Sebelum makanan pesanan tiba, Srikandi terus menatap anak muda itu lekat-lekat. Hatinya tak habis- habisnya memuji kegagahan pemuda di hadapannya dalam pakaian baru. Biarpun usia antara dirinya dengan Jejaka bertaut cukup jauh, tetap saja Srikandi tidak bisa mendustai perasaan kagumnya pada Jejaka.
Sementara, orang yang sedang diperhatikan malah sibuk melirik kian kemari. Terutama pada beberapa wanita yang berada dalam kedai.
“Bagaimana, Jejaka?” tanya Srikandi, mengusik keasyikan Jejaka.
“Wah, cantik-cantik...,” jawab Jejaka cepat.
“Aku tidak menanyakan gadis-gadis itu! Aku tanya, bagaimana dengan pakaian barumu itu?” tukas Srikandi.
“Ooo, itu. Pakaian hadiahmu ini boleh jugalah,” ucap Jejaka jujur. “Paling tidak, aku bisa dilirik beberapa gadis di tempat ini.”
Srikandi geleng-geleng kepala. Dia jadi menggerutu dalam hati. Masalahnya, kenapa pemuda ini sulit sekali sungguh-sungguh.
“Maaf, Jejaka. Aku tak bermaksud mengganggu selera makanmu,” sesal Srikandi ketika menemukan wajah Jejaka dikurung mendung.“Tidak apa-apa,” sahut Jejaka perlahan. “Kenapa waktu itu kau hendak menyelamatkan aku dengan melempar senjata rahasiamu ke diriku?” Jejaka seperti sengaja mengalihkan pembicaraan tentang diri Rintih Manja yang terlalu menyakitkan baginya.“Karena kerajaan perlu dirimu. Begitu juga rakyat. Bajing Ireng sudah terlalu membawa petaka bagi negeri ini. Sementara untuk menyingkirkannya, pihak kerajaan tak bisa berbuat banyak. Banyak pendekar golongan lurus yang menjadi marah, lalu mencoba melenyapkannya. Tapi, usaha mereka hanya membuang nyawa. Kau sebagai seorang keturunan Pendekar Gunung Batu yang diwarisi ilmu kedigdayaan tinggi, tentu menjadi satu-satunya harapan rakyat untuk membebaskan mereka dari cengkeraman kuku-kuku kekuasaan Bajing Ireng,” urai Srikandi panjang.Jejaka mengangguk-angguk. B
“Tepat!” sambut Jejaka, tetap berbisik. “Hanya kita belum tahu apakah mereka dari golongan hitam atau putih. Untuk itu, kita harus mengintai. Siapa tahu mereka adalah salah seorang pengikut Bajing Ireng keparat itu...”Selesai berkata demikian, Jejaka memberi isyarat pada Srikandi untuk bersembunyi di semak-semak lebat. Sementara langkah kuda semakin jelas terdengar. Langkah itu kian dekat, sampai akhirnya terlihatlah dua orang lelaki yang sedang menuntun kuda, tepat seperti dugaan Jejaka.Salah seorang tampak mengenakan pakaian Iurik ketat, membungkus tubuhnya yang demikian gempal berotot. Wajahnya terlihat angker dengan rahang berbentuk persegi. Hidungnya yang agak pendek, mata yang berkelopak besar serta bibir yang tebal, menggambarkan kekerasan kehidupan yang dijalani. Terlebih ditambah kulitnya yang legam.Orang itu berbeda dengan lelaki yang berjalan di sebelahnya. Wajah orang itu terlihat berwibawa dan bersih. Dapat diduga, kalau d
“Kenapa kau menyetujui tawaran Patih Ranggapati, sih? Kita kan bisa jalan berdua saja. Itu lebih indah. Kita bisa berjalan bergandengan tangan di bawah sinar bintang gemerlap dan di antara gigitan nyamuk-nyamuk hutan. Indahkan?” oceh Jejaka setengah berbisik, agar tak sampai di telinga dua lelaki yang berjalan beberapa tombak di depan mereka.Srikandi langsung menyikut perut Jejaka.Duk!“Ukh. Ssst, Srikandi. Bayureksa itu orang benar, apa hanya orang-orangan, sih? Kenapa kaku sekali.”Belum lagi sakit di perutnya hilang, mulut Jejaka sudah cuap-cuap kembali. Terpaksa Srikandi menggerakkan tangannya kembali ke perut Jejaka.Duk! “Ukh!”Dalam sinar bulan sabit yang temaram mereka terus menyusuri jalan mendaki dalam hutan cemara lebat. Jangkrik terus bersenandung memainkan lagu alam bersama binatang malam lain.Sampai suatu saat....Kresk!Terdengar ranting kering yang patah terpijak. Maka serempak keempat orang itu langsung menoleh ke asal suara. Mata masing-masing bergerak-gerak waspa
Dua berkas sinar di bawah siraman cahaya bulan tampak melesat menuju Patih Ranggapati. Mata Jejaka yang amat terlatih, tentu saja dapat mengenali benda itu. Rupanya, dua bilah pisau kecil meluncur deras ke arah Patih Ranggapati. Meski begitu, Jejaka memang tidak mungkin lagi bisa mendahului kecepatan pisau terbang ini. Di samping karena jaraknya dengan Patih Ranggapati cukup jauh, juga karena lesatan pisau terbang itu lebih dekat ke tubuh Patih Ranggapati, sehingga....“Haaakh!”Untung saja Patih Ranggapati juga waspada. Dia berkelit dengan membuang tubuh ke sisi kiri. Hanya itu cara menghindari pisau terbang yang hendak memangsa tubuhnya. Tapi untuk itu, bahunya langsung membentur sebuah batang pohon cemara amat keras.“Aaakh!”Sementara itu, Jejaka dengan sigap menyerbu ke arah si pelempar pisau. Sekali genjot saja, tubuhnya sudah melenting ringan di antara rerimbunan daun cemara.“Hei, jangan lari! Kujadikan makanan tikus, kau!” seru Jejaka ketika matanya menangkap kelebatan seseor
Sementara itu, di bawah siraman cahaya matahari pagi. Jejaka, Srikandi, Patih Ranggapati, dan Bayureksa tiba di kotaraja. Dari gerbang masuk, mereka hanya perlu berjalan sekitar dua jam untuk tiba di Kerajaan Karang Setra.Karena peristiwa semalam, Patih Ranggapati terluka kembali. Dan sebenarnya, luka di bahunya yang banyak mengeluarkan darah, bukan karena tertumbuk batang cemara. Srikandi sendiri agak heran ketika memeriksa luka yang diderita Patih Ranggapati. Karena, luka itu tampak seperti luka sayatan benda tajam! Menurut Patih Ranggapati, luka itu memang akibat sabetan golok ketika harus berhadapan dengan orang-orang Bajing Ireng. Sebenarnya, lukanya sudah mengering andai saja tidak ter- bentur batang pohon cemara semalam.Kini keempat orang itu tiba di pintu gerbang Kerajaan Karang Setra, yang dijaga ketat oleh enam prajurit dengan sikap siaga. Ketika melihat kedatangan empat orang itu, mereka segera menjura dalam-dalam.Memasuki lingkungan istana, puluhan prajurit yang sedang
Wet! Sing! Bret! “Aaakh!”Teriakan mengerikan kembali melengking ke angkasa. Kali ini tidak hanya sekali atau dua kali. Tapi, puluhan jeritan susul-menyusul terdengar dari orang-orang tak berdosa yang dijagal. Bau anyir darah membasahi tanah. Warna merah mulai menodai bumi, sebagai tanda keangkaramurkaan manusia.Tak cukup hanya membantai jiwa-jiwa manusia. Para penunggang kuda berjiwa iblis itu juga menjarah harta penduduk. Selesai menguras harta, rumah pun dibakar. Maka seketika api membumbung ke langit, memberi warna merah jelaga bercampur hitam di cakrawala.Suasana makin hingar-bingar. Gemeletak kayu termakan api, jeritan ngeri para wanita, tangisan meninggi anak-anak kecil, ringkik derap kaki kuda, serta teriakan penunggangnya. telah membaur dalam sebuah untai kekacauan.Apakah jiwa manusia sudah terlalu tak berarti bagi sementara pihak? Atau nilai manusia sudah lebih hina daripada seekor anjing? Dalam setiap peperangan dan kezaliman pertanyaan itu selalu pantas dilontarkan.Tap
“Hiaaat!”“Hiaaat!”Meski serbuan kelima belas lelaki itu makin dekat, tapi orang bercaping itu tampak masih berdiri tenang. Sedikit pun tak terlihat tubuhnya bergerak. Tapi ketika para penyerangnya tinggal tiga tombak dari tempatnya berdiri, tubuhnya melenting cepat, lalu berputar ke depan beberapa kali. Pada saat melayang di udara itulah, tangannya kembali bergerak. Dan....Zing! Zing! Zing! Zing! Zing! Zing!Enam orang penyerang seketika rontok seperti daun kering, terhujam senjata rahasia orang ber- caping ini. Tepat di dada masing-masing tampak menancap pisau kecil yang langsung menghentikan kerja jantung mereka. Kuda-kuda mereka menjadi panik, ketika enam tubuh berdebum menimpa tanah. Tanpa dapat dikendalikan, kuda-kuda itu menendang-nendang dengan kaki depan disertai ringkikan riuh.Pada saat itu orang bercaping ini sudah menjejakkan kaki di antara lawan-lawannya. Dan tanpa banyak kesulitan, sepasang pisau kecil di ta
Di antara ringkikan kuda, teriakan mengerikan ikut mengimbangi. Sampai akhirnya, kuda-kuda itu berlarian liar tanpa penunggang sama sekali. Dan kini, tinggal pemimpin pasukan yang terpaku di atas kudanya, melihat seluruh anak buahnya berkalang tanah!“Cepatlah kau ke sini! Aku tak mau membuang- buang waktu!” seru orang bercaping itu pada si pemimpin.Menyadari keadaannya terjepit, pemimpin pasukan itu segera menghentakkan tali kekang kuda, hendak lari.“Hiaaa...!”Begitu kudanya berbalik ke belakang dengan kecepatan penuh, si pemimpin itu melesat cepat. Namun belum lagi jauh dia sudah terpental dari punggung kuda. Rupanya, orang bercaping telah melemparkan sepasang pisau di tangannya lalu menembus bokong pemimpin pasukan.“Aaakh!” Brukkk!Sekali lagi, bumi dihantam oleh tubuh tak bernyawa. Darah mengalir tampak dari lubang tembusan pisau di tubuh pemimpin pasukan yang menyusul anak buahnya ke neraka.