Ciee dah kasih support kan... makin ga sabar kan yaaa!
Ruang rapat kali ini tampak sangat berbeda, peserta yang ada di dalam sini sangat tegang, wajah-wajah mereka kali ini cukup serius dan menampakkan pandangan tidak suka terhadap segala jenis sanggahan yang dibeberkan oleh Elvan. Para pemegang saham itu terlihat tidak puas apalagi saat Baskara menyulut api dengan membuat yang lain tampak terprovokasi.Elvan sudah memprediksi hasilnya akan menjadi seperti ini, tapi dia tidak ingin gegabah, dia masih terlihat tenang menghadapi mereka semua.“Bagaimana kamu bisa menjamin kalau kompetitor itu tidak akan berhasil?” Salah satu dari mereka mempertanyakan keyakinan Elvan itu.“Dan, kami juga sudah menemukan catatan rekam medis saudara, seharusnya dengan mental seperti ini, Anda lebih baik mundur.” Yang lain turut menimpali.Elvan masih berusaha tenang, dia tahu ini adalah awal dari semuanya, mereka juga pasti sudah mendapatkan rekam medis miliknya dan akan menyerangnya secara personal kalau sampai hal ini tidak bisa berjalan sesuai dengan rencan
Elvan memang mengatakan dengan nada tegas pada sang kakek, sebenarnya jauh dalam hatinya masih terdapat sedikit keraguan di sana, karena dia berharap rencananya bisa benar-benar terlaksana walaupun nantinya itu semua akan menguras semua aset likuid miliknya.“Baiklah El, kakek harap kamu benar-benar bisa mengatasinya, tapi … kalau seandainya kamu tidak mampu mengatasi semua ini, lakukan jalan terakhir. Ini semua demi kebaikan kita bersama dan kamu harus mempertimbangkannya.” Hartono berkata dengan suara rendah.Mendengar hal itu, Elvan memasang wajah buruk, dia tidak suka dengan cara kakeknya menyelesaikan masalah.“Kakek apapun yang akan terjadi aku tidak akan meninggalkan Diva,” ucap Elvan dengan sangat jelas dan suara yang sedikit tertahan.Hartono melihat ke arah Elvan dengan tatapan tajam lalu berkata, “Ini juga demi kebaikan Diva dan keluarganya, El, kamu harus mempertimbangkannya.”Mendengar hal itu, wajah Elvan menjadi kian menggelap.“Kakek sudah mengundangnya ke acara itu be
Elvan masih dengan wajah marahnya, dia membuka tablet yang ada di mobil Miko dan sibuk melakukan sesuatu di sana. “Apa yang sebenarnya kamu cari El?” tanya Miko. “Tunggulah sebentar sedikit lagi aku akan tahu siapa pengkhianat kecil itu.” Elvan berkata dengan suara dingin. Miko diam, tidak membantah lagi. “Pak Elvan, jadi kita sekarang benar-benar pulang ke rumah?” tanya Andi. “Ya, ke rumah saja dulu biar lebih aman.” Elvan memberikan perintahnya dengan mata tak lepas dari benda itu. Lalu tidak begitu lama Elvan tersenyum melihat apa yang ada di hadapannya itu. “Benar-benar luar biasa!” Elvan bergumam sendiri lalu tersenyum lebar. “Ada apa, El?” tanya Miko penasaran karena wajah pria itu sudah berubah menjadi lebih cerah dari sebelumnya. “Istriku memang luar biasa,” ucapnya lalu tertawa ringan. Miko mengerutkan keningnya, tapi dia tidak mau bertanya, karena saat ini Elvan sudah sibuk sendiri lagi. Pria itu terlihat mengambil ponsel khususnya untuk menghubungi Diva.
Diva berhasil membuat Dania mau menemuinya, dan dia sengaja membuat Dania menunggu dirinya. Dari kejauhan Diva melihat wanita itu sedang duduk dengan gelisah sesekali melihat ke kanan dan ke kiri.“Kakak yakin mau menemuinya sendiri?” tanya Alisha dari dalam mobil.“Tentu saja, kamu cukup awasi dari sini dan lihat saja. Ini tempat ramai kalau dia mau macam-macam dia sendiri yang rugi.” Diva berkata dengan tenang.“Beritahu aku kalau butuh bantuan apapun, aku akan menunggu kakak di sini.” Alisha berkata pada Diva.Diva lalu segera turun dari mobil dan menghampiri Dania.“Hai, Dan, maaf membuatmu menunggu.” Diva berkata dengan tersenyum sekilas lalu mengambil kursi dan duduk berhadapan dengan Dania.Kini wajah wanita itu terlihat sedikit pucat, tetapi dia tidak berani untuk bicara sedikit pun.“Aku tidak mau basa-basi, langsung saja. Apa kamu mau bekerja sama dengan kami? Pindahlah kapal, karena kapalmu saat ini sudah tidak aman, jika dia tenggelam, maka kamu tidak akan mendapatkan keunt
Dania mengatakan nomer rekeningnya tanpa keraguan, tidak lama berselang notifikasi perbankan miliknya masuk. “Cuma lima ratus juta?” Dania berkata dengan suara rendah. Hal itu jelas membuat Diva tersenyum tipis, dia akhirnya tahu kalau orang yang ada di hadapannya ini manusia yang seperti apa. “Itu hanya uang muka tanda jadi, kami sangat berbaik hati, karena kami tidak bisa mendapatkan jaminan apapun darimu untuk tidak berkhianat lagi ‘kan?” Diva kali ini menanggapi Dania dengan sedikit lebih keras dari sebelumnya. Dania terdiam. “Sekarang hubungi pacarmu dan datanglah kemari. Mari kita susun rencana untuk ke depan.” Diva tersenyum penuh makna padanya. *** Sementara itu di tempat lain. “El, apa kamu yakin semuanya akan berjalan lancar?” tanya Miko. “Ya, kali ini pasti kita bisa melakukannya, dan seperti yang kamu tahu Isaac Wennink akan membantu kita,” ucap Elvan dengan sedikit berat. “Ah, sudah kamu jangan merasa tidak berdaya seperti itu, El, ada kalanya kamu tidak bisa men
Diva melihat ruang tengah rumah Elvan yang cukup berantakan dengan beberapa berkas yang juga berserakan di lantai, sangat kontras saat pertama kali dia datang ke mari. “Hai Diva! Selamat atas pernikahan kalian, ya!” Miko langsung berseru saat melihat Diva bersama Elvan. Diva tersenyum menanggapi hal itu, sedangkan Elvan berdehem kecil menatap Miko dengan tajam, Diva melirik ke arah suaminya dan tersenyum seklias. “Aku siapkan makan malamnya dulu, nanti kalau selesai aku panggil.” Diva lalu menuju ke arah belakang menyusul Alisha. Tidak begitu lama mereka semua sudah duduk mengelilingi meja makan. “Jadi, kamu benar-benar sudah membuat rencana untuk besok?” tanya Elvan pada Diva dengan suara rendah. Diva mengangguk cepat. “Ya, berkat bantuan Alisha juga tentu saja. Saat namanya disebut oleh Diva Alisha melihat ke arah Elvan dengan tatapan membanggakan dirinya sendiri. “Lalu, tentang Farel dan Dania, apa kamu yakin mereka mau bekerjasama dengan kita? Mengingat apa yang kam
Elvan spontan tertawa saat Diva mengatakan hal itu, apalagi saat melihat wajahnya yang merona karena malu. Sebenarnya, dia juga termasuk pria normal yang tidak mungkin menahan hasrat untuk tidak melakukan hal lebih jauh, terutama Diva sudah menjadi istrinya sendiri! Namun … kali ini sangat berbeda. Sepertinya momen malam pertama seperti yang dibicarakan oleh orang-orang harus ditunda terlebih dahulu, apalagi masalah yang akan dihadapi nanti sangat besar. “Sepertinya kamu sangat gugup, Sayang?” Elvan mengelus wajah Diva dengan lembut. Hal ini membuat Diva mendongakkan wajahnya dan membalas tatapan Elvan. “Apa … terlalu ketara?” tanya Diva dengan suara manjanya. Elvan mengangguk pelan. “Tunggulah di sini, aku ambilkan minum untukmu.” Elvan berkata pada Diva, lalu dia beranjak ke arah dapur. Diva melamun, entah kenapa ada rasa ngeri dalam hatinya untuk menghadapi hari esok yang penuh rencana itu. Ada selipan rasa khawatir akan kegagalan rencananya, mengingat dia selalu membuat
“Dasar bedebah tidak tahu diri!” umpat Elvan dengan suara santai. “Apa kamu bilang?! Kamu bisa mengatakan apapun sekarang Elvan, tapi nanti, kamu tidak bisa melakukan apapun lagi, dan aku sangat menantikan kejatuhanmu itu!” Baskara benar-benar berkata dengan sangat percaya diri. “Ah, aku menawarkan pernikahan karena putriku sangat mencintaimu, tapi kamu benar-benar membuatnya kecewa! Aku tidak bisa untuk tidak menghancurkanmu dan juga tidak bisa untuk tinggal diam mendapatinya sakit hati melihatmu bersama wanita lain.” Baskara berkata dengan santai lalu berjalan ke sofa dan duduk di sana dengan wajah yang angkuh. “Tentang si Diva ini … ah, aku hanya akan bisa melunak padanya kalau kamu memohon padaku seperti seorang pecundang.” Baskara kembali mengeluarkan kalimat yang membuatnya sangat percaya diri. “Tutup mulutmu!” Darma berkata dengan keras. Ini kali pertama Elvan melihat ayahnya bersuara keras dan tinggi. Selama ini, pria itu hanya menonton dengan tenang. “Ah, kakak ipa
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk