Huhm.. hayooo apa sih yang dibocorin?
“Maaf membuat kalian menunggu lama,” ucap Diva saat masuk ke mobilnya.“Tidak masalah, apa handphone kakak ketemu?” tanya Prisya pada Diva.“Yeah, setelah cukup lama mencarinya, ternyata terselip di tempat yang cukup tersembunyi.” Diva menjawab dengan tenang. Dia berusaha untuk menjaga intonasi kalimatnya agar tidak terlihat kalau dirinya menutupi sesuatu.“Baiklah, setelah ini kita lanjut kemana?” tanya Prisya pada yang lainnya.“Kemana lagi kalau tidak ke tempat kerjanya Diva.” Lukman menyahut dari belakang membuat Prisya terdiam lalu melihat ke arah Diva. Namun, Diva hanya tersenyum mengangguk saat Prisya melihat ke arahnya.“Ya, seperti yang dikatakan ayah saja.” Diva berkata dengan nada datar. Sejujurnya hal ini membuat tanda tanya besar di dalam kepala Prisya, kenapa sepertinya kakaknya sangat menuruti ayahnya, apa dia menyerah dengan Elvan? Akan tetapi, mengingat sifat kakaknya yang seperti ini rasa-rasanya tidak mungkin.“Jadi … kita sekarang ke Tekno In Tower?” Prisya berkata
Diva membaca pesan dari Alisha langsung mengerutkan keningnya, kemudian mengulas senyum lebar. Pesan ini memperkuat keyakinan Diva, kalau ada sesuatu yang sedang direncanakan oleh prianya itu.“Baiklah Elvan, aku kali ini harus mengikuti setiap ucapanmu. Menurut dan jangan membantah. Benar begitu, kan?” Diva berkata dengan nada yang bersemangat, tentunya kalimat ini juga untuk mengalirkan energi positif yang cukup besar untuk dirinya.“Diva semangat! Tidak boleh berpikir aneh-aneh lagi.” Diva berkata pada dirinya sendiri lagi.Diva lalu kembali memasukkan semua barang-barangnya di dalam kotak penyimpanan, walaupun belum sampai satu bulan Diva bersama dengan mereka, rasanya saat meninggalkan mejanya dia tetap sedih.“Ah, semoga nanti bisa kerja lagi dengan suasana yang lebih nyaman.” Setelah mengatakan hal itu, Diva melangkahkan kakinya untuk keluar dari tempat itu dan dengan cepat.“Maaf menunggu lama.” Diva berkata saat membuka bagasi penyimpanan di belakang mobil mereka.“Tidak mas
Diva terkejut mendengar ucapan itu keluar dari mulut pria brengsek yang menghancurkan kehidupan adiknya itu. Mulut yang dulu dengan sombong mengatakan kalau dia tidak bersalah. Terlebih lagi keadaannya yang sangat terlihat kacau. Jelas sudah dalam beberapa waktu terkahir pria itu pasti tidak akan bisa istirahat dengan tenang karena kekacauan yang dia buat sendiri.“Ngapain kamu ke sini? Kamu mau apa?!” Prisya berkata dengan suara tidak sukanya, dia berdiri dari tempatnya, sedangkan Lukman masih diam memperhatikan Anggala yang tiba-tiba berlutut di depannya.“Om, Saya benar-benar minta maaf, saya juga akan menebus semua kesalahan saya.” Dia kembali mengulang kata-katanya yang cukup terdengar lirih.“Lalu apa keluarga kami akan percaya dengan ucapan busukmu itu?!” Prisya berkata dengan kesal dan mencoba mendekati ayahnya. Anggala hanya diam, wajahnya tertunduk lesu, matanya mengisyaratkan sebuah rasa lelah yang cukup dalam.“Kenapa? Apa dunia sedang tidak membelamu sekarang? Lalu, kamu
“Kalian duluan saja, Diva mau bayar tagihannya dulu.” Diva berkata pada keluarganya, ketika mereka berjalan ke arah luar. Namun saat di meja kasir, Diva terkejut karena makanan mereka sudah dibayar seluruhnya. “Sudah dibayar, Mbak?” tanya Diva dengan mengerutkan keningnya. “Iya, Bu, Bapak itu yang membayarnya,” tunjuk kasir itu pada Diva ke arah Anggala yang berjalan gontai mendekati Diva. “Berapa totalnya Mbak?” tanya Diva pada wanita yang masih tersenyum padanya. Dia menjawab dengan suara ramah. Diva mengangguk dan mengucapkan terima kasih setelah dia menjawab pertanyaan Diva itu. Anggala makin dekat dengan Diva. Diva tahu dia harus melakukan apa, dengan cepat dia mengambil uang cash yang ada di dalam tasnya sesuai dengan apa yang dikatakan oleh kasir itu. “Ini uangnya aku kembalikan padamu. Keluarga kami tidak ingin berhutang apapun padamu.” Diva memberikan sejumlah uang cash itu pada Anggala. Pria itu terlihat tidak terima. “Tidak aku tidak akan mengambilnya,” tolaknya deng
Kini Anggala sedang duduk bersama Lukman di ruang tamu, sedangkan Indah membawa cucunya ke kamar untuk menggulingkannya di tempat tidur, lalu Diva dan Prisya duduk di ruang tengah yang bisa melihat ke arah ruang tamu dengan memasang telinga lebar-lebar untuk mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh Anggala pada ayah mereka.Sayangnya, jarak yang lumayan jauh untuk mendengarkan apa yang ingin dibicarakan oleh Anggala tidak tertangkap di telinga mereka.“Mau kemana Kak Diva?” tanya Prisya saat Diva beranjak dari tempat duduknya.“Membuat minuman, bukannya kita seharusnya menjamu tamu yang datang?” Diva berkata santai pada Prisya.Adiknya itu mengerutkan keningnya dalam-dalam, dari raut wajahnya jelas menampilkan rasa tidak sukanya.“Ya tergantung tamunya, Kak, kalo si brengsek itu … lebih baik tidak perlu.” Prisya mendengkus kesal.Diva tidak terlalu menghiraukannya dan berjalan ke arah dapur. Meneruskan aktivitasnya walau saat ini segala tingkahnya diawasi oleh Prisya dengan wajah
Setelah Anggala pulang, Lukman mengumpulkan anggota keluarganya di ruang tengah. Diva sudah sangat penasaran sekali apa yang terjadi, pun Prisya juga sangat ingin tahu maksud ucapan Anggala sesaat sebelum dia meninggalkan rumah mereka. “Ayah tahu kalian sangat penasaran dengan apa yang disampaikan oleh Anggala.” Lukman berbicara dengan kalimat pembuka yang dibenarkan oleh Diva dalam hatinya. “Jadi, si Anggala ini memberikan ini pada kita," tunjuk Lukman ke amplop di atas meja. "Isinya sejumlah investasi yang dia punya dan juga sisa tabungannya. Dia mengatakan kalau besok atau lusa kuasa hukumnya akan datang kemari menemui ayah untuk melakukan semua proses pindah tangan atas nama Ratri dan juga Danish.” Hal ini jelas memancing tanya mereka semua. “Ayah memang menolaknya, tapi … dia berkata dengan sungguh-sungguh dan ingin menebusnya, kita sebagai orang luar tidak bisa melakukan apapun, apalagi secara biologis Anggala adalah ayahnya Danish. Jadi, ayah menerimanya.” Lukman berkata p
Pertanyaan Diva yang berhasil membuat wajah Indah berubah ini makin membuat Diva penasaran. 'Aku harus terus memancingnya,' ucap Diva dalam hati. Diva menyadari kalau ibunya saat ini masih diam dan pandangannya mulai kosong, seolah ada di dunianya sendiri “Bu, kenapa Ibu seperti itu?” tanya Diva membuat Indah seolah tersadar akan lamunannya. “Oh, tidak, tidak apa-apa.” Indah segera berusaha untuk tenang, tapi kali ini pergerakannya bisa dengan cepat dibaca oleh Diva. Mumpung ada kesempatan, Diva sangat ingin bertanya tentang hal ini. Bukankah dia tidak bisa diam saja? Ada hal besar yang pasti sedang disembunyikan oleh Ibunya sampai sekarang. Diva harus membuka satu per satu masalah yang menghampirinya belakangan. “Bu,” ucap Diva lalu mendekati Indah. “Apa Diva boleh bertanya sesuatu?” tanya Diva, lalu duduk di sebelah ibunya. “Ten-tentang apa?” tanya Indah dengan sedikit gugup. Kali ini benar-benar pertama untuk Diva melihat ibunya yang menampakkan wajah panik, walaupun dengan
Diva tahu hal ini pasti membuat ibunya sangat terkejut mendapati pertanyaan beruntung yang dia tujukan. Pertanyaan ini menggiring ibunya ke sudut ruangan yang membuatnya terperangkap. Diva yakin kali ini Ibunya tidak bisa menghindar lagi. “Bu … katakan saja, bukankah Ibu sendiri yang mengajarkan tentang kejujuran?” Diva kembali mengingatkan pada Indah, kali ini wanita itu memejamkan matanya. Diva tahu ada banyak hal yang mungkin saat ini sedang berkecamuk hebat dalam diri ibunya, apalagi saat Diva melihat ke arah tangan ibunya yang terkepal tadi mulai sedikit gemetar. “Bu,” ucap Diva lalu menggenggam tangan ibunya membuat wanita itu terkejut dan membuka matanya secara spontan. “Bu, Diva bukan anak kecil lagi, Kalau memang ada yang disembunyikan, bukankah ini saat yang tepat untuk mengungkapkannya?” Diva melihat ke dalam mata Indah yang sekarang nampak beban berat menghimpit di sana. “Ini ….” Indah seolah akan mengatakan sesuatu tetapi kalimatnya masih menggantung dan tertahan,
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk