Menyadari bahwa dirinya sedang berhadapan dengan pewaris keluarga Wongso yang ternama, orang suruhan Farha pun langsung membungkuk hormat.
“T-Tuan Elvan, m-maafkan kelancangan kami. K-kami tidak tahu Anda sedang–”
“Cepat pergi!”
Geraman penuh amarah dari sosok Elvan membuat orang suruhan Farha langsung berkata, “B-baik, Tuan Elvan. Sekali lagi … kami minta maaf!” Pria itu pun gegas lari keluar dari toilet bersama kawan-kawannya yang lain dengan terbirit-birit.
Sesampainya mereka di hadapan Farha yang sedang menunggu kabar bersama Nadya di ruang tunggu pengantin, wanita itu menggeram dengan wajah yang tidak puas, “Kenapa kalian kembali dengan tangan kosong!? Mana wanita jalang itu!?”
Pesta pernikahan memang telah kembali tenang, tapi rasa malu akibat kekacauan yang terjadi masih mengakar dalam diri. Demikian, Farha dan Nadya butuh pelampiasan dan pertanggungjawaban dari Diva!
Dengan wajah pucat, tiga orang suruhannya itu menggeleng. “Maaf, Nyonya, Nona. Akan tetapi, kami tidak bisa menemukannya.”
Mendengar itu, Nadya tampak semakin murka, sedangkan Farha mengepalkan tangannya kuat. “Dasar bodoh! Dia lari ke satu arah! Bagaimana bisa kalian kehilangan dirinya!”
Ketiga orang Farha saling melirik, lalu salah satunya memutuskan untuk menceritakan yang terjadi. “Sejujurnya, kami kira dia sempat lari ke toilet pria. Soalnya setelah memeriksa toilet wanita, dia tidak ada di sana. Akan tetapi ….”
“Akan tetapi?” ulang Nadya, tidak sabar mendengar kelanjutannya.
“Tetapi, kami malah bertemu dengan Tuan Elvan Wongso ….”
Mata Nadya dan Farha membola.
“Elvan Wongso? CEO LuxTech Group itu?” tanya Farha yang diikuti dengan anggukan kepala para bawahannya.
Farha dan Nadya tahu siapa Elvan Wongso, juga kedudukannya di komunitas kalangan atas. Mengingat ayah Nico bekerja untuk kakek dari Elvan Wongso, dan Nico sendiri ingin sekali menjalin kerja sama dengan pria itu, Farha dan Nadya tahu jelas kalau pria tersebut tidak boleh dia singgung!
“Lalu? Apa masalahnya kalian bertemu dengannya? Kalian tidak melakukan apa pun padanya, bukan?” tanya Farha, agak khawatir.
Salah seorang pria suruhan Farha menjawab, “L-lapor, Nyonya. Kami … menangkap basah dirinya dengan seorang wanita di bilik kamar mandi pria, jadi … beliau sangat marah.”
Mendengar cerita bawahannya, Farha menautkan alisnya erat. Elvan Wongso bersama seorang wanita?! Pria yang terkenal dingin dan selalu menolak dekat dengan wanita kalangan atas mana pun … tertangkap sedang bersama dengan seorang wanita di toilet pria?
Ada yang aneh!
Sembari menggigit kuku merahnya, Farha membatin, ‘Tidak mungkin … wanita yang bersamanya di toilet itu … Diva, ‘kan?’ Merasa dirinya berpikiran yang tidak-tidak, Farha pun berkata, “Ya sudah! Kembali ke tempat berjaga kalian! Jangan sampai ada yang mengacau lagi!”
“Baik, Nyonya!”
Farha menatap Nadya. “Nadya, untuk sekarang, kita harus fokus dengan pesta pernikahan. Oke, sayang? Urusan Diva, kita lupakan dulu. Tidak penting mengurusi wanita rendahan itu.”
Nadya memaksakan sebuah senyuman. “Baik, Ma ….”
Namun, saat mertuanya itu pergi meninggalkan ruangan, Nadya meremas gaunnya dengan erat dan membatin dalam hati, ‘Diva, Dendam hari ini … akan kubalaskan di lain hari!’
Sementara itu, Diva yang telah memastikan bahwa orang-orang tadi telah pergi, langsung menghela napas lega. Sungguh mukjizat itu nyata, bisa-bisanya dia bertemu orang berkuasa yang bisa mengusir orang-orang Farha dengan semudah itu!
Saat Diva terpukau dengan kenyataan dirinya berhasil lepas dari masalah, mendadak dia merasakan pegangan pada pinggangnya menguat. Hal itu menyebabkan Diva mengangkat pandangan, menatap pria yang masih memeluknya erat.
Sial. Diva baru sadar satu hal. Pria bernama Elvan Wongso ini begitu tampan! Sungguh tidak disangka CEO LuxTech Group yang ternama juga masih sangat muda!
Sadar dirinya mulai melamun, Diva langsung mendorong dada Elvan dan menjauhkan dirinya dari pria itu. “T-terima kasih atas bantuanmu, Tuan Elvan,” ucapnya dengan agak gugup selagi merapikan penampilannya.
Elvan dengan santai mengancingkan kembali bajunya, lalu mengikat dasinya. Dia tidak membalas ucapan Diva, sampai akhirnya dia selesai merapikan diri, pria itu baru menggenggam tangan wanita itu erat.
“Sekarang, giliran kamu membantuku.”
“Bantu ap–”
Tidak sempat Diva menyelesaikan kalimatnya, Elvan langsung menariknya keluar dari toilet. Mata pria itu sempat mengitari sekeliling, memastikan pria-pria tadi sudah tidak ada, sebelum akhirnya membawa Diva ke arah lift.
“Kamu ingin membawaku ke mana?!” tanya Diva sedikit panik.
Saat pintu lift terbuka, Elvan membawa Diva ke dalam, menutup pintu lift, lalu menekan tombol lantai tertinggi.
Menurut pengetahuan Diva, lantai tertinggi hotel biasanya adalah penthouse. Mengingat Elvan adalah salah satu orang terkaya dalam negeri, tidak heran bila dia menginap di kamar termahal hotel itu.
Namun, membawa seorang wanita ke kamar, itu berarti–
Diva langsung memeluk tubuhnya sendiri. “A-asal kamu ingat, aku tidak menjual tubuhku!” ulangnya lagi, tahu bagaimana orang-orang kelas atas, terutama para prianya, sering bermain.
Mendengar ocehan Diva, Elvan menoleh ke arahnya dengan pandangan keruh. “Sudah kukatakan, aku tidak tertarik dengan tubuhmu!”
Alis Diva tertaut. “Kalau begitu, untuk apa membawaku ke penthouse hotel!?” Dia menunjuk ke arah tombol lantai yang dipencet Elvan.
Elvan melirik tombol lantai yang menyala, lalu balik menatap Diva. Sebuah senyuman terpasang di wajahnya selagi dia melipat kedua tangannya.
“Sudah kuduga matamu bermasalah,” ucap pria itu.
“Apa?!” Diva mendelik, merasa tidak terima. Ini sudah yang ke sekian kali pria di hadapannya ini menghinanya!
Namun, Elvan tetap santai. Dia mengarahkan dagunya ke arah atas, pada papan petunjuk tiap-tiap lantai.
Diva mengikuti arahan Elvan, lalu menyadari satu hal.
Lantai tertinggi … adalah restoran rooftop.
Seketika, wajah Diva kembali memerah. Astaga … sekali lagi dia mempermalukan dirinya!
“Dengar, Nona ….”
“Diva … namaku Diva,” ucap Diva dengan mata menghindari tatapan Elvan, masih malu.
Elvan menganggukkan kepala. “Dengar, Diva. Saat ini, bukan wanita yang bisa kutiduri yang kuperlukan.” Ucapan Elvan membuat Diva kembali fokus padanya, membuat pria itu kembali serius ketika dirinya berkata, “Sebaliknya, aku perlu wanita yang bisa menjadi tunanganku.”
Kening Diva berkerut. “Apa?”
Dengan wajah dingin dan tatapan tajam, Elvan menegaskan, “Atas bantuanku tadi, aku perlu dirimu untuk menjadi tunanganku.”
“Tunangan!? Apa kamu gila!?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut Diva secara refleks ketika mendengar ucapan Elvan. Hal itu membuat Elvan menautkan alis dan menatapnya dingin. “Sesuai perjanjian tadi, kamu berutang budi padaku atas bantuan yang kuberikan tadi. Sekarang, waktunya bagimu untuk menebus utang tersebut,” ucap Elvan. “Kenapa? Kamu berniat untuk mengingkari janji yang kamu buat sendiri? Haruskah aku mengembalikanmu ke hadapan orang-orang tadi?” “Kamu,” tunjuk Diva pada Elvan, “mengancamku?” Elvan hanya menatap Diva datar selagi berkata, “Terserah padamu ingin menggunakan istilah apa, tapi intinya … aku ingin kamu memenuhi janjimu.” “Tapi tidak dengan bertunangan!” balas Diva dengan agak kesal. Tidak habis pikir bagaimana pria di hadapannya ini berpikir. Pertunangan adalah awal dari sebuah pernikahan, bagaimana pria ini bisa sembarangan menyuruhnya menjalani hal tersebut!? Melihat wajah Diva menampakkan ekspresi khawatir, Elvan menambahkan, “Jangan berpikir berlebihan
Mendengar ucapan Elvan, sontak semua orang yang duduk di meja itu terperangah, terutama Marissa beserta bibi Elvan, Nara. “Kekasih yang baru kamu lamar?” ulang Nara dengan suara tidak suka. “Apa maksud omong kosongmu ini?” Elvan mengabaikan pertanyaan Nara, lalu beralih pada seorang pelayan, mengisyaratkan agar segera mengambilkan kursi tambahan untuk dirinya. Setelah itu, dia menarik satu kursi kosong yang berada di sebelah sang ibu, lalu berkata pada Diva, “Duduklah di sini.” Perlakuannya begitu lembut dan perhatian, sampai-sampai semua orang yang melihatnya kembali terbelalak tak percaya. Bahkan Marissa berujung meremas gaunnya erat dengan tidak suka. Di sisi lain, Diva merasa canggung. Kentara dirinya tidak diterima oleh sebagian besar orang di meja tersebut, bagaimana dia bisa duduk dengan tenang!? Namun, di saat itu sebuah tangan meraih tangan Diva. “Duduklah, Diva.” Ternyata, itu adalah ibunda Elvan, Anita! “Jangan begitu gugup,” ucap Anita dengan lembut seraya menarik
Ciuman hangat mendarat di bibir Diva, membuat mata wanita itu membola. Logikanya mendorong agar tangannya mendorong Elvan menjauh. Akan tetapi, instingnya mengatakan kalau dia melakukan hal itu, maka situasi akan menjadi kacau dan runyam. Alhasil, Diva hanya bisa pasrah di bawah kendali Elvan. Melihat kejadian itu di depan mata, semua orang seolah membeku! Bagaimana tidak? Semua anggota keluarga paham, Elvan adalah orang yang berjabat tangan dengan klien saja sebisa mungkin dihindari. Pria itu adalah seorang clean freak! Akan tetapi, sekarang, pria yang paling menghindari bersentuhan dengan orang lain itu … berujung mencium seorang wanita?! Bukan kecupan, tapi ciuman! Untuk waktu yang cukup lama pula! Demikian, ini adalah hal yang sangat menggemparkan! SREET! Di tengah keterkejutan itu, suara kursi yang bergesekkan dengan lantai terdengar. Para senior menoleh dan mendapati Marissa berdiri dari kursinya. Mata wanita muda itu berkaca-kaca, tampak sakit hati dan ingin menangis melih
Terkejut dengan siapa yang menghubunginya, Diva menautkan alisnya. Dari mana pria itu mendapatkan nomor rekening dan juga nomor teleponnya?! Sesaat Diva kebingungan, tapi kemudian, dia mengingat latar belakang Elvan yang berkuasa dan tidak lagi heran. Dengan uang, segala hal bisa dibeli dan didapatkan, termasuk informasi pribadi seseorang. “Kenapa kamu menghubungiku?” tanya Diva ketus. “Aku ingin memberitahukan mengenai–” “Imbalan atas pelecehan yang kamu lakukan?” potong Diva, masih merasa marah akan hal itu. “Diva … aku–” “Dengar, Tuan Elvan Wongso. Aku paham niatmu, dan aku akan menerima uang tutup mulutmu. Akan kujamin apa yang terjadi beberapa hari yang lalu menjadi rahasia. Oleh karena itu, berhenti menghubungiku … karena aku tidak ingin lagi terlibat denganmu!” PIP! Usai mengatakan itu, Diva memutus panggilan tanpa menunggu balasan Elvan. Dia yakin pria itu akan terus mengganggunya kalau uang tersebut tidak dia terima. Diva terlalu paham cara bermain orang-orang kalang
Melihat perkara Diva dan Nadya, seisi ruangan langsung heboh. “Astaga, bukannya itu Diva dari departemen data analyst? Termasuk anak baru juga ‘kan dia?” “Iya! Berani banget dia bikin ulah! Sama istri bos pula!” “Fix, nggak lama lagi juga dia dipecat.” Komentar demi komentar berterbangan di seluruh penjuru ruangan, tapi tidak ada satu pun yang membela Diva. Semua hanya sibuk berspekulasi nasib buruk macam apa yang menimpanya lantaran yakin bahwa Diva yang salah, terlebih karena mengingat Nadya memiliki kedudukan lebih tinggi dari wanita itu. Menyadari betapa buruk situasinya, Diva berkata, “Istri Bapak jatuh sendiri, kenapa jadi menyalahkan saya?” Balasan itu membuat semua orang terperangah. Sudah salah, tapi tidak mau mengaku?! Pun dia tidak salah, beraninya wanita itu secara gamblang melawan si bos?! Dengan wajah marah, Nico membalas, “Mira jadi saksi kamu mendorong istri saya, dan kamu masih mengelak!?” Bentakan Nico membuat Diva agak tersentak. Satu tahun berpacaran, walau
Waktu seolah berhenti saat Diva melihat sosok Elvan menjulang di hadapannya. Satu tangan pria itu mencengkeram lengan petugas keamanan, selagi yang satunya lagi memegang tangan Diva, melindunginya. “Elvan …,” panggil Diva dengan agak kaget. Mendengar suara Diva, Elvan langsung menghempaskan tangan petugas keamanan dan berbalik menatap wanita itu. “Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka?” Diva menggeleng. “Aku nggak apa-apa ….” Walau Diva menjawab seperti itu, tapi Elvan bisa melihat tangan wanita itu memegangi pergelangan tangannya sendiri yang memerah akibat cekalan Nico tadi. Hal itu membuat pancaran mata Elvan menggelap dan dia menghadap ke arah sang pemilik pesta. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Elvan berkata dengan nada datar, tetapi suara itu terdengar seperti lonceng kematian. Nico terlihat sangat gugup dengan ucapan Elvan barusan, apalagi tatapan mata yang menghujam ke arahnya, seolah dia sedang berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa. Otaknya berputar, bingung lanta
Di dalam mobil yang berjalan itu, Diva hanya diam. Elvan sendiri juga tidak melakukan interupsi apa pun setelah dia bertanya alamat rumah Diva, sengaja memberikan ketenangan untuk wanita yang saat ini pasti sedang memikirkan begitu banyak hal. Selagi menyetir, Elvan menghela napas dalam hati. Pria itu tidak menyangka kalau ternyata wanita yang ada di sebelahnya ini sangat bodoh, bisa-bisanya dibohongi oleh orang-orang macam Nico dan Nadya. Dan lagi, walau mungkin benar Diva mengacaukan pernikahan dua orang itu, tapi harusnya dua orang itu sadar akan kesalahan mereka yang berselingkuh di belakang Diva dan meminta maaf, bukan malah mempermalukannya di depan seluruh pegawai kantor lainnya! ‘Seperti kata Diva, harta dan pendidikan tidak menunjukkan ‘kelas’ seseorang,’ batin Elvan. “Terima kasih, Elvan.” Ucapan itu membuyarkan lamunan Elvan, membuat pria itu melirik Diva melalui ekor matanya, kemudian kembali fokus ke depan. “Untuk?” “Terima kasih karena sudah membantuku.” Diva berka
Diva terdiam sesaat, memerhatikan wajah Elvan. Pria itu memang tidak melihat ke arah Diva, tapi dia bisa merasakan ucapan Elvan ini tidak main-main. Karena Diva tidak berbicara, Elvan pun melanjutkan, “Waktu itu, aku hanya fokus dengan tujuanku saja tanpa mempertimbangkan perasaanmu.” Saat itu juga, Diva menyadari kalau Elvan sedang membahas ciuman itu. Dia memalingkan wajah ke depan, menghindar dari menatap wajah Elvan karena wajahnya mulai memerah ketika mengingat kembali momen tersebut. “Selama kamu tidak melakukan hal gila lagi, kumaafkan.” Diva berkata singkat. Sebenarnya, bukan tanpa alasan Diva merelakan ciuman pertamanya begitu saja. Akan tetapi, kalau dirinya tidak mendapatkan bantuan dari Elvan tadi di pesta, mungkin dirinya sekarang akan menjadi cemoohan sekantor dan bisa dibayangkan betapa buruknya lingkungan kerjanya nanti. Bukan hanya Nadya semakin merajalela dan Nico mempersulit pekerjaannya, tapi bisa jadi orang-orang akan terus menggunjing dan menghinanya. Membay
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk