"Mas, ini ada sedikit makanan untuk di jalan," ucap Lilik sambil menyerahkan plastik berisi beberapa bungkus roti dan air mineral pada kaka iparnya. Dia tahu kakak iparnya itu lapar, tapi malu ketika ditawari makan. Terbukti Hadi begitu lahap menghabiskan kue kering dan teh yang disuguhkan Sesil. Mungkin Hadi merasa tak enak hati pada Lilik. Bisa dibilang hubungannya dengan Lilik juga memburuk, sejak dia menikah lagi."Terimakasih, Lik. Bukannya membawa oleh-oleh, aku malah merepotkan kamu," ucap Hadi basa-basi, sambil meraih plastik yang ulurkan Lilik. Sebenarnya tubuh rentanya ingin beristirahat sejenak, tapi penolakan Ramon membuat dia bertekad untuk pulang hari ini juga. Padahal sebelumnya dia membayangkan, Ramon memeluk dan mau mengantarnya pulang. Tapi harapan tak seindah bayangan, Ramon bahkan tak mau menatap wajahnya. Sebenci itu Ramon pada dirinya. "Nggak pa-pa, Mas. Kebetulan ada lebihan pesanan, bisa buat cemilan di bis nanti." Sejak anak-anaknya beranjak besar, Lilik me
Sesil memacu motornya dengan kecepatan sedang, mengingat saat ini sedang membawa orang yang sudah lanjut usia. Padahal Sesil ini kalau naik motor sudah ngalahin Valentino Rossi, alias tukang ngebut. Tapi demi memenuhi pesan mamanya, mau tak mau Sesil harus berhati-hati bawa motor. Kalau terjadi apa-apa terhadap penumpangnya, Lilik bisa mencak-mencak dan menyalahkan dirinya.Perjalanan baru berjalan setengahnya, saat tiba-tiba Hadi memanggil keponakannya itu. "Sesil!" karena tertutup helm, dan diterpa angin, suara Hadi tak terdengar oleh Sesil. Sesil menepikan sepeda motornya, setelah Hadi menepuk pundaknya beberapa kali. "Iya, ada apa, Pak De?" tanya Sesil setelah menghentikan motor dan mematikan mesinnya. Dalam hatinya merasa was-was, takut pria renta ini macem-macem. Meski dia ayah kandung Ramon, tetap saja bisa macem-macem, kan? Namanya juga manusia, tak ada yang tahu isi hatinya. Apalagi mereka baru bertemu hari ini. Jadi Sesil tak tahu laki-laki seperti apa yang sedang dia bonc
Hampir tengah malam ketika mobil travel yang ditumpangi Hadi berhenti di depan rumah sederhana itu. Setelah berterimakasih pada sopir dan menutup pintu mini bus, Hadi segera memasuki rumah. Tujuan utamanya adalah kamarnya sendiri, di mana Alina menghabiskan waktunya sejak sakit. Pelan Hadi membuka pintu yang tak tertutup sempurna, dia mendapati Alina tengah pulas dalam tidurnya. Hatinya lega luar biasa, melihat dada Alina turun naik, karena bernafas. Sejak meninggalkan rumah subuh tadi, hal yang dia takutkan adalah Alina "pergi" tanpa ada dirinya mendampingi. Pelan Hadi meletakkan tas ranselnya di sisi lemari, setelah mengambil amplop pemberian Lilik. Hatinya bersyukur, berkat uang itu dia bisa pulang naik mobil travel. Andai tidak, entah bagaimana nasibnya. Mungkin harus tidur di bangku terminal. "Pa." Panggilan dari Alina membuat Hadi menoleh, dan berjalan ke arah tempat tidur. Hadi tersenyum, menggenggam jemari istrinya. "Papa pulang bareng Ramon, kan?" Dalam bayangan Alina, Ra
"Ram, bisa antar Bu Lek RS Kariadi, nggak?" pinta Lilik pada Ramon yang sudah siap pergi itu. "Kapan, Bu Lek," jawab Ramon, sambil mengingat tali sepatunya."Sekarang, Ram. Mumpung kamu lagi libur." Ramon yang tengah menunduk itu mendongakkan kepala, menatap Bu Leknya dengan tatapan heran. "Mendadak banget sih, Bu Lek. Kan aku sudah janjian mau futsal bareng temen kuliah." Bukan mau menolak permintaan Lilik, tapi Ramon sudah terlanjur janji. Dia tipe orang yang kalau sudah janji bakal ditepati. "Lha, Bu Lek baru dikabari tadi pagi. Makanya semua pesenan hari ini Bu Lek selesaikan awal, takut nggak keburu jadwal besuk," jelas Lilik panjang lebar. "Aku pesenin taksi online aja, ya? Nggak enak sama temen-temen." Lilik melipat tangan di depan dada, menatap kesal pada keponakannya itu. "Kalau naik taksi, aku bisa pesen sendiri. Aku mau diantar kamu, Ram." Sepertinya Lilik sudah tak bisa dibantah lagi. "Tapi, Bu Lek ----" Ramon belum sempat menyelesaikan ucapannya, Lilik sudah memoton
Lilik sengaja mengajak Ramon ke rumah sakit, tanpa memberi tahu siapa yang akan dijenguk. Karena, kalau Lilik jujur mengatakan kalau yang sakit adalah Alina, dan kehadiran Ramon sudah ditunggu oleh Hadi. Sudah pasti Ramon akan menolak mentah-mentah, meski Lilik memaksa sekalipun. Lilik tahu betul bagaimana watak Ramon, kalau sudah benci pada seseorang, jangankan untuk bertemu dan bicara. Melihat saja, Ramon sudah tak sudi. Lilik menggandeng tangan Ramon dengan sedikit memaksa, menuju ranjang Alina. Sekeras-kerasnya hati Ramon, dia paling mudah luluh pada adik ibunya ini. Bertahun-tahun dibesarkan, membuat Ramon sering tak kuasa menolak permintaan Lilik. Ramon masih terdiam, belum bereaksi apa-apa saat berada di dekat Alina. "Kamu lihat sendiri, kan, Ram? Karma itu nyata, hukum tabur tuai itu berlaku," gumam Lilik pelan. "Bukan hanya dia yang ingin menutup mata dengan tenang, tanpa membawa rasa berdosa. Bu Lek, pun sama. Bu Lek juga ingin meninggal dengan tenang. Bu Lek akan sangat
Lilik menangis terharu demi melihat pemandangan langka di depannya. Ramon berjongkok di sisi makam Alina, dan melantunkan doa. Bukan itu saja, sebelumnya Ramon yang melunasi biaya perawatan Alina, karena ada beberapa obat yang tidak ter-cover askes milik Hadi. Ramon juga yang membayar biaya pengurusan, dan pemulangan jenazah Alina ke tanah kelahirannya. Satu hal yang luar biasa, mengingat Ramon sangat anti pati pada ibu sambungnya itu. Lilik berharap, hubungan Ramon dan ayahnya segera mencair. Mengingat Ramon sudah menunjukkan kepeduliannya pada Hadi, dengan membantu kesulitannya. Rasanya Lilik sudah tidak sabar melihat keluarga mereka bersatu lagi. Lilik bisa melihat, bagaimana paniknya Ramon saat diberi tahu kalau Alina sudah meninggal. "Terus biaya rumah sakitnya, siapa yang baya, Bu Lek? Dia punya askes, kan?" Meski belum mau memanggil Hadi dengan sebutan Ayah, nyatanya Ramon masih mempedulikan Hadi. "Punya, tapi masih harus karena ada beberapa biaya yang tidak ter-cover, dan
Mata Ramon mendelik kesal, demi melihat siapa yang berdiri di depan pintu ruangan kantornya. Dari mana anak ini tahu alamat kantornya? Sedangkan dia tidak pernah memberitahukan dimana tempatnya bekerja. "Assalamu'alaikum, Mas," sapa suara itu riang seraya meraih tangan Ramon dan menciumnya takzim. Tak peduli pada ekspresi dingin Ramon, yang seolah siap menerkamnya. Kalau bukan sedang berada di kantor, rasanya Ramon ingin menghajar anak satu ini. Berani-beraninya menyambangi dirinya ke kantor. Mau apa dia? Batin Ramon bertanya. "Waalaikum salam .... Masuk!" Suara Ramon terdengar dingin dan ketus. Bukan karena ingin bersikap ramah pada pemuda yang disebutnya anak setan itu, Ramon hanya tidak mau orang kantor tahu masalah pribadinya. Tanpa menunggu diperintah dua kali, Radit segera masuk ke ruangan yang terlihat rapi itu. "Duduk!" perintah Ramon masih dengan nada ketus. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Ramon setelah duduk di kursi kebesarannya. "Aku mengikuti SNMPTN, Mas. Tapi nggak
Ramon menatap Radit tanpa berkedip, baru kali ini dia melihat ada orang serakus itu. Makan dengan porsi besar, masih nambah pula. Entah doyan atau lapar. "Lho, Mas. Kenapa nggak dimakan nasinya?" Radit menghentikan suapan, ketika menyadari Ramon sama sekali belum menyentuh makanannya. Laki-laki dingin itu justru sibuk mengamati dia makan. "Sudah kenyang lihat kamu makan," ketus Ramon, yang ditanggapi senyum lebar oleh Radit. Seperti tekadnya, seketus apapun sikap Ramon padanya, dia tidak akan tersinggung. Cukup disenyumin aja. "Kalau gitu buat aku saja, Mas, nasinya. Sayang kalau nggak kemakan." Tangan Radit terulur hendak mengambil piring di depan Ramon, tapi tangannya dipukul dengan sendok. "Auw! Sakit, Mas." Radit mengadu kesakitan. "Berapa hari nggak makan?" Radit garuk-garuk kepalanya, mendapat pertanyaan seperti itu. "He .... He .... Sejak pagi belum makan, Mas," ucap Radit malu-malu. "Pantes makannya kayak orang kesetanan. Anak setan, emang!" gerutu Ramon, sambil mendoron