Jejak Maya
Maya merupakan play girl yang terbiasa mempermainkan cinta. Dia selalu beranggapan bahwa cinta itu seperti layang-layang yang bisa ditarik ulur sesuka hati. Suatu hari, dia berjumpa dengan lima pemuda yang mengubah banyak hal dalam kehidupannya.
Dari kelima pemuda tersebut, dua di antaranya menyeret Maya masuk dalam lingkaran dilema. Devan, si gunung es yang pesonanya memikat sejak pertama bertemu. Reygan, si humble yang mengenalkan arti kenyamanan sesungguhnya.
Maya terbiasa meremehkan cinta, hingga akhirnya dia sadar bahwa cinta dan kenyamanan adalah dua hal yang berbeda. Bumerang yang dia lempar, berbalik menghantam dirinya sendiri. Untuk bersama Reygan, dia memang merasa nyaman. Namun, mereka tersekat kesenjangan status sosial. Apabila nekat memperjuangkan Devan, tentu saja taruhannya adalah persahabatan. Dia akan kehilangan seseorang yang memberinya rasa nyaman. Bahkan mungkin kehilangan semua sahabatnya, termasuk Devan sendiri.
Lantas, kepada siapa hatinya akan memilih? Sejauh mana dia sanggup memendam perasaannya dalam diam? Dan apa penyesalan terbesar yang membuatnya merasa menjadi manusia paling jahat di dunia?
Baca
Chapter: Part 9 : Peristiwa Demo Terminal BaruRumahku serasa pasar dadakan. Ramai oleh riuh canda tawa Reygan dan teman-temannya. Itu pertama kali aku didatangi rombongan boygrup. Tentu saja sedikit syok. Biarpun memiliki banyak kawan lelaki, mereka biasa datang satu per satu. Paling banter dua orang. Bukan keroyokan begitu.Mana anaknya pada hiperaktif. Apalagi Ronald, yang tidak pernah mau diam. Dia itu tipikal cowok pecicilan, ganteng tapi bobrok. Adaaa aja ulahnya yang bikin kami ngakak. Tentu saja kami yang dimaksud di sini adalah kecuali Devan.Devan tak peduli akan semua kehebohan sekitarnya. Baginya, tak ada yang lebih penting untuk diutak-atik selain tamagotchi. Mungkin binatang piaraan virtual dalam benda mungil tersebut, baginya jauh lebih menarik dibanding sahabat-sahabatnya.Ah, entah lah!Reygan yang beberapa hari sebelumnya sengaja meninggalkan gitar di rumahku,
Terakhir Diperbarui: 2021-09-02
Chapter: Part 8 : Reygan DkkSejak saat itu, kedekatanku dengan Reygan makin tak terbendung. Hampir setiap hari kami bertemu. Dia selalu menungguku pulang sekolah, kemudian mengekor pulang dan menghabiskan waktu untuk ngobrol sembari menemani aku menyiram tanaman di halaman.Yang menjadi topik pembahasan pun semakin melebar ke mana-mana. Bukan lagi sebatas kami dan keluarga masing-masing. Bahkan mulai merambah area persahabatan dan kehidupan di sekolah serta pergaulan lainnya.Pernah suatu saat, secara tersurat Reygan menanyakan padaku perihal kekasih. Ya, sebagaimana remaja tempo dulu, lah. Dia bertanya, apakah aku sudah memiliki pacar?Pertanyaan tersebut, sontak kujawab tanpa berpikir lebih panjang. "Enggak punya. Belum berani pacaran." Padahal, sudah ada Hendra.Kadang aku mikir, jahat banget jadi aku. Tidak berani mengakui hal yang sebenarny
Terakhir Diperbarui: 2021-09-02
Chapter: Part 7 : Impressed •• Aku pikir, malam itu bakal menerima wejangan panjang dari ibu perihal kemunculan Reygan yang tiba-tiba. Ibuku orangnya lumayan sensitif untuk urusan cowok. Apalagi cowok yang coba mendekati anak gadisnya ini. Dia tipe emak-emak rempong yang bawel. Sedikit saja ada teman cowokku bertingkah kurang pas, aku yang ditegur. Ditegurnya enggak tanggung-tanggung. Biasanya langsung dilarang berteman. Ternyata aku salah sangka. Reaksi ibu berbeda dari biasanya. Tak ada pembahasan tentang Reygan, seakan tidak terjadi apa-apa. Semua berjalan normal seperti biasa. What's wrong with my mom? Padahal, waktu awal-awal Hendra mendekatiku, dan nenek serta saudara-saudaranya berusaha mengakrabkan kami, ibu sempat murka. Aku masih kelas 3 SMP, harus fokus pada pelajaran sekolah, tidak boleh membagi pikiran dengan hal-hal tidak penting lain. Itu alasannya. Almarhumah nenek o
Terakhir Diperbarui: 2021-08-24
Chapter: Part 6 : Malam MingguSabtu sore yang cerah.Begitu turun dari bus, senyum Reygan menyambut. Lagi-lagi sendirian, nangkring di atas motor biru. Tubuhnya yang menjulang hampir dua meter, terbalut kaos flanel biru tua, dipadu celana seragam pramuka. Sepasang kakinya terbungkus sepatu converse hitam."Sendirian, Mas?" tanyaku basa-basi."Berdua.""Sama?" Aku celingukan, berharap manusia keduanya adalah Devan.Reygan tergelak. "Adek nyari siapa?""Katanya berdua?""Iya, berdua sama Adek."Spontan bibirku mengerucut. Tawa Reygan semakin riuh. Kayaknya puas banget lihat aku merengut."Yowes, aku pulang," pamitku seraya ngeloyor pergi."Lah, gitu aja ngambek!"Tanpa menghentikan langkah, aku menyahuti ucapannya. "Siapa yang ngambek?"Re
Terakhir Diperbarui: 2021-08-21
Chapter: Part 5 : Yang Tidak TerdugaKami melanjutkan perbincangan sembari menikmati segelas es gudir. Ada satu hal yang Reygan ceritakan, yang sempat membuatku ternganga tak percaya, lalu tertunduk jengah dengan wajah memerah. Yakni, saat dia menyebut profesi orang tuanya.“Papaku bekerja di kantor pelayanan publik.”Sampai di situ, aku terdiam. Mendengar kata ‘kantor’, aku sudah minder duluan. Ya, walaupun profesi orang yang bekerja di kantor itu macam-macam. Satpam, juga kerja di kantor. OB, juga kerja di kantor. Bahkan bapakku juga kerja di kantor. Kantor PJTKI. Akan tetapi, sepertinya itu hal berbeda.Aku tidak memiliki ekspektasi apa pun terhadap profesi orang tua Reygan. Waktu mendengar istilah pelayanan publik, kupikir bapaknya PNS. Ternyata, “papa seorang jaksa.”Gubrakkkkk!!!Sumpah! Rasanya pengen kututup ember nih muka. Saat itu juga, aku te
Terakhir Diperbarui: 2021-08-19
Chapter: Part 4 : Reygan Sebenarnya Sore itu, pertemuanku dengan Reygan tak berlangsung lama. Setelah berhasil memastikan dari mana ia tahu namaku, aku bergegas pamit pulang. “Baru jam setengah lima,” cegahnya. Aku tak menanggapi ucapan itu, lantas melenggang pergi begitu saja sembari melambaikan tangan. Mulanya, pemuda tanggung tersebut mengejarku. Namun, langkahnya terhenti seketika saat aku bentak. “Mau apa lagi!?” “Enggak diajak mampir, gitu?” Sepasang mata innocent menatapku lekat. “Sudah sore!” “Atuh gimana? Memang kamu pulangnya sore.” “Au ah!” tukasku kesal, lalu meninggalkan dia begitu saja. Lagi-lagi cowok berperawakan tinggi tegap itu membuntutiku. Maka, beberapa langkah kemudian aku berhenti dan berbalik menghadapnya. “Kalau mau main, besok siang saja. Jumat, aku pulang lebih awal.” Tak kusangka, dia menyepakati
Terakhir Diperbarui: 2021-08-19