Sore itu, pertemuanku dengan Reygan tak berlangsung lama. Setelah berhasil memastikan dari mana ia tahu namaku, aku bergegas pamit pulang.
“Baru jam setengah lima,” cegahnya.
Aku tak menanggapi ucapan itu, lantas melenggang pergi begitu saja sembari melambaikan tangan. Mulanya, pemuda tanggung tersebut mengejarku. Namun, langkahnya terhenti seketika saat aku bentak. “Mau apa lagi!?”
“Enggak diajak mampir, gitu?” Sepasang mata innocent menatapku lekat.
“Sudah sore!”
“Atuh gimana? Memang kamu pulangnya sore.”
“Au ah!” tukasku kesal, lalu meninggalkan dia begitu saja. Lagi-lagi cowok berperawakan tinggi tegap itu membuntutiku. Maka, beberapa langkah kemudian aku berhenti dan berbalik menghadapnya. “Kalau mau main, besok siang saja. Jumat, aku pulang lebih awal.”
Tak kusangka, dia menyepakati usulanku. “Oke, besok aku datang.” Seraya tersenyum ramah, seolah mengabaikan sikap judesku barusan.
Terus terang, aku malu jika ingat kejadian itu. Kami baru kenal—belum tahu pribadi masing-masing. Dengan gegabah, aku sudah meremehkannya, memperlakukannya secara buruk. Memang aku ini tipikal gadis yang payah. Tidak suka didekati cowok dengan cara frontal. Walau awalnya respect, pasti langsung ilfil kalau ketemu yang model begitu.
Namun, adalah sebuah hal yang sangat memalukan ketika bersikap demikian dan akhirnya tahu ternyata tuh cowok bukan orang yang pantas dianggap remeh. Tepat seperti dugaanku waktu pertama melihat rombongan 'boygroup' tersebut, Reygan memang berasal dari keluarga berkelas. Setidaknya, jika dibandingkan denganku, ibarat bumi dan Pluto. Papanya seorang jaksa yang jam tayangnya tak perlu diragukan.
Aku mengetahui kenyataan tersebut pada hari ketiga dari waktu perkenalan kami.
••
Hari itu hari Jumat. Aku pulang sekolah lebih awal. Pukul 1 sudah sampai rumah. Begitu turun dari bus, mataku berkeliling mencari seseorang yang kemarin janji akan menemuiku di tempat biasa, yaitu gapura sebelah rumah.
Ternyata zonk!
Tak ada siapa pun di sana, kecuali Pak Tardi—teman Bapak—yang duduk di atas becaknya. Lelaki setengah baya itu menyapaku seperti biasa.
"Tumben sudah pulang, May?"
"Iya, Pak. Hari Jumat."
"O iya."
"Monggo."
"Iya, iya ...."
Akupun berjalan menuju rumah dengan lesu. Reygan ingkar janji, gerutuku dalam hati. Kemarin dia mengatakan akan menemuiku hari ini, sebab ingin main ke rumah. Nyatanya?
Entah kenapa, aku kecewa. Padahal, jelas-jelas hari sebelumnya aku muak dengan sikap agresif cowok itu.
Sesampainya di rumah, aku mandi, salat zuhur, lalu rebahan di kamar sembari baca majalah remaja terbaru—barusan aku beli di agen buku langganan. Bapak stand by di ruang tamu, jaga kantor. Kadang ada keluarga TKW yang datang, atau bahkan calon TKW yang hendak cari informasi pendaftaran. Tugas bapak menunggu mereka-mereka itu, untuk kemudian diantar ke Toko, menemui bos ibu.
Tak lama kemudian, aku mendengar sayup-sayup bapak berbincang dengan seseorang di luar. Ah, mungkin tamunya bos, tepisku dalam hati. Aku lanjut baca majalah, seolah tak memiliki urusan apapun dengan mereka yang berada di luar kamar. Ya, memang biasa seperti itu.
Sampai akhirnya, bapak membuka pintu kamar, pelaaan sekali. Mungkin dipikirnya aku belum selesai salat.
"Apa, Pak?" tanyaku lirih.
"Ada teman kamu."
Dahiku mengernyit. "Teman?"
"Iya, ada yang nyari kamu. Katanya temanmu."
"Siapa?"
"Enggak tau. Rumahnya Cendrawasih."
Kerutan di keningku semakin keriting. Temanku, rumahnya Cendrawasih? Siapa pula? Jalan Cendrawasih itu lumayan jauh dari rumah. Sedang tetangga sebelah saja—yang temboknya nempel kayak perumahan model couple, enggak kenal. Apalagi yang rumahnya Cendrawasih.
Setelah sejenak berpikir tanpa ketemu jawaban, akhirnya aku beranjak bangun. Kutinggal bacaanku di atas kasur. Tanpa merapikan diri, aku bergegas keluar.
Begitu keluar kamar, aku mendapati sesosok anak lelaki tengah berdiri membelakangiku. Ia sedang melihat-lihat bagan yang terpasang di dinding, dekat meja kantor. Memang ruang tamu kami itu luas. Dan ruang tersebut dibagi menjadi dua bagian. Sebelah untuk menaruh sofa, sebelahnya lagi untuk menaruh properti kantor.
"Hai," ucapku pelan, menyapa sosok yang mengenakan jaket warna hijau botol dan masih berseragam pramuka tersebut.
Ketika dia menoleh, o my God! Reygan.
Cowok itu menatapku dengan sorot teduh sembari memamerkan deretan gigi yang dihiasi satu gingsul pada pojok sebelah kiri. Dia tuh ya, benar-benar loh ... sepertinya layak diangkat menjadi duta senyum. Bahkan wajahnya, biarpun tidak sedang tersenyum, selalu tampak seperti orang tengah tersenyum. Tidak salah aku menjulukinya si smiley.
"Sudah selesai?" tanyanya.
"Apanya?" Aku balik tanya.
"Salat."
"Assstagaaa," ujarku seraya tersenyum lebar. "Dari tadi."
"Bapakmu bilang, kamu masih ...."
"Iya, bapak enggak tau kalo udah kelar."
"Oooh," pungkasnya kemudian.
"Duduk!" perintahku dengan nada kaku. Waktu itu, aku belum tahu, harus bagaimana memanggil dia.
"Di luar aja, yuk!" usulnya.
"Di sini juga g-p-p," kilahku. G-p-p itu maksudnya tidak apa-apa—bahasa slang remaja 2000-an.
"Jangan, ini kan kantor. Takut dimarahi bapakmu."
“Enggaaaak, tenang aja. Kalau ada temanku main, juga biasanya ngobrol di sofa situ.”
Reygan melirik sekilas ke arah ruang dalam yang hanya dibatasi pintu kaca. Sepertinya dia mencari keberadaan bapak, yang sebelumnya memang sempat terlihat masuk ke sana.
“Aku takut sama bapak kamu,” bisik cowok itu kemudian.
Sontak aku menertawakannya. Setiap teman cowok bertemu bapakku pertama kali, entah kenapa selalu takut. Mungkin di mata mereka, wajah bapak terlihat angker. Andai mereka tahu, bapak itu orangnya super family man. Hingga aku setua ini, belum pernah satu kali pun dimarahi olehnya.
"Ngobrol di teras, boleh, ‘kan?" lanjut Reygan kemudian.
Akhirnya aku turuti. Daripada dia merasa tidak nyaman. Kami berdua duduk-duduk di teras, dan ngobrol santai di sana. Hari itu lah awal mula terjalinnya keakraban kami.
Reygan menceritakan tentang dirinya yang—rupanya sama sepertiku—pindahan dari kota lain. Dulu, dia tinggal di Bandung bersama mama dan kakak perempuannya. Sementara papanya dinas di salah satu kota besar di Jawa Tengah. Papanya asli Madiun, mamanya orang Garut.
"Lulus SMP aku dibawa ke sini. Dipaksa untuk masuk ke sekolah yang bahkan aku masih asing. Awalnya jengkel juga. Aku benci papa, karena merasa berat meninggalkan Bandung dan teman-teman yang di sana," tuturnya dengan wajah muram. Tatapan matanya menerawang jauh hampa ke depan. "Tapi, perlahan aku bisa menerima keadaan. Apalagi sejak akrab dengan Taufik, Ronald, Amar, Devan, aku seperti menemukan kembali kehidupan lamaku."
"Kalian satu sekolah?"
"Iya. Sama-sama di STM 1."
"Masa? Tetangga sebelah rumah ini, katanya guru di STM 1 loh." Aku berbisik lirih. "Kata bapak, sih."
"Memang. Kepala Sekolah kami."
"Ooo ....” Mulutku membulat sempurna. “Kepsek, ya? Bapak bilang guru."
Reygan tersenyum.
"O iya, terus mama kamu sekarang tinggal di mana?"
"Di sini."
"Kakak kamu juga?"
Reygan tiba-tiba diam. Air mukanya berubah sendu. Aku yang belum paham ada apa sebenarnya, memandangi cowok itu keheranan. Di waktu bersamaan, ada penjual es gudir keliling lewat.
Kalian tahu apa itu es gudir? Atau ada juga yang menyebutnya es godir. Katanya, sih ... es ini merupakan minuman khas yang berasal dari Jawa Timur. Tepatnya daerah mana, kurang tahu.
Es gudir adalah sejenis es dawet yang cendolnya bukan terbuat dari tepung, melainkan puding atau agar-agar rumput laut. Rasanya enak banget. Santan yang gurih, dipadukan dengan manisnya gula jawa dan agar-agar plain atau tanpa rasa. Di situlah tercipta sebuah harmoni yang pas di lidah.
Pada tahun 2000, es tersebut sedang booming. Viral, kalau anak zaman now menyebutnya. Kita bisa menemukan orang berjualan es gudir di berbagai tempat. Bahkan dalam sehari, bisa empat hingga lima orang penjual keliling yang lewat di depan rumah. Mereka biasanya berjalan kaki sambil mendorong gerobak.
Entah, sekarang masih ada atau tidak orang jualan es gudir. Aku jarang menemukannya.
Reygan memanggil bapak penjual es tersebut.
"Bisa minum es, ‘kan?" tanyanya seraya menoleh ke arahku, persis seorang kakak menanyai adiknya. Mendapat perlakuan demikian, beberapa saat aku melongo. Hei, ini gadis SMA, loh. Kenapa diperlakukan macam anak balita yang khawatir batuk atau pilek jika minum es? Sikapnya tersebut tak ayal membuatku tertawa geli.
Aku belum sempat memberikan jawaban, Reygan sudah beranjak menghampiri si bapak penjual es. Ia memesan tiga gelas.
"Kok tiga?" protesku seraya berjalan menghampirinya.
"Memangnya bapak kamu enggak dihitung?"
"Eh, Bapak enggak usah," tolakku. Maksud hati, aku tuh sungkan. Sudah ditraktir sama tamu, masa enggak tahu diri.
"Enggak usah gimana? Itu bapak kamu, loh. Dosa tau, kalo makan, orang tua enggak dikasih."
Aku pun nyengir.
Mendengar perdebatan kami, bapak penjual es menghentikan gerakan tangannya, lalu menoleh. “Jadi berapa ini? Dua atau tiga?”
“Tiga, Pak!” jawab Reygan, buru-buru.
“Dua aja,” bantahku.
Si bapak makin kebingungan. Saat itu, dia sudah selesai membuatkan dua gelas es. Ditatapnya kami berdua secara saksama. Aku membalas tatapan itu takut-takut, sebab si bapak sepertinya kesal sekali kepadaku.
“Buatkan satu lagi, Pak!” tegas Reygan kemudian. Kali ini tanpa mendapat tentangan dariku lagi.
Aku menyerah dan memilih untuk ngeloyor pergi lebih dulu, membawa satu gelas es yang langsung kuberikan kepada bapak. Perasaanku campur aduk saat itu. Antara sungkan, malu, merasa bersalah, dan juga merasa bodoh.
••
Kami melanjutkan perbincangan sembari menikmati segelas es gudir. Ada satu hal yang Reygan ceritakan, yang sempat membuatku ternganga tak percaya, lalu tertunduk jengah dengan wajah memerah. Yakni, saat dia menyebut profesi orang tuanya.“Papaku bekerja di kantor pelayanan publik.”Sampai di situ, aku terdiam. Mendengar kata ‘kantor’, aku sudah minder duluan. Ya, walaupun profesi orang yang bekerja di kantor itu macam-macam. Satpam, juga kerja di kantor. OB, juga kerja di kantor. Bahkan bapakku juga kerja di kantor. Kantor PJTKI. Akan tetapi, sepertinya itu hal berbeda.Aku tidak memiliki ekspektasi apa pun terhadap profesi orang tua Reygan. Waktu mendengar istilah pelayanan publik, kupikir bapaknya PNS. Ternyata, “papa seorang jaksa.”Gubrakkkkk!!!Sumpah! Rasanya pengen kututup ember nih muka. Saat itu juga, aku te
Sabtu sore yang cerah.Begitu turun dari bus, senyum Reygan menyambut. Lagi-lagi sendirian, nangkring di atas motor biru. Tubuhnya yang menjulang hampir dua meter, terbalut kaos flanel biru tua, dipadu celana seragam pramuka. Sepasang kakinya terbungkus sepatu converse hitam."Sendirian, Mas?" tanyaku basa-basi."Berdua.""Sama?" Aku celingukan, berharap manusia keduanya adalah Devan.Reygan tergelak. "Adek nyari siapa?""Katanya berdua?""Iya, berdua sama Adek."Spontan bibirku mengerucut. Tawa Reygan semakin riuh. Kayaknya puas banget lihat aku merengut."Yowes, aku pulang," pamitku seraya ngeloyor pergi."Lah, gitu aja ngambek!"Tanpa menghentikan langkah, aku menyahuti ucapannya. "Siapa yang ngambek?"Re
•• Aku pikir, malam itu bakal menerima wejangan panjang dari ibu perihal kemunculan Reygan yang tiba-tiba. Ibuku orangnya lumayan sensitif untuk urusan cowok. Apalagi cowok yang coba mendekati anak gadisnya ini. Dia tipe emak-emak rempong yang bawel. Sedikit saja ada teman cowokku bertingkah kurang pas, aku yang ditegur. Ditegurnya enggak tanggung-tanggung. Biasanya langsung dilarang berteman. Ternyata aku salah sangka. Reaksi ibu berbeda dari biasanya. Tak ada pembahasan tentang Reygan, seakan tidak terjadi apa-apa. Semua berjalan normal seperti biasa. What's wrong with my mom? Padahal, waktu awal-awal Hendra mendekatiku, dan nenek serta saudara-saudaranya berusaha mengakrabkan kami, ibu sempat murka. Aku masih kelas 3 SMP, harus fokus pada pelajaran sekolah, tidak boleh membagi pikiran dengan hal-hal tidak penting lain. Itu alasannya. Almarhumah nenek o
Sejak saat itu, kedekatanku dengan Reygan makin tak terbendung. Hampir setiap hari kami bertemu. Dia selalu menungguku pulang sekolah, kemudian mengekor pulang dan menghabiskan waktu untuk ngobrol sembari menemani aku menyiram tanaman di halaman.Yang menjadi topik pembahasan pun semakin melebar ke mana-mana. Bukan lagi sebatas kami dan keluarga masing-masing. Bahkan mulai merambah area persahabatan dan kehidupan di sekolah serta pergaulan lainnya.Pernah suatu saat, secara tersurat Reygan menanyakan padaku perihal kekasih. Ya, sebagaimana remaja tempo dulu, lah. Dia bertanya, apakah aku sudah memiliki pacar?Pertanyaan tersebut, sontak kujawab tanpa berpikir lebih panjang. "Enggak punya. Belum berani pacaran." Padahal, sudah ada Hendra.Kadang aku mikir, jahat banget jadi aku. Tidak berani mengakui hal yang sebenarny
Rumahku serasa pasar dadakan. Ramai oleh riuh canda tawa Reygan dan teman-temannya. Itu pertama kali aku didatangi rombongan boygrup. Tentu saja sedikit syok. Biarpun memiliki banyak kawan lelaki, mereka biasa datang satu per satu. Paling banter dua orang. Bukan keroyokan begitu.Mana anaknya pada hiperaktif. Apalagi Ronald, yang tidak pernah mau diam. Dia itu tipikal cowok pecicilan, ganteng tapi bobrok. Adaaa aja ulahnya yang bikin kami ngakak. Tentu saja kami yang dimaksud di sini adalah kecuali Devan.Devan tak peduli akan semua kehebohan sekitarnya. Baginya, tak ada yang lebih penting untuk diutak-atik selain tamagotchi. Mungkin binatang piaraan virtual dalam benda mungil tersebut, baginya jauh lebih menarik dibanding sahabat-sahabatnya.Ah, entah lah!Reygan yang beberapa hari sebelumnya sengaja meninggalkan gitar di rumahku,
September, 2000. "Srindit, kiri! Kiri!" seru kondektur seraya memukul kaca pada badan bus menggunakan uang koin. Aku yang hendak turun, berdiri di ambang pintu—dekat kondektur, menunggu sopir mengerem kendaraan dengan sempurna. "Ck, hujan," keluhku lirih. Sang kondektur rupanya membaca keresahanku. Memang hujan tengah turun deras. Madiun tampak muram di seluruh penjuru langit. Gelap pekat di mana-mana, hingga lampu kendaraan pun semua dinyalakan. Padahal, waktu baru menunjuk pukul 4 sore. "Masuknya jauh?" Si kondektur menatapku lekat. Aku menggeleng sembari mengedarkan pandangan ke luar bus. “Enggak bawa payung?" "Masa sekolah bawa payung!" "Sedia payung sebelum hujan." Kelakar si kondektur hanya kutanggapi dengan tawa kecil. Di waktu bersamaan, bus
Aku tak habis pikir, bagaimana ceritanya si Raga bisa tahu namaku? Lebih heran lagi, dia menyebutkan nama lengkapku, selengkap-lengkapnya. Tentu saja otakku diliputi berbagai tanda tanya. Dia itu sebenarnya siapa? Dari mana tahu nama lengkapku? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar mengelilingi kepala. Di satu sisi, aku dibuat bingung oleh sosok Raga, yang kalau bicara logatnya kesunda-sundaan. Sempat deg-degan, dong ... karena Hendra juga memiliki logat bicara seperti itu. Jangan-jangan dia ada hubungan dengan Hendra, atau kenal aku dari Hendra. Make sense, kan? Di sisi lain, akhirnya aku berhasil tahu siapa nama cowok pembawa bola. Raga mengenalkan semua temannya. Mereka dipanggil untuk mendekat, dan semua patuh. Entah lah, apa jabatan tuh cowok dalam gank tersebut? Mungkin dia kapten; jendral; ketua; pimpinan. Soalnya, aku perhatikan setiap ucapan dia selalu dituruti oleh mereka.
Malamnya, aku bercerita kepada ibu tentang pertemuanku bersama lima anak lelaki yang aku sendiri belum tahu rumahnya mana. Terus terang, diajak berkenalan dengan cowok-cowok sekelas mereka, membuatku merasa sedikit spesial. Memang agak norak, tapi norak bukan berarti kuper. Waktu SMP, aku dikenal lumayan supel, meski memiliki sifat tomboi sekaligus bar-bar. Berkawan dengan cowok, bukan hal baru buatku. Sejak kecil hingga lulus SMP, pergaulanku didominasi oleh kaum Adam. Jika pada umumnya remaja putri aktif di sanggar tari, maka aku memilih untuk ikut pencak silat. Hingga penampilan pun menyerupai anak lelaki. Maka dari itulah, ibu menyuruhku masuk SMEA—SMK putri, supaya putri kesayangannya ini bisa lebih feminim. Itu juga harus melalui proses pemaksaan dulu, sebab aku ingin sekali masuk STM—SMK putra. "Jangan-jangan dia itu anaknya kenalan Ibu? Atau anak teman bapak? Enggak mungkin orang tiba-tiba tahu nama
Rumahku serasa pasar dadakan. Ramai oleh riuh canda tawa Reygan dan teman-temannya. Itu pertama kali aku didatangi rombongan boygrup. Tentu saja sedikit syok. Biarpun memiliki banyak kawan lelaki, mereka biasa datang satu per satu. Paling banter dua orang. Bukan keroyokan begitu.Mana anaknya pada hiperaktif. Apalagi Ronald, yang tidak pernah mau diam. Dia itu tipikal cowok pecicilan, ganteng tapi bobrok. Adaaa aja ulahnya yang bikin kami ngakak. Tentu saja kami yang dimaksud di sini adalah kecuali Devan.Devan tak peduli akan semua kehebohan sekitarnya. Baginya, tak ada yang lebih penting untuk diutak-atik selain tamagotchi. Mungkin binatang piaraan virtual dalam benda mungil tersebut, baginya jauh lebih menarik dibanding sahabat-sahabatnya.Ah, entah lah!Reygan yang beberapa hari sebelumnya sengaja meninggalkan gitar di rumahku,
Sejak saat itu, kedekatanku dengan Reygan makin tak terbendung. Hampir setiap hari kami bertemu. Dia selalu menungguku pulang sekolah, kemudian mengekor pulang dan menghabiskan waktu untuk ngobrol sembari menemani aku menyiram tanaman di halaman.Yang menjadi topik pembahasan pun semakin melebar ke mana-mana. Bukan lagi sebatas kami dan keluarga masing-masing. Bahkan mulai merambah area persahabatan dan kehidupan di sekolah serta pergaulan lainnya.Pernah suatu saat, secara tersurat Reygan menanyakan padaku perihal kekasih. Ya, sebagaimana remaja tempo dulu, lah. Dia bertanya, apakah aku sudah memiliki pacar?Pertanyaan tersebut, sontak kujawab tanpa berpikir lebih panjang. "Enggak punya. Belum berani pacaran." Padahal, sudah ada Hendra.Kadang aku mikir, jahat banget jadi aku. Tidak berani mengakui hal yang sebenarny
•• Aku pikir, malam itu bakal menerima wejangan panjang dari ibu perihal kemunculan Reygan yang tiba-tiba. Ibuku orangnya lumayan sensitif untuk urusan cowok. Apalagi cowok yang coba mendekati anak gadisnya ini. Dia tipe emak-emak rempong yang bawel. Sedikit saja ada teman cowokku bertingkah kurang pas, aku yang ditegur. Ditegurnya enggak tanggung-tanggung. Biasanya langsung dilarang berteman. Ternyata aku salah sangka. Reaksi ibu berbeda dari biasanya. Tak ada pembahasan tentang Reygan, seakan tidak terjadi apa-apa. Semua berjalan normal seperti biasa. What's wrong with my mom? Padahal, waktu awal-awal Hendra mendekatiku, dan nenek serta saudara-saudaranya berusaha mengakrabkan kami, ibu sempat murka. Aku masih kelas 3 SMP, harus fokus pada pelajaran sekolah, tidak boleh membagi pikiran dengan hal-hal tidak penting lain. Itu alasannya. Almarhumah nenek o
Sabtu sore yang cerah.Begitu turun dari bus, senyum Reygan menyambut. Lagi-lagi sendirian, nangkring di atas motor biru. Tubuhnya yang menjulang hampir dua meter, terbalut kaos flanel biru tua, dipadu celana seragam pramuka. Sepasang kakinya terbungkus sepatu converse hitam."Sendirian, Mas?" tanyaku basa-basi."Berdua.""Sama?" Aku celingukan, berharap manusia keduanya adalah Devan.Reygan tergelak. "Adek nyari siapa?""Katanya berdua?""Iya, berdua sama Adek."Spontan bibirku mengerucut. Tawa Reygan semakin riuh. Kayaknya puas banget lihat aku merengut."Yowes, aku pulang," pamitku seraya ngeloyor pergi."Lah, gitu aja ngambek!"Tanpa menghentikan langkah, aku menyahuti ucapannya. "Siapa yang ngambek?"Re
Kami melanjutkan perbincangan sembari menikmati segelas es gudir. Ada satu hal yang Reygan ceritakan, yang sempat membuatku ternganga tak percaya, lalu tertunduk jengah dengan wajah memerah. Yakni, saat dia menyebut profesi orang tuanya.“Papaku bekerja di kantor pelayanan publik.”Sampai di situ, aku terdiam. Mendengar kata ‘kantor’, aku sudah minder duluan. Ya, walaupun profesi orang yang bekerja di kantor itu macam-macam. Satpam, juga kerja di kantor. OB, juga kerja di kantor. Bahkan bapakku juga kerja di kantor. Kantor PJTKI. Akan tetapi, sepertinya itu hal berbeda.Aku tidak memiliki ekspektasi apa pun terhadap profesi orang tua Reygan. Waktu mendengar istilah pelayanan publik, kupikir bapaknya PNS. Ternyata, “papa seorang jaksa.”Gubrakkkkk!!!Sumpah! Rasanya pengen kututup ember nih muka. Saat itu juga, aku te
Sore itu, pertemuanku dengan Reygan tak berlangsung lama. Setelah berhasil memastikan dari mana ia tahu namaku, aku bergegas pamit pulang. “Baru jam setengah lima,” cegahnya. Aku tak menanggapi ucapan itu, lantas melenggang pergi begitu saja sembari melambaikan tangan. Mulanya, pemuda tanggung tersebut mengejarku. Namun, langkahnya terhenti seketika saat aku bentak. “Mau apa lagi!?” “Enggak diajak mampir, gitu?” Sepasang mata innocent menatapku lekat. “Sudah sore!” “Atuh gimana? Memang kamu pulangnya sore.” “Au ah!” tukasku kesal, lalu meninggalkan dia begitu saja. Lagi-lagi cowok berperawakan tinggi tegap itu membuntutiku. Maka, beberapa langkah kemudian aku berhenti dan berbalik menghadapnya. “Kalau mau main, besok siang saja. Jumat, aku pulang lebih awal.” Tak kusangka, dia menyepakati
Malamnya, aku bercerita kepada ibu tentang pertemuanku bersama lima anak lelaki yang aku sendiri belum tahu rumahnya mana. Terus terang, diajak berkenalan dengan cowok-cowok sekelas mereka, membuatku merasa sedikit spesial. Memang agak norak, tapi norak bukan berarti kuper. Waktu SMP, aku dikenal lumayan supel, meski memiliki sifat tomboi sekaligus bar-bar. Berkawan dengan cowok, bukan hal baru buatku. Sejak kecil hingga lulus SMP, pergaulanku didominasi oleh kaum Adam. Jika pada umumnya remaja putri aktif di sanggar tari, maka aku memilih untuk ikut pencak silat. Hingga penampilan pun menyerupai anak lelaki. Maka dari itulah, ibu menyuruhku masuk SMEA—SMK putri, supaya putri kesayangannya ini bisa lebih feminim. Itu juga harus melalui proses pemaksaan dulu, sebab aku ingin sekali masuk STM—SMK putra. "Jangan-jangan dia itu anaknya kenalan Ibu? Atau anak teman bapak? Enggak mungkin orang tiba-tiba tahu nama
Aku tak habis pikir, bagaimana ceritanya si Raga bisa tahu namaku? Lebih heran lagi, dia menyebutkan nama lengkapku, selengkap-lengkapnya. Tentu saja otakku diliputi berbagai tanda tanya. Dia itu sebenarnya siapa? Dari mana tahu nama lengkapku? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar mengelilingi kepala. Di satu sisi, aku dibuat bingung oleh sosok Raga, yang kalau bicara logatnya kesunda-sundaan. Sempat deg-degan, dong ... karena Hendra juga memiliki logat bicara seperti itu. Jangan-jangan dia ada hubungan dengan Hendra, atau kenal aku dari Hendra. Make sense, kan? Di sisi lain, akhirnya aku berhasil tahu siapa nama cowok pembawa bola. Raga mengenalkan semua temannya. Mereka dipanggil untuk mendekat, dan semua patuh. Entah lah, apa jabatan tuh cowok dalam gank tersebut? Mungkin dia kapten; jendral; ketua; pimpinan. Soalnya, aku perhatikan setiap ucapan dia selalu dituruti oleh mereka.
September, 2000. "Srindit, kiri! Kiri!" seru kondektur seraya memukul kaca pada badan bus menggunakan uang koin. Aku yang hendak turun, berdiri di ambang pintu—dekat kondektur, menunggu sopir mengerem kendaraan dengan sempurna. "Ck, hujan," keluhku lirih. Sang kondektur rupanya membaca keresahanku. Memang hujan tengah turun deras. Madiun tampak muram di seluruh penjuru langit. Gelap pekat di mana-mana, hingga lampu kendaraan pun semua dinyalakan. Padahal, waktu baru menunjuk pukul 4 sore. "Masuknya jauh?" Si kondektur menatapku lekat. Aku menggeleng sembari mengedarkan pandangan ke luar bus. “Enggak bawa payung?" "Masa sekolah bawa payung!" "Sedia payung sebelum hujan." Kelakar si kondektur hanya kutanggapi dengan tawa kecil. Di waktu bersamaan, bus