Beranda / Young Adult / Jejak Maya / Part 2 : Hujan Terindah

Share

Part 2 : Hujan Terindah

Penulis: Zenaida Asmaya
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-19 16:46:27

Aku tak habis pikir, bagaimana ceritanya si Raga bisa tahu namaku? Lebih heran lagi, dia menyebutkan nama lengkapku, selengkap-lengkapnya. Tentu saja otakku diliputi berbagai tanda tanya. Dia itu sebenarnya siapa? Dari mana tahu nama lengkapku? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar mengelilingi kepala.

Di satu sisi, aku dibuat bingung oleh sosok Raga, yang kalau bicara logatnya kesunda-sundaan. Sempat deg-degan, dong ... karena Hendra juga memiliki logat bicara seperti itu. Jangan-jangan dia ada hubungan dengan Hendra, atau kenal aku dari Hendra. Make sense, kan?

Di sisi lain, akhirnya aku berhasil tahu siapa nama cowok pembawa bola. Raga mengenalkan semua temannya. Mereka dipanggil untuk mendekat, dan semua patuh. Entah lah, apa jabatan tuh cowok dalam gank tersebut? Mungkin dia kapten; jendral; ketua; pimpinan. Soalnya, aku perhatikan setiap ucapan dia selalu dituruti oleh mereka.

"Ini namanya Amar." Raga menunjuk salah satu temannya yang berbadan atletis—tinggi besar berotot.

Aku tersenyum pada cowok itu, lalu menyambut uluran tangannya—hal yang bahkan belum aku lakukan pada Raga.

"Maya," ucapku memperkenalkan diri.

Setelah Amar melepas genggaman tangannya, masing-masing teman Raga yang lain menyalamiku dan menyebutkan nama.

"Ronald." Wajahnya tampan dan memiliki gaya fashionable alias keren. Jika harus menilai jujur secara obyektif, dia yang paling tampan di antara kelimanya. Tulang hidungnya tinggi, sepasang alisnya menukik seperti sayap camar yang terbang di lautan. Dia juga memiliki mata yang tajam bak mata elang, yang dihiasi bulu mata lentik. Bibirnya tipis berbentuk cupid bow. Postur tubuhnya pun bagus. Semua ketampanan tersebut masih dilengkapi pula dengan senyum menawan dan suara yang merdu di telinga. Perfecto.

Selanjutnya adalah, "Taufik."

Si pemuda baik hati, sahabat paling loyal yang pernah kutemui. Dia memiliki tampang lugu, culun, dan kocak. Dalam sekilas pandang, tak ada yang istimewa darinya. Taufik seperti umumnya cowok-cowok pada masa itu. Berkulit sawo matang, rambutnya ikal, dan—maaf—wajahnya agak berjerawat. Itu yang aku ingat dari kesan pertama mengenal dia. Akan tetapi, cowok itu memiliki sorot mata yang tulus, dan aura menyenangkan.

Terakhir, si pemilik wajah dingin mirip Suradet Piniwat, yang sejak awal berhasil mencuri perhatianku karena sikap tenangnya. Dia ini memiliki badan kurus, jika tak boleh disebut kerempeng. Kulitnya putih kemerahan, hidung mancung, bibir imut, mata kecil—bukan sipit, dan alis tebal yang rapi. Waktu itu, aku belum tahu seberapa manis senyumnya, sebab orangnya lumayan pelit berbagi senyuman. Raut wajahnya tampak dingin dan kaku, seolah tak peduli sekitar.

Jantungku berdetak kencang ketika tangan kami bersentuhan. Ada rona hangat mengaliri kedua pipiku. Entah, perasaan apa yang merasuki aku saat itu. Yang jelas, aku merasa seluruh badan menegang dan mulut seperti terkunci.

"Kevin." Dia menyebutkan nama.

Beberapa detik setelahnya, aku bagai orang kena hipnotis—bengong dan blank. Sepertinya otak ini sudah tersihir oleh ketampanan merajalela yang tersaji di depan mata. Tuh cowok serakah banget. Ganteng kok diborong sendirian. Sumpah, ya ... kalau saja enggak punya urat malu, aku sudah lompat-lompat kegirangan waktu itu.

"Sudah, jangan lama-lama!"

Aku ter geragap begitu Raga memisahkan tangan Kevin dari genggamanku. Misahinnya setengah maksa pula. Pergelangan tangan Kevin ditarik kuat-kuat, hingga si cungkring itu terdorong mundur beberapa langkah.

Semua tergelak dalam tawa, kecuali aku dan Kevin yang—entah kenapa—sama-sama tersipu. Mungkin dia begitu karena ditertawakan teman-temannya. Sementara aku, malu sebab ketahuan menikmati sekali genggaman tangannya yang hangat, meskipun cuaca hari itu dingin.

"Sekolah di mana?" Sebuah pertanyaan dari Amar berhasil mencairkan suasana yang sesaat tadi sempat terasa aneh-antara aku dan Kevin. "Kok jam segini masih di sini?"

"Di Ponorogo," jawabku malu-malu. Jelas malu, lah ... satu gadis dikerubuti lima cowok.

"Walah, jauhnya!"

"Jauh banget sekolah kamu?" Raga menimpali ucapan sahabatnya.

Aku tersenyum. Pandanganku beralih pada cowok berwajah oriental tersebut. Raga ini sebenarnya juga tampan. Kulitnya putih, matanya agak-agak sipit—lebih sipit dari Kevin, dan senyumnya ramah. Dia juga memiliki satu gingsul kecil—nyempil di atas gigi taring, menambah sedikit nilai plus wajahnya saat tersenyum. Dan yang pasti, satu hal lagi, sikapnya hangat bersahabat.

Pada bagian sikap, dia unggul satu poin dari Kevin yang dingin, jarang senyum, pelit bicara, dan selalu tampak murung. Kevin, jika penampilannya harus dirangkum dalam satu kata, yang paling tepat untuk menggambarkannya adalah 'angkuh'.

"Ehm," dehemku sembari mengalihkan pandangan ke arah jalan. Sementara Raga masih menanti jawabanku. "Hujannya sudah reda. Aku pulang dulu," pamitku kemudian. Sebuah jawaban yang menimbulkan gurat ketidakpuasan di wajah Raga.

"Kenapa buru-buru?" Amar coba menahanku.

"Ditunggu Bapak."

"Rumah kamu loh, deket aja," kilah Taufik.

Aku tidak menjawab, hanya mengulaskan sekilas senyuman. Dan ketika kutatap mereka satu persatu, aku dapat menangkap kekecewaan di mata Raga. Akan tetapi, dia tidak berusaha mencegah kepergianku seperti yang Amar dan Taufik lakukan. Ya sudah, akhirnya kuputuskan untuk segera hengkang. Lama-lama berdiri di situ, bisa epilepsi karena terus-terusan menatap keindahan semesta yang tercetak di wajah si pemuda pembawa bola.

Saat aku meninggalkan kerumunan lima cowok enggak jelas tersebut, tiba-tiba Raga mengejar dan mencegat langkahku.

"Apa lagi?" Aku berseru jengkel.

"Kamu ... tiap hari pulangnya jam segini?"

"Iya," jawabku seraya mengernyitkan dahi. Aneh tuh bocah. Ngapain tanya gitu?

"Tiap hari naik bus?"

"Iya."

"Selalu turun di sini?"

"Ya iya lah, kan rumahku di sini."

"Besok juga?"

Aku mulai jengkel. Sembari melengos dan menghela napas berat, kuanggukkan kepalaku pelan.

"Sip!" Raga berseru dan tersenyum kegirangan, tanpa peduli pada ekspresiku yang serasa pengen menyedot ubun-ubunnya. "Besok aku tunggu di sini. Jam empat," ucapnya kemudian seraya mengacungkan telapak tangan.

"Jam empat apa jam lima?" Aku menatapnya dengan sikap dingin.

"Kamu pulang jam empat, 'kan?"

"Itu tangan kamu, lima jari."

Raga menatap telapak tangannya yang masih menggantung di udara, lalu tersenyum lebar seraya menekuk jari jempolnya hingga tersisa empat jari saja. Menyaksikan tingkahnya yang kocak, aku hanya bisa geleng kepala sambil tersenyum tipis.

Tak ingin memperpanjang percakapan, aku bergegas meninggalkan cowok itu. Pulang. Arloji di pergelangan tangan kiri sudah menunjuk pukul lima kurang. Bapak pasti mengkhawatirkanku.

••

Tiba di rumah, aku diserbu pertanyaan penuh cemas. Sebagaimana yang telah kuduga sebelumnya, Bapak ngomel akibat dirundung rasa khawatir.

"Hari Rabu jam segini baru pulang? Kenapa sore banget?"

"Pulang dari tadi, Pak. Tapi hujan, jadi berteduh dulu di depan situ," jawabku lirih seraya melepas sepatu dan kaos kaki yang lembap. Kulit kakiku sampai keriput saking lamanya terendam basah.

"Enggak bilang kalau kehujanan. Tau gitu, 'kan Bapak jemput pakai payung."

Aku terkekeh seraya membuka pintu kamar. "Bilang gimana?" gumamku lirih seolah bicara sendiri.

Bapakku aneh. Tahun 2000 itu kami belum memiliki alat komunikasi praktis—semacam handphone, tidak seperti zaman sekarang. Terus bapak nyuruh kasih kabar saat aku sedang kehujanan di jalan. Lah, cara kasih kabarnya gimana? Teriak dari jalan depan sana, gitu? Atau pulang dulu, kasih tahu kalau sedang terjebak hujan, dan setelah itu balik lagi ke depan nungguin bapak datang menjemput? Lucu, 'kan?

Itulah kocaknya bapakku, sosok orang tua yang luar biasa lugu. Saking lugunya, merokok pun enggak berani. Takut ketahuan ibu, soalnya ibuku pasti marah besar kalau tahu bapak mengisap lintingan tembakau tersebut. Dulu, pernah diam-diam merokok. Eh, ketahuan. Ibuku murka. Semenjak itu, enggak berani lagi. Kecuali waktu ada acara di kampung dan lagi ngumpul sama teman-temannya. Itu juga ngumpet-ngumpet, takut ketahuan bininya.

Bapak dan ibuku asli orang kampung. Berasal dari satu desa yang sama, dan menikah karena dijodohkan. Bukan murni dijodohkan, sih. Ceritanya, bapak bersahabat dengan kakak sepupu ibu. Suatu hari, pas main ke rumah sahabatnya itu, dia melihat foto ibuku dan langsung naksir. Akhirnya, minta dicomblangi, sebab posisinya ibu tidak tinggal di kampung.

Ibu bekerja sebagai pelayan toko di sebuah keluarga keturunan Tionghoa, sejak masih sangat muda. Sebagai anak sulung dari seorang single parent, terpaksa dia tidak menuntaskan pendidikan SD dan lebih memilih kerja ikut orang demi membantu ekonomi keluarga serta membiayai adik-adiknya. Pada tahun 2000, dia sudah 25 tahun lebih bekerja di tempat tersebut. Maka tak heran apabila bosnya menganggap kami seperti keluarga sendiri.

Sedangkan Bapak, aslinya adalah seorang driver becak. Ceilah, driver ... ha ha ha! Bapak bekerja sebagai penarik becak semenjak aku kecil. Tepatnya kapan, aku sendiri tidak tahu. Pokoknya, seingatku sejak aku mulai memahami pekerjaan orang tua, bapakku sudah jadi tukang becak. Menurut cerita Ibu, dulu Bapak juga pernah kerja di toko. Berhubung dia tidak bisa bekerja di bawah tekanan, jadi sering sakit. Akhirnya, bapak resign dan membeli becak sebagai sumber mata pencaharian.

Nah, rumah yang kami tempati saat itu, sebetulnya adalah milik bos-nya ibu. Beliau mengelola usaha PJTKI—Perusahaan Jasa Pemberangkatan Tenaga Kerja Indonesia. Rumah tersebut digunakan sebagai kantor. Bapak ditugaskan untuk menjaga, merawat dan membersihkannya, sehingga kami diberi satu kamar untuk ditempati sehari-hari.

"May, ikut ke tempat ibu, enggak?" Bapak berteriak dari teras belakang.

"Ikuuut!" Aku balas berteriak panik seraya menghambur keluar kamar karena takut ditinggal. Kalau tidak salah, hari itu ibu janji akan membelikan tas sekolah baru. "Tapi Maya mandi dulu."

"Lah, 'kan enggak sekarang," sahut bapak santai sambil memberi makan ikan. "Bapak juga belum mandi."

"Hadeeeh," gerutuku kesal. "Kenapa teriak-teriak ngagetin, gitu? Kirain sudah mau berangkat!"

Si bapak cuma nyengir.

Aku pun ngeloyor masuk kamar mandi dengan handuk ter cangklong di pundak. Ngeselin, 'kan bapakku? Itu belum seberapa. Kadang, dalam satu kesempatan, bisa lebih menjengkelkan dari Cak Lontong. Ngobrol dengan bapak, bawaannya pengen nge-gas melulu.

Walau bagaimanapun, bapak adalah lelaki tersabar nomor satu yang pernah aku kenal di dunia ini. Dan jika ada yang nomor dua, mungkin dia adalah Reygan. Hikzzz.

••

Bab terkait

  • Jejak Maya   Part 3 : Tentang Sebuah Nama

    Malamnya, aku bercerita kepada ibu tentang pertemuanku bersama lima anak lelaki yang aku sendiri belum tahu rumahnya mana. Terus terang, diajak berkenalan dengan cowok-cowok sekelas mereka, membuatku merasa sedikit spesial. Memang agak norak, tapi norak bukan berarti kuper. Waktu SMP, aku dikenal lumayan supel, meski memiliki sifat tomboi sekaligus bar-bar. Berkawan dengan cowok, bukan hal baru buatku. Sejak kecil hingga lulus SMP, pergaulanku didominasi oleh kaum Adam. Jika pada umumnya remaja putri aktif di sanggar tari, maka aku memilih untuk ikut pencak silat. Hingga penampilan pun menyerupai anak lelaki. Maka dari itulah, ibu menyuruhku masuk SMEA—SMK putri, supaya putri kesayangannya ini bisa lebih feminim. Itu juga harus melalui proses pemaksaan dulu, sebab aku ingin sekali masuk STM—SMK putra. "Jangan-jangan dia itu anaknya kenalan Ibu? Atau anak teman bapak? Enggak mungkin orang tiba-tiba tahu nama

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Jejak Maya   Part 4 : Reygan Sebenarnya

    Sore itu, pertemuanku dengan Reygan tak berlangsung lama. Setelah berhasil memastikan dari mana ia tahu namaku, aku bergegas pamit pulang. “Baru jam setengah lima,” cegahnya. Aku tak menanggapi ucapan itu, lantas melenggang pergi begitu saja sembari melambaikan tangan. Mulanya, pemuda tanggung tersebut mengejarku. Namun, langkahnya terhenti seketika saat aku bentak. “Mau apa lagi!?” “Enggak diajak mampir, gitu?” Sepasang mata innocent menatapku lekat. “Sudah sore!” “Atuh gimana? Memang kamu pulangnya sore.” “Au ah!” tukasku kesal, lalu meninggalkan dia begitu saja. Lagi-lagi cowok berperawakan tinggi tegap itu membuntutiku. Maka, beberapa langkah kemudian aku berhenti dan berbalik menghadapnya. “Kalau mau main, besok siang saja. Jumat, aku pulang lebih awal.” Tak kusangka, dia menyepakati

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Jejak Maya   Part 5 : Yang Tidak Terduga

    Kami melanjutkan perbincangan sembari menikmati segelas es gudir. Ada satu hal yang Reygan ceritakan, yang sempat membuatku ternganga tak percaya, lalu tertunduk jengah dengan wajah memerah. Yakni, saat dia menyebut profesi orang tuanya.“Papaku bekerja di kantor pelayanan publik.”Sampai di situ, aku terdiam. Mendengar kata ‘kantor’, aku sudah minder duluan. Ya, walaupun profesi orang yang bekerja di kantor itu macam-macam. Satpam, juga kerja di kantor. OB, juga kerja di kantor. Bahkan bapakku juga kerja di kantor. Kantor PJTKI. Akan tetapi, sepertinya itu hal berbeda.Aku tidak memiliki ekspektasi apa pun terhadap profesi orang tua Reygan. Waktu mendengar istilah pelayanan publik, kupikir bapaknya PNS. Ternyata, “papa seorang jaksa.”Gubrakkkkk!!!Sumpah! Rasanya pengen kututup ember nih muka. Saat itu juga, aku te

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Jejak Maya   Part 6 : Malam Minggu

    Sabtu sore yang cerah.Begitu turun dari bus, senyum Reygan menyambut. Lagi-lagi sendirian, nangkring di atas motor biru. Tubuhnya yang menjulang hampir dua meter, terbalut kaos flanel biru tua, dipadu celana seragam pramuka. Sepasang kakinya terbungkus sepatu converse hitam."Sendirian, Mas?" tanyaku basa-basi."Berdua.""Sama?" Aku celingukan, berharap manusia keduanya adalah Devan.Reygan tergelak. "Adek nyari siapa?""Katanya berdua?""Iya, berdua sama Adek."Spontan bibirku mengerucut. Tawa Reygan semakin riuh. Kayaknya puas banget lihat aku merengut."Yowes, aku pulang," pamitku seraya ngeloyor pergi."Lah, gitu aja ngambek!"Tanpa menghentikan langkah, aku menyahuti ucapannya. "Siapa yang ngambek?"Re

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-21
  • Jejak Maya   Part 7 : Impressed

    •• Aku pikir, malam itu bakal menerima wejangan panjang dari ibu perihal kemunculan Reygan yang tiba-tiba. Ibuku orangnya lumayan sensitif untuk urusan cowok. Apalagi cowok yang coba mendekati anak gadisnya ini. Dia tipe emak-emak rempong yang bawel. Sedikit saja ada teman cowokku bertingkah kurang pas, aku yang ditegur. Ditegurnya enggak tanggung-tanggung. Biasanya langsung dilarang berteman. Ternyata aku salah sangka. Reaksi ibu berbeda dari biasanya. Tak ada pembahasan tentang Reygan, seakan tidak terjadi apa-apa. Semua berjalan normal seperti biasa. What's wrong with my mom? Padahal, waktu awal-awal Hendra mendekatiku, dan nenek serta saudara-saudaranya berusaha mengakrabkan kami, ibu sempat murka. Aku masih kelas 3 SMP, harus fokus pada pelajaran sekolah, tidak boleh membagi pikiran dengan hal-hal tidak penting lain. Itu alasannya. Almarhumah nenek o

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-24
  • Jejak Maya   Part 8 : Reygan Dkk

    Sejak saat itu, kedekatanku dengan Reygan makin tak terbendung. Hampir setiap hari kami bertemu. Dia selalu menungguku pulang sekolah, kemudian mengekor pulang dan menghabiskan waktu untuk ngobrol sembari menemani aku menyiram tanaman di halaman.Yang menjadi topik pembahasan pun semakin melebar ke mana-mana. Bukan lagi sebatas kami dan keluarga masing-masing. Bahkan mulai merambah area persahabatan dan kehidupan di sekolah serta pergaulan lainnya.Pernah suatu saat, secara tersurat Reygan menanyakan padaku perihal kekasih. Ya, sebagaimana remaja tempo dulu, lah. Dia bertanya, apakah aku sudah memiliki pacar?Pertanyaan tersebut, sontak kujawab tanpa berpikir lebih panjang. "Enggak punya. Belum berani pacaran." Padahal, sudah ada Hendra.Kadang aku mikir, jahat banget jadi aku. Tidak berani mengakui hal yang sebenarny

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-02
  • Jejak Maya   Part 9 : Peristiwa Demo Terminal Baru

    Rumahku serasa pasar dadakan. Ramai oleh riuh canda tawa Reygan dan teman-temannya. Itu pertama kali aku didatangi rombongan boygrup. Tentu saja sedikit syok. Biarpun memiliki banyak kawan lelaki, mereka biasa datang satu per satu. Paling banter dua orang. Bukan keroyokan begitu.Mana anaknya pada hiperaktif. Apalagi Ronald, yang tidak pernah mau diam. Dia itu tipikal cowok pecicilan, ganteng tapi bobrok. Adaaa aja ulahnya yang bikin kami ngakak. Tentu saja kami yang dimaksud di sini adalah kecuali Devan.Devan tak peduli akan semua kehebohan sekitarnya. Baginya, tak ada yang lebih penting untuk diutak-atik selain tamagotchi. Mungkin binatang piaraan virtual dalam benda mungil tersebut, baginya jauh lebih menarik dibanding sahabat-sahabatnya.Ah, entah lah!Reygan yang beberapa hari sebelumnya sengaja meninggalkan gitar di rumahku,

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-02
  • Jejak Maya   Part 1 : Siapa dia?

    September, 2000. "Srindit, kiri! Kiri!" seru kondektur seraya memukul kaca pada badan bus menggunakan uang koin. Aku yang hendak turun, berdiri di ambang pintu—dekat kondektur, menunggu sopir mengerem kendaraan dengan sempurna. "Ck, hujan," keluhku lirih. Sang kondektur rupanya membaca keresahanku. Memang hujan tengah turun deras. Madiun tampak muram di seluruh penjuru langit. Gelap pekat di mana-mana, hingga lampu kendaraan pun semua dinyalakan. Padahal, waktu baru menunjuk pukul 4 sore. "Masuknya jauh?" Si kondektur menatapku lekat. Aku menggeleng sembari mengedarkan pandangan ke luar bus. “Enggak bawa payung?" "Masa sekolah bawa payung!" "Sedia payung sebelum hujan." Kelakar si kondektur hanya kutanggapi dengan tawa kecil. Di waktu bersamaan, bus

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19

Bab terbaru

  • Jejak Maya   Part 9 : Peristiwa Demo Terminal Baru

    Rumahku serasa pasar dadakan. Ramai oleh riuh canda tawa Reygan dan teman-temannya. Itu pertama kali aku didatangi rombongan boygrup. Tentu saja sedikit syok. Biarpun memiliki banyak kawan lelaki, mereka biasa datang satu per satu. Paling banter dua orang. Bukan keroyokan begitu.Mana anaknya pada hiperaktif. Apalagi Ronald, yang tidak pernah mau diam. Dia itu tipikal cowok pecicilan, ganteng tapi bobrok. Adaaa aja ulahnya yang bikin kami ngakak. Tentu saja kami yang dimaksud di sini adalah kecuali Devan.Devan tak peduli akan semua kehebohan sekitarnya. Baginya, tak ada yang lebih penting untuk diutak-atik selain tamagotchi. Mungkin binatang piaraan virtual dalam benda mungil tersebut, baginya jauh lebih menarik dibanding sahabat-sahabatnya.Ah, entah lah!Reygan yang beberapa hari sebelumnya sengaja meninggalkan gitar di rumahku,

  • Jejak Maya   Part 8 : Reygan Dkk

    Sejak saat itu, kedekatanku dengan Reygan makin tak terbendung. Hampir setiap hari kami bertemu. Dia selalu menungguku pulang sekolah, kemudian mengekor pulang dan menghabiskan waktu untuk ngobrol sembari menemani aku menyiram tanaman di halaman.Yang menjadi topik pembahasan pun semakin melebar ke mana-mana. Bukan lagi sebatas kami dan keluarga masing-masing. Bahkan mulai merambah area persahabatan dan kehidupan di sekolah serta pergaulan lainnya.Pernah suatu saat, secara tersurat Reygan menanyakan padaku perihal kekasih. Ya, sebagaimana remaja tempo dulu, lah. Dia bertanya, apakah aku sudah memiliki pacar?Pertanyaan tersebut, sontak kujawab tanpa berpikir lebih panjang. "Enggak punya. Belum berani pacaran." Padahal, sudah ada Hendra.Kadang aku mikir, jahat banget jadi aku. Tidak berani mengakui hal yang sebenarny

  • Jejak Maya   Part 7 : Impressed

    •• Aku pikir, malam itu bakal menerima wejangan panjang dari ibu perihal kemunculan Reygan yang tiba-tiba. Ibuku orangnya lumayan sensitif untuk urusan cowok. Apalagi cowok yang coba mendekati anak gadisnya ini. Dia tipe emak-emak rempong yang bawel. Sedikit saja ada teman cowokku bertingkah kurang pas, aku yang ditegur. Ditegurnya enggak tanggung-tanggung. Biasanya langsung dilarang berteman. Ternyata aku salah sangka. Reaksi ibu berbeda dari biasanya. Tak ada pembahasan tentang Reygan, seakan tidak terjadi apa-apa. Semua berjalan normal seperti biasa. What's wrong with my mom? Padahal, waktu awal-awal Hendra mendekatiku, dan nenek serta saudara-saudaranya berusaha mengakrabkan kami, ibu sempat murka. Aku masih kelas 3 SMP, harus fokus pada pelajaran sekolah, tidak boleh membagi pikiran dengan hal-hal tidak penting lain. Itu alasannya. Almarhumah nenek o

  • Jejak Maya   Part 6 : Malam Minggu

    Sabtu sore yang cerah.Begitu turun dari bus, senyum Reygan menyambut. Lagi-lagi sendirian, nangkring di atas motor biru. Tubuhnya yang menjulang hampir dua meter, terbalut kaos flanel biru tua, dipadu celana seragam pramuka. Sepasang kakinya terbungkus sepatu converse hitam."Sendirian, Mas?" tanyaku basa-basi."Berdua.""Sama?" Aku celingukan, berharap manusia keduanya adalah Devan.Reygan tergelak. "Adek nyari siapa?""Katanya berdua?""Iya, berdua sama Adek."Spontan bibirku mengerucut. Tawa Reygan semakin riuh. Kayaknya puas banget lihat aku merengut."Yowes, aku pulang," pamitku seraya ngeloyor pergi."Lah, gitu aja ngambek!"Tanpa menghentikan langkah, aku menyahuti ucapannya. "Siapa yang ngambek?"Re

  • Jejak Maya   Part 5 : Yang Tidak Terduga

    Kami melanjutkan perbincangan sembari menikmati segelas es gudir. Ada satu hal yang Reygan ceritakan, yang sempat membuatku ternganga tak percaya, lalu tertunduk jengah dengan wajah memerah. Yakni, saat dia menyebut profesi orang tuanya.“Papaku bekerja di kantor pelayanan publik.”Sampai di situ, aku terdiam. Mendengar kata ‘kantor’, aku sudah minder duluan. Ya, walaupun profesi orang yang bekerja di kantor itu macam-macam. Satpam, juga kerja di kantor. OB, juga kerja di kantor. Bahkan bapakku juga kerja di kantor. Kantor PJTKI. Akan tetapi, sepertinya itu hal berbeda.Aku tidak memiliki ekspektasi apa pun terhadap profesi orang tua Reygan. Waktu mendengar istilah pelayanan publik, kupikir bapaknya PNS. Ternyata, “papa seorang jaksa.”Gubrakkkkk!!!Sumpah! Rasanya pengen kututup ember nih muka. Saat itu juga, aku te

  • Jejak Maya   Part 4 : Reygan Sebenarnya

    Sore itu, pertemuanku dengan Reygan tak berlangsung lama. Setelah berhasil memastikan dari mana ia tahu namaku, aku bergegas pamit pulang. “Baru jam setengah lima,” cegahnya. Aku tak menanggapi ucapan itu, lantas melenggang pergi begitu saja sembari melambaikan tangan. Mulanya, pemuda tanggung tersebut mengejarku. Namun, langkahnya terhenti seketika saat aku bentak. “Mau apa lagi!?” “Enggak diajak mampir, gitu?” Sepasang mata innocent menatapku lekat. “Sudah sore!” “Atuh gimana? Memang kamu pulangnya sore.” “Au ah!” tukasku kesal, lalu meninggalkan dia begitu saja. Lagi-lagi cowok berperawakan tinggi tegap itu membuntutiku. Maka, beberapa langkah kemudian aku berhenti dan berbalik menghadapnya. “Kalau mau main, besok siang saja. Jumat, aku pulang lebih awal.” Tak kusangka, dia menyepakati

  • Jejak Maya   Part 3 : Tentang Sebuah Nama

    Malamnya, aku bercerita kepada ibu tentang pertemuanku bersama lima anak lelaki yang aku sendiri belum tahu rumahnya mana. Terus terang, diajak berkenalan dengan cowok-cowok sekelas mereka, membuatku merasa sedikit spesial. Memang agak norak, tapi norak bukan berarti kuper. Waktu SMP, aku dikenal lumayan supel, meski memiliki sifat tomboi sekaligus bar-bar. Berkawan dengan cowok, bukan hal baru buatku. Sejak kecil hingga lulus SMP, pergaulanku didominasi oleh kaum Adam. Jika pada umumnya remaja putri aktif di sanggar tari, maka aku memilih untuk ikut pencak silat. Hingga penampilan pun menyerupai anak lelaki. Maka dari itulah, ibu menyuruhku masuk SMEA—SMK putri, supaya putri kesayangannya ini bisa lebih feminim. Itu juga harus melalui proses pemaksaan dulu, sebab aku ingin sekali masuk STM—SMK putra. "Jangan-jangan dia itu anaknya kenalan Ibu? Atau anak teman bapak? Enggak mungkin orang tiba-tiba tahu nama

  • Jejak Maya   Part 2 : Hujan Terindah

    Aku tak habis pikir, bagaimana ceritanya si Raga bisa tahu namaku? Lebih heran lagi, dia menyebutkan nama lengkapku, selengkap-lengkapnya. Tentu saja otakku diliputi berbagai tanda tanya. Dia itu sebenarnya siapa? Dari mana tahu nama lengkapku? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar mengelilingi kepala. Di satu sisi, aku dibuat bingung oleh sosok Raga, yang kalau bicara logatnya kesunda-sundaan. Sempat deg-degan, dong ... karena Hendra juga memiliki logat bicara seperti itu. Jangan-jangan dia ada hubungan dengan Hendra, atau kenal aku dari Hendra. Make sense, kan? Di sisi lain, akhirnya aku berhasil tahu siapa nama cowok pembawa bola. Raga mengenalkan semua temannya. Mereka dipanggil untuk mendekat, dan semua patuh. Entah lah, apa jabatan tuh cowok dalam gank tersebut? Mungkin dia kapten; jendral; ketua; pimpinan. Soalnya, aku perhatikan setiap ucapan dia selalu dituruti oleh mereka.

  • Jejak Maya   Part 1 : Siapa dia?

    September, 2000. "Srindit, kiri! Kiri!" seru kondektur seraya memukul kaca pada badan bus menggunakan uang koin. Aku yang hendak turun, berdiri di ambang pintu—dekat kondektur, menunggu sopir mengerem kendaraan dengan sempurna. "Ck, hujan," keluhku lirih. Sang kondektur rupanya membaca keresahanku. Memang hujan tengah turun deras. Madiun tampak muram di seluruh penjuru langit. Gelap pekat di mana-mana, hingga lampu kendaraan pun semua dinyalakan. Padahal, waktu baru menunjuk pukul 4 sore. "Masuknya jauh?" Si kondektur menatapku lekat. Aku menggeleng sembari mengedarkan pandangan ke luar bus. “Enggak bawa payung?" "Masa sekolah bawa payung!" "Sedia payung sebelum hujan." Kelakar si kondektur hanya kutanggapi dengan tawa kecil. Di waktu bersamaan, bus

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status