"Mas Hadi? Ini beneran, Mas Hadi?" Lilik menatap tak percaya laki-laki renta yang ada di depannya. Sisa kegagahan dan ketampanannya seolah tak bersisa. Tak ada tatapan angkuh yang dulu selalu dia tunjukkan. Yang ada hanya wajah tua yang nampak lelah, dengan tatapan melasnya."Iya, Lik. Ini aku," lirih Hadi. "Ma, kakek itu siapa?" bisik Sesil penasaran. "Pak De Hadi, ayahnya Kak Ramon." Sesil hanya ber "Oh" ria. Dia memang pernah mendengar cerita tentang Hadi, tapi baru kali bertemu. "Sudah, kamu taruh nampannya di meja! Terus masuk sana!" perintah Lilik dengan suara pelan. Hadi jauh-jauh datang, setelah dua puluh tahun berlalu, pasti ada hal penting yang ingin dibicarakan. Dan Lilik tidak mau Sesil tahu, ini urusan orang dewasa. Sesil segera melakukan perintah ibunya, tanpa banyak bertanya. "Monggo diunjuk minumannya, Mas," ucap Lilik sambil duduk di kursi tepat di seberang Hadi. Lilik tersenyum getir, melihat Hadi menenggak minuman dalam gelas hingga tandas. Tanpa dijelaskan, L
"Maaf ya, Mas. Ramon hanya syok saja, biar saya bicara dengannya," pamit Lilik, lalu beranjak menyusul Ramon.Lilik merasa tidak enak hati dengan Hadi, jauh-jauh datang kesini tapi malah mendapat reaksi yang tidak menyenangkan. Lilik paham betul apa yang dirasakan Ramon, sakit hati dan kecewa terhadap Hadi. Tapi peristiwa itu sudah bertahun-tahun berlalu, alangkah baiknya menutup cerita lama Pelan Lilik membuka pintu kamar Ramon yang tidak tertutup sempurna. Di dalam Lilik mendapati Ramon berdiri di depan jendela menatap ke arah luar. Hal yang sering dilakukan Ramon kalau sedang banyak pikiran. "Bu Lek nggak usah repot-repot membujukku," ujar Ramon tanpa menatap Lilik. Tanpa melihat, Ramon tahu betul kalau yang datang itu Lilik. Ramon hafal irama langkahnya. "Bu Lek mengerti perasaanmu, Ram. Tapi bagaimanapun juga dia orang tuamu," ucap Lilik ketika sudah berada di dekat Ramon. "Orang tua? Orang tua apa yang menelantarkan anaknya? Orang tua apa yang hanya mengejar kesenangannya se
"Mas, ini ada sedikit makanan untuk di jalan," ucap Lilik sambil menyerahkan plastik berisi beberapa bungkus roti dan air mineral pada kaka iparnya. Dia tahu kakak iparnya itu lapar, tapi malu ketika ditawari makan. Terbukti Hadi begitu lahap menghabiskan kue kering dan teh yang disuguhkan Sesil. Mungkin Hadi merasa tak enak hati pada Lilik. Bisa dibilang hubungannya dengan Lilik juga memburuk, sejak dia menikah lagi."Terimakasih, Lik. Bukannya membawa oleh-oleh, aku malah merepotkan kamu," ucap Hadi basa-basi, sambil meraih plastik yang ulurkan Lilik. Sebenarnya tubuh rentanya ingin beristirahat sejenak, tapi penolakan Ramon membuat dia bertekad untuk pulang hari ini juga. Padahal sebelumnya dia membayangkan, Ramon memeluk dan mau mengantarnya pulang. Tapi harapan tak seindah bayangan, Ramon bahkan tak mau menatap wajahnya. Sebenci itu Ramon pada dirinya. "Nggak pa-pa, Mas. Kebetulan ada lebihan pesanan, bisa buat cemilan di bis nanti." Sejak anak-anaknya beranjak besar, Lilik me
Sesil memacu motornya dengan kecepatan sedang, mengingat saat ini sedang membawa orang yang sudah lanjut usia. Padahal Sesil ini kalau naik motor sudah ngalahin Valentino Rossi, alias tukang ngebut. Tapi demi memenuhi pesan mamanya, mau tak mau Sesil harus berhati-hati bawa motor. Kalau terjadi apa-apa terhadap penumpangnya, Lilik bisa mencak-mencak dan menyalahkan dirinya.Perjalanan baru berjalan setengahnya, saat tiba-tiba Hadi memanggil keponakannya itu. "Sesil!" karena tertutup helm, dan diterpa angin, suara Hadi tak terdengar oleh Sesil. Sesil menepikan sepeda motornya, setelah Hadi menepuk pundaknya beberapa kali. "Iya, ada apa, Pak De?" tanya Sesil setelah menghentikan motor dan mematikan mesinnya. Dalam hatinya merasa was-was, takut pria renta ini macem-macem. Meski dia ayah kandung Ramon, tetap saja bisa macem-macem, kan? Namanya juga manusia, tak ada yang tahu isi hatinya. Apalagi mereka baru bertemu hari ini. Jadi Sesil tak tahu laki-laki seperti apa yang sedang dia bonc
Hampir tengah malam ketika mobil travel yang ditumpangi Hadi berhenti di depan rumah sederhana itu. Setelah berterimakasih pada sopir dan menutup pintu mini bus, Hadi segera memasuki rumah. Tujuan utamanya adalah kamarnya sendiri, di mana Alina menghabiskan waktunya sejak sakit. Pelan Hadi membuka pintu yang tak tertutup sempurna, dia mendapati Alina tengah pulas dalam tidurnya. Hatinya lega luar biasa, melihat dada Alina turun naik, karena bernafas. Sejak meninggalkan rumah subuh tadi, hal yang dia takutkan adalah Alina "pergi" tanpa ada dirinya mendampingi. Pelan Hadi meletakkan tas ranselnya di sisi lemari, setelah mengambil amplop pemberian Lilik. Hatinya bersyukur, berkat uang itu dia bisa pulang naik mobil travel. Andai tidak, entah bagaimana nasibnya. Mungkin harus tidur di bangku terminal. "Pa." Panggilan dari Alina membuat Hadi menoleh, dan berjalan ke arah tempat tidur. Hadi tersenyum, menggenggam jemari istrinya. "Papa pulang bareng Ramon, kan?" Dalam bayangan Alina, Ra
"Ram, bisa antar Bu Lek RS Kariadi, nggak?" pinta Lilik pada Ramon yang sudah siap pergi itu. "Kapan, Bu Lek," jawab Ramon, sambil mengingat tali sepatunya."Sekarang, Ram. Mumpung kamu lagi libur." Ramon yang tengah menunduk itu mendongakkan kepala, menatap Bu Leknya dengan tatapan heran. "Mendadak banget sih, Bu Lek. Kan aku sudah janjian mau futsal bareng temen kuliah." Bukan mau menolak permintaan Lilik, tapi Ramon sudah terlanjur janji. Dia tipe orang yang kalau sudah janji bakal ditepati. "Lha, Bu Lek baru dikabari tadi pagi. Makanya semua pesenan hari ini Bu Lek selesaikan awal, takut nggak keburu jadwal besuk," jelas Lilik panjang lebar. "Aku pesenin taksi online aja, ya? Nggak enak sama temen-temen." Lilik melipat tangan di depan dada, menatap kesal pada keponakannya itu. "Kalau naik taksi, aku bisa pesen sendiri. Aku mau diantar kamu, Ram." Sepertinya Lilik sudah tak bisa dibantah lagi. "Tapi, Bu Lek ----" Ramon belum sempat menyelesaikan ucapannya, Lilik sudah memoton
Lilik sengaja mengajak Ramon ke rumah sakit, tanpa memberi tahu siapa yang akan dijenguk. Karena, kalau Lilik jujur mengatakan kalau yang sakit adalah Alina, dan kehadiran Ramon sudah ditunggu oleh Hadi. Sudah pasti Ramon akan menolak mentah-mentah, meski Lilik memaksa sekalipun. Lilik tahu betul bagaimana watak Ramon, kalau sudah benci pada seseorang, jangankan untuk bertemu dan bicara. Melihat saja, Ramon sudah tak sudi. Lilik menggandeng tangan Ramon dengan sedikit memaksa, menuju ranjang Alina. Sekeras-kerasnya hati Ramon, dia paling mudah luluh pada adik ibunya ini. Bertahun-tahun dibesarkan, membuat Ramon sering tak kuasa menolak permintaan Lilik. Ramon masih terdiam, belum bereaksi apa-apa saat berada di dekat Alina. "Kamu lihat sendiri, kan, Ram? Karma itu nyata, hukum tabur tuai itu berlaku," gumam Lilik pelan. "Bukan hanya dia yang ingin menutup mata dengan tenang, tanpa membawa rasa berdosa. Bu Lek, pun sama. Bu Lek juga ingin meninggal dengan tenang. Bu Lek akan sangat
Lilik menangis terharu demi melihat pemandangan langka di depannya. Ramon berjongkok di sisi makam Alina, dan melantunkan doa. Bukan itu saja, sebelumnya Ramon yang melunasi biaya perawatan Alina, karena ada beberapa obat yang tidak ter-cover askes milik Hadi. Ramon juga yang membayar biaya pengurusan, dan pemulangan jenazah Alina ke tanah kelahirannya. Satu hal yang luar biasa, mengingat Ramon sangat anti pati pada ibu sambungnya itu. Lilik berharap, hubungan Ramon dan ayahnya segera mencair. Mengingat Ramon sudah menunjukkan kepeduliannya pada Hadi, dengan membantu kesulitannya. Rasanya Lilik sudah tidak sabar melihat keluarga mereka bersatu lagi. Lilik bisa melihat, bagaimana paniknya Ramon saat diberi tahu kalau Alina sudah meninggal. "Terus biaya rumah sakitnya, siapa yang baya, Bu Lek? Dia punya askes, kan?" Meski belum mau memanggil Hadi dengan sebutan Ayah, nyatanya Ramon masih mempedulikan Hadi. "Punya, tapi masih harus karena ada beberapa biaya yang tidak ter-cover, dan
"Duh, kamu cantik banget. Memang ya, kecantikan pengantin nggak ada yang menandingi." Ardia mencium pipi kanan kiri pengantin wanita. "Mbak Ardia bisa, aja." Attaya tersipu malu, mendapat pujian dari kakak ipar suaminya. "Padahal Mbak Ardi juga cantik, lho. Apalagi Kamaya ini, ih gemes. Duh, jadi pengen punya sendiri," balas Attaya.Meski dulu sempat kecewa, karena Ramon lebih memilih Ardia. Sekarang Attaya bisa menerima mereka sebagai saudara. Mungkin memang Ramon bukan jodohnya, nyatanya Tuhan menggantinya dengan sosok yang tak kalah baik dan gantengnya. Meski tak semapan Ramon, tapi Angga lebih muda. Attaya siap, kok, diajak berjuang dari bawah. Kalau semua dijalani dengan cinta, akan terasa lebih indah. Tanpa pernah ada yang menyangka, Angga menjalin hubungan dengan Attaya hingga naik pelaminan. Wanita yang dulu pernah ditolak Ramon, kini jadi adik iparnya. Ramon bahkan harus memastikan beberapa kali, kalau Angga tak salah orang. Nyatanya memang Attaya yang dulu pernah dijodohk
"Paak, Ardia, Paaak .... !" Lastri menjerit, bersamaan dengan ambruknya Ardia dan menangisnya Baby Kamaya. Dua laki-laki itu gesit menangkap tubuh Ardia, sebelum jatuh ke lantai. Hargo yang sudah berumur itu nampak ngos-ngosan, sementara Ramon terlihat bernafas lega, karena berhasil menyelamatkan Ardia. "Duh, piye, to? Kok sampai pingsan begini?" Lastri menggoyang-goyang tubuhnya sendiri, berusaha menenangkan Baby Kamaya. "Cup, cup, Sayang. Jangan nangis lagi, ya. Mama nggak pa-pa, kok." Lastri mengajak bicara Kamaya, meski bayi itu tak mengerti maksudnya. Bermaksud menenangkan, karena bayi itu masih saja menangis. "Jadi Ardia beneran belum tahu Renita meninggal, Ram?" Tanya Hargo, sambil menata nafasnya yang kepayahan, setelah mereka selesai meletakkan tubuh Ardia di atas Ranjang. Tubuh Ardia makin berisi sejak hamil dan melahirkan. Jangankan Hargo, Ramon saja yang masih muda, ngos-ngosan ngangkat istrinya. "Keadaan nggak memungkinkan, Pa. Saya nggak berani mengatakan yang sebena
"Wah, gantengnya cucu Eyang ...," ucap Hargo, ayah sambung Ardia yang baru saja berkunjung itu. Reflek tangan Lastri, istri Hargo mencubit laki-laki paruh baya itu. "Cantik, Pa. Dia kan cewek? Masak lupa, sih? Kemarin sudah dibilangin, juga." Hargo nyengir lebar, menyadari kekeliruannya. "Lupa, Ma. Maklum sudah tua," jawab Hargo membela diri. "Biarin aja, Cayang. Yangkungmu memang sudah pikun sekarang, ikut Yangti aja, yuk!" Lastri mengangangkat tubuh mungil itu, dan membawanya dalam gendongan. "Namanya siapa, Ar?" Tanya Lastri tanpa menatap Ardia, dia justru asik mengagumi wajah imut Kamaya, yang memang plek ketiplek Ramon. Nggak ada mirip-miripnya sama sekali dengan mamanya, Ardia hanya kebagian gendernya saja. "Pantes yangkungnya bilang ganteng, wong mirip banget bapaknya gini." Lastri membatin. "Kamaya Aymar, Ma. Panggilannya Kamaya," jawab Ardia sambil meletakkan minuman di meja dekat ranjang. "Wes, to. Nggak usah repot-repot! Nanti kalau aku habis bisa ambil sendiri, kamu
Ramon menatap getir gundukan tanah merah, yang ada di depannya. Di dalam tanah itu, tergolek wanita yang sudah memporak-porandakan kehidupan istrinya. Renita, ibu Ardia sekaligus mertua Ramon itu kini sudah terbaring di bawah sana. Tempat peristirahatan terakhir, sekaligus tempat mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia. Ya, Ramon mendapat kabar dari Rutan, saat hendak mengantar ASIP ke Perina tadi. Bahwa Renita menghembuskan nafas terakhir, sehari setelah alat bantu nafasnya dicabut. Kini mertuanya itu dimakamkan di pemakaman umum dekat Rutan. Ramon sudah tanda tangan, menyerahkan semua pengurusan jenazah Renita pada pihak Rutan. Bukan mau lepas tanggung jawab, Tapi kondisi Ardia secara fisik dan psikis tak memungkinkan untuk itu. Lagi pula tak ada keluarga yang bisa diajak berembug, dan dimintai pertimbangan, mau dimakamkan di mana Renita nanti. Daripada bingung, Ramon memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada pihak Rutan. Sebenarnya Ramon sudah mengabari keluarga be
"Mas, kalau aku sudah pulih, sudah boleh pulang. Antar aku menemui Mama, ya?" "Apa, kamu menemui Mama? Buat apa?" Ramon setengah kaget mendengar ucapan Ardia. Ardia baru sehari menjalankan operasi sesar, gerak aja belum bisa. Tiba-tiba ingin bertemu Renita? Yang bener aja? Kemungkinan besar umur Renita hanya tinggal beberapa hari, memang masih ada kesempatan? Bisa jadi Renita sudah terlanjur berpulang, sebelum sempat bertemu Ardia. Menurut keterangan perawat yang menemui Ramon, alat bantu yang menopang hidup Renita akan segera dicabut, begitu mendapat persetujuan dari pihak keluarga. Sedangkan Ramon yang mewakili Ardia, sebagai satu-satunya keluarga yang dimiliki Renita. Sudah menyatakan pasrah dan menyerahkan semua keputusan pada pihak rumah sakit. Mungkinkah kesempatan itu masih ada? "Aku ingin seperti kamu, Mas. Yang bisa memaafkan Ayah, meskipun sudah menyakiti Ibu dan menelantarkan Mas Ramon. Aku ingin memaafkan, Mama. " ucap Ardia pelan. Ramon menggenggam jemari istrinya,
Ramon menatap miris tubuh kurus pucat, dengan selang di beberapa bagian tubuhnya itu. Ya, Ramon akhirnya datang memenuhi panggilan dari pihak Rutan, agar menemui Renita di sisa hidupnya. Meski yang diinginkan wanita itu adalah anak kandungnya, bukan menantunya. Kesahatan dan kondisi mental Ardia tak memungkinkan, untuk bertemu nenek dari Kamaya ini. Meski tak pernah bertemu langsung, Ramon pernah melihat Renita dari jauh ketika sidang putusan dulu. Dia masih terlihat cantik, meski tak lagi segar saat iti. Tapi sekarang, keadaannya benar-benar memprihatinkan. Renita tak ubahnya tengkorak yang bernafas. Mungkin ini karma untuk seorang wanita yang hanya mengejar kesenangan dunia, dan tega menzolimi anaknya sendiri. Ramon membatin. "Tante, ini Ramon, suami Ardia." Pelan Ramon berkata. Meski lirih, di ruangan senyap itu suara Ramon terdengar begitu jelas. "Saya datang mewakili Ardia. Maaf, dia tidak bisa datang. Tante tahu kenapa? Dia tidak sanggup bertemu Tante. Jangankan untuk berte
Ramon duduk gelisah, matanya terus menatap ruangan yang sejak beberapa jam lalu tertutup rapat. Di ruangan yang konon suhunya bisa membuat orang menggigil itu, Ardia tengah terbaring. Menjadi obyek bedah para dokter di sana. Ardia mengalami antepartum, yang disebabkan oleh solusio plasenta. Dan entah apalagi penjelasan dokter, Ramon tidak paham. Dia bukan orang medis, mana tahu dia dengan segala istilah yang mereka gunakan. Kalau bicara soal Gross Profit Margin atau Net Profit Margin, Ramon jagonya. Karena kondisi ini membahayakan ibu dan janin, Ardia terpaksa menjalani operasi seksio sesarea. Tak ada jalan lagi, untuk menyelamatkan Ardia dan bayinya. Ramon hanya bisa berdoa dalam hati, semoga anak istrinya bisa diselamatkan. Bukannya Ramon tak ingin menemani, tapi dia ngeri kalau harus melihat tubuh istrinya di sayat dan berdarah-darah. Ya, meskipun terlihat gagah, nyatanya Ramon takut darah, dan takut melihat orang terluka. Tadi saja, Ramon berusaha tetap kuat, agar tidak pings
Tubuh Ardia gemetar hebat, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ponsel Ardia lepas dari genggaman, hingga jatuh ke lantai. Untung lantainya beralaskan karpet, kalau tidak, sudah bisa dipastikan ponsel itu hancur berkeping-keping. Menyadari itu, Ramon segera mendekati istrinya. Diraihnya tubuh Ardia ke dalam dekapan. "Sayang, ada apa? Siapa yang nelfon?" tanya Ramon pelan. Tangannya mengusap lembut punggung Ardia. Bukannya menjawab, Ardia justru menangis hebat. Ramon tersenyum getir, melihat Ardia bercucuran air mata, tanpa menjelaskan apa sebabnya. Setahun ini hidup mereka baik-baik saja, Ardia bahkan sudah lepas dari obat-obatan anti depresan yang selama ini dia konsumsi sebagai salah satu terapi pemulihan mentalnya. Tiba-tiba Ardia mendapat telfon, dan reaksi Ardia seperti ini. Persis seperti ketika Ardia usai mendapat pelecehan dulu. Siapa yang menelfon? Tubuh Ardia melorot ke lantai, kini wanita berperut buncit itu duduk sambil memeluk lutut, tatap matanya kosong. Seolah tanpa j
Setahun kemudian. "Kamu jadi ke Magelang?" tanya Ramon, ketika melihat Ardia nampak memasukkan beberapa bajunya ke dalam koper. "Jadi, Mas. Kan, sudah janji sama Papa." Ardia menutup rapat kopernya, kini dia duduk di tepi ranjang. Matanya menatap lekat-lekat suaminya yang sedang bermuram durja tersebut. "Kok, Mas kayak nggak ikhlas gitu aku pergi ke Magelang, sih?"Ramon mendekat, kemudian duduk di samping Ardia. "Gimana mau ihlas, ini pertama kalinya sejak kita menikah, kamu ninggalin aku. Aku kesepian, tahu!" Bibir Ramon mengerucut, laki-laki dewasa seperti Ramon terlihat lucu kalau sedang merajuk begitu.Ardia terkekeh, di peluknya lengan suaminya dengan begitu manja. "Apa perlu aku titipin kamu ke Bulek Lilik, aja? Biar nggak kesepian, biar kamu nggak macem-macem selama kutinggal sendiri." Bibir Ramon makin mengerucut mendengar gurauan istrinya. "Ck, kamu pikir aku bocah Tk? Dah lah, perginya ditunda nunggu week end aja! Biar aku bisa ngantar kamu, nanti kita nginep di hotel se