Di Lembah Awan Abadi, di balik deretan pegunungan yang diselimuti kabut tebal, ada sebuah dunia yang sunyi. Keheningan itu hanyalah pecah oleh gemerisik angin yang menggetarkan daun bambu, dan suara air sungai yang mengalir perlahan, memanjat bebatuan dan meluncur ke bawah seolah sedang menyanyikan lagu kehidupan yang tak pernah berhenti. Di tengah lembah yang terlindung ini, Liang Feng hidup dalam kesederhanaan. Pemuda itu telah lama mengenal kesejukan alam yang menjadi pelindung dan teman setianya.
Sejak kecil, Liang Feng dibesarkan oleh kakeknya yang bijaksana. Kakeknya, seorang mantan pendekar yang memutuskan untuk meninggalkan dunia persilatan, selalu mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada pedang atau tenaga dalam, melainkan pada kedamaian hati dan keharmonisan dengan alam. Dalam setiap langkahnya, Liang Feng selalu mengingat ajaran itu. Namun, hari itu, sesuatu yang tak terduga datang. Liang Feng sedang berjalan menyusuri tepi sungai, menikmati pemandangan alam yang damai, ketika tiba-tiba ia mendengar sesuatu yang berbeda. Suara gemuruh dari air terjun yang besar terdengar seperti sebuah panggilan. Tanpa pikir panjang, ia mengikuti suara itu. Ketika sampai di tempat yang lebih dekat, ia menemukan sebuah air terjun yang tersembunyi, dikelilingi oleh hutan lebat yang jarang dijamah oleh manusia. Di balik air terjun yang deras, Liang Feng melihat sesuatu yang aneh. Sebuah celah kecil di bebatuan, hampir tak terlihat oleh mata manusia biasa. Dengan rasa penasaran, ia mendekat, merasakan udara dingin yang keluar dari celah itu. “Apakah ini?” Liang Feng bergumam dalam hati. Ia merasakan semacam dorongan yang kuat, seakan alam itu sendiri memanggilnya untuk masuk. Tanpa ragu, Liang Feng melangkah ke dalam celah itu. Langkah demi langkah, ia menyusuri jalan sempit yang penuh dengan lumut. Kegelapan mengelilinginya, tetapi ia terus maju. Setelah beberapa saat, ia tiba di sebuah ruang besar yang diterangi oleh cahaya rembulan yang menembus celah-celah batu di atasnya. Di tengah ruangan itu, terletak sebuah meja batu yang dikelilingi oleh bayang-bayang misterius. Di atas meja itu, tergeletak sebuah gulungan kuno yang tampaknya sudah sangat tua. Gulungan itu memancarkan aura dingin yang membuat Liang Feng merinding. Tanpa sengaja, ia mengangkatnya, dan seolah dunia terhenti sejenak. Dengan hati-hati, ia membuka gulungan itu. Tertulis di sana, dalam aksara kuno yang jarang ditemui: "Jejak Pedang di Langit: Kekuatan yang dapat memecah cakrawala dan mengguncang langit." Liang Feng terdiam. Kata-kata itu seakan menggetarkan jiwanya. Nama "Jejak Pedang di Langit" adalah legenda yang hanya dikenal dalam cerita-cerita orang tua. Konon, pedang yang menguasai teknik ini memiliki kemampuan untuk mengubah takdir. Pedang itu, jika ditemukan oleh tangan yang tepat, bisa membelah langit dan memanggil badai. Namun, dalam hati Liang Feng, ada perasaan campur aduk. Ia tak pernah berniat untuk menjadi seorang pendekar besar, apalagi terlibat dalam konflik yang bisa menghancurkan kedamaian hidupnya. Tetapi sesuatu yang lebih besar sepertinya sedang menunggunya, menariknya ke dalam pusaran takdir yang tak bisa dihindari. Di luar gua, angin tiba-tiba berubah. Semacam gelombang energi yang tak tampak mengalir di udara, seolah alam mulai merespons penemuan itu. "Apakah ini yang seharusnya terjadi?" Liang Feng bertanya pada dirinya sendiri, suara hatinya berbisik penuh keraguan. Tiba-tiba, suara dari belakangnya terdengar, mengejutkannya. "Sepertinya kamu telah menemukan sesuatu yang tidak seharusnya kamu temui." Liang Feng berbalik cepat, menemukan seorang perempuan berdiri di ambang gua. Perempuan itu mengenakan pakaian tabib yang sederhana, namun aura yang terpancar dari dirinya sangat berbeda, seperti seseorang yang telah melihat dunia yang penuh dengan rahasia. "Siapa kamu?" Liang Feng bertanya dengan suara yang penuh ketegangan, pedang yang tergantung di punggungnya terasa semakin berat, meski ia tak berniat menghunusnya. Perempuan itu tersenyum tipis. "Aku Mei Lian. Dan kamu, pemuda, sepertinya baru saja mengungkap sebuah rahasia besar." Liang Feng menyipitkan matanya. "Apa maksudmu?" Mei Lian melangkah lebih dekat, matanya tajam menilai. "Aku tahu apa yang kamu temukan, Liang Feng. Gulungan itu bukanlah milik sembarang orang. Itu adalah bagian dari sebuah cerita yang sudah lama terlupakan—cerita tentang kekuatan yang bisa mengubah dunia." Liang Feng merasa ada sesuatu yang ganjil. "Kekuatan apa? Aku hanya seorang pemuda biasa, aku tidak mencari kekuatan apapun." "Tapi kekuatan itu sudah menemukanmu," jawab Mei Lian, suaranya tenang namun penuh makna. "Dan sekarang, dunia akan mencari kamu." Liang Feng menatap gulungan itu sekali lagi, perasaan bingung bercampur takut. "Apakah aku harus mengambilnya? Aku hanya ingin hidup tenang." Mei Lian menggelengkan kepala, wajahnya serius. "Kadang-kadang, kita tidak bisa memilih jalan kita. Jalan itu yang memilih kita." Hening sejenak. Liang Feng menggenggam gulungan itu lebih erat, merasa beban yang sangat besar sedang menantinya. Dunia yang selama ini tenang dan damai, tiba-tiba terasa begitu jauh. Sekarang, langkahnya terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang tak bisa dihindari, sesuatu yang lebih besar dari dirinya. "Apa yang harus aku lakukan?" tanya Liang Feng, matanya memandang ke luar gua, ke dunia yang penuh misteri dan bahaya. Mei Lian melangkah mendekat, menatapnya dengan tatapan penuh pemahaman. "Kamu akan menemui orang-orang yang akan mengubah hidupmu. Tapi ingatlah satu hal, Liang Feng—jalanmu tidak akan mudah. Banyak yang akan menginginkan gulungan itu, dan mereka tidak akan segan untuk mengorbankan apa saja untuk memilikinya." Liang Feng menarik napas dalam-dalam. "Aku tak ingin hidup dalam kekerasan. Aku hanya ingin kedamaian." "Kadang kedamaian hanya ditemukan setelah badai besar," jawab Mei Lian, suaranya rendah namun penuh makna. "Namun, itu adalah pilihan yang hanya bisa kamu buat." bersambungPagi itu, Liang Feng tidak bisa tidur nyenyak. Gulungan kuno yang kini ada di tangannya terus berputar dalam pikirannya. Setiap huruf yang tercatat di sana, seperti berbisik memanggilnya, membawa serta jejak takdir yang lebih besar dari yang bisa ia pahami. Dunia yang selama ini ia kenal terasa berbeda—lebih luas, lebih membebani. Namun, di sisi lain, ada sebuah panggilan yang tidak bisa ia hindari, seperti angin yang membawa aroma laut dari kejauhan. Mei Lian, yang sudah menunggu di luar gua, tampak tenang, seolah tidak terpengaruh oleh perubahan besar yang baru saja terjadi. Wajahnya yang lembut tidak menunjukkan kekhawatiran, sebaliknya, ada ketegasan dalam langkahnya yang melangkah mantap menuju Liang Feng. "Jadi, kamu sudah memutuskan?" tanya Mei Lian, suaranya penuh dengan pertanyaan yang lebih dalam daripada sekadar keingintahuan biasa. Liang Feng mengangguk perlahan, meskipun hatinya ragu. "Aku merasa seperti aku telah masuk ke dalam pusaran yang lebih besar daripada yang
Langit di atas pegunungan semakin kelabu. Kabut yang menyelimuti lembah terasa lebih tebal, seperti sebuah tirai yang memisahkan dunia Liang Feng yang lama dengan takdir baru yang menantinya. Liang Feng dan Mei Lian terus berjalan di jalur berbatu, diapit oleh tebing-tebing yang menjulang. Tidak ada suara selain angin yang mendesing dan sesekali gemerisik dedaunan kering yang terbawa langkah mereka. "Kita akan sampai di Desa Qing," kata Mei Lian, memecah keheningan. "Di sana, kita bisa beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan." Liang Feng mengangguk tanpa banyak bicara. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya. Setiap langkah terasa seperti membawa beban yang tak kasat mata. Bayangan Langit, gulungan kuno, dan takdir yang tidak pernah ia pilih—semua itu berputar di benaknya, meninggalkan jejak yang sulit untuk dihapus. Namun, langkah mereka berhenti tiba-tiba ketika Mei Lian mengangkat tangannya, memberi isyarat. "Tunggu," bisiknya pelan, matanya menatap tajam ke arah kab
Desa Qing, meskipun tampak sunyi dan damai, menyimpan sesuatu yang ganjil. Liang Feng merasa itu sejak pertama kali ia menapakkan kaki di jalanan sempitnya. Penduduk desa berbicara dengan suara pelan, seolah-olah takut akan sesuatu yang tak terlihat. Cahaya lentera yang berayun di depan rumah-rumah kayu memancarkan kesan menenangkan, namun bayangan yang terbentuk di tanah terasa aneh, hampir seperti hidup. Di dalam rumah pria tua bernama Tuan Zhao, Liang Feng dan Mei Lian duduk di atas tikar jerami. Tuan rumah mereka tengah menuangkan teh hangat ke dalam cangkir tanah liat yang kasar. "Kalian membawa sesuatu yang besar," kata Tuan Zhao sambil menyerahkan cangkir itu pada Liang Feng. "Aku bisa melihatnya dari matamu, anak muda. Beban itu bukan milikmu saja." Liang Feng menatap pria tua itu, merasa ada kebijaksanaan yang mendalam di balik keriput wajahnya. "Gulungan ini..." Liang Feng mengeluarkan gulungan kuno itu dari tasnya, meletakkannya di atas meja dengan hati-hati. "Apa
Angin dingin menyapu desa yang terbakar, membawa aroma asap dan darah. Liang Feng berdiri di tengah kobaran api kecil, berhadapan dengan pria berjubah hitam yang memancarkan aura dingin seperti kematian. Tatapan pria itu penuh dengan penghinaan, sementara Liang Feng, meski gemetar, menatapnya dengan tekad yang mulai terbentuk. Gulungan di tasnya semakin bersinar, memancarkan cahaya keperakan yang lembut namun menusuk. Liang Feng bisa merasakan kekuatan yang mengalir dari gulungan itu—bukan sekadar kekuatan fisik, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang beresonansi dengan jiwanya. “Jadi ini kekuatan yang kau warisi dari gulungan itu,” kata pria berjubah hitam dengan nada penuh ejekan. “Tapi itu tidak cukup. Bahkan para pendekar terhebat di masa lalu pun tidak mampu menguasai sepenuhnya Jejak Pedang di Langit.” Liang Feng tidak menjawab. Ia tahu bahwa kata-kata tidak akan menghentikan pria ini. Dengan napas dalam, ia menggenggam pedangnya lebih erat, memusatkan
Gunung Yinfeng berdiri megah, puncaknya terselubung awan putih yang bergerak perlahan. Liang Feng dan Mei Lian berdiri di kaki gunung, memandang jalur berbatu yang menanjak dengan curam. Hawa dingin menyelimuti mereka, dan suara serangga malam bercampur dengan gemerisik dedaunan yang ditiup angin. "Tempat ini... terasa berbeda," Mei Lian berbisik. Liang Feng mengangguk. Ia juga merasakannya. Ada sesuatu yang mengintimidasi di gunung ini, seolah-olah setiap langkah mereka diawasi oleh mata tak terlihat. "Gunung Yinfeng adalah tempat yang dilindungi oleh kekuatan kuno," kata Liang Feng perlahan. "Tuan Zhao menyebutnya sebagai tempat di mana kebenaran gulungan ini tersembunyi. Tapi dia tidak pernah mengatakan apa yang akan kita hadapi." "Kita tidak punya pilihan lain," balas Mei Lian, menggenggam pisaunya dengan erat. "Kalau kita tidak maju, Bayangan Langit akan menemukan kita duluan." Mereka mulai mendaki. Jalur itu licin karena embun pagi, dan batu-batu tajam menjulang s
bawah langit yang kelam, Liang Feng dan Mei Lian melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak Gunung Yinfeng. Namun, perasaan ganjil yang tak terdefinisi menyelimuti setiap langkah mereka. Liang Feng menggenggam pedang barunya dengan erat. Pedang itu terasa seolah bernapas, berdenyut seperti jantung yang hidup. “Liang Feng,” Mei Lian memecah keheningan. “Pedang itu... apakah kau bisa merasakan sesuatu darinya?” Liang Feng mengangguk. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi pedang ini lebih dari sekadar senjata. Ia terasa... hidup, seolah-olah berbicara padaku.” “Kau yakin itu tidak membahayakanmu?” Mei Lian memandang pedang itu dengan curiga. “Kekuatan seperti ini selalu memiliki harga.” Sebelum Liang Feng sempat menjawab, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Bumi di bawah kaki mereka bergetar, membuat bebatuan di sepanjang jalan terjatuh ke jurang di bawah. Dari balik kabut, muncul sekelompok orang berpakaian serba hitam. Wajah mereka tertutup topeng menyeramka
Langit memerah, dan kabut tipis mulai memudar ketika Liang Feng dan Mei Lian melangkah mendekati puncak Gunung Yinfeng. Mereka telah melewati jurang berbatu, hutan lebat, dan kini berdiri di hadapan sebuah dataran luas yang diapit oleh tebing tinggi. Di tengah dataran itu, sebuah altar batu menjulang, dikelilingi oleh pilar-pilar tua yang dihiasi ukiran kuno. “Aku bisa merasakan kekuatan besar dari altar itu,” ujar Liang Feng dengan napas terengah. Pedang di tangannya terasa bergetar pelan, seperti mengakui keberadaan sesuatu yang luar biasa di depan mereka. Mei Lian mengamati sekeliling dengan waspada. “Apakah kita sendiri di sini? Rasanya... sepi, tapi anehnya menakutkan.” Liang Feng mengangguk. “Sepi bukan berarti aman. Kita harus tetap berhati-hati.” Mereka melangkah mendekati altar. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti ada gravitasi tak terlihat yang menahan tubuh mereka. Liang Feng bisa merasakan gulungan di ikat pinggangnya bergetar semakin kuat, dan pedangnya
Malam telah larut di Lembah Awan Abadi. Liang Feng berdiri di puncak bukit kecil, memandangi langit yang bertabur bintang. Angin malam meniup rambutnya, membawa aroma bambu dan tanah basah. Ia memikirkan semua yang terjadi, mulai dari pertemuannya dengan gulungan kuno, pertarungan melawan bayangannya sendiri, hingga janji yang diucapkannya kepada Mei Lian. Di kejauhan, suara aliran sungai terdengar menenangkan, tetapi di hatinya ada kegelisahan yang sulit ia pahami. Pedang di sisinya bergetar pelan, hampir seperti berusaha memperingatkannya tentang sesuatu. “Liang Feng.” Suara Mei Lian memecah keheningan. Ia muncul dari balik pepohonan, membawa lentera kecil yang memancarkan cahaya temaram. Wajahnya tampak letih, tetapi matanya memancarkan kepedulian. “Kau belum tidur?” tanyanya lembut. Liang Feng menggeleng. “Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Semakin dekat aku dengan kekuatan Jejak Pedang di Langit, semakin besar beban yang aku rasakan. Aku takut hal ini akan membawa
Fajar menyingsing perlahan, menyapu gurun dengan cahaya keemasan yang indah namun dingin. Liang Feng, Mei Lian, dan Lian Xue bersiap melanjutkan perjalanan mereka. Mereka bertiga berdiri di tepi oasis kecil, memandang ke arah barat di mana siluet pegunungan mulai terlihat samar di kejauhan. "Istana Hujan Emas," Mei Lian bergumam, matanya memandang ke depan dengan tatapan tegas. "Kita hampir sampai." Lian Xue mengangguk, meskipun wajahnya menunjukkan kelelahan yang tak bisa disembunyikan. Luka-luka dari pertempuran malam sebelumnya masih terasa, tapi ia meneguhkan hati. "Aku hanya berharap kita tidak menghadapi lebih banyak kejutan di jalan." Liang Feng tersenyum tipis, menggenggam pedangnya dengan erat. "Kejutan sudah menjadi bagian dari perjalanan ini. Yang penting, kita tetap bersama." Ketiganya mulai berjalan, menembus pasir yang masih dingin setelah malam yang panjang. Suasana hening, hanya terdengar suara angin yang berbisik di telinga mereka. Liang Feng merasa bahwa
Pria bertopeng itu berdiri dengan angkuh di tengah badai pasir yang perlahan mereda. Langkahnya perlahan, tetapi setiap langkah mengguncang hati Liang Feng. Aura hitam pekat mengelilinginya, seperti kabut yang meresap hingga ke tulang. Liang Feng menggenggam pedangnya lebih erat, merasakan hawa dingin yang merambat dari ujung jari hingga ke dadanya. “Siapa kau?” tanya Liang Feng, suaranya bergetar sedikit meski ia berusaha terdengar tegas. Pria itu tidak menjawab segera. Sebaliknya, ia mengangkat tangannya, mengisyaratkan kepada anak buahnya untuk mundur. Para pria berjubah hitam itu menurut tanpa suara, meninggalkan lingkaran pasir yang kini hanya diisi oleh Liang Feng, Mei Lian, Lian Xue, dan pria bertopeng itu. “Aku adalah penjaga bayangan,” jawab pria itu akhirnya, suaranya berat dan menggetarkan udara. “Namaku tak penting. Yang perlu kau tahu, aku adalah ujung tombak Bayangan Langit. Dan kau, bocah, hanyalah duri kecil yang perlu dicabut sebelum aku mengambil apa yang se
Setelah pertempuran sengit di gurun, Liang Feng dan Mei Lian melanjutkan perjalanan mereka ke arah barat, menuju Istana Hujan Emas yang legendaris. Meski mereka telah menang melawan kelompok Bayangan Langit, perasaan cemas tidak dapat sepenuhnya hilang. Ancaman dari mereka yang menginginkan Jejak Pedang di Langit masih bersembunyi di balik bayang-bayang, menunggu saat yang tepat untuk kembali menyerang.Malam itu, mereka berdua beristirahat di sebuah oasis kecil yang ditemukan di tengah gurun. Air yang jernih memantulkan cahaya bintang, sementara semilir angin gurun membawa kesejukan yang sangat dibutuhkan setelah perjalanan yang melelahkan. Liang Feng duduk di tepi oasis, memandang langit yang luas, berusaha menenangkan pikirannya."Liang Feng," kata Mei Lian, duduk di sampingnya, suaranya lembut. "Apa yang akan kita lakukan setelah menemukan Jejak Pedang di Langit? Apa yang akan terjadi jika kita berhasil menguasainya?"Liang Feng menghela napas, pandangannya terfokus pada kilau air
Gurun yang luas dan gersang menjadi saksi dari pertarungan yang semakin intens. Angin panas berputar di sekitar mereka, membawa debu dan pasir, tetapi Liang Feng dan Mei Lian berdiri tegak, siap menghadapi ancaman yang datang. Tujuh pria berjubah hitam mengelilingi mereka, mata mereka penuh dengan kebencian. Liang Feng merasakan tekanan yang semakin berat di udara, seperti ada sesuatu yang menghalangi setiap gerakan mereka. "Siapa kalian?" Liang Feng bertanya dengan suara tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. Pria yang tampak paling tua di antara mereka tersenyum dingin. "Kami adalah utusan dari Bayangan Langit, yang mengirimkan kami untuk memastikan gulungan Jejak Pedang di Langit tidak jatuh ke tangan yang salah. Dan kalian, anak muda, telah menjadi hambatan besar dalam misi kami." Mei Lian memegang pisaunya lebih erat, menatap para musuh dengan waspada. "Apa yang kalian inginkan dari kami? Jika kalian berniat merebut gulungan itu, kalian akan tahu bahwa itu tidak akan
Pagi di Lembah Awan Abadi selalu memancarkan kedamaian. Kabut tipis melayang di atas aliran sungai yang jernih, dan angin membawa wangi bunga liar. Tapi pagi ini terasa berbeda. Liang Feng dan Mei Lian berdiri di pintu masuk lembah, membawa perlengkapan sederhana yaitu pedang, gulungan kuno, dan hati yang dipenuhi tekad. "Setelah kita pergi, kita mungkin tidak akan kembali ke sini," ujar Mei Lian, suaranya datar namun penuh perasaan. Ia memandang lembah yang telah menjadi rumah mereka sejak kecil, tempat yang menyimpan kenangan akan keluarga dan guru-guru mereka. Liang Feng mengangguk. "Aku tahu, tapi jika kita tetap di sini, lembah ini akan menjadi sasaran mereka. Kita harus pergi untuk melindungi apa yang kita cintai." Mei Lian menggenggam pisaunya lebih erat. "Kalau begitu, mari kita pergi. Ke dunia luar!" Dengan langkah mantap, mereka meninggalkan Lembah Awan Abadi, memulai perjalanan yang akan membawa mereka ke tempat-tempat yang belum pernah mereka lihat dan menghadapi bahay
Malam telah larut di Lembah Awan Abadi. Liang Feng berdiri di puncak bukit kecil, memandangi langit yang bertabur bintang. Angin malam meniup rambutnya, membawa aroma bambu dan tanah basah. Ia memikirkan semua yang terjadi, mulai dari pertemuannya dengan gulungan kuno, pertarungan melawan bayangannya sendiri, hingga janji yang diucapkannya kepada Mei Lian. Di kejauhan, suara aliran sungai terdengar menenangkan, tetapi di hatinya ada kegelisahan yang sulit ia pahami. Pedang di sisinya bergetar pelan, hampir seperti berusaha memperingatkannya tentang sesuatu. “Liang Feng.” Suara Mei Lian memecah keheningan. Ia muncul dari balik pepohonan, membawa lentera kecil yang memancarkan cahaya temaram. Wajahnya tampak letih, tetapi matanya memancarkan kepedulian. “Kau belum tidur?” tanyanya lembut. Liang Feng menggeleng. “Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Semakin dekat aku dengan kekuatan Jejak Pedang di Langit, semakin besar beban yang aku rasakan. Aku takut hal ini akan membawa
Langit memerah, dan kabut tipis mulai memudar ketika Liang Feng dan Mei Lian melangkah mendekati puncak Gunung Yinfeng. Mereka telah melewati jurang berbatu, hutan lebat, dan kini berdiri di hadapan sebuah dataran luas yang diapit oleh tebing tinggi. Di tengah dataran itu, sebuah altar batu menjulang, dikelilingi oleh pilar-pilar tua yang dihiasi ukiran kuno. “Aku bisa merasakan kekuatan besar dari altar itu,” ujar Liang Feng dengan napas terengah. Pedang di tangannya terasa bergetar pelan, seperti mengakui keberadaan sesuatu yang luar biasa di depan mereka. Mei Lian mengamati sekeliling dengan waspada. “Apakah kita sendiri di sini? Rasanya... sepi, tapi anehnya menakutkan.” Liang Feng mengangguk. “Sepi bukan berarti aman. Kita harus tetap berhati-hati.” Mereka melangkah mendekati altar. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti ada gravitasi tak terlihat yang menahan tubuh mereka. Liang Feng bisa merasakan gulungan di ikat pinggangnya bergetar semakin kuat, dan pedangnya
bawah langit yang kelam, Liang Feng dan Mei Lian melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak Gunung Yinfeng. Namun, perasaan ganjil yang tak terdefinisi menyelimuti setiap langkah mereka. Liang Feng menggenggam pedang barunya dengan erat. Pedang itu terasa seolah bernapas, berdenyut seperti jantung yang hidup. “Liang Feng,” Mei Lian memecah keheningan. “Pedang itu... apakah kau bisa merasakan sesuatu darinya?” Liang Feng mengangguk. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi pedang ini lebih dari sekadar senjata. Ia terasa... hidup, seolah-olah berbicara padaku.” “Kau yakin itu tidak membahayakanmu?” Mei Lian memandang pedang itu dengan curiga. “Kekuatan seperti ini selalu memiliki harga.” Sebelum Liang Feng sempat menjawab, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Bumi di bawah kaki mereka bergetar, membuat bebatuan di sepanjang jalan terjatuh ke jurang di bawah. Dari balik kabut, muncul sekelompok orang berpakaian serba hitam. Wajah mereka tertutup topeng menyeramka
Gunung Yinfeng berdiri megah, puncaknya terselubung awan putih yang bergerak perlahan. Liang Feng dan Mei Lian berdiri di kaki gunung, memandang jalur berbatu yang menanjak dengan curam. Hawa dingin menyelimuti mereka, dan suara serangga malam bercampur dengan gemerisik dedaunan yang ditiup angin. "Tempat ini... terasa berbeda," Mei Lian berbisik. Liang Feng mengangguk. Ia juga merasakannya. Ada sesuatu yang mengintimidasi di gunung ini, seolah-olah setiap langkah mereka diawasi oleh mata tak terlihat. "Gunung Yinfeng adalah tempat yang dilindungi oleh kekuatan kuno," kata Liang Feng perlahan. "Tuan Zhao menyebutnya sebagai tempat di mana kebenaran gulungan ini tersembunyi. Tapi dia tidak pernah mengatakan apa yang akan kita hadapi." "Kita tidak punya pilihan lain," balas Mei Lian, menggenggam pisaunya dengan erat. "Kalau kita tidak maju, Bayangan Langit akan menemukan kita duluan." Mereka mulai mendaki. Jalur itu licin karena embun pagi, dan batu-batu tajam menjulang s