Home / Fiksi Remaja / Jejak Maya / Part 7 : Impressed

Share

Part 7 : Impressed

last update Last Updated: 2021-08-24 09:55:42

••

Aku pikir, malam itu bakal menerima wejangan panjang dari ibu perihal kemunculan Reygan yang tiba-tiba. Ibuku orangnya lumayan sensitif untuk urusan cowok. Apalagi cowok yang coba mendekati anak gadisnya ini. Dia tipe emak-emak rempong yang bawel. Sedikit saja ada teman cowokku bertingkah kurang pas, aku yang ditegur. Ditegurnya enggak tanggung-tanggung. Biasanya langsung dilarang berteman.

Ternyata aku salah sangka. Reaksi ibu berbeda dari biasanya. Tak ada pembahasan tentang Reygan, seakan tidak terjadi apa-apa. Semua berjalan normal seperti biasa.

What's wrong with my mom?

Padahal, waktu awal-awal Hendra mendekatiku, dan nenek serta saudara-saudaranya berusaha mengakrabkan kami, ibu sempat murka. Aku masih kelas 3 SMP, harus fokus pada pelajaran sekolah, tidak boleh membagi pikiran dengan hal-hal tidak penting lain. Itu alasannya.

Almarhumah nenek orangnya keras dan galak. Aku pernah ditampar menggunakan sandal jepit hanya gara-gara menemani kakak sepupuku menemui cowok yang dia suka. Sampai-sampai kawanku tuh segan mau main ke rumah. Nah, ibuku jauh lebih saklek dari itu. Hanya saja, enggak pernah pakai kekerasan. Paling diceramahi panjang lebar, dikasih contoh cerita-cerita sinetron.

Aku saja yang bandel. Meski sudah dilarang, tetap nekat backstreet. Hingga saat kenal Reygan cs itu, ibu belum mengetahui perihal hubunganku dengan Hendra. Bahkan ketika Hendra datang ke rumah sebagai orang yang sedang mengunjungi kekasih LDR-nya pun, ibu enggak ngeh apa tujuan tuh cowok. Dikiranya ke Madiun hanya untuk mengantar bibinya daftar jadi TKW.

Andai tahu, entah jadi apa aku? Mungkin sudah dipenyet-penyet kayak ayam geprek, kali. Enggak sengaja menemukan surat cinta di tas sekolah saja udah kayak orang kerasukan. Padahal, di surat tersebut jelas-jelas pengirim menanyakan, kenapa aku cuek betul padanya? Kenapa surat-suratnya yang terdahulu enggak pernah dibalas? Harusnya sudah terlihat bukan, bahwa aku tidak merespons? Masih saja pidato panjang lebar.

Makanya, aku lega bukan kepalang ketika malam itu ibu no respons dan no comment akan kehadiran Reygan. Bagiku, sikap diamnya merupakan sinyal positif. Rupanya tak semudah itu, Ferguso!

Usai aku menunaikan salat isya, ibu sudah menunggu di tepi tempat tidur. Dengan santai aku banting badan ke kasur, menyusun bantal dan guling sedemikian rupa. Aku tidak bisa tidur jika tak ada guling dalam dekapan. Keberadaan ibu tak kuacuhkan sama sekali.

Hingga—

"Tadi itu teman baru yang kamu ceritakan kemarin ya, May?"

Aku menghentikan kesibukan, lalu beralih menatap wanita berwajah kalem di hadapanku. Pelan, kuanggukkan kepala.

"Sepertinya dia bukan anak orang biasa."

“Maksud ibu? Dia anak gaib, gitu?”

Ibu terkekeh lirih. “Orang tuanya pasti bukan orang sepele. Penampilan dia enggak seperti kebanyakan anak sini.”

"Iya, bapaknya jaksa."

“Jaksa!?” Ibu berseru, tampak sangat kaget. "Dia suka sama kamu?"

"Hah? Enggak, kok! Enggak!"

"Kamu suka sama dia?"

"Walah! Apalagi! Enggak, sama sekali!" Aku menggeleng panik. Pertanyaan ibu sangat menohok, tanpa tedeng aling-aling. Hadeeeh.

"Ibu lihat dia anaknya sopan. Kelihatannya baik, tapi kamu harus hati-hati." Ibu melanjutkan 'kultum'-nya, tanpa peduli pada sanggahan yang aku sampaikan. "Kita ini orang enggak punya, May. Ibu enggak mau kamu diremehkan. Apalagi dia anak pejabat."

Jujur, nasehat ibu lumayan mengganggu pikiran. Ada dua poin penting yang dapat aku tarik benang merahnya, yakni anak orang tak punya dan diremehkan. Dari situ, aku mengambil sebuah kesimpulan bahwasanya orang biasa—macam aku gini, jangan coba-coba bermimpi ketinggian untuk mendapatkan orang dengan level hidup yang jauh di atas. 

••

Keesokan hari, di Minggu pagi yang cerah, matahari tampak naik sepenggalah. Aku sedang menjemur cucian di halaman belakang saat terdengar suara gembok beradu dengan besi.

Sepertinya ada tamu. Tergopoh-gopoh aku berlari ke depan. Kupikir ada keluarga TKW dari luar kota, soalnya tumben hari Minggu ada orang datang. Kantor, kan tutup. Bapak pun tak di rumah. Sejak mengantar ibu tadi pagi, belum ada kembali.

Sebelum membuka pintu, kusempatkan untuk mengintip suasana luar melalui gorden jendela yang sedikit kusibak. Tampak seorang anak muda menyandang gitar, berdiri di depan pintu pagar. Mukanya ditutup topi yang bagian depan dibikin lebih rendah dari standar pemakaian, sehingga wajahnya tak terlihat. Dari tempatku mengintip, aku dapat melihat orang itu mengenakan kaos lengan panjang warna abu-abu tua, dan celana jeans belel yang robek di bagian lutut. Alih-alih terlihat lusuh, dia justru tampak keren meski kakinya beralaskan sandal swallow.

Jidatku mengeriting seketika. Ngapain orang ngamen nekat banget ketok-ketok pagar? Biasanya rumah yang tertutup begitu kan dilewati saja.

Belum sempat otakku mencerna hal yang barusan melintas dalam pikiran, orang di luar sana kembali membentur-benturkan gembok berbahan baja pada pagar. Kali ini lebih keras, disertai ucapan "Permisiii!"

Ah, Reygan! Aku hafal suaranya!

Dengan wajah berseri-seri, aku bergegas membuka pintu depan. Begitu melihat aku keluar, pemuda itu mengangkat topinya, dan menyunggingkan sebuah senyum semanis gulali.

"Permisi, Neng! Abang mau numpang ngamen!"

Aku terkekeh dan berjalan menuju pagar dengan segepok kunci dalam genggaman. "Maaf, Bang! Lewati saja," kelakarku seraya menunduk, memilih kunci yang cocok untuk gembok depan.

"Mau lewat, tapi enggak tau harus lewat mana!"

"Terserah Abang, deh, pengen lewat mana."

"Lewat hati Neng, boleh?"

“Ha-ha-ha ....” Tawa kami meledak, pas banget saat aku sudah mendapatkan kunci yang kucari. Buru-buru kubuka gembok dan pagar lebar-lebar.

"Kenapa tutup?" tanya Reygan kemudian sambil berjalan melewati pagar, lalu membantuku menutup kembali pagar tersebut.

"Apanya?" Aku menatapnya tak mengerti. "Eh, enggak usah dikunci, Mas. Paling bentar lagi bapak pulang," sergahku cepat ketika cowok itu hendak menancapkan kaitan gembok. Ia pun mengurungkan tindakannya.

"Kenapa pagarnya ditutup, sih?" Reygan mengulang pertanyaan yang belum aku jawab.

"Kan, hari Minggu."

"O ya?” Ekspresinya macam orang yang benar-benar tengah kaget. Bisa banget aktingnya. “Ini hari Minggu, ya?"

"Bukan!" jawabku sewot.

"Aku enggak kenal hari Minggu, siiih ...."

"Kenalnya?"

"Hari libur."

Tak kutanggapi lagi ucapannya.

••

Sepanjang hari Reygan menemaniku. Ia hanya pulang sebentar pada saat matahari tepat di atas kepala, untuk mengembalikan gitar dan menengok sang mama. Aku sempat ditawari untuk ikut, menemani dia jalan.

“Sekalian ketemu mama,” ujarnya.

Namun, aku menolak tawaran tersebut. “Kapan-kapan, lah. Sekarang, aku harus nungguin rumah, takut ada tamu. Bapak belum pulang,” dalihku.

Padahal, sebenarnya aku merasa aneh. Ya, aneh, untuk apa bertemu mamanya? Kami baru tiga hari kenal. Mungkin aku yang terlalu overthinking. Bisa jadi Reygan memang biasa mengenalkan kawan-kawannya kepada sang mama. Namun, bagiku itu bukan hal biasa. Kecuali ke sana rame-rame bersama teman lain, itu baru normal. Kalau hanya berdua? Untuk apa?

Selepas waktu zuhur, cowok itu kembali datang, dengan motor biru yang jadi ciri khasnya. Aku pun kaget saat dia kembali. Tadinya, aku pikir dia enggak akan balik. Untung aku nya belum berangkat tidur siang, masih asyik nulis cerpen yang akan diterbitkan di Mading sekolah keesokan harinya.

Berduaan dengan cowok lain pada hari di mana seyogianya kekasih yang menemani, menimbulkan sedikit rasa bersalah dalam hatiku. Segera kutepis itu semua dengan pembenaran, bahwa kami hanya sebatas teman, dan hubunganku dengan Hendra pun tidak jelas. Dalih untuk menutupi rasa berdosa, sebetulnya.

Kami ngobrol di sofa berhadapan yang dibatasi sebuah meja kaca. Lembaran tabloid ‘Gaul’—salah satu nama tabloid remaja tempo dulu—menutupi pangkuanku. Aku menemani cowok itu sembari membaca ulasan berita dan gosip artis, yang pada masa itu hanya bisa kita dapatkan melalui TV, koran, majalah atau tabloid. Belum ada sosial media.

Jangankan sosial media, handphone saja masih langka. Hanya orang dengan kondisi ekonomi menengah ke atas yang mampu membeli handphone. Tahun 2000, Krisis Moneter nyata-nyata baru saja menyapu Indonesia, bahkan sebagian besar negara di dunia.

Hebatnya, Reygan sudah memegang benda telekomunikasi tersebut. Anak SMA punya Hp, pada masa itu sudah paling top. Tipe handphone-nya pun yang terbaru. Mungkin ada yang ingat? Sony Ericcson T10, yang body-nya lipatan. Itu yang Reygan punya.

Aku juga baru tahu ketika benda dalam kantong celananya berbunyi. Benda yang kerap aku lihat dipegang oleh anak majikan ibu. Sebuah entitas yang masih asing dalam kehidupanku.

Reygan buru-buru melihat layar kecil yang menyala hijau kekuningan. Lantas tanpa mengucap apapun, dia beranjak dari tempatnya duduk dan berjalan keluar. Aku hanya diam, memandanginya tanpa tahu harus bersikap apa. Rasanya seakan kembali ditampar kenyataan bahwa kami memang jauh sekali tersekat oleh taraf ekonomi yang senjang. Benar kata ibuku.

Tak berapa lama kemudian, pemuda pemilik bahu selebar angkasa raya itu kembali masuk. Wajahnya berhias senyum, seperti biasa. Ia menatapku lekat sembari mengenyakkan pantat pada dudukan sofa berwarna hijau tua, properti kantor.

"Kenapa, Mas?" Aku bertanya datar. Maksud aku sebetulnya adalah menanyakan, kenapa memandangiku sedemikian rupa? Akan tetapi, dia salah menangkap arti pertanyaanku.

"Papaaa ... nanyain keadaan mama. Hari ini harusnya papa pulang. Ternyata ada sidang. Jadi, enggak bisa memenuhi janji sama mama."

"Terus gimana?"

"Namanya juga kerja. Harus profesional."

"Mama ngerti aja, ‘kan?"

"Siang tadi papa tuh udah SMS, ngabarin aku soalnya telepon rumah lagi rusak. Makanya aku sempatkan pulang, kasih tau mama. Khawatir dia ke pikiran."

"Jadi?"

"Mama oke."

"Syukurlah." Aku menghela napas lega. Entah kenapa, ikut lega mendengar dia berkata demikian. "Terus ini di rumah sama siapa? Kok, malah ditinggal ke sini?"

"Ada bulek yang jagain," pungkas Reygan kemudian, kembali mengulaskan sebuah senyum. "Lagi pula dekat aja. Bisa, lah tengok-tengok sebentar."

Aku menatapnya takjub. Bibit-bibit kekaguman mulai tumbuh menghuni relung hati. Jarang ada anak lelaki seusia Reygan yang begitu peduli dan penuh tanggung jawab terhadap orang tuanya.

Umumnya, anak seusia dia itu asyik dengan dunianya sendiri, asyik memikirkan dirinya sendiri, dan kebanyakan menjauh dari lingkungan keluarga. Jangankan mau diribetin dengan keadaan mamanya yang menderita gangguan mental, cuci baju sendiri saja tidak mau. Apalagi anak orang kaya.

📎

"Reygan itu anaknya baik banget, Bu," ucapku mengawali sesi curhat di atas becak. Kami tengah dalam perjalanan pulang dari tempat kerja ibu. Rutinitas favoritku.

"Kayaknya memang baik," sahut ibu tanpa antusias sama sekali.

"Dia tuh tanggung jawab banget sama mamanya."

"Ya iya lah, mamanya," tukas ibu mulai kumat menyebalkan. "Memangnya tanggung jawab kenapa?"

"Mama dia sakit. Kasihan anak itu."

"Sakit apa?" Ibu mulai melunak.

"Depresi."

"Apa itu?"

"Stres yang parah, sampai mau bunuh diri, gitu."

"Itu namanya gila." Bapak menyela kata-kataku dengan komentar yang kurang sopan. Spontan aku menengok ke belakang dan melotot tajam pada orang tua lelakiku tersebut.

"Kamu itu loh, Pak!" Ibu membelaku. "Biar stres-stres juga, istrinya pejabat itu."

Aku ngakak. "Iya, bener, bener! Ibu juarak."

"Ibunya stres kenapa?"

"Gara-gara anak perempuannya meninggal dalam kecelakaan."

"Astagfirullah!"

"Kasihan, ya, Bu?"

"Iya. Itulah makanya kita harus bersyukur, Nduk. Hidup itu sawang-sinawang. Mereka tidak kekurangan harta, tapi diuji dengan cara lain."

"Iya."

"Kamu pacaran, ya, sama dia?" Ibu senyum-senyum usil. "Kata bapak, tadi seharian dia ke rumah."

"Ha-ha-ha.” Tawaku sumbang. “Mana ada? Teman aja, Bu. Dia loh sudah anggap Maya kayak adiknya sendiri."

"Adik ketemu gede!" Lagi-lagi bapak nimbrung.

"Ih, Bapak!" pekikku lirih. "Apaan sih? Su’uzon!"

Bapak tertawa lirih.

“Kami, loh ... kenal belum ada seminggu. Pacaran dari mana? Kilat betul!”

"Terus? Ngapain aja seharian?" Ibu melontarkan satu pertanyaan konyol yang menyebalkan.

"Enggak seharian juga kali, Bu. Bapak tuh lebay. Reygan bentar-bentar pulang. Kan, harus nengokin mamanya."

"Parah, ya? Stres-nya."

"Enggak, sih. Katanya. Maya juga enggak tau."

"Kok sebentar-sebentar ditengok, ngapain?"

"Mamanya tuh enggak boleh dibikin khawatir. Sementara kalau Reygan pergi agak lama dikit, dia tuh khawatir banget. Kayak trauma gitu, dengan kejadian anak perempuannya dulu."

"Oooh," pungkas ibu kemudian.

Aku melirik orang yang melahirkanku tersebut. Sepertinya ada sesuatu yang berubah. Biasanya paling tidak suka kalau aku cerita tentang cowok secara berlebihan. Saat itu terlihat lebih santai.

Ah, mungkin karena sudah pernah bertemu Reygan dan melihat Reygan memang betul-betul tipikal good boy. Eh, Hendra kurang sopan apa, pas di depan ibu? Nyatanya, restu tak kunjung keluar juga.

Sudah setahun lebih loh, kami dekat. Tiap kali aku bercerita tentang Hendra—sedikiiiit saja, ibu pasti langsung melengos dengan wajah enggan, lalu menghindar. Entah aku ditinggal pergikah, atau dia pura-pura sibuk dengan pekerjaan. Aku bisa membaca ada ketidaknyamanan di wajahnya waktu itu.

Hal itulah yang menjadi salah satu alasan, kenapa aku tidak sabar ingin mengakhiri saja LDR-an antara kami. Sepertinya bakalan sia-sia.

Bagiku, restu ibu sangat penting. Aku ingin dia bisa menerima seseorang yang aku sukai dengan ikhlas. Jika itu terjadi, aku janji tidak akan mempermainkan mereka lagi, tidak akan mendua di belakang, tidak akan menyakiti dan mencurangi mereka.

••

Related chapters

  • Jejak Maya   Part 8 : Reygan Dkk

    Sejak saat itu, kedekatanku dengan Reygan makin tak terbendung. Hampir setiap hari kami bertemu. Dia selalu menungguku pulang sekolah, kemudian mengekor pulang dan menghabiskan waktu untuk ngobrol sembari menemani aku menyiram tanaman di halaman.Yang menjadi topik pembahasan pun semakin melebar ke mana-mana. Bukan lagi sebatas kami dan keluarga masing-masing. Bahkan mulai merambah area persahabatan dan kehidupan di sekolah serta pergaulan lainnya.Pernah suatu saat, secara tersurat Reygan menanyakan padaku perihal kekasih. Ya, sebagaimana remaja tempo dulu, lah. Dia bertanya, apakah aku sudah memiliki pacar?Pertanyaan tersebut, sontak kujawab tanpa berpikir lebih panjang. "Enggak punya. Belum berani pacaran." Padahal, sudah ada Hendra.Kadang aku mikir, jahat banget jadi aku. Tidak berani mengakui hal yang sebenarny

    Last Updated : 2021-09-02
  • Jejak Maya   Part 9 : Peristiwa Demo Terminal Baru

    Rumahku serasa pasar dadakan. Ramai oleh riuh canda tawa Reygan dan teman-temannya. Itu pertama kali aku didatangi rombongan boygrup. Tentu saja sedikit syok. Biarpun memiliki banyak kawan lelaki, mereka biasa datang satu per satu. Paling banter dua orang. Bukan keroyokan begitu.Mana anaknya pada hiperaktif. Apalagi Ronald, yang tidak pernah mau diam. Dia itu tipikal cowok pecicilan, ganteng tapi bobrok. Adaaa aja ulahnya yang bikin kami ngakak. Tentu saja kami yang dimaksud di sini adalah kecuali Devan.Devan tak peduli akan semua kehebohan sekitarnya. Baginya, tak ada yang lebih penting untuk diutak-atik selain tamagotchi. Mungkin binatang piaraan virtual dalam benda mungil tersebut, baginya jauh lebih menarik dibanding sahabat-sahabatnya.Ah, entah lah!Reygan yang beberapa hari sebelumnya sengaja meninggalkan gitar di rumahku,

    Last Updated : 2021-09-02
  • Jejak Maya   Part 1 : Siapa dia?

    September, 2000. "Srindit, kiri! Kiri!" seru kondektur seraya memukul kaca pada badan bus menggunakan uang koin. Aku yang hendak turun, berdiri di ambang pintu—dekat kondektur, menunggu sopir mengerem kendaraan dengan sempurna. "Ck, hujan," keluhku lirih. Sang kondektur rupanya membaca keresahanku. Memang hujan tengah turun deras. Madiun tampak muram di seluruh penjuru langit. Gelap pekat di mana-mana, hingga lampu kendaraan pun semua dinyalakan. Padahal, waktu baru menunjuk pukul 4 sore. "Masuknya jauh?" Si kondektur menatapku lekat. Aku menggeleng sembari mengedarkan pandangan ke luar bus. “Enggak bawa payung?" "Masa sekolah bawa payung!" "Sedia payung sebelum hujan." Kelakar si kondektur hanya kutanggapi dengan tawa kecil. Di waktu bersamaan, bus

    Last Updated : 2021-08-19
  • Jejak Maya   Part 2 : Hujan Terindah

    Aku tak habis pikir, bagaimana ceritanya si Raga bisa tahu namaku? Lebih heran lagi, dia menyebutkan nama lengkapku, selengkap-lengkapnya. Tentu saja otakku diliputi berbagai tanda tanya. Dia itu sebenarnya siapa? Dari mana tahu nama lengkapku? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar mengelilingi kepala. Di satu sisi, aku dibuat bingung oleh sosok Raga, yang kalau bicara logatnya kesunda-sundaan. Sempat deg-degan, dong ... karena Hendra juga memiliki logat bicara seperti itu. Jangan-jangan dia ada hubungan dengan Hendra, atau kenal aku dari Hendra. Make sense, kan? Di sisi lain, akhirnya aku berhasil tahu siapa nama cowok pembawa bola. Raga mengenalkan semua temannya. Mereka dipanggil untuk mendekat, dan semua patuh. Entah lah, apa jabatan tuh cowok dalam gank tersebut? Mungkin dia kapten; jendral; ketua; pimpinan. Soalnya, aku perhatikan setiap ucapan dia selalu dituruti oleh mereka.

    Last Updated : 2021-08-19
  • Jejak Maya   Part 3 : Tentang Sebuah Nama

    Malamnya, aku bercerita kepada ibu tentang pertemuanku bersama lima anak lelaki yang aku sendiri belum tahu rumahnya mana. Terus terang, diajak berkenalan dengan cowok-cowok sekelas mereka, membuatku merasa sedikit spesial. Memang agak norak, tapi norak bukan berarti kuper. Waktu SMP, aku dikenal lumayan supel, meski memiliki sifat tomboi sekaligus bar-bar. Berkawan dengan cowok, bukan hal baru buatku. Sejak kecil hingga lulus SMP, pergaulanku didominasi oleh kaum Adam. Jika pada umumnya remaja putri aktif di sanggar tari, maka aku memilih untuk ikut pencak silat. Hingga penampilan pun menyerupai anak lelaki. Maka dari itulah, ibu menyuruhku masuk SMEA—SMK putri, supaya putri kesayangannya ini bisa lebih feminim. Itu juga harus melalui proses pemaksaan dulu, sebab aku ingin sekali masuk STM—SMK putra. "Jangan-jangan dia itu anaknya kenalan Ibu? Atau anak teman bapak? Enggak mungkin orang tiba-tiba tahu nama

    Last Updated : 2021-08-19
  • Jejak Maya   Part 4 : Reygan Sebenarnya

    Sore itu, pertemuanku dengan Reygan tak berlangsung lama. Setelah berhasil memastikan dari mana ia tahu namaku, aku bergegas pamit pulang. “Baru jam setengah lima,” cegahnya. Aku tak menanggapi ucapan itu, lantas melenggang pergi begitu saja sembari melambaikan tangan. Mulanya, pemuda tanggung tersebut mengejarku. Namun, langkahnya terhenti seketika saat aku bentak. “Mau apa lagi!?” “Enggak diajak mampir, gitu?” Sepasang mata innocent menatapku lekat. “Sudah sore!” “Atuh gimana? Memang kamu pulangnya sore.” “Au ah!” tukasku kesal, lalu meninggalkan dia begitu saja. Lagi-lagi cowok berperawakan tinggi tegap itu membuntutiku. Maka, beberapa langkah kemudian aku berhenti dan berbalik menghadapnya. “Kalau mau main, besok siang saja. Jumat, aku pulang lebih awal.” Tak kusangka, dia menyepakati

    Last Updated : 2021-08-19
  • Jejak Maya   Part 5 : Yang Tidak Terduga

    Kami melanjutkan perbincangan sembari menikmati segelas es gudir. Ada satu hal yang Reygan ceritakan, yang sempat membuatku ternganga tak percaya, lalu tertunduk jengah dengan wajah memerah. Yakni, saat dia menyebut profesi orang tuanya.“Papaku bekerja di kantor pelayanan publik.”Sampai di situ, aku terdiam. Mendengar kata ‘kantor’, aku sudah minder duluan. Ya, walaupun profesi orang yang bekerja di kantor itu macam-macam. Satpam, juga kerja di kantor. OB, juga kerja di kantor. Bahkan bapakku juga kerja di kantor. Kantor PJTKI. Akan tetapi, sepertinya itu hal berbeda.Aku tidak memiliki ekspektasi apa pun terhadap profesi orang tua Reygan. Waktu mendengar istilah pelayanan publik, kupikir bapaknya PNS. Ternyata, “papa seorang jaksa.”Gubrakkkkk!!!Sumpah! Rasanya pengen kututup ember nih muka. Saat itu juga, aku te

    Last Updated : 2021-08-19
  • Jejak Maya   Part 6 : Malam Minggu

    Sabtu sore yang cerah.Begitu turun dari bus, senyum Reygan menyambut. Lagi-lagi sendirian, nangkring di atas motor biru. Tubuhnya yang menjulang hampir dua meter, terbalut kaos flanel biru tua, dipadu celana seragam pramuka. Sepasang kakinya terbungkus sepatu converse hitam."Sendirian, Mas?" tanyaku basa-basi."Berdua.""Sama?" Aku celingukan, berharap manusia keduanya adalah Devan.Reygan tergelak. "Adek nyari siapa?""Katanya berdua?""Iya, berdua sama Adek."Spontan bibirku mengerucut. Tawa Reygan semakin riuh. Kayaknya puas banget lihat aku merengut."Yowes, aku pulang," pamitku seraya ngeloyor pergi."Lah, gitu aja ngambek!"Tanpa menghentikan langkah, aku menyahuti ucapannya. "Siapa yang ngambek?"Re

    Last Updated : 2021-08-21

Latest chapter

  • Jejak Maya   Part 9 : Peristiwa Demo Terminal Baru

    Rumahku serasa pasar dadakan. Ramai oleh riuh canda tawa Reygan dan teman-temannya. Itu pertama kali aku didatangi rombongan boygrup. Tentu saja sedikit syok. Biarpun memiliki banyak kawan lelaki, mereka biasa datang satu per satu. Paling banter dua orang. Bukan keroyokan begitu.Mana anaknya pada hiperaktif. Apalagi Ronald, yang tidak pernah mau diam. Dia itu tipikal cowok pecicilan, ganteng tapi bobrok. Adaaa aja ulahnya yang bikin kami ngakak. Tentu saja kami yang dimaksud di sini adalah kecuali Devan.Devan tak peduli akan semua kehebohan sekitarnya. Baginya, tak ada yang lebih penting untuk diutak-atik selain tamagotchi. Mungkin binatang piaraan virtual dalam benda mungil tersebut, baginya jauh lebih menarik dibanding sahabat-sahabatnya.Ah, entah lah!Reygan yang beberapa hari sebelumnya sengaja meninggalkan gitar di rumahku,

  • Jejak Maya   Part 8 : Reygan Dkk

    Sejak saat itu, kedekatanku dengan Reygan makin tak terbendung. Hampir setiap hari kami bertemu. Dia selalu menungguku pulang sekolah, kemudian mengekor pulang dan menghabiskan waktu untuk ngobrol sembari menemani aku menyiram tanaman di halaman.Yang menjadi topik pembahasan pun semakin melebar ke mana-mana. Bukan lagi sebatas kami dan keluarga masing-masing. Bahkan mulai merambah area persahabatan dan kehidupan di sekolah serta pergaulan lainnya.Pernah suatu saat, secara tersurat Reygan menanyakan padaku perihal kekasih. Ya, sebagaimana remaja tempo dulu, lah. Dia bertanya, apakah aku sudah memiliki pacar?Pertanyaan tersebut, sontak kujawab tanpa berpikir lebih panjang. "Enggak punya. Belum berani pacaran." Padahal, sudah ada Hendra.Kadang aku mikir, jahat banget jadi aku. Tidak berani mengakui hal yang sebenarny

  • Jejak Maya   Part 7 : Impressed

    •• Aku pikir, malam itu bakal menerima wejangan panjang dari ibu perihal kemunculan Reygan yang tiba-tiba. Ibuku orangnya lumayan sensitif untuk urusan cowok. Apalagi cowok yang coba mendekati anak gadisnya ini. Dia tipe emak-emak rempong yang bawel. Sedikit saja ada teman cowokku bertingkah kurang pas, aku yang ditegur. Ditegurnya enggak tanggung-tanggung. Biasanya langsung dilarang berteman. Ternyata aku salah sangka. Reaksi ibu berbeda dari biasanya. Tak ada pembahasan tentang Reygan, seakan tidak terjadi apa-apa. Semua berjalan normal seperti biasa. What's wrong with my mom? Padahal, waktu awal-awal Hendra mendekatiku, dan nenek serta saudara-saudaranya berusaha mengakrabkan kami, ibu sempat murka. Aku masih kelas 3 SMP, harus fokus pada pelajaran sekolah, tidak boleh membagi pikiran dengan hal-hal tidak penting lain. Itu alasannya. Almarhumah nenek o

  • Jejak Maya   Part 6 : Malam Minggu

    Sabtu sore yang cerah.Begitu turun dari bus, senyum Reygan menyambut. Lagi-lagi sendirian, nangkring di atas motor biru. Tubuhnya yang menjulang hampir dua meter, terbalut kaos flanel biru tua, dipadu celana seragam pramuka. Sepasang kakinya terbungkus sepatu converse hitam."Sendirian, Mas?" tanyaku basa-basi."Berdua.""Sama?" Aku celingukan, berharap manusia keduanya adalah Devan.Reygan tergelak. "Adek nyari siapa?""Katanya berdua?""Iya, berdua sama Adek."Spontan bibirku mengerucut. Tawa Reygan semakin riuh. Kayaknya puas banget lihat aku merengut."Yowes, aku pulang," pamitku seraya ngeloyor pergi."Lah, gitu aja ngambek!"Tanpa menghentikan langkah, aku menyahuti ucapannya. "Siapa yang ngambek?"Re

  • Jejak Maya   Part 5 : Yang Tidak Terduga

    Kami melanjutkan perbincangan sembari menikmati segelas es gudir. Ada satu hal yang Reygan ceritakan, yang sempat membuatku ternganga tak percaya, lalu tertunduk jengah dengan wajah memerah. Yakni, saat dia menyebut profesi orang tuanya.“Papaku bekerja di kantor pelayanan publik.”Sampai di situ, aku terdiam. Mendengar kata ‘kantor’, aku sudah minder duluan. Ya, walaupun profesi orang yang bekerja di kantor itu macam-macam. Satpam, juga kerja di kantor. OB, juga kerja di kantor. Bahkan bapakku juga kerja di kantor. Kantor PJTKI. Akan tetapi, sepertinya itu hal berbeda.Aku tidak memiliki ekspektasi apa pun terhadap profesi orang tua Reygan. Waktu mendengar istilah pelayanan publik, kupikir bapaknya PNS. Ternyata, “papa seorang jaksa.”Gubrakkkkk!!!Sumpah! Rasanya pengen kututup ember nih muka. Saat itu juga, aku te

  • Jejak Maya   Part 4 : Reygan Sebenarnya

    Sore itu, pertemuanku dengan Reygan tak berlangsung lama. Setelah berhasil memastikan dari mana ia tahu namaku, aku bergegas pamit pulang. “Baru jam setengah lima,” cegahnya. Aku tak menanggapi ucapan itu, lantas melenggang pergi begitu saja sembari melambaikan tangan. Mulanya, pemuda tanggung tersebut mengejarku. Namun, langkahnya terhenti seketika saat aku bentak. “Mau apa lagi!?” “Enggak diajak mampir, gitu?” Sepasang mata innocent menatapku lekat. “Sudah sore!” “Atuh gimana? Memang kamu pulangnya sore.” “Au ah!” tukasku kesal, lalu meninggalkan dia begitu saja. Lagi-lagi cowok berperawakan tinggi tegap itu membuntutiku. Maka, beberapa langkah kemudian aku berhenti dan berbalik menghadapnya. “Kalau mau main, besok siang saja. Jumat, aku pulang lebih awal.” Tak kusangka, dia menyepakati

  • Jejak Maya   Part 3 : Tentang Sebuah Nama

    Malamnya, aku bercerita kepada ibu tentang pertemuanku bersama lima anak lelaki yang aku sendiri belum tahu rumahnya mana. Terus terang, diajak berkenalan dengan cowok-cowok sekelas mereka, membuatku merasa sedikit spesial. Memang agak norak, tapi norak bukan berarti kuper. Waktu SMP, aku dikenal lumayan supel, meski memiliki sifat tomboi sekaligus bar-bar. Berkawan dengan cowok, bukan hal baru buatku. Sejak kecil hingga lulus SMP, pergaulanku didominasi oleh kaum Adam. Jika pada umumnya remaja putri aktif di sanggar tari, maka aku memilih untuk ikut pencak silat. Hingga penampilan pun menyerupai anak lelaki. Maka dari itulah, ibu menyuruhku masuk SMEA—SMK putri, supaya putri kesayangannya ini bisa lebih feminim. Itu juga harus melalui proses pemaksaan dulu, sebab aku ingin sekali masuk STM—SMK putra. "Jangan-jangan dia itu anaknya kenalan Ibu? Atau anak teman bapak? Enggak mungkin orang tiba-tiba tahu nama

  • Jejak Maya   Part 2 : Hujan Terindah

    Aku tak habis pikir, bagaimana ceritanya si Raga bisa tahu namaku? Lebih heran lagi, dia menyebutkan nama lengkapku, selengkap-lengkapnya. Tentu saja otakku diliputi berbagai tanda tanya. Dia itu sebenarnya siapa? Dari mana tahu nama lengkapku? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar mengelilingi kepala. Di satu sisi, aku dibuat bingung oleh sosok Raga, yang kalau bicara logatnya kesunda-sundaan. Sempat deg-degan, dong ... karena Hendra juga memiliki logat bicara seperti itu. Jangan-jangan dia ada hubungan dengan Hendra, atau kenal aku dari Hendra. Make sense, kan? Di sisi lain, akhirnya aku berhasil tahu siapa nama cowok pembawa bola. Raga mengenalkan semua temannya. Mereka dipanggil untuk mendekat, dan semua patuh. Entah lah, apa jabatan tuh cowok dalam gank tersebut? Mungkin dia kapten; jendral; ketua; pimpinan. Soalnya, aku perhatikan setiap ucapan dia selalu dituruti oleh mereka.

  • Jejak Maya   Part 1 : Siapa dia?

    September, 2000. "Srindit, kiri! Kiri!" seru kondektur seraya memukul kaca pada badan bus menggunakan uang koin. Aku yang hendak turun, berdiri di ambang pintu—dekat kondektur, menunggu sopir mengerem kendaraan dengan sempurna. "Ck, hujan," keluhku lirih. Sang kondektur rupanya membaca keresahanku. Memang hujan tengah turun deras. Madiun tampak muram di seluruh penjuru langit. Gelap pekat di mana-mana, hingga lampu kendaraan pun semua dinyalakan. Padahal, waktu baru menunjuk pukul 4 sore. "Masuknya jauh?" Si kondektur menatapku lekat. Aku menggeleng sembari mengedarkan pandangan ke luar bus. “Enggak bawa payung?" "Masa sekolah bawa payung!" "Sedia payung sebelum hujan." Kelakar si kondektur hanya kutanggapi dengan tawa kecil. Di waktu bersamaan, bus

DMCA.com Protection Status