“Aneh bagaimana?” tanya Srikandi ingin tahu pikiran Jejaka saat itu. Jejaka lalu mendekati api unggun, dan duduk di depan Srikandi.
“Apa kau tak heran? Mengapa Bajing Ireng tidak menyerbu kerajaan, sementara kekuatan gerombolan yang dimiliki bisa saja menghancurkan kerajaan?” Jejaka mengajukan pertanyaan.
Srikandi menatap Jejaka dengan mata menyipit. Diakui perkataan pemuda di depannya memang benar.
“Bajing Ireng ingin merebut kekuasaan Prabu Jaya Mahesa, kan?”
Srikandi mengangguk.
“Nah! Tunggu apa lagi kalau kekuatannya sudah sanggup merebut kekuasaan prabu?”
Srikandi mengangguk-angguk. Hatinya diam-diam memuji kecerdasan Jejaka dalam mencium hal itu. Dia sendiri tak pernah berpikir sampai sejauh itu, meski menyelidiki setiap gerakan pasukan Bajing Ireng dari waktu ke waktu. Ditatapnya kembali mata pemuda tampan itu dengan sinar kekaguman.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?”
Akhirnya Jejaka bisa juga digiring Srikandi ke Desa Panerokan. Mereka kini memasuki pasar di desa ini untuk membeli beberapa keperluan di perjalanan nanti, sekaligus membeli pakaian untuk Jejaka.Seperti biasa, pasar pagi itu ramai oleh pedagang dan pengunjung. Kedai kelontong yang terbakar kemarin siang, tampak mulai dibersihkan oleh beberapa orang. Ketika tubuh Srikandi dan Jejaka sudah menyatu dalam arus manusia di pasar, beberapa orang di pinggir jalan terdengar berbisik-bisik. Sementara, mata mereka menatap Jejaka lekat-lekat. Jejaka yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian di pasar itu. tentu saja mengusik keingintahuan Srikandi. Tapi sebelum bertanya langsung pada anak muda di sampingnya, kasak-kusuk yang ditangkap telinganya sudah cukup menjelaskan, kenapa Jejaka diper- hatikan mereka begitu rupa.“Itu kan, pendekar yang kemarin mengusir lima pengacau, ya?” tunjuk salah seorang.“O, iya... si Pendekar Konyol, kan?” timpal yang lain.
Sebelum makanan pesanan tiba, Srikandi terus menatap anak muda itu lekat-lekat. Hatinya tak habis- habisnya memuji kegagahan pemuda di hadapannya dalam pakaian baru. Biarpun usia antara dirinya dengan Jejaka bertaut cukup jauh, tetap saja Srikandi tidak bisa mendustai perasaan kagumnya pada Jejaka.Sementara, orang yang sedang diperhatikan malah sibuk melirik kian kemari. Terutama pada beberapa wanita yang berada dalam kedai.“Bagaimana, Jejaka?” tanya Srikandi, mengusik keasyikan Jejaka.“Wah, cantik-cantik...,” jawab Jejaka cepat.“Aku tidak menanyakan gadis-gadis itu! Aku tanya, bagaimana dengan pakaian barumu itu?” tukas Srikandi.“Ooo, itu. Pakaian hadiahmu ini boleh jugalah,” ucap Jejaka jujur. “Paling tidak, aku bisa dilirik beberapa gadis di tempat ini.”Srikandi geleng-geleng kepala. Dia jadi menggerutu dalam hati. Masalahnya, kenapa pemuda ini sulit sekali sungguh-sungguh.
“Maaf, Jejaka. Aku tak bermaksud mengganggu selera makanmu,” sesal Srikandi ketika menemukan wajah Jejaka dikurung mendung.“Tidak apa-apa,” sahut Jejaka perlahan. “Kenapa waktu itu kau hendak menyelamatkan aku dengan melempar senjata rahasiamu ke diriku?” Jejaka seperti sengaja mengalihkan pembicaraan tentang diri Rintih Manja yang terlalu menyakitkan baginya.“Karena kerajaan perlu dirimu. Begitu juga rakyat. Bajing Ireng sudah terlalu membawa petaka bagi negeri ini. Sementara untuk menyingkirkannya, pihak kerajaan tak bisa berbuat banyak. Banyak pendekar golongan lurus yang menjadi marah, lalu mencoba melenyapkannya. Tapi, usaha mereka hanya membuang nyawa. Kau sebagai seorang keturunan Pendekar Gunung Batu yang diwarisi ilmu kedigdayaan tinggi, tentu menjadi satu-satunya harapan rakyat untuk membebaskan mereka dari cengkeraman kuku-kuku kekuasaan Bajing Ireng,” urai Srikandi panjang.Jejaka mengangguk-angguk. B
“Tepat!” sambut Jejaka, tetap berbisik. “Hanya kita belum tahu apakah mereka dari golongan hitam atau putih. Untuk itu, kita harus mengintai. Siapa tahu mereka adalah salah seorang pengikut Bajing Ireng keparat itu...”Selesai berkata demikian, Jejaka memberi isyarat pada Srikandi untuk bersembunyi di semak-semak lebat. Sementara langkah kuda semakin jelas terdengar. Langkah itu kian dekat, sampai akhirnya terlihatlah dua orang lelaki yang sedang menuntun kuda, tepat seperti dugaan Jejaka.Salah seorang tampak mengenakan pakaian Iurik ketat, membungkus tubuhnya yang demikian gempal berotot. Wajahnya terlihat angker dengan rahang berbentuk persegi. Hidungnya yang agak pendek, mata yang berkelopak besar serta bibir yang tebal, menggambarkan kekerasan kehidupan yang dijalani. Terlebih ditambah kulitnya yang legam.Orang itu berbeda dengan lelaki yang berjalan di sebelahnya. Wajah orang itu terlihat berwibawa dan bersih. Dapat diduga, kalau d
“Kenapa kau menyetujui tawaran Patih Ranggapati, sih? Kita kan bisa jalan berdua saja. Itu lebih indah. Kita bisa berjalan bergandengan tangan di bawah sinar bintang gemerlap dan di antara gigitan nyamuk-nyamuk hutan. Indahkan?” oceh Jejaka setengah berbisik, agar tak sampai di telinga dua lelaki yang berjalan beberapa tombak di depan mereka.Srikandi langsung menyikut perut Jejaka.Duk!“Ukh. Ssst, Srikandi. Bayureksa itu orang benar, apa hanya orang-orangan, sih? Kenapa kaku sekali.”Belum lagi sakit di perutnya hilang, mulut Jejaka sudah cuap-cuap kembali. Terpaksa Srikandi menggerakkan tangannya kembali ke perut Jejaka.Duk! “Ukh!”Dalam sinar bulan sabit yang temaram mereka terus menyusuri jalan mendaki dalam hutan cemara lebat. Jangkrik terus bersenandung memainkan lagu alam bersama binatang malam lain.Sampai suatu saat....Kresk!Terdengar ranting kering yang patah terpijak. Maka serempak keempat orang itu langsung menoleh ke asal suara. Mata masing-masing bergerak-gerak waspa
Dua berkas sinar di bawah siraman cahaya bulan tampak melesat menuju Patih Ranggapati. Mata Jejaka yang amat terlatih, tentu saja dapat mengenali benda itu. Rupanya, dua bilah pisau kecil meluncur deras ke arah Patih Ranggapati. Meski begitu, Jejaka memang tidak mungkin lagi bisa mendahului kecepatan pisau terbang ini. Di samping karena jaraknya dengan Patih Ranggapati cukup jauh, juga karena lesatan pisau terbang itu lebih dekat ke tubuh Patih Ranggapati, sehingga....“Haaakh!”Untung saja Patih Ranggapati juga waspada. Dia berkelit dengan membuang tubuh ke sisi kiri. Hanya itu cara menghindari pisau terbang yang hendak memangsa tubuhnya. Tapi untuk itu, bahunya langsung membentur sebuah batang pohon cemara amat keras.“Aaakh!”Sementara itu, Jejaka dengan sigap menyerbu ke arah si pelempar pisau. Sekali genjot saja, tubuhnya sudah melenting ringan di antara rerimbunan daun cemara.“Hei, jangan lari! Kujadikan makanan tikus, kau!” seru Jejaka ketika matanya menangkap kelebatan seseor
Sementara itu, di bawah siraman cahaya matahari pagi. Jejaka, Srikandi, Patih Ranggapati, dan Bayureksa tiba di kotaraja. Dari gerbang masuk, mereka hanya perlu berjalan sekitar dua jam untuk tiba di Kerajaan Karang Setra.Karena peristiwa semalam, Patih Ranggapati terluka kembali. Dan sebenarnya, luka di bahunya yang banyak mengeluarkan darah, bukan karena tertumbuk batang cemara. Srikandi sendiri agak heran ketika memeriksa luka yang diderita Patih Ranggapati. Karena, luka itu tampak seperti luka sayatan benda tajam! Menurut Patih Ranggapati, luka itu memang akibat sabetan golok ketika harus berhadapan dengan orang-orang Bajing Ireng. Sebenarnya, lukanya sudah mengering andai saja tidak ter- bentur batang pohon cemara semalam.Kini keempat orang itu tiba di pintu gerbang Kerajaan Karang Setra, yang dijaga ketat oleh enam prajurit dengan sikap siaga. Ketika melihat kedatangan empat orang itu, mereka segera menjura dalam-dalam.Memasuki lingkungan istana, puluhan prajurit yang sedang
Wet! Sing! Bret! “Aaakh!”Teriakan mengerikan kembali melengking ke angkasa. Kali ini tidak hanya sekali atau dua kali. Tapi, puluhan jeritan susul-menyusul terdengar dari orang-orang tak berdosa yang dijagal. Bau anyir darah membasahi tanah. Warna merah mulai menodai bumi, sebagai tanda keangkaramurkaan manusia.Tak cukup hanya membantai jiwa-jiwa manusia. Para penunggang kuda berjiwa iblis itu juga menjarah harta penduduk. Selesai menguras harta, rumah pun dibakar. Maka seketika api membumbung ke langit, memberi warna merah jelaga bercampur hitam di cakrawala.Suasana makin hingar-bingar. Gemeletak kayu termakan api, jeritan ngeri para wanita, tangisan meninggi anak-anak kecil, ringkik derap kaki kuda, serta teriakan penunggangnya. telah membaur dalam sebuah untai kekacauan.Apakah jiwa manusia sudah terlalu tak berarti bagi sementara pihak? Atau nilai manusia sudah lebih hina daripada seekor anjing? Dalam setiap peperangan dan kezaliman pertanyaan itu selalu pantas dilontarkan.Tap