Langit di atas pegunungan semakin kelabu. Kabut yang menyelimuti lembah terasa lebih tebal, seperti sebuah tirai yang memisahkan dunia Liang Feng yang lama dengan takdir baru yang menantinya. Liang Feng dan Mei Lian terus berjalan di jalur berbatu, diapit oleh tebing-tebing yang menjulang. Tidak ada suara selain angin yang mendesing dan sesekali gemerisik dedaunan kering yang terbawa langkah mereka.
"Kita akan sampai di Desa Qing," kata Mei Lian, memecah keheningan. "Di sana, kita bisa beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan." Liang Feng mengangguk tanpa banyak bicara. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya. Setiap langkah terasa seperti membawa beban yang tak kasat mata. Bayangan Langit, gulungan kuno, dan takdir yang tidak pernah ia pilih—semua itu berputar di benaknya, meninggalkan jejak yang sulit untuk dihapus. Namun, langkah mereka berhenti tiba-tiba ketika Mei Lian mengangkat tangannya, memberi isyarat. "Tunggu," bisiknya pelan, matanya menatap tajam ke arah kabut di depan. Liang Feng merasakan udara di sekitarnya berubah. Ada sesuatu yang aneh. Kabut itu terlalu tebal, terlalu sunyi. "Dengar," kata Mei Lian. Liang Feng menajamkan pendengarannya. Awalnya, tidak ada apa-apa. Namun, beberapa saat kemudian, ia mendengar langkah kaki—ringan, hampir tak terdengar, tetapi sangat teratur. "Bayangan Langit," gumam Mei Lian dengan nada rendah. Dada Liang Feng berdegup kencang. Ia menggenggam pedang di pinggangnya, meskipun ia tahu bahwa ini bukan pertarungan yang ia inginkan. Dari dalam kabut, sosok-sosok mulai muncul. Mereka berpakaian serba hitam, dengan lambang kecil berupa awan yang diselimuti bayangan di dada mereka. Ada empat orang, masing-masing memegang senjata yang berbeda—tombak panjang, pedang ganda, kipas baja, dan rantai berduri. Seorang pria bertubuh kurus namun tinggi melangkah maju, matanya tajam seperti elang. "Liang Feng," katanya, suaranya dingin dan menggema di udara yang sejuk. "Serahkan gulungan itu, dan kami akan membiarkanmu hidup." Liang Feng menatap mereka tanpa gentar, meskipun hatinya penuh kecemasan. "Aku tidak tahu siapa kalian, dan aku tidak peduli. Gulungan ini bukan milik kalian untuk diambil." Pria itu tersenyum tipis, senyumnya penuh ejekan. "Kamu tidak tahu dengan siapa kamu berurusan, anak muda. Kami adalah Bayangan Langit. Kami tidak meminta dua kali." Liang Feng menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia merasa Mei Lian melangkah ke sampingnya, berdiri tegap dengan tatapan tajam ke arah lawan. "Jika kalian ingin gulungan itu," kata Mei Lian dengan suara tenang namun tajam, "kalian harus melewati kami terlebih dahulu." Pria itu mengangkat tangannya, memberi isyarat pada tiga orang di belakangnya. "Bunuh mereka." Dan seperti angin yang tiba-tiba berubah menjadi badai, mereka bergerak. --- Liang Feng merasakan dunia di sekitarnya bergerak dengan cepat. Ia belum pernah bertarung melawan lawan seperti ini sebelumnya, namun tubuhnya bergerak secara naluriah. Pedangnya berkilat di udara, menangkis serangan tombak yang datang dari kiri. Bunyi logam beradu memenuhi udara, menggetarkan tangan Liang Feng, tetapi ia tetap berdiri tegap. Di sisi lain, Mei Lian menunjukkan kemampuan yang tidak ia duga. Dengan sebuah pisau kecil yang tampak sederhana, ia melawan dua lawan sekaligus. Gerakannya cepat dan tajam, seperti tarian yang penuh keanggunan namun mematikan. "Lindungi gulungan itu, Liang Feng!" teriak Mei Lian, sementara ia menghindari rantai berduri yang meluncur ke arahnya. Liang Feng tidak menjawab. Ia terlalu fokus. Pria dengan pedang ganda menyerang dari depan, gerakannya cepat dan penuh tipu daya. Liang Feng hampir kehilangan keseimbangan ketika salah satu pedang itu menggores lengannya, meninggalkan luka tipis. Namun, sesuatu di dalam dirinya bangkit. Sebuah perasaan yang tidak ia kenal sebelumnya. Seperti arus sungai yang tiba-tiba meluap, kekuatan itu mengalir melalui tubuhnya. Liang Feng mengangkat pedangnya dengan gerakan yang lebih cepat dari sebelumnya. Dalam sekejap, ia memotong salah satu pedang lawannya, membuat pria itu mundur dengan ekspresi kaget. "Apa—" pria itu terdiam, matanya melebar. "Dia menggunakan... kekuatan dari gulungan itu!" Liang Feng tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi ia merasa pedangnya bergerak dengan cara yang berbeda, seolah-olah ada energi yang memandu setiap gerakannya. --- Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, kabut perlahan menghilang, membawa serta suara pertarungan. Tiga dari empat anggota Bayangan Langit tergeletak di tanah, tidak bergerak. Hanya pria bertubuh kurus yang masih berdiri, meskipun dengan napas yang berat. "Kamu pikir ini sudah selesai?" katanya, matanya menyala dengan kebencian. "Bayangan Langit tidak akan berhenti sampai gulungan itu menjadi milik kami." Sebelum Liang Feng sempat menjawab, pria itu melompat ke dalam kabut, menghilang seperti bayangan yang melebur dengan kegelapan. Liang Feng berdiri terengah-engah, pedangnya meneteskan darah. Ia memandang Mei Lian, yang juga terluka di bahunya tetapi masih tegap. "Kita harus bergerak," kata Mei Lian sambil memandang ke arah pria yang menghilang. "Dia akan kembali dengan lebih banyak orang." Liang Feng mengangguk, menyadari bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. --- Mereka tiba di Desa Qing ketika malam mulai merangkak naik. Desa itu kecil, hanya terdiri dari beberapa rumah kayu yang dikelilingi oleh sawah yang luas. Penduduknya tampak ramah, tetapi Liang Feng bisa merasakan keheningan yang ganjil di udara. Seorang pria tua yang mengenakan jubah sederhana menyambut mereka di gerbang desa. "Kalian pasti datang karena sesuatu yang penting," katanya, matanya menilai Liang Feng dan Mei Lian dengan tajam. "Betul," jawab Mei Lian, membungkuk sopan. "Kami mencari tempat berlindung untuk malam ini, dan mungkin... petunjuk." Pria tua itu mengangguk, mempersilakan mereka masuk. "Ada banyak yang bisa kalian pelajari di sini. Tapi berhati-hatilah—desa ini tidak seaman kelihatannya." Liang Feng merasa beban di dadanya semakin berat. Dunia yang ia masuki ini penuh teka-teki, penuh bahaya. Namun, ia juga tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil membawanya lebih dekat pada kebenaran—kebenaran tentang gulungan itu, tentang Bayangan Langit, dan tentang dirinya sendiri. Malam itu, ketika ia menatap bintang-bintang yang tersembunyi di balik kabut, Liang Feng menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh untuk kembali. BersambungDesa Qing, meskipun tampak sunyi dan damai, menyimpan sesuatu yang ganjil. Liang Feng merasa itu sejak pertama kali ia menapakkan kaki di jalanan sempitnya. Penduduk desa berbicara dengan suara pelan, seolah-olah takut akan sesuatu yang tak terlihat. Cahaya lentera yang berayun di depan rumah-rumah kayu memancarkan kesan menenangkan, namun bayangan yang terbentuk di tanah terasa aneh, hampir seperti hidup. Di dalam rumah pria tua bernama Tuan Zhao, Liang Feng dan Mei Lian duduk di atas tikar jerami. Tuan rumah mereka tengah menuangkan teh hangat ke dalam cangkir tanah liat yang kasar. "Kalian membawa sesuatu yang besar," kata Tuan Zhao sambil menyerahkan cangkir itu pada Liang Feng. "Aku bisa melihatnya dari matamu, anak muda. Beban itu bukan milikmu saja." Liang Feng menatap pria tua itu, merasa ada kebijaksanaan yang mendalam di balik keriput wajahnya. "Gulungan ini..." Liang Feng mengeluarkan gulungan kuno itu dari tasnya, meletakkannya di atas meja dengan hati-hati. "Apa
Angin dingin menyapu desa yang terbakar, membawa aroma asap dan darah. Liang Feng berdiri di tengah kobaran api kecil, berhadapan dengan pria berjubah hitam yang memancarkan aura dingin seperti kematian. Tatapan pria itu penuh dengan penghinaan, sementara Liang Feng, meski gemetar, menatapnya dengan tekad yang mulai terbentuk. Gulungan di tasnya semakin bersinar, memancarkan cahaya keperakan yang lembut namun menusuk. Liang Feng bisa merasakan kekuatan yang mengalir dari gulungan itu—bukan sekadar kekuatan fisik, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang beresonansi dengan jiwanya. “Jadi ini kekuatan yang kau warisi dari gulungan itu,” kata pria berjubah hitam dengan nada penuh ejekan. “Tapi itu tidak cukup. Bahkan para pendekar terhebat di masa lalu pun tidak mampu menguasai sepenuhnya Jejak Pedang di Langit.” Liang Feng tidak menjawab. Ia tahu bahwa kata-kata tidak akan menghentikan pria ini. Dengan napas dalam, ia menggenggam pedangnya lebih erat, memusatkan
Gunung Yinfeng berdiri megah, puncaknya terselubung awan putih yang bergerak perlahan. Liang Feng dan Mei Lian berdiri di kaki gunung, memandang jalur berbatu yang menanjak dengan curam. Hawa dingin menyelimuti mereka, dan suara serangga malam bercampur dengan gemerisik dedaunan yang ditiup angin. "Tempat ini... terasa berbeda," Mei Lian berbisik. Liang Feng mengangguk. Ia juga merasakannya. Ada sesuatu yang mengintimidasi di gunung ini, seolah-olah setiap langkah mereka diawasi oleh mata tak terlihat. "Gunung Yinfeng adalah tempat yang dilindungi oleh kekuatan kuno," kata Liang Feng perlahan. "Tuan Zhao menyebutnya sebagai tempat di mana kebenaran gulungan ini tersembunyi. Tapi dia tidak pernah mengatakan apa yang akan kita hadapi." "Kita tidak punya pilihan lain," balas Mei Lian, menggenggam pisaunya dengan erat. "Kalau kita tidak maju, Bayangan Langit akan menemukan kita duluan." Mereka mulai mendaki. Jalur itu licin karena embun pagi, dan batu-batu tajam menjulang s
bawah langit yang kelam, Liang Feng dan Mei Lian melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak Gunung Yinfeng. Namun, perasaan ganjil yang tak terdefinisi menyelimuti setiap langkah mereka. Liang Feng menggenggam pedang barunya dengan erat. Pedang itu terasa seolah bernapas, berdenyut seperti jantung yang hidup. “Liang Feng,” Mei Lian memecah keheningan. “Pedang itu... apakah kau bisa merasakan sesuatu darinya?” Liang Feng mengangguk. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi pedang ini lebih dari sekadar senjata. Ia terasa... hidup, seolah-olah berbicara padaku.” “Kau yakin itu tidak membahayakanmu?” Mei Lian memandang pedang itu dengan curiga. “Kekuatan seperti ini selalu memiliki harga.” Sebelum Liang Feng sempat menjawab, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Bumi di bawah kaki mereka bergetar, membuat bebatuan di sepanjang jalan terjatuh ke jurang di bawah. Dari balik kabut, muncul sekelompok orang berpakaian serba hitam. Wajah mereka tertutup topeng menyeramka
Langit memerah, dan kabut tipis mulai memudar ketika Liang Feng dan Mei Lian melangkah mendekati puncak Gunung Yinfeng. Mereka telah melewati jurang berbatu, hutan lebat, dan kini berdiri di hadapan sebuah dataran luas yang diapit oleh tebing tinggi. Di tengah dataran itu, sebuah altar batu menjulang, dikelilingi oleh pilar-pilar tua yang dihiasi ukiran kuno. “Aku bisa merasakan kekuatan besar dari altar itu,” ujar Liang Feng dengan napas terengah. Pedang di tangannya terasa bergetar pelan, seperti mengakui keberadaan sesuatu yang luar biasa di depan mereka. Mei Lian mengamati sekeliling dengan waspada. “Apakah kita sendiri di sini? Rasanya... sepi, tapi anehnya menakutkan.” Liang Feng mengangguk. “Sepi bukan berarti aman. Kita harus tetap berhati-hati.” Mereka melangkah mendekati altar. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti ada gravitasi tak terlihat yang menahan tubuh mereka. Liang Feng bisa merasakan gulungan di ikat pinggangnya bergetar semakin kuat, dan pedangnya
Malam telah larut di Lembah Awan Abadi. Liang Feng berdiri di puncak bukit kecil, memandangi langit yang bertabur bintang. Angin malam meniup rambutnya, membawa aroma bambu dan tanah basah. Ia memikirkan semua yang terjadi, mulai dari pertemuannya dengan gulungan kuno, pertarungan melawan bayangannya sendiri, hingga janji yang diucapkannya kepada Mei Lian. Di kejauhan, suara aliran sungai terdengar menenangkan, tetapi di hatinya ada kegelisahan yang sulit ia pahami. Pedang di sisinya bergetar pelan, hampir seperti berusaha memperingatkannya tentang sesuatu. “Liang Feng.” Suara Mei Lian memecah keheningan. Ia muncul dari balik pepohonan, membawa lentera kecil yang memancarkan cahaya temaram. Wajahnya tampak letih, tetapi matanya memancarkan kepedulian. “Kau belum tidur?” tanyanya lembut. Liang Feng menggeleng. “Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Semakin dekat aku dengan kekuatan Jejak Pedang di Langit, semakin besar beban yang aku rasakan. Aku takut hal ini akan membawa
Pagi di Lembah Awan Abadi selalu memancarkan kedamaian. Kabut tipis melayang di atas aliran sungai yang jernih, dan angin membawa wangi bunga liar. Tapi pagi ini terasa berbeda. Liang Feng dan Mei Lian berdiri di pintu masuk lembah, membawa perlengkapan sederhana yaitu pedang, gulungan kuno, dan hati yang dipenuhi tekad. "Setelah kita pergi, kita mungkin tidak akan kembali ke sini," ujar Mei Lian, suaranya datar namun penuh perasaan. Ia memandang lembah yang telah menjadi rumah mereka sejak kecil, tempat yang menyimpan kenangan akan keluarga dan guru-guru mereka. Liang Feng mengangguk. "Aku tahu, tapi jika kita tetap di sini, lembah ini akan menjadi sasaran mereka. Kita harus pergi untuk melindungi apa yang kita cintai." Mei Lian menggenggam pisaunya lebih erat. "Kalau begitu, mari kita pergi. Ke dunia luar!" Dengan langkah mantap, mereka meninggalkan Lembah Awan Abadi, memulai perjalanan yang akan membawa mereka ke tempat-tempat yang belum pernah mereka lihat dan menghadapi bahay
Gurun yang luas dan gersang menjadi saksi dari pertarungan yang semakin intens. Angin panas berputar di sekitar mereka, membawa debu dan pasir, tetapi Liang Feng dan Mei Lian berdiri tegak, siap menghadapi ancaman yang datang. Tujuh pria berjubah hitam mengelilingi mereka, mata mereka penuh dengan kebencian. Liang Feng merasakan tekanan yang semakin berat di udara, seperti ada sesuatu yang menghalangi setiap gerakan mereka. "Siapa kalian?" Liang Feng bertanya dengan suara tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. Pria yang tampak paling tua di antara mereka tersenyum dingin. "Kami adalah utusan dari Bayangan Langit, yang mengirimkan kami untuk memastikan gulungan Jejak Pedang di Langit tidak jatuh ke tangan yang salah. Dan kalian, anak muda, telah menjadi hambatan besar dalam misi kami." Mei Lian memegang pisaunya lebih erat, menatap para musuh dengan waspada. "Apa yang kalian inginkan dari kami? Jika kalian berniat merebut gulungan itu, kalian akan tahu bahwa itu tidak akan
Fajar menyingsing perlahan, menyapu gurun dengan cahaya keemasan yang indah namun dingin. Liang Feng, Mei Lian, dan Lian Xue bersiap melanjutkan perjalanan mereka. Mereka bertiga berdiri di tepi oasis kecil, memandang ke arah barat di mana siluet pegunungan mulai terlihat samar di kejauhan. "Istana Hujan Emas," Mei Lian bergumam, matanya memandang ke depan dengan tatapan tegas. "Kita hampir sampai." Lian Xue mengangguk, meskipun wajahnya menunjukkan kelelahan yang tak bisa disembunyikan. Luka-luka dari pertempuran malam sebelumnya masih terasa, tapi ia meneguhkan hati. "Aku hanya berharap kita tidak menghadapi lebih banyak kejutan di jalan." Liang Feng tersenyum tipis, menggenggam pedangnya dengan erat. "Kejutan sudah menjadi bagian dari perjalanan ini. Yang penting, kita tetap bersama." Ketiganya mulai berjalan, menembus pasir yang masih dingin setelah malam yang panjang. Suasana hening, hanya terdengar suara angin yang berbisik di telinga mereka. Liang Feng merasa bahwa
Pria bertopeng itu berdiri dengan angkuh di tengah badai pasir yang perlahan mereda. Langkahnya perlahan, tetapi setiap langkah mengguncang hati Liang Feng. Aura hitam pekat mengelilinginya, seperti kabut yang meresap hingga ke tulang. Liang Feng menggenggam pedangnya lebih erat, merasakan hawa dingin yang merambat dari ujung jari hingga ke dadanya. “Siapa kau?” tanya Liang Feng, suaranya bergetar sedikit meski ia berusaha terdengar tegas. Pria itu tidak menjawab segera. Sebaliknya, ia mengangkat tangannya, mengisyaratkan kepada anak buahnya untuk mundur. Para pria berjubah hitam itu menurut tanpa suara, meninggalkan lingkaran pasir yang kini hanya diisi oleh Liang Feng, Mei Lian, Lian Xue, dan pria bertopeng itu. “Aku adalah penjaga bayangan,” jawab pria itu akhirnya, suaranya berat dan menggetarkan udara. “Namaku tak penting. Yang perlu kau tahu, aku adalah ujung tombak Bayangan Langit. Dan kau, bocah, hanyalah duri kecil yang perlu dicabut sebelum aku mengambil apa yang se
Setelah pertempuran sengit di gurun, Liang Feng dan Mei Lian melanjutkan perjalanan mereka ke arah barat, menuju Istana Hujan Emas yang legendaris. Meski mereka telah menang melawan kelompok Bayangan Langit, perasaan cemas tidak dapat sepenuhnya hilang. Ancaman dari mereka yang menginginkan Jejak Pedang di Langit masih bersembunyi di balik bayang-bayang, menunggu saat yang tepat untuk kembali menyerang.Malam itu, mereka berdua beristirahat di sebuah oasis kecil yang ditemukan di tengah gurun. Air yang jernih memantulkan cahaya bintang, sementara semilir angin gurun membawa kesejukan yang sangat dibutuhkan setelah perjalanan yang melelahkan. Liang Feng duduk di tepi oasis, memandang langit yang luas, berusaha menenangkan pikirannya."Liang Feng," kata Mei Lian, duduk di sampingnya, suaranya lembut. "Apa yang akan kita lakukan setelah menemukan Jejak Pedang di Langit? Apa yang akan terjadi jika kita berhasil menguasainya?"Liang Feng menghela napas, pandangannya terfokus pada kilau air
Gurun yang luas dan gersang menjadi saksi dari pertarungan yang semakin intens. Angin panas berputar di sekitar mereka, membawa debu dan pasir, tetapi Liang Feng dan Mei Lian berdiri tegak, siap menghadapi ancaman yang datang. Tujuh pria berjubah hitam mengelilingi mereka, mata mereka penuh dengan kebencian. Liang Feng merasakan tekanan yang semakin berat di udara, seperti ada sesuatu yang menghalangi setiap gerakan mereka. "Siapa kalian?" Liang Feng bertanya dengan suara tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. Pria yang tampak paling tua di antara mereka tersenyum dingin. "Kami adalah utusan dari Bayangan Langit, yang mengirimkan kami untuk memastikan gulungan Jejak Pedang di Langit tidak jatuh ke tangan yang salah. Dan kalian, anak muda, telah menjadi hambatan besar dalam misi kami." Mei Lian memegang pisaunya lebih erat, menatap para musuh dengan waspada. "Apa yang kalian inginkan dari kami? Jika kalian berniat merebut gulungan itu, kalian akan tahu bahwa itu tidak akan
Pagi di Lembah Awan Abadi selalu memancarkan kedamaian. Kabut tipis melayang di atas aliran sungai yang jernih, dan angin membawa wangi bunga liar. Tapi pagi ini terasa berbeda. Liang Feng dan Mei Lian berdiri di pintu masuk lembah, membawa perlengkapan sederhana yaitu pedang, gulungan kuno, dan hati yang dipenuhi tekad. "Setelah kita pergi, kita mungkin tidak akan kembali ke sini," ujar Mei Lian, suaranya datar namun penuh perasaan. Ia memandang lembah yang telah menjadi rumah mereka sejak kecil, tempat yang menyimpan kenangan akan keluarga dan guru-guru mereka. Liang Feng mengangguk. "Aku tahu, tapi jika kita tetap di sini, lembah ini akan menjadi sasaran mereka. Kita harus pergi untuk melindungi apa yang kita cintai." Mei Lian menggenggam pisaunya lebih erat. "Kalau begitu, mari kita pergi. Ke dunia luar!" Dengan langkah mantap, mereka meninggalkan Lembah Awan Abadi, memulai perjalanan yang akan membawa mereka ke tempat-tempat yang belum pernah mereka lihat dan menghadapi bahay
Malam telah larut di Lembah Awan Abadi. Liang Feng berdiri di puncak bukit kecil, memandangi langit yang bertabur bintang. Angin malam meniup rambutnya, membawa aroma bambu dan tanah basah. Ia memikirkan semua yang terjadi, mulai dari pertemuannya dengan gulungan kuno, pertarungan melawan bayangannya sendiri, hingga janji yang diucapkannya kepada Mei Lian. Di kejauhan, suara aliran sungai terdengar menenangkan, tetapi di hatinya ada kegelisahan yang sulit ia pahami. Pedang di sisinya bergetar pelan, hampir seperti berusaha memperingatkannya tentang sesuatu. “Liang Feng.” Suara Mei Lian memecah keheningan. Ia muncul dari balik pepohonan, membawa lentera kecil yang memancarkan cahaya temaram. Wajahnya tampak letih, tetapi matanya memancarkan kepedulian. “Kau belum tidur?” tanyanya lembut. Liang Feng menggeleng. “Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Semakin dekat aku dengan kekuatan Jejak Pedang di Langit, semakin besar beban yang aku rasakan. Aku takut hal ini akan membawa
Langit memerah, dan kabut tipis mulai memudar ketika Liang Feng dan Mei Lian melangkah mendekati puncak Gunung Yinfeng. Mereka telah melewati jurang berbatu, hutan lebat, dan kini berdiri di hadapan sebuah dataran luas yang diapit oleh tebing tinggi. Di tengah dataran itu, sebuah altar batu menjulang, dikelilingi oleh pilar-pilar tua yang dihiasi ukiran kuno. “Aku bisa merasakan kekuatan besar dari altar itu,” ujar Liang Feng dengan napas terengah. Pedang di tangannya terasa bergetar pelan, seperti mengakui keberadaan sesuatu yang luar biasa di depan mereka. Mei Lian mengamati sekeliling dengan waspada. “Apakah kita sendiri di sini? Rasanya... sepi, tapi anehnya menakutkan.” Liang Feng mengangguk. “Sepi bukan berarti aman. Kita harus tetap berhati-hati.” Mereka melangkah mendekati altar. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti ada gravitasi tak terlihat yang menahan tubuh mereka. Liang Feng bisa merasakan gulungan di ikat pinggangnya bergetar semakin kuat, dan pedangnya
bawah langit yang kelam, Liang Feng dan Mei Lian melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak Gunung Yinfeng. Namun, perasaan ganjil yang tak terdefinisi menyelimuti setiap langkah mereka. Liang Feng menggenggam pedang barunya dengan erat. Pedang itu terasa seolah bernapas, berdenyut seperti jantung yang hidup. “Liang Feng,” Mei Lian memecah keheningan. “Pedang itu... apakah kau bisa merasakan sesuatu darinya?” Liang Feng mengangguk. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi pedang ini lebih dari sekadar senjata. Ia terasa... hidup, seolah-olah berbicara padaku.” “Kau yakin itu tidak membahayakanmu?” Mei Lian memandang pedang itu dengan curiga. “Kekuatan seperti ini selalu memiliki harga.” Sebelum Liang Feng sempat menjawab, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Bumi di bawah kaki mereka bergetar, membuat bebatuan di sepanjang jalan terjatuh ke jurang di bawah. Dari balik kabut, muncul sekelompok orang berpakaian serba hitam. Wajah mereka tertutup topeng menyeramka
Gunung Yinfeng berdiri megah, puncaknya terselubung awan putih yang bergerak perlahan. Liang Feng dan Mei Lian berdiri di kaki gunung, memandang jalur berbatu yang menanjak dengan curam. Hawa dingin menyelimuti mereka, dan suara serangga malam bercampur dengan gemerisik dedaunan yang ditiup angin. "Tempat ini... terasa berbeda," Mei Lian berbisik. Liang Feng mengangguk. Ia juga merasakannya. Ada sesuatu yang mengintimidasi di gunung ini, seolah-olah setiap langkah mereka diawasi oleh mata tak terlihat. "Gunung Yinfeng adalah tempat yang dilindungi oleh kekuatan kuno," kata Liang Feng perlahan. "Tuan Zhao menyebutnya sebagai tempat di mana kebenaran gulungan ini tersembunyi. Tapi dia tidak pernah mengatakan apa yang akan kita hadapi." "Kita tidak punya pilihan lain," balas Mei Lian, menggenggam pisaunya dengan erat. "Kalau kita tidak maju, Bayangan Langit akan menemukan kita duluan." Mereka mulai mendaki. Jalur itu licin karena embun pagi, dan batu-batu tajam menjulang s