Angin dingin menyapu desa yang terbakar, membawa aroma asap dan darah. Liang Feng berdiri di tengah kobaran api kecil, berhadapan dengan pria berjubah hitam yang memancarkan aura dingin seperti kematian. Tatapan pria itu penuh dengan penghinaan, sementara Liang Feng, meski gemetar, menatapnya dengan tekad yang mulai terbentuk.
Gulungan di tasnya semakin bersinar, memancarkan cahaya keperakan yang lembut namun menusuk. Liang Feng bisa merasakan kekuatan yang mengalir dari gulungan itu—bukan sekadar kekuatan fisik, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang beresonansi dengan jiwanya. “Jadi ini kekuatan yang kau warisi dari gulungan itu,” kata pria berjubah hitam dengan nada penuh ejekan. “Tapi itu tidak cukup. Bahkan para pendekar terhebat di masa lalu pun tidak mampu menguasai sepenuhnya Jejak Pedang di Langit.” Liang Feng tidak menjawab. Ia tahu bahwa kata-kata tidak akan menghentikan pria ini. Dengan napas dalam, ia menggenggam pedangnya lebih erat, memusatkan seluruh perhatiannya pada lawannya. “Kalau begitu, mari kita lihat apakah takdir benar-benar memilihmu,” pria itu melanjutkan, sebelum melompat maju dengan kecepatan yang hampir mustahil dilihat dengan mata telanjang. Pria berjubah hitam menyerang dengan serangan kilat, pedangnya berkilat seperti petir dalam kegelapan. Liang Feng mengangkat pedangnya untuk menangkis, tetapi kekuatan serangan itu membuatnya terdorong ke belakang, hampir kehilangan keseimbangan. “Liang Feng, mundur!” teriak Mei Lian dari tempatnya tergeletak, luka di lengannya membuatnya tidak bisa bergerak dengan leluasa. Namun, Liang Feng tidak mundur. Ia melangkah maju, menangkis serangan demi serangan. Setiap benturan pedang terasa seperti mengguncang seluruh tubuhnya, tetapi ia tidak menyerah. “Buka hatimu pada kekuatan gulungan itu,” suara samar muncul di benaknya. Itu bukan suara Mei Lian, atau suara siapa pun yang ia kenal. Itu suara yang dalam dan menggema, seperti berasal dari kedalaman alam semesta. Liang Feng memejamkan mata sejenak, mencoba memahami pesan itu. Dan ketika ia melakukannya, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Pedangnya, yang sebelumnya terasa berat di tangannya, kini terasa seperti perpanjangan dari tubuhnya. Gerakannya menjadi lebih halus, lebih presisi. Ketika pria berjubah hitam menyerang lagi, Liang Feng tidak hanya menangkis, tetapi juga membalas dengan serangan yang hampir mengenai lawannya. Mata pria itu menyipit. “Menarik. Kau mulai memahami sedikit dari kekuatan itu. Tapi itu belum cukup!” Liang Feng merasakan gulungan di tasnya bergetar hebat, seolah-olah ingin melepaskan dirinya dari dunia material. Cahaya keperakan itu kini menyelimuti tubuhnya, membentuk pola-pola yang rumit di udara. Pria berjubah hitam melompat mundur, matanya melebar. “Itu… pola dari Langit Tertutup. Kau benar-benar membangkitkan Jejak Pedang di Langit!” Liang Feng tidak mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi, tetapi tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak ia pahami. Ia mengayunkan pedangnya, dan sebuah gelombang energi meluncur ke depan, menghantam pria berjubah hitam dengan kekuatan dahsyat. Pria itu terpental, menghantam dinding kayu salah satu rumah desa yang sudah terbakar. Namun, meskipun terluka, ia berdiri kembali dengan tertatih-tatih. “Kita akan bertemu lagi, Liang Feng,” katanya sambil meludahkan darah. “Dan saat itu, kau tidak akan seberuntung ini.” Dengan lompatan yang luar biasa, pria itu menghilang ke dalam kegelapan malam, meninggalkan Liang Feng yang berdiri terengah-engah, pedangnya meneteskan darah. Penduduk desa perlahan keluar dari tempat persembunyian mereka, memandang Liang Feng dengan campuran rasa takut dan kekaguman. Mei Lian, meskipun terluka, mendekati Liang Feng dan memegang bahunya. “Kau berhasil,” katanya pelan. Liang Feng memandang ke pedangnya, yang kini terasa berbeda di tangannya. Ia tidak yakin apakah ini benar-benar keberhasilan, atau justru awal dari sesuatu yang jauh lebih besar dan berbahaya. Tuan Zhao muncul dari balik reruntuhan rumahnya, wajahnya penuh dengan kesedihan namun juga kelegaan. “Kau sudah melihat sedikit dari kekuatanmu, Liang Feng. Tapi itu baru permulaan. Jejak Pedang di Langit tidak akan membiarkanmu hidup dengan tenang. Kekuatan itu menuntutmu untuk melangkah lebih jauh.” Liang Feng memandang pria tua itu, merasa dadanya semakin berat. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” “Kau harus pergi ke Gunung Yinfeng, seperti yang telah kukatakan,” jawab Tuan Zhao. “Di sana, kau akan menemukan jawaban atas rahasia gulungan ini. Dan mungkin, kau akan memahami takdir yang menunggumu.” Mei Lian menyentuh lengannya. “Aku akan bersamamu, apa pun yang terjadi.” Liang Feng tersenyum kecil, meskipun rasa khawatir masih membebani hatinya. “Terima kasih, Mei Lian. Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukan ini sendirian.” Keesokan paginya, Liang Feng dan Mei Lian meninggalkan Desa Qing, meninggalkan kehancuran dan kenangan pahit di belakang mereka. Mereka membawa harapan penduduk desa yang kini bergantung pada kemampuan Liang Feng untuk melindungi dunia dari ancaman Bayangan Langit. Namun, perjalanan ke Gunung Yinfeng tidak akan mudah. Jalur itu terkenal sebagai tempat yang penuh dengan bahaya, dari makhluk buas hingga jebakan alami. Dan di atas segalanya, Bayangan Langit akan terus mengejar mereka, tidak akan berhenti sampai gulungan itu menjadi milik mereka. Liang Feng tahu bahwa ia harus menjadi lebih kuat. Ia harus memahami kekuatan gulungan itu sepenuhnya, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan yang tidak ia pahami. BersambungGunung Yinfeng berdiri megah, puncaknya terselubung awan putih yang bergerak perlahan. Liang Feng dan Mei Lian berdiri di kaki gunung, memandang jalur berbatu yang menanjak dengan curam. Hawa dingin menyelimuti mereka, dan suara serangga malam bercampur dengan gemerisik dedaunan yang ditiup angin. "Tempat ini... terasa berbeda," Mei Lian berbisik. Liang Feng mengangguk. Ia juga merasakannya. Ada sesuatu yang mengintimidasi di gunung ini, seolah-olah setiap langkah mereka diawasi oleh mata tak terlihat. "Gunung Yinfeng adalah tempat yang dilindungi oleh kekuatan kuno," kata Liang Feng perlahan. "Tuan Zhao menyebutnya sebagai tempat di mana kebenaran gulungan ini tersembunyi. Tapi dia tidak pernah mengatakan apa yang akan kita hadapi." "Kita tidak punya pilihan lain," balas Mei Lian, menggenggam pisaunya dengan erat. "Kalau kita tidak maju, Bayangan Langit akan menemukan kita duluan." Mereka mulai mendaki. Jalur itu licin karena embun pagi, dan batu-batu tajam menjulang s
bawah langit yang kelam, Liang Feng dan Mei Lian melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak Gunung Yinfeng. Namun, perasaan ganjil yang tak terdefinisi menyelimuti setiap langkah mereka. Liang Feng menggenggam pedang barunya dengan erat. Pedang itu terasa seolah bernapas, berdenyut seperti jantung yang hidup. “Liang Feng,” Mei Lian memecah keheningan. “Pedang itu... apakah kau bisa merasakan sesuatu darinya?” Liang Feng mengangguk. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi pedang ini lebih dari sekadar senjata. Ia terasa... hidup, seolah-olah berbicara padaku.” “Kau yakin itu tidak membahayakanmu?” Mei Lian memandang pedang itu dengan curiga. “Kekuatan seperti ini selalu memiliki harga.” Sebelum Liang Feng sempat menjawab, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Bumi di bawah kaki mereka bergetar, membuat bebatuan di sepanjang jalan terjatuh ke jurang di bawah. Dari balik kabut, muncul sekelompok orang berpakaian serba hitam. Wajah mereka tertutup topeng menyeramka
Langit memerah, dan kabut tipis mulai memudar ketika Liang Feng dan Mei Lian melangkah mendekati puncak Gunung Yinfeng. Mereka telah melewati jurang berbatu, hutan lebat, dan kini berdiri di hadapan sebuah dataran luas yang diapit oleh tebing tinggi. Di tengah dataran itu, sebuah altar batu menjulang, dikelilingi oleh pilar-pilar tua yang dihiasi ukiran kuno. “Aku bisa merasakan kekuatan besar dari altar itu,” ujar Liang Feng dengan napas terengah. Pedang di tangannya terasa bergetar pelan, seperti mengakui keberadaan sesuatu yang luar biasa di depan mereka. Mei Lian mengamati sekeliling dengan waspada. “Apakah kita sendiri di sini? Rasanya... sepi, tapi anehnya menakutkan.” Liang Feng mengangguk. “Sepi bukan berarti aman. Kita harus tetap berhati-hati.” Mereka melangkah mendekati altar. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti ada gravitasi tak terlihat yang menahan tubuh mereka. Liang Feng bisa merasakan gulungan di ikat pinggangnya bergetar semakin kuat, dan pedangnya
Malam telah larut di Lembah Awan Abadi. Liang Feng berdiri di puncak bukit kecil, memandangi langit yang bertabur bintang. Angin malam meniup rambutnya, membawa aroma bambu dan tanah basah. Ia memikirkan semua yang terjadi, mulai dari pertemuannya dengan gulungan kuno, pertarungan melawan bayangannya sendiri, hingga janji yang diucapkannya kepada Mei Lian. Di kejauhan, suara aliran sungai terdengar menenangkan, tetapi di hatinya ada kegelisahan yang sulit ia pahami. Pedang di sisinya bergetar pelan, hampir seperti berusaha memperingatkannya tentang sesuatu. “Liang Feng.” Suara Mei Lian memecah keheningan. Ia muncul dari balik pepohonan, membawa lentera kecil yang memancarkan cahaya temaram. Wajahnya tampak letih, tetapi matanya memancarkan kepedulian. “Kau belum tidur?” tanyanya lembut. Liang Feng menggeleng. “Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Semakin dekat aku dengan kekuatan Jejak Pedang di Langit, semakin besar beban yang aku rasakan. Aku takut hal ini akan membawa
Pagi di Lembah Awan Abadi selalu memancarkan kedamaian. Kabut tipis melayang di atas aliran sungai yang jernih, dan angin membawa wangi bunga liar. Tapi pagi ini terasa berbeda. Liang Feng dan Mei Lian berdiri di pintu masuk lembah, membawa perlengkapan sederhana yaitu pedang, gulungan kuno, dan hati yang dipenuhi tekad. "Setelah kita pergi, kita mungkin tidak akan kembali ke sini," ujar Mei Lian, suaranya datar namun penuh perasaan. Ia memandang lembah yang telah menjadi rumah mereka sejak kecil, tempat yang menyimpan kenangan akan keluarga dan guru-guru mereka. Liang Feng mengangguk. "Aku tahu, tapi jika kita tetap di sini, lembah ini akan menjadi sasaran mereka. Kita harus pergi untuk melindungi apa yang kita cintai." Mei Lian menggenggam pisaunya lebih erat. "Kalau begitu, mari kita pergi. Ke dunia luar!" Dengan langkah mantap, mereka meninggalkan Lembah Awan Abadi, memulai perjalanan yang akan membawa mereka ke tempat-tempat yang belum pernah mereka lihat dan menghadapi bahay
Gurun yang luas dan gersang menjadi saksi dari pertarungan yang semakin intens. Angin panas berputar di sekitar mereka, membawa debu dan pasir, tetapi Liang Feng dan Mei Lian berdiri tegak, siap menghadapi ancaman yang datang. Tujuh pria berjubah hitam mengelilingi mereka, mata mereka penuh dengan kebencian. Liang Feng merasakan tekanan yang semakin berat di udara, seperti ada sesuatu yang menghalangi setiap gerakan mereka. "Siapa kalian?" Liang Feng bertanya dengan suara tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. Pria yang tampak paling tua di antara mereka tersenyum dingin. "Kami adalah utusan dari Bayangan Langit, yang mengirimkan kami untuk memastikan gulungan Jejak Pedang di Langit tidak jatuh ke tangan yang salah. Dan kalian, anak muda, telah menjadi hambatan besar dalam misi kami." Mei Lian memegang pisaunya lebih erat, menatap para musuh dengan waspada. "Apa yang kalian inginkan dari kami? Jika kalian berniat merebut gulungan itu, kalian akan tahu bahwa itu tidak akan
Setelah pertempuran sengit di gurun, Liang Feng dan Mei Lian melanjutkan perjalanan mereka ke arah barat, menuju Istana Hujan Emas yang legendaris. Meski mereka telah menang melawan kelompok Bayangan Langit, perasaan cemas tidak dapat sepenuhnya hilang. Ancaman dari mereka yang menginginkan Jejak Pedang di Langit masih bersembunyi di balik bayang-bayang, menunggu saat yang tepat untuk kembali menyerang.Malam itu, mereka berdua beristirahat di sebuah oasis kecil yang ditemukan di tengah gurun. Air yang jernih memantulkan cahaya bintang, sementara semilir angin gurun membawa kesejukan yang sangat dibutuhkan setelah perjalanan yang melelahkan. Liang Feng duduk di tepi oasis, memandang langit yang luas, berusaha menenangkan pikirannya."Liang Feng," kata Mei Lian, duduk di sampingnya, suaranya lembut. "Apa yang akan kita lakukan setelah menemukan Jejak Pedang di Langit? Apa yang akan terjadi jika kita berhasil menguasainya?"Liang Feng menghela napas, pandangannya terfokus pada kilau air
Pria bertopeng itu berdiri dengan angkuh di tengah badai pasir yang perlahan mereda. Langkahnya perlahan, tetapi setiap langkah mengguncang hati Liang Feng. Aura hitam pekat mengelilinginya, seperti kabut yang meresap hingga ke tulang. Liang Feng menggenggam pedangnya lebih erat, merasakan hawa dingin yang merambat dari ujung jari hingga ke dadanya. “Siapa kau?” tanya Liang Feng, suaranya bergetar sedikit meski ia berusaha terdengar tegas. Pria itu tidak menjawab segera. Sebaliknya, ia mengangkat tangannya, mengisyaratkan kepada anak buahnya untuk mundur. Para pria berjubah hitam itu menurut tanpa suara, meninggalkan lingkaran pasir yang kini hanya diisi oleh Liang Feng, Mei Lian, Lian Xue, dan pria bertopeng itu. “Aku adalah penjaga bayangan,” jawab pria itu akhirnya, suaranya berat dan menggetarkan udara. “Namaku tak penting. Yang perlu kau tahu, aku adalah ujung tombak Bayangan Langit. Dan kau, bocah, hanyalah duri kecil yang perlu dicabut sebelum aku mengambil apa yang se
Puncak Gunung Langit kini terhampar dalam kehampaan. Jejak energi yang dulu melingkupi tempat itu perlahan memudar, menyisakan keheningan yang mencekam. Lian Xue berdiri diam, matanya menatap ke arah tempat Liang Feng menghilang. Hatinya terasa kosong, seolah-olah separuh jiwanya ikut lenyap bersama Liang Feng. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya penuh getaran. Bai Wen meletakkan tangan di pundaknya, meskipun ia sendiri tampak tak kalah terguncang. “Liang Feng telah memenuhi takdirnya. Pengorbanannya memastikan dunia ini tetap utuh.” Namun, Lian Xue tidak dapat menerima kenyataan itu begitu saja. “Kalau begitu, apa arti dari semua perjuangan kita jika pada akhirnya dia harus meninggalkan kita?” “Kau salah,” Bai Wen menjawab dengan nada lembut. “Liang Feng tidak pergi untuk selamanya. Dia tetap hidup, dalam kenangan kita, dalam dunia yang ia selamatkan. Dan aku yakin, meskipun tubuhnya telah tiada, semangatnya tetap ada di sekitar kita.” _____Setelah kejatuhan Shen Z
Langit Terbelah adalah tempat di mana realitas dan ilusi saling bertaut, menciptakan pemandangan yang tak lazim. Daratan tempat Liang Feng dan teman-temannya berdiri tampak seperti cermin raksasa yang memantulkan retakan-retakan cahaya dari atas. Tiap langkah mereka menghasilkan gema halus, seperti berjalan di atas permukaan air yang membeku. “Ini... luar biasa,” gumam Mei Lian, matanya terpaku pada retakan di atas mereka. Retakan itu mengeluarkan cahaya putih yang berpendar lembut, seolah-olah menyimpan rahasia semesta. Namun, Lian Xue terlihat lebih waspada. “Tempat ini mungkin indah, tapi aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kau merasakannya, kan, Liang Feng?” Liang Feng mengangguk pelan. Ada hawa berat di udara, seperti keheningan sebelum badai. “Ya, aku merasakannya. Seolah-olah sesuatu atau seseorang sedang mengawasi kita.” Saat mereka melangkah lebih jauh, mereka menemukan sebuah monolit besar yang berdiri di tengah dataran cermin. Monolit itu terbuat dari batu
Kristal biru di atas altar memancarkan sinar lembut yang menerangi puncak menara. Liang Feng berdiri mematung di depannya, merasakan gelombang energi yang seakan berbicara langsung ke dalam jiwanya. "Liang Feng," suara itu terdengar lembut namun penuh kekuatan, seperti bisikan angin di puncak gunung. "Kau telah mencapai tempat yang banyak orang hanya bisa impikan. Namun, ini bukan akhir perjalananmu." Mei Lian dan Lian Xue saling bertukar pandang, mencoba memahami suara misterius itu. "Apa ini? Suara dari segel itu sendiri?" tanya Mei Lian, nada suaranya penuh kehati-hatian. "Segel ini adalah inti dari keseimbangan dunia," jawab Liang Feng, matanya tidak lepas dari kristal yang berkilauan. "Dan aku merasa bahwa segel ini memiliki kehendak sendiri." ___ Kristal itu berkilauan lebih terang, membentuk siluet cahaya yang menyerupai seorang pria tua dengan jubah panjang. "Aku adalah penjaga terakhir dari segel ini," katanya. "Dan kau, Liang Feng, telah dipilih untuk menjaga ke
Gerbang batu yang terbuka perlahan mengeluarkan suara gemuruh yang menggema, seperti sebuah peringatan akan bahaya yang tersembunyi di baliknya. Liang Feng melangkah lebih dulu, diikuti oleh Mei Lian dan Lian Xue. Cahaya aneh yang berasal dari dalam gerbang memancar seperti aurora, namun bukannya memberi rasa damai, cahaya itu justru memunculkan kegelisahan. Saat mereka melangkah masuk, dunia di sekitar mereka berubah. Tanah di bawah kaki mereka bukan lagi lembah hijau yang pernah mereka kenal, melainkan padang pasir luas dengan langit berwarna merah darah. Angin panas berhembus, membawa bisikan samar yang tak bisa dipahami. “Di mana ini?” tanya Mei Lian, memandang ke sekeliling dengan rasa tak percaya. “Langit Terlarang,” jawab Liang Feng dengan suara tegas. “Tempat ini bukan bagian dari dunia kita. Ini adalah dimensi lain, tempat kekuatan segel terakhir disimpan.” “Dan juga tempat bahaya terbesar bersembunyi,” tambah Lian Xue sambil mempererat genggamannya pada tombak. ___
Langit cerah di Kota Hujan Tak Berhenti menjadi awal yang baru bagi Liang Feng dan rombongannya. Namun, saat mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan, seorang utusan tiba dari Lembah Awan Abadi. Ia membawa kabar buruk yang membuat Liang Feng tertegun—lembah itu diserang oleh kekuatan misterius. "Serangan itu datang tanpa peringatan," kata utusan itu dengan napas terengah-engah. "Penduduk desa terluka, dan beberapa menghilang. Mereka yang selamat mengatakan makhluk-makhluk kegelapan menyerang saat malam tiba." Liang Feng mengepalkan tangannya. Pikirannya melayang pada gambaran desa yang damai, kini berada di ambang kehancuran. "Kita harus kembali sekarang," katanya tegas. Mei Lian dan Lian Xue mengangguk. Tanpa membuang waktu, mereka meninggalkan Kota Hujan Tak Berhenti, menunggang kuda dengan kecepatan penuh menuju Lembah Awan Abadi. ____Ketika mereka tiba, lembah itu hampir tidak dapat dikenali. Pepohonan yang dulu hijau dan subur kini layu, diselimuti kabut hitam yang
Setelah meninggalkan Pilar Langit, Liang Feng, Mei Lian, dan Lian Xue memulai perjalanan kembali ke Lembah Awan Abadi. Meskipun segel telah diperkuat, Liang Feng tidak merasa lega sepenuhnya. Di dalam hatinya, ia tahu ancaman Shen Zhou masih mengintai, dan dunia tidak akan tenang untuk waktu yang lama. Langit di atas mereka berubah semakin suram, seolah mencerminkan beban yang dirasakan Liang Feng. Angin berhembus dingin, membawa aroma badai yang akan datang. "Liang Feng," kata Mei Lian tiba-tiba, memecah keheningan. "Apa yang kau alami di dalam Pilar Langit? Kau tampak berbeda sekarang." Liang Feng terdiam sesaat sebelum menjawab. "Aku diberi ujian. Ujian yang mengajarkanku tentang keberanian, pengorbanan, dan penerimaan." Ia menatap jauh ke depan. "Aku tahu sekarang, melindungi dunia ini tidak hanya soal kekuatan pedang, tetapi juga soal menerima bahwa aku tidak bisa menyelamatkan semuanya." Mei Lian menatapnya dengan mata penuh simpati. "Itu beban yang berat, tapi kau tidak
Liang Feng berdiri di hadapan Pilar Langit, sebuah menara yang menjulang hingga menembus awan. Cahaya keemasan mengalir dari setiap celahnya, memancarkan kekuatan yang terasa menghentikan napas. Pintu masuk pilar itu tampak sederhana, hanya sebuah lengkungan batu yang dihiasi ukiran bintang dan awan. Namun, begitu Liang Feng melangkah masuk, dunia di sekitarnya berubah seketika. Ia mendapati dirinya berada di ruang tanpa batas, penuh dengan kabut berwarna perak. Tidak ada lantai, tidak ada dinding, hanya kekosongan yang terasa hidup. Di tengah ruang itu, berdiri sebuah meja batu besar, dan di atasnya terdapat gulungan kuno lainnya—lebih besar dan lebih bercahaya daripada yang pernah ia temui sebelumnya. “Liang Feng,” sebuah suara menggema, tenang namun penuh kewibawaan. Liang Feng berbalik, menemukan sosok lelaki tua berjubah putih berdiri di belakangnya. Wajahnya bersinar, tetapi ada kesan kelelahan mendalam di matanya. “Siapa kau?” tanya Liang Feng, meskipun dalam hatinya, i
Mereka berjalan selama berhari-hari, menyeberangi padang pasir yang tak berujung dan mendaki pegunungan yang terjal. Liang Feng, Mei Lian, dan Lian Xue menghadapi berbagai rintangan di perjalanan mereka. Meskipun tubuh mereka lelah, tekad mereka tidak goyah. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke Pilar Langit, tempat di mana segel pedang dapat diperkuat. Langit di atas mereka terasa aneh. Awan gelap menggulung, seakan-akan langit itu sendiri bersiap menghadapi pertempuran besar. "Kau yakin kita sudah dekat?" tanya Mei Lian sambil mengusap keringat di dahinya. Liang Feng membuka gulungan kecil yang diberikan oleh Penjaga Pengetahuan. Peta yang tergambar di gulungan itu menunjukkan bahwa Pilar Langit terletak di tengah-tengah pegunungan yang dikelilingi oleh jurang tak berujung. "Kita sudah hampir sampai," katanya. "Tapi aku bisa merasakan sesuatu... seperti ancaman yang semakin dekat." ___Mereka tiba di sebuah hutan yang dipenuhi kabut tebal. Cahaya matahari hampir tidak
Setelah malam yang mencekam, Liang Feng dan kelompoknya bergerak menuju sebuah tempat yang disebutkan dalam gulungan kuno. 'Lembah Pengetahuan Tersembunyi', sebuah lokasi yang dikatakan menyimpan jawaban tentang cara memperkuat segel. Perjalanan menuju lembah itu penuh dengan tantangan, dari jalan setapak yang hilang hingga badai energi yang tiba-tiba muncul. Namun, kelelahan mereka terbayar ketika lembah itu mulai tampak di hadapan mereka. Tersembunyi di balik deretan bukit, lembah tersebut dihiasi oleh bangunan-bangunan batu berlumut yang tampak seperti perpustakaan kuno. Aura tempat itu terasa damai, tetapi juga penuh dengan misteri. "Kita sampai," kata Mei Lian, matanya berbinar meski tubuhnya terlihat lelah. "Ini tempat yang disebutkan di gulungan, bukan?" Liang Feng mengangguk sambil menggenggam pedang di pinggangnya. "Ya. Tapi kita harus tetap waspada. Tempat ini mungkin menyimpan lebih dari sekadar jawaban." ---Mereka melangkah masuk ke dalam lembah, menemukan bahwa b