang bapak lihat saat ini.” Karina berdiri dan memperlihatkan tubuhnya yang mulai kurus dan wajahnya yang sangat kusam akibat stress berada di dalam rumah tahanan.“Ah … saya turut berduka cita.” Xavier mencoba memberikan simpatinya kepada keadaan Karina saat ini.“Apa bapak ke sini untuk membebaskan saya?” tanya Karina penuh harap.“Aku membutuhkan bantuanmu, jika kamu membantuku dengan semua informasi,
Setelah tidak berhasil mencari proposal dan kesepakatan kerja sama antara Vlad Corp dan PT Heiz di tempat penyimpanan berkas, Avery tergesa-gesa kembali ke meja kerjanya untuk mencari lagi. Mungkin Karina lupa meletakannya.Avery mengobrak-abrik meja dan tempat penyimpanan Karina tapi ia tidak menemukan berkas yang ia cari. Kemudian, Avery mencoba mengecek ke dalam komputer yang ada di hadapannya. Biasanya terdapat arsip karena semua dokumen kerja sama akan di-scan sebagai back up data.Avery melakukan pencarian tapi tidak ada berkas apapun yang berhubungan dengan PT Heiz. Ia mulai curiga adanya campur tangan Karina dalam masalah proyek PT Heiz. Mungkin ini juga yang membuat Karina tidak menyukai dirinya bahkan melakukan sabotase terhadap dirinya, agar tidak ada orang yang mengetahui kejahatan yang dilakukan oleh Karina.
Setelah menyelesaikan rapat dengan para kepala divisi, Avery memohon diri untuk pamit keluar dari ruang rapat yang terasa menyesakkan dada. Ia segera menelepon Aldi untuk langkah selanjutnya.“Al …” panggil Avery di telepon.“Ya, Nona.”“Selidiki masalah pembangunan hotel milik PT Heiz dan Vlad Corp yang berada di Bandung. Ada masalah apa, gunakan detektif yang biasa ayah gunakan. Jika bisa, berikan kepadaku laporan itu dalam dua hari,” ujar Avery memberikan perintah kepada Aldi.“Masalah lima pekerja meninggal karena lantai dua puluh runtuh?” tanya Aldi mengkonfirmasi.“Ya. Apakah kamu mengetahui masalah ini?” tanya Avery penasaran.
Setelah menenangkan diri dengan memeluk Avery, Xavier melepaskan dekapannya. Ia sudah bisa mengendalikan emosinya dan menenangkan diri.“Belle, tolong bantu saya kumpulkan semua kepala divisi yang berkaitan dengan PT Heiz,” ucap Xavier pelan. Ia mulai duduk di sofa dan meminum teh manis hangat buatan Avery. Ia harus menenangkan pikirannya agar bisa berpikir dengan jernih.“Baik, Pak.” Avery mengangguk menuruti perintah Xavier.“Menurutmu, apa yang sedang terjadi di pembangunan hotel itu?” tanya Xavier masih bimbang. Ia sendiri tidak pernah menyangka kejadian seperti ini bisa terjadi dengan perusahaannya.“Hmm … menurut saya ada orang yang bermain di belakang dan mengurangi bahan. Sehingga para pekerja itu tertimpa dengan k