Pagi itu, Liang Feng tidak bisa tidur nyenyak. Gulungan kuno yang kini ada di tangannya terus berputar dalam pikirannya. Setiap huruf yang tercatat di sana, seperti berbisik memanggilnya, membawa serta jejak takdir yang lebih besar dari yang bisa ia pahami. Dunia yang selama ini ia kenal terasa berbeda—lebih luas, lebih membebani. Namun, di sisi lain, ada sebuah panggilan yang tidak bisa ia hindari, seperti angin yang membawa aroma laut dari kejauhan.
Mei Lian, yang sudah menunggu di luar gua, tampak tenang, seolah tidak terpengaruh oleh perubahan besar yang baru saja terjadi. Wajahnya yang lembut tidak menunjukkan kekhawatiran, sebaliknya, ada ketegasan dalam langkahnya yang melangkah mantap menuju Liang Feng. "Jadi, kamu sudah memutuskan?" tanya Mei Lian, suaranya penuh dengan pertanyaan yang lebih dalam daripada sekadar keingintahuan biasa. Liang Feng mengangguk perlahan, meskipun hatinya ragu. "Aku merasa seperti aku telah masuk ke dalam pusaran yang lebih besar daripada yang aku inginkan." Mei Lian menatapnya dengan tatapan yang tajam, seolah membaca setiap pergolakan dalam jiwa Liang Feng. "Kita semua berada di dalam pusaran itu, hanya saja beberapa orang lebih cepat mengetahuinya daripada yang lain. Tapi tidak ada pilihan selain maju." "Tapi apa yang harus aku lakukan dengan kekuatan ini?" Liang Feng bertanya, merasa bingung. "Aku tidak mencari konflik. Aku hanya ingin hidup dengan damai." "Apa yang kamu inginkan dan apa yang dunia inginkan sering kali berbeda," jawab Mei Lian, suaranya penuh dengan pengalaman. "Kekuatan yang kamu temukan itu lebih dari sekadar pedang atau jurus. Itu adalah kunci. Kunci untuk membuka sesuatu yang lebih besar dari yang kamu bisa bayangkan." Liang Feng merasakan berat di dadanya. Ia memandang gulungan itu dengan tatapan yang lebih dalam, seperti berusaha memahami setiap maknanya. "Apakah kamu tahu siapa yang mencari gulungan ini?" tanya Liang Feng, merasa semakin bingung dengan keadaan yang menyelimutinya. Mei Lian mengangguk pelan. "Ada banyak pihak yang menginginkannya. Namun, ada satu yang lebih berbahaya daripada yang lainnya." Liang Feng menatapnya, menunggu penjelasan lebih lanjut. Mei Lian menghela napas, seolah mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Bayangan Langit," katanya pelan. "Sekte yang menguasai ilmu gelap. Mereka yang menginginkan gulungan ini bukan hanya untuk kekuatan, tetapi untuk menguasai dunia." "Bayangan Langit?" Liang Feng menatap Mei Lian dengan ekspresi cemas. "Mereka akan mengejar kita?" Mei Lian mengangguk. "Mereka sudah mengejar kita. Kamu tidak bisa menghindar, Liang Feng. Pilihanmu hanya satu—bertahan atau menyerah." Pikiran Liang Feng berputar. Apakah ia harus mempertahankan gulungan itu? Apakah ia bisa hidup dengan damai setelah mengetahui kekuatan yang dimilikinya? Namun, lebih dari itu, ia sadar bahwa dengan gulungan itu, ia mungkin bisa mengubah dunia, meskipun dengan harga yang sangat tinggi. "Sekarang, kamu harus memutuskan," lanjut Mei Lian, menatapnya dengan tatapan yang penuh harapan. "Apakah kamu akan menyimpan gulungan itu untuk dirimu sendiri, atau akan kamu gunakan untuk sesuatu yang lebih besar?" Liang Feng terdiam, berpikir panjang. Bayangan Langit bukanlah musuh yang bisa dianggap remeh. Mereka bukan hanya sekumpulan pendekar biasa—mereka adalah bayangan yang bergerak di balik layar, memanipulasi takdir dunia ini. Jika mereka benar-benar mendapatkan kekuatan yang tersembunyi dalam gulungan itu, dunia yang damai ini akan hancur. Namun, Liang Feng merasa berat. Ia tidak pernah ingin menjadi pahlawan. Tidak ada yang ingin menjadi pemimpin dalam perang besar. Tetapi, satu hal yang ia tahu pasti adalah bahwa ia tidak bisa membiarkan dunia ini jatuh ke dalam kegelapan. "Aku... aku akan memulai perjalanan ini," kata Liang Feng akhirnya, suaranya mantap, meskipun hatinya penuh ketidakpastian. "Tapi aku tak akan berjalan sendirian." Mei Lian tersenyum, senyum yang penuh pemahaman dan sedikit kelegaan. "Itulah yang aku harapkan. Dunia ini terlalu besar untuk dihadapi seorang diri. Dan kamu tidak akan tahu apa yang akan terjadi jika kamu berjalan sendiri." --- Beberapa hari setelah keputusan Liang Feng untuk menerima takdirnya, ia dan Mei Lian mulai melakukan perjalanan menuju pegunungan yang lebih tinggi. Mereka tahu bahwa Bayangan Langit sedang mengawasi setiap langkah mereka. Kekuatan mereka tidak hanya terbatas pada pedang atau tenaga dalam, tetapi juga pada pengaruh yang tersembunyi dalam bayang-bayang dunia. Liang Feng merasa ada sesuatu yang mengintai mereka dari kejauhan. Setiap langkah yang mereka ambil di sepanjang jalan seolah tertinggal oleh bayang-bayang yang tak tampak—musuh yang tidak hanya berada di luar, tetapi juga di dalam dirinya sendiri. Di malam hari, ketika api unggun menyala, Mei Lian berbicara lagi. "Ada saat-saat ketika seseorang harus memilih—antara menjaga apa yang sudah ada, atau mengorbankannya untuk menciptakan sesuatu yang baru. Pilihan itu akan menguji kekuatan hatimu, Liang Feng." Liang Feng memandang api yang menyala di depan mereka. "Apa yang akan aku lakukan dengan kekuatan ini?" Mei Lian menatap api itu, wajahnya tenggelam dalam cahaya. "Kekuatan yang kamu temui bukan hanya milikmu. Itu adalah kunci, Liang Feng. Kunci untuk membuka masa depan. Tapi ada orang lain yang menginginkan kunci itu." Pikiran Liang Feng kembali pada gulungan itu, dan kata-kata yang tertulis di sana. Kekuatan yang bisa memecah cakrawala. Namun, apakah ia siap menghadapinya? "Jika aku tidak melakukan apa-apa," kata Liang Feng, "apakah itu berarti aku membiarkan dunia ini hancur?" Mei Lian tersenyum tipis. "Terkadang, kita hanya bisa berbuat apa yang menurut kita benar. Takdir tidak pernah memberi kita pilihan mudah." --- Dalam perjalanan yang panjang dan penuh bahaya itu, Liang Feng semakin merasakan perubahan dalam dirinya. Setiap langkah membawanya lebih dekat pada takdir yang tak bisa dihindari, namun juga menuntunnya untuk bertemu dengan orang-orang yang akan mengubah hidupnya selamanya. Ketika langit menjadi lebih gelap, angin mulai berbisik lebih keras, dan Liang Feng tahu bahwa petualangannya baru saja dimulai. BersambungLangit di atas pegunungan semakin kelabu. Kabut yang menyelimuti lembah terasa lebih tebal, seperti sebuah tirai yang memisahkan dunia Liang Feng yang lama dengan takdir baru yang menantinya. Liang Feng dan Mei Lian terus berjalan di jalur berbatu, diapit oleh tebing-tebing yang menjulang. Tidak ada suara selain angin yang mendesing dan sesekali gemerisik dedaunan kering yang terbawa langkah mereka. "Kita akan sampai di Desa Qing," kata Mei Lian, memecah keheningan. "Di sana, kita bisa beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan." Liang Feng mengangguk tanpa banyak bicara. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya. Setiap langkah terasa seperti membawa beban yang tak kasat mata. Bayangan Langit, gulungan kuno, dan takdir yang tidak pernah ia pilih—semua itu berputar di benaknya, meninggalkan jejak yang sulit untuk dihapus. Namun, langkah mereka berhenti tiba-tiba ketika Mei Lian mengangkat tangannya, memberi isyarat. "Tunggu," bisiknya pelan, matanya menatap tajam ke arah kab
Desa Qing, meskipun tampak sunyi dan damai, menyimpan sesuatu yang ganjil. Liang Feng merasa itu sejak pertama kali ia menapakkan kaki di jalanan sempitnya. Penduduk desa berbicara dengan suara pelan, seolah-olah takut akan sesuatu yang tak terlihat. Cahaya lentera yang berayun di depan rumah-rumah kayu memancarkan kesan menenangkan, namun bayangan yang terbentuk di tanah terasa aneh, hampir seperti hidup. Di dalam rumah pria tua bernama Tuan Zhao, Liang Feng dan Mei Lian duduk di atas tikar jerami. Tuan rumah mereka tengah menuangkan teh hangat ke dalam cangkir tanah liat yang kasar. "Kalian membawa sesuatu yang besar," kata Tuan Zhao sambil menyerahkan cangkir itu pada Liang Feng. "Aku bisa melihatnya dari matamu, anak muda. Beban itu bukan milikmu saja." Liang Feng menatap pria tua itu, merasa ada kebijaksanaan yang mendalam di balik keriput wajahnya. "Gulungan ini..." Liang Feng mengeluarkan gulungan kuno itu dari tasnya, meletakkannya di atas meja dengan hati-hati. "Apa
Angin dingin menyapu desa yang terbakar, membawa aroma asap dan darah. Liang Feng berdiri di tengah kobaran api kecil, berhadapan dengan pria berjubah hitam yang memancarkan aura dingin seperti kematian. Tatapan pria itu penuh dengan penghinaan, sementara Liang Feng, meski gemetar, menatapnya dengan tekad yang mulai terbentuk. Gulungan di tasnya semakin bersinar, memancarkan cahaya keperakan yang lembut namun menusuk. Liang Feng bisa merasakan kekuatan yang mengalir dari gulungan itu—bukan sekadar kekuatan fisik, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang beresonansi dengan jiwanya. “Jadi ini kekuatan yang kau warisi dari gulungan itu,” kata pria berjubah hitam dengan nada penuh ejekan. “Tapi itu tidak cukup. Bahkan para pendekar terhebat di masa lalu pun tidak mampu menguasai sepenuhnya Jejak Pedang di Langit.” Liang Feng tidak menjawab. Ia tahu bahwa kata-kata tidak akan menghentikan pria ini. Dengan napas dalam, ia menggenggam pedangnya lebih erat, memusatkan
Gunung Yinfeng berdiri megah, puncaknya terselubung awan putih yang bergerak perlahan. Liang Feng dan Mei Lian berdiri di kaki gunung, memandang jalur berbatu yang menanjak dengan curam. Hawa dingin menyelimuti mereka, dan suara serangga malam bercampur dengan gemerisik dedaunan yang ditiup angin. "Tempat ini... terasa berbeda," Mei Lian berbisik. Liang Feng mengangguk. Ia juga merasakannya. Ada sesuatu yang mengintimidasi di gunung ini, seolah-olah setiap langkah mereka diawasi oleh mata tak terlihat. "Gunung Yinfeng adalah tempat yang dilindungi oleh kekuatan kuno," kata Liang Feng perlahan. "Tuan Zhao menyebutnya sebagai tempat di mana kebenaran gulungan ini tersembunyi. Tapi dia tidak pernah mengatakan apa yang akan kita hadapi." "Kita tidak punya pilihan lain," balas Mei Lian, menggenggam pisaunya dengan erat. "Kalau kita tidak maju, Bayangan Langit akan menemukan kita duluan." Mereka mulai mendaki. Jalur itu licin karena embun pagi, dan batu-batu tajam menjulang s
bawah langit yang kelam, Liang Feng dan Mei Lian melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak Gunung Yinfeng. Namun, perasaan ganjil yang tak terdefinisi menyelimuti setiap langkah mereka. Liang Feng menggenggam pedang barunya dengan erat. Pedang itu terasa seolah bernapas, berdenyut seperti jantung yang hidup. “Liang Feng,” Mei Lian memecah keheningan. “Pedang itu... apakah kau bisa merasakan sesuatu darinya?” Liang Feng mengangguk. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi pedang ini lebih dari sekadar senjata. Ia terasa... hidup, seolah-olah berbicara padaku.” “Kau yakin itu tidak membahayakanmu?” Mei Lian memandang pedang itu dengan curiga. “Kekuatan seperti ini selalu memiliki harga.” Sebelum Liang Feng sempat menjawab, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Bumi di bawah kaki mereka bergetar, membuat bebatuan di sepanjang jalan terjatuh ke jurang di bawah. Dari balik kabut, muncul sekelompok orang berpakaian serba hitam. Wajah mereka tertutup topeng menyeramka
Langit memerah, dan kabut tipis mulai memudar ketika Liang Feng dan Mei Lian melangkah mendekati puncak Gunung Yinfeng. Mereka telah melewati jurang berbatu, hutan lebat, dan kini berdiri di hadapan sebuah dataran luas yang diapit oleh tebing tinggi. Di tengah dataran itu, sebuah altar batu menjulang, dikelilingi oleh pilar-pilar tua yang dihiasi ukiran kuno. “Aku bisa merasakan kekuatan besar dari altar itu,” ujar Liang Feng dengan napas terengah. Pedang di tangannya terasa bergetar pelan, seperti mengakui keberadaan sesuatu yang luar biasa di depan mereka. Mei Lian mengamati sekeliling dengan waspada. “Apakah kita sendiri di sini? Rasanya... sepi, tapi anehnya menakutkan.” Liang Feng mengangguk. “Sepi bukan berarti aman. Kita harus tetap berhati-hati.” Mereka melangkah mendekati altar. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti ada gravitasi tak terlihat yang menahan tubuh mereka. Liang Feng bisa merasakan gulungan di ikat pinggangnya bergetar semakin kuat, dan pedangnya
Malam telah larut di Lembah Awan Abadi. Liang Feng berdiri di puncak bukit kecil, memandangi langit yang bertabur bintang. Angin malam meniup rambutnya, membawa aroma bambu dan tanah basah. Ia memikirkan semua yang terjadi, mulai dari pertemuannya dengan gulungan kuno, pertarungan melawan bayangannya sendiri, hingga janji yang diucapkannya kepada Mei Lian. Di kejauhan, suara aliran sungai terdengar menenangkan, tetapi di hatinya ada kegelisahan yang sulit ia pahami. Pedang di sisinya bergetar pelan, hampir seperti berusaha memperingatkannya tentang sesuatu. “Liang Feng.” Suara Mei Lian memecah keheningan. Ia muncul dari balik pepohonan, membawa lentera kecil yang memancarkan cahaya temaram. Wajahnya tampak letih, tetapi matanya memancarkan kepedulian. “Kau belum tidur?” tanyanya lembut. Liang Feng menggeleng. “Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Semakin dekat aku dengan kekuatan Jejak Pedang di Langit, semakin besar beban yang aku rasakan. Aku takut hal ini akan membawa
Pagi di Lembah Awan Abadi selalu memancarkan kedamaian. Kabut tipis melayang di atas aliran sungai yang jernih, dan angin membawa wangi bunga liar. Tapi pagi ini terasa berbeda. Liang Feng dan Mei Lian berdiri di pintu masuk lembah, membawa perlengkapan sederhana yaitu pedang, gulungan kuno, dan hati yang dipenuhi tekad. "Setelah kita pergi, kita mungkin tidak akan kembali ke sini," ujar Mei Lian, suaranya datar namun penuh perasaan. Ia memandang lembah yang telah menjadi rumah mereka sejak kecil, tempat yang menyimpan kenangan akan keluarga dan guru-guru mereka. Liang Feng mengangguk. "Aku tahu, tapi jika kita tetap di sini, lembah ini akan menjadi sasaran mereka. Kita harus pergi untuk melindungi apa yang kita cintai." Mei Lian menggenggam pisaunya lebih erat. "Kalau begitu, mari kita pergi. Ke dunia luar!" Dengan langkah mantap, mereka meninggalkan Lembah Awan Abadi, memulai perjalanan yang akan membawa mereka ke tempat-tempat yang belum pernah mereka lihat dan menghadapi bahay
Puncak Gunung Langit kini terhampar dalam kehampaan. Jejak energi yang dulu melingkupi tempat itu perlahan memudar, menyisakan keheningan yang mencekam. Lian Xue berdiri diam, matanya menatap ke arah tempat Liang Feng menghilang. Hatinya terasa kosong, seolah-olah separuh jiwanya ikut lenyap bersama Liang Feng. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya penuh getaran. Bai Wen meletakkan tangan di pundaknya, meskipun ia sendiri tampak tak kalah terguncang. “Liang Feng telah memenuhi takdirnya. Pengorbanannya memastikan dunia ini tetap utuh.” Namun, Lian Xue tidak dapat menerima kenyataan itu begitu saja. “Kalau begitu, apa arti dari semua perjuangan kita jika pada akhirnya dia harus meninggalkan kita?” “Kau salah,” Bai Wen menjawab dengan nada lembut. “Liang Feng tidak pergi untuk selamanya. Dia tetap hidup, dalam kenangan kita, dalam dunia yang ia selamatkan. Dan aku yakin, meskipun tubuhnya telah tiada, semangatnya tetap ada di sekitar kita.” _____Setelah kejatuhan Shen Z
Langit Terbelah adalah tempat di mana realitas dan ilusi saling bertaut, menciptakan pemandangan yang tak lazim. Daratan tempat Liang Feng dan teman-temannya berdiri tampak seperti cermin raksasa yang memantulkan retakan-retakan cahaya dari atas. Tiap langkah mereka menghasilkan gema halus, seperti berjalan di atas permukaan air yang membeku. “Ini... luar biasa,” gumam Mei Lian, matanya terpaku pada retakan di atas mereka. Retakan itu mengeluarkan cahaya putih yang berpendar lembut, seolah-olah menyimpan rahasia semesta. Namun, Lian Xue terlihat lebih waspada. “Tempat ini mungkin indah, tapi aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kau merasakannya, kan, Liang Feng?” Liang Feng mengangguk pelan. Ada hawa berat di udara, seperti keheningan sebelum badai. “Ya, aku merasakannya. Seolah-olah sesuatu atau seseorang sedang mengawasi kita.” Saat mereka melangkah lebih jauh, mereka menemukan sebuah monolit besar yang berdiri di tengah dataran cermin. Monolit itu terbuat dari batu
Kristal biru di atas altar memancarkan sinar lembut yang menerangi puncak menara. Liang Feng berdiri mematung di depannya, merasakan gelombang energi yang seakan berbicara langsung ke dalam jiwanya. "Liang Feng," suara itu terdengar lembut namun penuh kekuatan, seperti bisikan angin di puncak gunung. "Kau telah mencapai tempat yang banyak orang hanya bisa impikan. Namun, ini bukan akhir perjalananmu." Mei Lian dan Lian Xue saling bertukar pandang, mencoba memahami suara misterius itu. "Apa ini? Suara dari segel itu sendiri?" tanya Mei Lian, nada suaranya penuh kehati-hatian. "Segel ini adalah inti dari keseimbangan dunia," jawab Liang Feng, matanya tidak lepas dari kristal yang berkilauan. "Dan aku merasa bahwa segel ini memiliki kehendak sendiri." ___ Kristal itu berkilauan lebih terang, membentuk siluet cahaya yang menyerupai seorang pria tua dengan jubah panjang. "Aku adalah penjaga terakhir dari segel ini," katanya. "Dan kau, Liang Feng, telah dipilih untuk menjaga ke
Gerbang batu yang terbuka perlahan mengeluarkan suara gemuruh yang menggema, seperti sebuah peringatan akan bahaya yang tersembunyi di baliknya. Liang Feng melangkah lebih dulu, diikuti oleh Mei Lian dan Lian Xue. Cahaya aneh yang berasal dari dalam gerbang memancar seperti aurora, namun bukannya memberi rasa damai, cahaya itu justru memunculkan kegelisahan. Saat mereka melangkah masuk, dunia di sekitar mereka berubah. Tanah di bawah kaki mereka bukan lagi lembah hijau yang pernah mereka kenal, melainkan padang pasir luas dengan langit berwarna merah darah. Angin panas berhembus, membawa bisikan samar yang tak bisa dipahami. “Di mana ini?” tanya Mei Lian, memandang ke sekeliling dengan rasa tak percaya. “Langit Terlarang,” jawab Liang Feng dengan suara tegas. “Tempat ini bukan bagian dari dunia kita. Ini adalah dimensi lain, tempat kekuatan segel terakhir disimpan.” “Dan juga tempat bahaya terbesar bersembunyi,” tambah Lian Xue sambil mempererat genggamannya pada tombak. ___
Langit cerah di Kota Hujan Tak Berhenti menjadi awal yang baru bagi Liang Feng dan rombongannya. Namun, saat mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan, seorang utusan tiba dari Lembah Awan Abadi. Ia membawa kabar buruk yang membuat Liang Feng tertegun—lembah itu diserang oleh kekuatan misterius. "Serangan itu datang tanpa peringatan," kata utusan itu dengan napas terengah-engah. "Penduduk desa terluka, dan beberapa menghilang. Mereka yang selamat mengatakan makhluk-makhluk kegelapan menyerang saat malam tiba." Liang Feng mengepalkan tangannya. Pikirannya melayang pada gambaran desa yang damai, kini berada di ambang kehancuran. "Kita harus kembali sekarang," katanya tegas. Mei Lian dan Lian Xue mengangguk. Tanpa membuang waktu, mereka meninggalkan Kota Hujan Tak Berhenti, menunggang kuda dengan kecepatan penuh menuju Lembah Awan Abadi. ____Ketika mereka tiba, lembah itu hampir tidak dapat dikenali. Pepohonan yang dulu hijau dan subur kini layu, diselimuti kabut hitam yang
Setelah meninggalkan Pilar Langit, Liang Feng, Mei Lian, dan Lian Xue memulai perjalanan kembali ke Lembah Awan Abadi. Meskipun segel telah diperkuat, Liang Feng tidak merasa lega sepenuhnya. Di dalam hatinya, ia tahu ancaman Shen Zhou masih mengintai, dan dunia tidak akan tenang untuk waktu yang lama. Langit di atas mereka berubah semakin suram, seolah mencerminkan beban yang dirasakan Liang Feng. Angin berhembus dingin, membawa aroma badai yang akan datang. "Liang Feng," kata Mei Lian tiba-tiba, memecah keheningan. "Apa yang kau alami di dalam Pilar Langit? Kau tampak berbeda sekarang." Liang Feng terdiam sesaat sebelum menjawab. "Aku diberi ujian. Ujian yang mengajarkanku tentang keberanian, pengorbanan, dan penerimaan." Ia menatap jauh ke depan. "Aku tahu sekarang, melindungi dunia ini tidak hanya soal kekuatan pedang, tetapi juga soal menerima bahwa aku tidak bisa menyelamatkan semuanya." Mei Lian menatapnya dengan mata penuh simpati. "Itu beban yang berat, tapi kau tidak
Liang Feng berdiri di hadapan Pilar Langit, sebuah menara yang menjulang hingga menembus awan. Cahaya keemasan mengalir dari setiap celahnya, memancarkan kekuatan yang terasa menghentikan napas. Pintu masuk pilar itu tampak sederhana, hanya sebuah lengkungan batu yang dihiasi ukiran bintang dan awan. Namun, begitu Liang Feng melangkah masuk, dunia di sekitarnya berubah seketika. Ia mendapati dirinya berada di ruang tanpa batas, penuh dengan kabut berwarna perak. Tidak ada lantai, tidak ada dinding, hanya kekosongan yang terasa hidup. Di tengah ruang itu, berdiri sebuah meja batu besar, dan di atasnya terdapat gulungan kuno lainnya—lebih besar dan lebih bercahaya daripada yang pernah ia temui sebelumnya. “Liang Feng,” sebuah suara menggema, tenang namun penuh kewibawaan. Liang Feng berbalik, menemukan sosok lelaki tua berjubah putih berdiri di belakangnya. Wajahnya bersinar, tetapi ada kesan kelelahan mendalam di matanya. “Siapa kau?” tanya Liang Feng, meskipun dalam hatinya, i
Mereka berjalan selama berhari-hari, menyeberangi padang pasir yang tak berujung dan mendaki pegunungan yang terjal. Liang Feng, Mei Lian, dan Lian Xue menghadapi berbagai rintangan di perjalanan mereka. Meskipun tubuh mereka lelah, tekad mereka tidak goyah. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke Pilar Langit, tempat di mana segel pedang dapat diperkuat. Langit di atas mereka terasa aneh. Awan gelap menggulung, seakan-akan langit itu sendiri bersiap menghadapi pertempuran besar. "Kau yakin kita sudah dekat?" tanya Mei Lian sambil mengusap keringat di dahinya. Liang Feng membuka gulungan kecil yang diberikan oleh Penjaga Pengetahuan. Peta yang tergambar di gulungan itu menunjukkan bahwa Pilar Langit terletak di tengah-tengah pegunungan yang dikelilingi oleh jurang tak berujung. "Kita sudah hampir sampai," katanya. "Tapi aku bisa merasakan sesuatu... seperti ancaman yang semakin dekat." ___Mereka tiba di sebuah hutan yang dipenuhi kabut tebal. Cahaya matahari hampir tidak
Setelah malam yang mencekam, Liang Feng dan kelompoknya bergerak menuju sebuah tempat yang disebutkan dalam gulungan kuno. 'Lembah Pengetahuan Tersembunyi', sebuah lokasi yang dikatakan menyimpan jawaban tentang cara memperkuat segel. Perjalanan menuju lembah itu penuh dengan tantangan, dari jalan setapak yang hilang hingga badai energi yang tiba-tiba muncul. Namun, kelelahan mereka terbayar ketika lembah itu mulai tampak di hadapan mereka. Tersembunyi di balik deretan bukit, lembah tersebut dihiasi oleh bangunan-bangunan batu berlumut yang tampak seperti perpustakaan kuno. Aura tempat itu terasa damai, tetapi juga penuh dengan misteri. "Kita sampai," kata Mei Lian, matanya berbinar meski tubuhnya terlihat lelah. "Ini tempat yang disebutkan di gulungan, bukan?" Liang Feng mengangguk sambil menggenggam pedang di pinggangnya. "Ya. Tapi kita harus tetap waspada. Tempat ini mungkin menyimpan lebih dari sekadar jawaban." ---Mereka melangkah masuk ke dalam lembah, menemukan bahwa b