Dua berkas sinar di bawah siraman cahaya bulan tampak melesat menuju Patih Ranggapati. Mata Jejaka yang amat terlatih, tentu saja dapat mengenali benda itu. Rupanya, dua bilah pisau kecil meluncur deras ke arah Patih Ranggapati. Meski begitu, Jejaka memang tidak mungkin lagi bisa mendahului kecepatan pisau terbang ini. Di samping karena jaraknya dengan Patih Ranggapati cukup jauh, juga karena lesatan pisau terbang itu lebih dekat ke tubuh Patih Ranggapati, sehingga....“Haaakh!”Untung saja Patih Ranggapati juga waspada. Dia berkelit dengan membuang tubuh ke sisi kiri. Hanya itu cara menghindari pisau terbang yang hendak memangsa tubuhnya. Tapi untuk itu, bahunya langsung membentur sebuah batang pohon cemara amat keras.“Aaakh!”Sementara itu, Jejaka dengan sigap menyerbu ke arah si pelempar pisau. Sekali genjot saja, tubuhnya sudah melenting ringan di antara rerimbunan daun cemara.“Hei, jangan lari! Kujadikan makanan tikus, kau!” seru Jejaka ketika matanya menangkap kelebatan seseor
Sementara itu, di bawah siraman cahaya matahari pagi. Jejaka, Srikandi, Patih Ranggapati, dan Bayureksa tiba di kotaraja. Dari gerbang masuk, mereka hanya perlu berjalan sekitar dua jam untuk tiba di Kerajaan Karang Setra.Karena peristiwa semalam, Patih Ranggapati terluka kembali. Dan sebenarnya, luka di bahunya yang banyak mengeluarkan darah, bukan karena tertumbuk batang cemara. Srikandi sendiri agak heran ketika memeriksa luka yang diderita Patih Ranggapati. Karena, luka itu tampak seperti luka sayatan benda tajam! Menurut Patih Ranggapati, luka itu memang akibat sabetan golok ketika harus berhadapan dengan orang-orang Bajing Ireng. Sebenarnya, lukanya sudah mengering andai saja tidak ter- bentur batang pohon cemara semalam.Kini keempat orang itu tiba di pintu gerbang Kerajaan Karang Setra, yang dijaga ketat oleh enam prajurit dengan sikap siaga. Ketika melihat kedatangan empat orang itu, mereka segera menjura dalam-dalam.Memasuki lingkungan istana, puluhan prajurit yang sedang
Wet! Sing! Bret! “Aaakh!”Teriakan mengerikan kembali melengking ke angkasa. Kali ini tidak hanya sekali atau dua kali. Tapi, puluhan jeritan susul-menyusul terdengar dari orang-orang tak berdosa yang dijagal. Bau anyir darah membasahi tanah. Warna merah mulai menodai bumi, sebagai tanda keangkaramurkaan manusia.Tak cukup hanya membantai jiwa-jiwa manusia. Para penunggang kuda berjiwa iblis itu juga menjarah harta penduduk. Selesai menguras harta, rumah pun dibakar. Maka seketika api membumbung ke langit, memberi warna merah jelaga bercampur hitam di cakrawala.Suasana makin hingar-bingar. Gemeletak kayu termakan api, jeritan ngeri para wanita, tangisan meninggi anak-anak kecil, ringkik derap kaki kuda, serta teriakan penunggangnya. telah membaur dalam sebuah untai kekacauan.Apakah jiwa manusia sudah terlalu tak berarti bagi sementara pihak? Atau nilai manusia sudah lebih hina daripada seekor anjing? Dalam setiap peperangan dan kezaliman pertanyaan itu selalu pantas dilontarkan.Tap
“Hiaaat!”“Hiaaat!”Meski serbuan kelima belas lelaki itu makin dekat, tapi orang bercaping itu tampak masih berdiri tenang. Sedikit pun tak terlihat tubuhnya bergerak. Tapi ketika para penyerangnya tinggal tiga tombak dari tempatnya berdiri, tubuhnya melenting cepat, lalu berputar ke depan beberapa kali. Pada saat melayang di udara itulah, tangannya kembali bergerak. Dan....Zing! Zing! Zing! Zing! Zing! Zing!Enam orang penyerang seketika rontok seperti daun kering, terhujam senjata rahasia orang ber- caping ini. Tepat di dada masing-masing tampak menancap pisau kecil yang langsung menghentikan kerja jantung mereka. Kuda-kuda mereka menjadi panik, ketika enam tubuh berdebum menimpa tanah. Tanpa dapat dikendalikan, kuda-kuda itu menendang-nendang dengan kaki depan disertai ringkikan riuh.Pada saat itu orang bercaping ini sudah menjejakkan kaki di antara lawan-lawannya. Dan tanpa banyak kesulitan, sepasang pisau kecil di ta
Di antara ringkikan kuda, teriakan mengerikan ikut mengimbangi. Sampai akhirnya, kuda-kuda itu berlarian liar tanpa penunggang sama sekali. Dan kini, tinggal pemimpin pasukan yang terpaku di atas kudanya, melihat seluruh anak buahnya berkalang tanah!“Cepatlah kau ke sini! Aku tak mau membuang- buang waktu!” seru orang bercaping itu pada si pemimpin.Menyadari keadaannya terjepit, pemimpin pasukan itu segera menghentakkan tali kekang kuda, hendak lari.“Hiaaa...!”Begitu kudanya berbalik ke belakang dengan kecepatan penuh, si pemimpin itu melesat cepat. Namun belum lagi jauh dia sudah terpental dari punggung kuda. Rupanya, orang bercaping telah melemparkan sepasang pisau di tangannya lalu menembus bokong pemimpin pasukan.“Aaakh!” Brukkk!Sekali lagi, bumi dihantam oleh tubuh tak bernyawa. Darah mengalir tampak dari lubang tembusan pisau di tubuh pemimpin pasukan yang menyusul anak buahnya ke neraka.
Waktu berlalu tanpa dapat ditahan. Suka atau tidak hari bergulir terus. Dan sudah sepuluh hari terlewati, sejak kejadian di Desa Karangwesi. Sementara di Kerajaan Karang Setra sedang diadakan pertemuan di dalam ruang kehormatan, setelah Srikandi mengusulkan untuk mengadakan penyambutan sederhana untuk kedatangan Jejaka. Itu pun tanpa sepengetahuan Jejaka. Srikandi tahu, Jejaka tidak bakal menyukainya. Dalam pribadinya yang sering ugal-ugalan. Jejaka memang menyimpan kerendahan hati.Ruang kehormatan yang luas ini terletak di tengah istana, berbatasan dengan Taman Anjangsana keluarga raja. Di tengah ruangan tampak meja persegi yang besar dan panjang. Di sisinya tersusun kursi-kursi jati berukir, ditambah kursi khusus untuk Bayureksa di ujung meja. Dinding ruang itu diperindah oleh lukisan keluarga istana dan lukisan-lukisan panorama negeri Karang Setra.Setelah para dayang menyajikan makanan serta minuman yang ditata dengan apik, para undangan memasuki ruangan besar ini
Memang, sewaktu pertama kali Srikandi memperkenalkannya pada anak muda itu, Jejaka langsung memotong ucapan Srikandi. Sehingga, Srikandi tidak sempat menyebutkan, siapa Jejaka sebenarnya.“Pendekar muda kita ini berniat membantu kita memecahkan masalah pemberontakan Bajing Ireng dan gerombolannya. Mereka telah terlalu banyak menimbulkan penderitaan rakyat. Terlalu banyak membuat keangkaramurkaan. Karena itu, hati anak muda ini rupanya tergerak untuk segera mengulurkan tangan. Bukan begitu, Jejaka?” sambung Prabu Jaya Mahesa.Jejaka sebentar terkesiap.“Oh! Ng... iya. Begitulah..., kira-kira,” jawab pemuda itu terbata.“Apa kau tak ingin memperkenalkan julukanmu pada para pembesar kerajaan? Agar kami bisa lebih dekat mengenalmu?” tambah Prabu Jaya Mahesa.Jejaka segera berdiri. Dan dia sendiri tak tahu, kenapa harus berdiri. Pokoknya, hanya ingin berdiri saja.“Aku sebenarnya tidak pernah dijuluki ole
JEJAKA sulit mengerti, mengapa Rintih Jelita menyusulnya hingga ke istana. Setelah memohon diri pada Prabu Jaya Mahesa dan para pembesar kerajaan, Jejaka dan Srikandi segera menemui wanita itu lalu mengajaknya ke taman istana. Mereka lalu berjalan beriring menuju taman istana.“Ada apa Rintih Jelita?” tanya Jejaka, begitu tiba di taman istana.“Rintih Manja! Rupanya kau...,” timpal Srikandi. Srikandi lalu memandang Jejaka. Dia masih bingung kenapa Jejaka memanggil wanita itu Rintih Jelita? Bukankah dia bernama Rintih Manja?“Sudah dua kali kau menyebut Rintih Manja dengan panggilan Rintih Jelita. Apa memang dia punya dua nama?” tanya Srikandi pada Jejaka.“Ah! Aku hampir lupa,” tukas Jejaka bergegas. Jejaka memang lupa untuk menjelaskan pada Srikandi tentang saudara kembar Rintih Manja, yaitu Rintih Jelita. “Ini Rintih Jelita, saudara kembar Rintih Manja.”.“Jadi Rintih Manja benar-b