Beranda / Pendekar / Jejak Pedang di Langit / 2. Langit yang tercabik

Share

2. Langit yang tercabik

Penulis: Yantifitri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-22 16:23:38

Pagi itu, Liang Feng tidak bisa tidur nyenyak. Gulungan kuno yang kini ada di tangannya terus berputar dalam pikirannya. Setiap huruf yang tercatat di sana, seperti berbisik memanggilnya, membawa serta jejak takdir yang lebih besar dari yang bisa ia pahami. Dunia yang selama ini ia kenal terasa berbeda—lebih luas, lebih membebani. Namun, di sisi lain, ada sebuah panggilan yang tidak bisa ia hindari, seperti angin yang membawa aroma laut dari kejauhan.

Mei Lian, yang sudah menunggu di luar gua, tampak tenang, seolah tidak terpengaruh oleh perubahan besar yang baru saja terjadi. Wajahnya yang lembut tidak menunjukkan kekhawatiran, sebaliknya, ada ketegasan dalam langkahnya yang melangkah mantap menuju Liang Feng. 

"Jadi, kamu sudah memutuskan?" tanya Mei Lian, suaranya penuh dengan pertanyaan yang lebih dalam daripada sekadar keingintahuan biasa. 

Liang Feng mengangguk perlahan, meskipun hatinya ragu. "Aku merasa seperti aku telah masuk ke dalam pusaran yang lebih besar daripada yang aku inginkan." 

Mei Lian menatapnya dengan tatapan yang tajam, seolah membaca setiap pergolakan dalam jiwa Liang Feng. "Kita semua berada di dalam pusaran itu, hanya saja beberapa orang lebih cepat mengetahuinya daripada yang lain. Tapi tidak ada pilihan selain maju." 

"Tapi apa yang harus aku lakukan dengan kekuatan ini?" Liang Feng bertanya, merasa bingung. "Aku tidak mencari konflik. Aku hanya ingin hidup dengan damai." 

"Apa yang kamu inginkan dan apa yang dunia inginkan sering kali berbeda," jawab Mei Lian, suaranya penuh dengan pengalaman. "Kekuatan yang kamu temukan itu lebih dari sekadar pedang atau jurus. Itu adalah kunci. Kunci untuk membuka sesuatu yang lebih besar dari yang kamu bisa bayangkan." 

Liang Feng merasakan berat di dadanya. Ia memandang gulungan itu dengan tatapan yang lebih dalam, seperti berusaha memahami setiap maknanya. 

"Apakah kamu tahu siapa yang mencari gulungan ini?" tanya Liang Feng, merasa semakin bingung dengan keadaan yang menyelimutinya. 

Mei Lian mengangguk pelan. "Ada banyak pihak yang menginginkannya. Namun, ada satu yang lebih berbahaya daripada yang lainnya." 

Liang Feng menatapnya, menunggu penjelasan lebih lanjut. Mei Lian menghela napas, seolah mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Bayangan Langit," katanya pelan. "Sekte yang menguasai ilmu gelap. Mereka yang menginginkan gulungan ini bukan hanya untuk kekuatan, tetapi untuk menguasai dunia." 

"Bayangan Langit?" Liang Feng menatap Mei Lian dengan ekspresi cemas. "Mereka akan mengejar kita?" 

Mei Lian mengangguk. "Mereka sudah mengejar kita. Kamu tidak bisa menghindar, Liang Feng. Pilihanmu hanya satu—bertahan atau menyerah." 

Pikiran Liang Feng berputar. Apakah ia harus mempertahankan gulungan itu? Apakah ia bisa hidup dengan damai setelah mengetahui kekuatan yang dimilikinya? Namun, lebih dari itu, ia sadar bahwa dengan gulungan itu, ia mungkin bisa mengubah dunia, meskipun dengan harga yang sangat tinggi. 

"Sekarang, kamu harus memutuskan," lanjut Mei Lian, menatapnya dengan tatapan yang penuh harapan. "Apakah kamu akan menyimpan gulungan itu untuk dirimu sendiri, atau akan kamu gunakan untuk sesuatu yang lebih besar?" 

Liang Feng terdiam, berpikir panjang. Bayangan Langit bukanlah musuh yang bisa dianggap remeh. Mereka bukan hanya sekumpulan pendekar biasa—mereka adalah bayangan yang bergerak di balik layar, memanipulasi takdir dunia ini. Jika mereka benar-benar mendapatkan kekuatan yang tersembunyi dalam gulungan itu, dunia yang damai ini akan hancur. 

Namun, Liang Feng merasa berat. Ia tidak pernah ingin menjadi pahlawan. Tidak ada yang ingin menjadi pemimpin dalam perang besar. Tetapi, satu hal yang ia tahu pasti adalah bahwa ia tidak bisa membiarkan dunia ini jatuh ke dalam kegelapan. 

"Aku... aku akan memulai perjalanan ini," kata Liang Feng akhirnya, suaranya mantap, meskipun hatinya penuh ketidakpastian. "Tapi aku tak akan berjalan sendirian." 

Mei Lian tersenyum, senyum yang penuh pemahaman dan sedikit kelegaan. "Itulah yang aku harapkan. Dunia ini terlalu besar untuk dihadapi seorang diri. Dan kamu tidak akan tahu apa yang akan terjadi jika kamu berjalan sendiri." 

---

Beberapa hari setelah keputusan Liang Feng untuk menerima takdirnya, ia dan Mei Lian mulai melakukan perjalanan menuju pegunungan yang lebih tinggi. Mereka tahu bahwa Bayangan Langit sedang mengawasi setiap langkah mereka. Kekuatan mereka tidak hanya terbatas pada pedang atau tenaga dalam, tetapi juga pada pengaruh yang tersembunyi dalam bayang-bayang dunia.

Liang Feng merasa ada sesuatu yang mengintai mereka dari kejauhan. Setiap langkah yang mereka ambil di sepanjang jalan seolah tertinggal oleh bayang-bayang yang tak tampak—musuh yang tidak hanya berada di luar, tetapi juga di dalam dirinya sendiri. 

Di malam hari, ketika api unggun menyala, Mei Lian berbicara lagi. "Ada saat-saat ketika seseorang harus memilih—antara menjaga apa yang sudah ada, atau mengorbankannya untuk menciptakan sesuatu yang baru. Pilihan itu akan menguji kekuatan hatimu, Liang Feng." 

Liang Feng memandang api yang menyala di depan mereka. "Apa yang akan aku lakukan dengan kekuatan ini?" 

Mei Lian menatap api itu, wajahnya tenggelam dalam cahaya. "Kekuatan yang kamu temui bukan hanya milikmu. Itu adalah kunci, Liang Feng. Kunci untuk membuka masa depan. Tapi ada orang lain yang menginginkan kunci itu." 

Pikiran Liang Feng kembali pada gulungan itu, dan kata-kata yang tertulis di sana. Kekuatan yang bisa memecah cakrawala. Namun, apakah ia siap menghadapinya? 

"Jika aku tidak melakukan apa-apa," kata Liang Feng, "apakah itu berarti aku membiarkan dunia ini hancur?" 

Mei Lian tersenyum tipis. "Terkadang, kita hanya bisa berbuat apa yang menurut kita benar. Takdir tidak pernah memberi kita pilihan mudah." 

---

Dalam perjalanan yang panjang dan penuh bahaya itu, Liang Feng semakin merasakan perubahan dalam dirinya. Setiap langkah membawanya lebih dekat pada takdir yang tak bisa dihindari, namun juga menuntunnya untuk bertemu dengan orang-orang yang akan mengubah hidupnya selamanya. Ketika langit menjadi lebih gelap, angin mulai berbisik lebih keras, dan Liang Feng tahu bahwa petualangannya baru saja dimulai.

Bersambung

Bab terkait

  • Jejak Pedang di Langit   3. Kabut di Pegunungan Tinggi

    Langit di atas pegunungan semakin kelabu. Kabut yang menyelimuti lembah terasa lebih tebal, seperti sebuah tirai yang memisahkan dunia Liang Feng yang lama dengan takdir baru yang menantinya. Liang Feng dan Mei Lian terus berjalan di jalur berbatu, diapit oleh tebing-tebing yang menjulang. Tidak ada suara selain angin yang mendesing dan sesekali gemerisik dedaunan kering yang terbawa langkah mereka. "Kita akan sampai di Desa Qing," kata Mei Lian, memecah keheningan. "Di sana, kita bisa beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan." Liang Feng mengangguk tanpa banyak bicara. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya. Setiap langkah terasa seperti membawa beban yang tak kasat mata. Bayangan Langit, gulungan kuno, dan takdir yang tidak pernah ia pilih—semua itu berputar di benaknya, meninggalkan jejak yang sulit untuk dihapus. Namun, langkah mereka berhenti tiba-tiba ketika Mei Lian mengangkat tangannya, memberi isyarat. "Tunggu," bisiknya pelan, matanya menatap tajam ke arah kab

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Jejak Pedang di Langit   4. Rahasia di Balik Desa Qing

    Desa Qing, meskipun tampak sunyi dan damai, menyimpan sesuatu yang ganjil. Liang Feng merasa itu sejak pertama kali ia menapakkan kaki di jalanan sempitnya. Penduduk desa berbicara dengan suara pelan, seolah-olah takut akan sesuatu yang tak terlihat. Cahaya lentera yang berayun di depan rumah-rumah kayu memancarkan kesan menenangkan, namun bayangan yang terbentuk di tanah terasa aneh, hampir seperti hidup. Di dalam rumah pria tua bernama Tuan Zhao, Liang Feng dan Mei Lian duduk di atas tikar jerami. Tuan rumah mereka tengah menuangkan teh hangat ke dalam cangkir tanah liat yang kasar. "Kalian membawa sesuatu yang besar," kata Tuan Zhao sambil menyerahkan cangkir itu pada Liang Feng. "Aku bisa melihatnya dari matamu, anak muda. Beban itu bukan milikmu saja." Liang Feng menatap pria tua itu, merasa ada kebijaksanaan yang mendalam di balik keriput wajahnya. "Gulungan ini..." Liang Feng mengeluarkan gulungan kuno itu dari tasnya, meletakkannya di atas meja dengan hati-hati. "Apa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Jejak Pedang di Langit   5. Bangkitnya Jejak Pedang di Langit

    Angin dingin menyapu desa yang terbakar, membawa aroma asap dan darah. Liang Feng berdiri di tengah kobaran api kecil, berhadapan dengan pria berjubah hitam yang memancarkan aura dingin seperti kematian. Tatapan pria itu penuh dengan penghinaan, sementara Liang Feng, meski gemetar, menatapnya dengan tekad yang mulai terbentuk. Gulungan di tasnya semakin bersinar, memancarkan cahaya keperakan yang lembut namun menusuk. Liang Feng bisa merasakan kekuatan yang mengalir dari gulungan itu—bukan sekadar kekuatan fisik, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang beresonansi dengan jiwanya. “Jadi ini kekuatan yang kau warisi dari gulungan itu,” kata pria berjubah hitam dengan nada penuh ejekan. “Tapi itu tidak cukup. Bahkan para pendekar terhebat di masa lalu pun tidak mampu menguasai sepenuhnya Jejak Pedang di Langit.” Liang Feng tidak menjawab. Ia tahu bahwa kata-kata tidak akan menghentikan pria ini. Dengan napas dalam, ia menggenggam pedangnya lebih erat, memusatkan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Jejak Pedang di Langit   6. Kabut Gunung Yinfeng

    Gunung Yinfeng berdiri megah, puncaknya terselubung awan putih yang bergerak perlahan. Liang Feng dan Mei Lian berdiri di kaki gunung, memandang jalur berbatu yang menanjak dengan curam. Hawa dingin menyelimuti mereka, dan suara serangga malam bercampur dengan gemerisik dedaunan yang ditiup angin. "Tempat ini... terasa berbeda," Mei Lian berbisik. Liang Feng mengangguk. Ia juga merasakannya. Ada sesuatu yang mengintimidasi di gunung ini, seolah-olah setiap langkah mereka diawasi oleh mata tak terlihat. "Gunung Yinfeng adalah tempat yang dilindungi oleh kekuatan kuno," kata Liang Feng perlahan. "Tuan Zhao menyebutnya sebagai tempat di mana kebenaran gulungan ini tersembunyi. Tapi dia tidak pernah mengatakan apa yang akan kita hadapi." "Kita tidak punya pilihan lain," balas Mei Lian, menggenggam pisaunya dengan erat. "Kalau kita tidak maju, Bayangan Langit akan menemukan kita duluan." Mereka mulai mendaki. Jalur itu licin karena embun pagi, dan batu-batu tajam menjulang s

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Jejak Pedang di Langit   7. Bayangan di Balik Langit

    bawah langit yang kelam, Liang Feng dan Mei Lian melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak Gunung Yinfeng. Namun, perasaan ganjil yang tak terdefinisi menyelimuti setiap langkah mereka. Liang Feng menggenggam pedang barunya dengan erat. Pedang itu terasa seolah bernapas, berdenyut seperti jantung yang hidup. “Liang Feng,” Mei Lian memecah keheningan. “Pedang itu... apakah kau bisa merasakan sesuatu darinya?” Liang Feng mengangguk. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi pedang ini lebih dari sekadar senjata. Ia terasa... hidup, seolah-olah berbicara padaku.” “Kau yakin itu tidak membahayakanmu?” Mei Lian memandang pedang itu dengan curiga. “Kekuatan seperti ini selalu memiliki harga.” Sebelum Liang Feng sempat menjawab, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Bumi di bawah kaki mereka bergetar, membuat bebatuan di sepanjang jalan terjatuh ke jurang di bawah. Dari balik kabut, muncul sekelompok orang berpakaian serba hitam. Wajah mereka tertutup topeng menyeramka

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-29
  • Jejak Pedang di Langit   8. Puncak Gunung Yinfeng

    Langit memerah, dan kabut tipis mulai memudar ketika Liang Feng dan Mei Lian melangkah mendekati puncak Gunung Yinfeng. Mereka telah melewati jurang berbatu, hutan lebat, dan kini berdiri di hadapan sebuah dataran luas yang diapit oleh tebing tinggi. Di tengah dataran itu, sebuah altar batu menjulang, dikelilingi oleh pilar-pilar tua yang dihiasi ukiran kuno. “Aku bisa merasakan kekuatan besar dari altar itu,” ujar Liang Feng dengan napas terengah. Pedang di tangannya terasa bergetar pelan, seperti mengakui keberadaan sesuatu yang luar biasa di depan mereka. Mei Lian mengamati sekeliling dengan waspada. “Apakah kita sendiri di sini? Rasanya... sepi, tapi anehnya menakutkan.” Liang Feng mengangguk. “Sepi bukan berarti aman. Kita harus tetap berhati-hati.” Mereka melangkah mendekati altar. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti ada gravitasi tak terlihat yang menahan tubuh mereka. Liang Feng bisa merasakan gulungan di ikat pinggangnya bergetar semakin kuat, dan pedangnya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Jejak Pedang di Langit   9. Tanda Ancaman

    Malam telah larut di Lembah Awan Abadi. Liang Feng berdiri di puncak bukit kecil, memandangi langit yang bertabur bintang. Angin malam meniup rambutnya, membawa aroma bambu dan tanah basah. Ia memikirkan semua yang terjadi, mulai dari pertemuannya dengan gulungan kuno, pertarungan melawan bayangannya sendiri, hingga janji yang diucapkannya kepada Mei Lian. Di kejauhan, suara aliran sungai terdengar menenangkan, tetapi di hatinya ada kegelisahan yang sulit ia pahami. Pedang di sisinya bergetar pelan, hampir seperti berusaha memperingatkannya tentang sesuatu. “Liang Feng.” Suara Mei Lian memecah keheningan. Ia muncul dari balik pepohonan, membawa lentera kecil yang memancarkan cahaya temaram. Wajahnya tampak letih, tetapi matanya memancarkan kepedulian. “Kau belum tidur?” tanyanya lembut. Liang Feng menggeleng. “Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Semakin dekat aku dengan kekuatan Jejak Pedang di Langit, semakin besar beban yang aku rasakan. Aku takut hal ini akan membawa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Pedang di Langit   10. Langkah di Dunia Luar

    Pagi di Lembah Awan Abadi selalu memancarkan kedamaian. Kabut tipis melayang di atas aliran sungai yang jernih, dan angin membawa wangi bunga liar. Tapi pagi ini terasa berbeda. Liang Feng dan Mei Lian berdiri di pintu masuk lembah, membawa perlengkapan sederhana yaitu pedang, gulungan kuno, dan hati yang dipenuhi tekad. "Setelah kita pergi, kita mungkin tidak akan kembali ke sini," ujar Mei Lian, suaranya datar namun penuh perasaan. Ia memandang lembah yang telah menjadi rumah mereka sejak kecil, tempat yang menyimpan kenangan akan keluarga dan guru-guru mereka. Liang Feng mengangguk. "Aku tahu, tapi jika kita tetap di sini, lembah ini akan menjadi sasaran mereka. Kita harus pergi untuk melindungi apa yang kita cintai." Mei Lian menggenggam pisaunya lebih erat. "Kalau begitu, mari kita pergi. Ke dunia luar!" Dengan langkah mantap, mereka meninggalkan Lembah Awan Abadi, memulai perjalanan yang akan membawa mereka ke tempat-tempat yang belum pernah mereka lihat dan menghadapi bahay

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05

Bab terbaru

  • Jejak Pedang di Langit   14. Petualangan Menuju Istana Hujan Es

    Fajar menyingsing perlahan, menyapu gurun dengan cahaya keemasan yang indah namun dingin. Liang Feng, Mei Lian, dan Lian Xue bersiap melanjutkan perjalanan mereka. Mereka bertiga berdiri di tepi oasis kecil, memandang ke arah barat di mana siluet pegunungan mulai terlihat samar di kejauhan. "Istana Hujan Emas," Mei Lian bergumam, matanya memandang ke depan dengan tatapan tegas. "Kita hampir sampai." Lian Xue mengangguk, meskipun wajahnya menunjukkan kelelahan yang tak bisa disembunyikan. Luka-luka dari pertempuran malam sebelumnya masih terasa, tapi ia meneguhkan hati. "Aku hanya berharap kita tidak menghadapi lebih banyak kejutan di jalan." Liang Feng tersenyum tipis, menggenggam pedangnya dengan erat. "Kejutan sudah menjadi bagian dari perjalanan ini. Yang penting, kita tetap bersama." Ketiganya mulai berjalan, menembus pasir yang masih dingin setelah malam yang panjang. Suasana hening, hanya terdengar suara angin yang berbisik di telinga mereka. Liang Feng merasa bahwa

  • Jejak Pedang di Langit   13. Bayangan Hitam

    Pria bertopeng itu berdiri dengan angkuh di tengah badai pasir yang perlahan mereda. Langkahnya perlahan, tetapi setiap langkah mengguncang hati Liang Feng. Aura hitam pekat mengelilinginya, seperti kabut yang meresap hingga ke tulang. Liang Feng menggenggam pedangnya lebih erat, merasakan hawa dingin yang merambat dari ujung jari hingga ke dadanya. “Siapa kau?” tanya Liang Feng, suaranya bergetar sedikit meski ia berusaha terdengar tegas. Pria itu tidak menjawab segera. Sebaliknya, ia mengangkat tangannya, mengisyaratkan kepada anak buahnya untuk mundur. Para pria berjubah hitam itu menurut tanpa suara, meninggalkan lingkaran pasir yang kini hanya diisi oleh Liang Feng, Mei Lian, Lian Xue, dan pria bertopeng itu. “Aku adalah penjaga bayangan,” jawab pria itu akhirnya, suaranya berat dan menggetarkan udara. “Namaku tak penting. Yang perlu kau tahu, aku adalah ujung tombak Bayangan Langit. Dan kau, bocah, hanyalah duri kecil yang perlu dicabut sebelum aku mengambil apa yang se

  • Jejak Pedang di Langit   12. Penantian di Puncak Pasir

    Setelah pertempuran sengit di gurun, Liang Feng dan Mei Lian melanjutkan perjalanan mereka ke arah barat, menuju Istana Hujan Emas yang legendaris. Meski mereka telah menang melawan kelompok Bayangan Langit, perasaan cemas tidak dapat sepenuhnya hilang. Ancaman dari mereka yang menginginkan Jejak Pedang di Langit masih bersembunyi di balik bayang-bayang, menunggu saat yang tepat untuk kembali menyerang.Malam itu, mereka berdua beristirahat di sebuah oasis kecil yang ditemukan di tengah gurun. Air yang jernih memantulkan cahaya bintang, sementara semilir angin gurun membawa kesejukan yang sangat dibutuhkan setelah perjalanan yang melelahkan. Liang Feng duduk di tepi oasis, memandang langit yang luas, berusaha menenangkan pikirannya."Liang Feng," kata Mei Lian, duduk di sampingnya, suaranya lembut. "Apa yang akan kita lakukan setelah menemukan Jejak Pedang di Langit? Apa yang akan terjadi jika kita berhasil menguasainya?"Liang Feng menghela napas, pandangannya terfokus pada kilau air

  • Jejak Pedang di Langit   11. Ujian di Gurun

    Gurun yang luas dan gersang menjadi saksi dari pertarungan yang semakin intens. Angin panas berputar di sekitar mereka, membawa debu dan pasir, tetapi Liang Feng dan Mei Lian berdiri tegak, siap menghadapi ancaman yang datang. Tujuh pria berjubah hitam mengelilingi mereka, mata mereka penuh dengan kebencian. Liang Feng merasakan tekanan yang semakin berat di udara, seperti ada sesuatu yang menghalangi setiap gerakan mereka. "Siapa kalian?" Liang Feng bertanya dengan suara tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. Pria yang tampak paling tua di antara mereka tersenyum dingin. "Kami adalah utusan dari Bayangan Langit, yang mengirimkan kami untuk memastikan gulungan Jejak Pedang di Langit tidak jatuh ke tangan yang salah. Dan kalian, anak muda, telah menjadi hambatan besar dalam misi kami." Mei Lian memegang pisaunya lebih erat, menatap para musuh dengan waspada. "Apa yang kalian inginkan dari kami? Jika kalian berniat merebut gulungan itu, kalian akan tahu bahwa itu tidak akan

  • Jejak Pedang di Langit   10. Langkah di Dunia Luar

    Pagi di Lembah Awan Abadi selalu memancarkan kedamaian. Kabut tipis melayang di atas aliran sungai yang jernih, dan angin membawa wangi bunga liar. Tapi pagi ini terasa berbeda. Liang Feng dan Mei Lian berdiri di pintu masuk lembah, membawa perlengkapan sederhana yaitu pedang, gulungan kuno, dan hati yang dipenuhi tekad. "Setelah kita pergi, kita mungkin tidak akan kembali ke sini," ujar Mei Lian, suaranya datar namun penuh perasaan. Ia memandang lembah yang telah menjadi rumah mereka sejak kecil, tempat yang menyimpan kenangan akan keluarga dan guru-guru mereka. Liang Feng mengangguk. "Aku tahu, tapi jika kita tetap di sini, lembah ini akan menjadi sasaran mereka. Kita harus pergi untuk melindungi apa yang kita cintai." Mei Lian menggenggam pisaunya lebih erat. "Kalau begitu, mari kita pergi. Ke dunia luar!" Dengan langkah mantap, mereka meninggalkan Lembah Awan Abadi, memulai perjalanan yang akan membawa mereka ke tempat-tempat yang belum pernah mereka lihat dan menghadapi bahay

  • Jejak Pedang di Langit   9. Tanda Ancaman

    Malam telah larut di Lembah Awan Abadi. Liang Feng berdiri di puncak bukit kecil, memandangi langit yang bertabur bintang. Angin malam meniup rambutnya, membawa aroma bambu dan tanah basah. Ia memikirkan semua yang terjadi, mulai dari pertemuannya dengan gulungan kuno, pertarungan melawan bayangannya sendiri, hingga janji yang diucapkannya kepada Mei Lian. Di kejauhan, suara aliran sungai terdengar menenangkan, tetapi di hatinya ada kegelisahan yang sulit ia pahami. Pedang di sisinya bergetar pelan, hampir seperti berusaha memperingatkannya tentang sesuatu. “Liang Feng.” Suara Mei Lian memecah keheningan. Ia muncul dari balik pepohonan, membawa lentera kecil yang memancarkan cahaya temaram. Wajahnya tampak letih, tetapi matanya memancarkan kepedulian. “Kau belum tidur?” tanyanya lembut. Liang Feng menggeleng. “Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Semakin dekat aku dengan kekuatan Jejak Pedang di Langit, semakin besar beban yang aku rasakan. Aku takut hal ini akan membawa

  • Jejak Pedang di Langit   8. Puncak Gunung Yinfeng

    Langit memerah, dan kabut tipis mulai memudar ketika Liang Feng dan Mei Lian melangkah mendekati puncak Gunung Yinfeng. Mereka telah melewati jurang berbatu, hutan lebat, dan kini berdiri di hadapan sebuah dataran luas yang diapit oleh tebing tinggi. Di tengah dataran itu, sebuah altar batu menjulang, dikelilingi oleh pilar-pilar tua yang dihiasi ukiran kuno. “Aku bisa merasakan kekuatan besar dari altar itu,” ujar Liang Feng dengan napas terengah. Pedang di tangannya terasa bergetar pelan, seperti mengakui keberadaan sesuatu yang luar biasa di depan mereka. Mei Lian mengamati sekeliling dengan waspada. “Apakah kita sendiri di sini? Rasanya... sepi, tapi anehnya menakutkan.” Liang Feng mengangguk. “Sepi bukan berarti aman. Kita harus tetap berhati-hati.” Mereka melangkah mendekati altar. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti ada gravitasi tak terlihat yang menahan tubuh mereka. Liang Feng bisa merasakan gulungan di ikat pinggangnya bergetar semakin kuat, dan pedangnya

  • Jejak Pedang di Langit   7. Bayangan di Balik Langit

    bawah langit yang kelam, Liang Feng dan Mei Lian melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak Gunung Yinfeng. Namun, perasaan ganjil yang tak terdefinisi menyelimuti setiap langkah mereka. Liang Feng menggenggam pedang barunya dengan erat. Pedang itu terasa seolah bernapas, berdenyut seperti jantung yang hidup. “Liang Feng,” Mei Lian memecah keheningan. “Pedang itu... apakah kau bisa merasakan sesuatu darinya?” Liang Feng mengangguk. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi pedang ini lebih dari sekadar senjata. Ia terasa... hidup, seolah-olah berbicara padaku.” “Kau yakin itu tidak membahayakanmu?” Mei Lian memandang pedang itu dengan curiga. “Kekuatan seperti ini selalu memiliki harga.” Sebelum Liang Feng sempat menjawab, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Bumi di bawah kaki mereka bergetar, membuat bebatuan di sepanjang jalan terjatuh ke jurang di bawah. Dari balik kabut, muncul sekelompok orang berpakaian serba hitam. Wajah mereka tertutup topeng menyeramka

  • Jejak Pedang di Langit   6. Kabut Gunung Yinfeng

    Gunung Yinfeng berdiri megah, puncaknya terselubung awan putih yang bergerak perlahan. Liang Feng dan Mei Lian berdiri di kaki gunung, memandang jalur berbatu yang menanjak dengan curam. Hawa dingin menyelimuti mereka, dan suara serangga malam bercampur dengan gemerisik dedaunan yang ditiup angin. "Tempat ini... terasa berbeda," Mei Lian berbisik. Liang Feng mengangguk. Ia juga merasakannya. Ada sesuatu yang mengintimidasi di gunung ini, seolah-olah setiap langkah mereka diawasi oleh mata tak terlihat. "Gunung Yinfeng adalah tempat yang dilindungi oleh kekuatan kuno," kata Liang Feng perlahan. "Tuan Zhao menyebutnya sebagai tempat di mana kebenaran gulungan ini tersembunyi. Tapi dia tidak pernah mengatakan apa yang akan kita hadapi." "Kita tidak punya pilihan lain," balas Mei Lian, menggenggam pisaunya dengan erat. "Kalau kita tidak maju, Bayangan Langit akan menemukan kita duluan." Mereka mulai mendaki. Jalur itu licin karena embun pagi, dan batu-batu tajam menjulang s

DMCA.com Protection Status