Dua Keluarga yang terlibat, tetapi seluruh warga merasakan kengerian yang sama.
Mereka bahkan tidak bisa lagi menutupi rasa takut mereka. Namun, para pemimpin justru sibuk memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan pribadi mereka.
Saat ini, Pak Jaya duduk di ruang tamu sembari memandang ke luar jendela.
Wajahnya cemas, sementara pikirannya bergulir cepat.
Dicobanya menganalisis setiap kejadian yang mungkin mengarah pada pembunuhan yang mengerikan itu.
Di sisi lain, Bu Lela, berdiri di dapur, sibuk menyiapkan secangkir teh hangat. Suasana di rumah terasa berat, bahkan aromanya pun tidak sehangat biasanya. Belum sempat ia menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, terdengar ketukan keras di pintu depan. Tanpa berpikir panjang, Bu Lela membuka pintu, dan di sana berdiri keluarga Ana—Rian, Pak Dedi dan beberapa tetangga yang mereka kenal baik.
“Pak Jaya,” kata Rian dengan suara berat, penuh beban. "Kami… kami datang untuk berbicara."
Pak Jaya berdiri, menyambut mereka dengan tatapan penuh pertanyaan. “Ada yang bisa kami bantu?”
“Ada hal-hal yang perlu kita bicarakan,” lanjut Pak Dedi, suaranya terdengar lelah.
‘’Masuk saja Pak.’’
Bu Lela menyarankan mereka untuk masuk dan duduk, meski suasana di dalam rumah terasa semakin berat. Semuanya duduk di ruang tamu yang kecil dan sederhana, di mana setiap detil terasa mengingatkan mereka pada masa lalu yang lebih tenang. Namun hari itu, suasana begitu berbeda, penuh dengan ketegangan yang mengambang di udara.
Rian mulai berbicara, “Kita harus mencari tahu siapa yang punya kepentingan untuk melakukan ini pada Ana. Kami… kami sudah berpikir tentang beberapa orang yang mungkin memiliki alasan untuk menyakitinya.”
Pak Jaya mungkin tidak menyadari bahwa masalah yang terpendam bisa berakhir seperti ini.
Pak Dedi mengangguk, mengusap wajahnya dengan lelah. "Kami sudah memikirkan itu. Rian sudah ada disini. Beliau bisa membantu kita untuk mengatasi masalah ini. Kita tahu bahwa dia adalah Polisi dan beliau juga sering membantu kita saat mengalami kesulitan.’’
Rian mengangguk seolah setuju dengan perkataan Pak Dedi.
“Benar itu,’’ Sahut serentak beberapa warga desa yang ikut Bersama Rian dan Pak Dedi.
Warga desa tahu betul bahwa Rian sangat bisa diandalkan. Terbukti dari beberapa masalah seperti kemalingan, perkelahian, tawuran dan cekcok antar warga dapat ia selesaikan dengan baik dan bijaksana.
Rian masih sangat muda. Ia berusia 35 tahun, ia juga memiliki wajah tampan dan penuh wibawa. Wajar apabila warga desa sangat mengandalkan dirinya.
Rambutnya hitam dan dipotong pendek, selalu rapi dan terawat, mencerminkan profesionalismenya sebagai aparat penegak hukum. Tubuhnya juga terlihat tegap dan atletis, mencerminkan disiplin yang ia miliki sebagai seorang polisi. Setiap geraknya terukur, penuh percaya diri, dan menunjukkan kekuatan fisik yang didapat dari latihan keras. Beberapa pemuda desa juga menundukkan kepalanya apabila berpapasan dengan Rian ditengah jalan.
Namun, Bu Lela menatap mata coklat Rian dengan cemas. "Apakah mereka cukup berbahaya untuk bisa melakukan sesuatu seperti itu?"
Rian mengerutkan kening. "Tidak bisa dipastikan, Bu. Tapi kita harus memeriksa siapa saja yang mungkin merasa terancam oleh keberadaan keluarga Bapak dan Ibu."
Kemudian, Pak Jaya melanjutkan, "Sebenarnya saya sudah mengatakan pada polisi tentang siapa saja orang yang saya curigai dan mempunyai masalah dengan saya dan keluarga, ada beberapa orang punya hutang pada keluarga kami, beberapa dari mereka tampaknya tidak pernah berniat untuk membayar dan Mereka selalu menghindar."
Suasana semakin mencekam. Pak Dedi mengangguk, “Mungkin itu juga bisa menjadi petunjuk. Hutang adalah masalah yang bisa membuat orang gelap mata.”
Namun, tidak hanya masalah bisnis yang mencuat. Seorang tetangga, yang ikut hadir dalam pembicaraan itu, ikut menambahkan. “Ada juga beberapa orang yang tidak begitu suka dengan keluarga Pak Jaya. Kita semua tahu bapak adalah orang yang ‘’berada’’ mungkin bisa karena masalah bisnis atau masalah lahan yang bapak miliki’’
Bu Lela menggenggam tangan Pak Jaya. "Ini semakin rumit. Tidak mudah mencari siapa yang berpotensi melakukan ini."
Pak Jaya melanjutkan, "Saya juga curiga dengan pemuda yang pernah bekerja sebagai buruh kasar di ladang kami. Ana sempat memperingatkan saya bahwa dia merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. Saya tidak tahu apakah itu berhubungan, tapi ini adalah hal yang perlu kita pertimbangkan."
Keheningan meliputi ruang tamu. Semua orang mulai berpikir keras, mencari koneksi antara semua informasi yang baru saja disebutkan. Kecurigaan semakin mengental, dan rasa takut semakin menguasai setiap detik yang berlalu.
Rian akhirnya berdiri. "Kita tidak bisa hanya menduga-duga. Kita harus mencari bukti. Kita akan mulai mencari tahu lebih dalam tentang siapa saja yang terlibat. Kita akan menemui orang-orang yang mungkin punya alasan untuk menyakitinya."
Pak Dedi menatap Tetangga yang lain dengan tekad yang sama. "Kami akan membantu Rian. Jika ada yang harus dilakukan, kami siap."
Rian menggeleng. ‘’Kita tidak bisa berharap pada Rimbawa sebagai kepala polisi saat ini, bahkan aku sangat sulit untuk langsung berhubungan dengannya. Situasi Politik saat ini sedang tidak baik. Para pemimpin sedang sibuk tentang perebutan kekuasaan. Kita harus berusaha sendiri mencari keadilan yang kita inginkan’’
‘’Baiklah, kita list setiap nama yang Pak Jaya curigai’’, Pak Dedi mengambil pulpen dan kertas Bersiap untuk menulis nama yang akan disebutkan oleh Pak Jaya.
“Yang pertama adalah Doni, seorang rekan bisnis. Dia berusaha menekan kami untuk menjual tanah yang sudah diwariskan turun temurun. Tapi Aku menolak, dan tampaknya dia tak bisa menerima itu. Dia mulai semakin agresif belakangan ini, mencoba mengancam kami dengan cara halus. Bisa jadi, dia merasa kalau aku menentang keinginannya dan akan merusak rencana bisnisnya.”
Rian mengangguk, menyimak dengan cermat. “Lalu?”
“Yang kedua adalah Taufik, salah satu orang yang punya hutang cukup besar pada keluarga kami. Istri saya sudah beberapa kali memberitahu saya bahwa Pak Taufik selalu menghindar untuk melunasi hutangnya. Kami tidak pernah mengungkitnya, tapi saya rasa dia mulai frustrasi. Perusahaannya bangkrut karena kebiasaanya berjudi. Jika dia merasa terpojok, mungkin dia bisa melakukan hal-hal yang tak terduga.”
Bu Lela menyeringai kecil. “Tapi, apakah mungkin dia sampai sejauh itu? Pembunuhan? Itu terlalu jauh.”
Pak Dedi menggelengkan kepala. “Saya tahu, Bu. Tapi kadang, orang bisa berubah jika mereka terdesak. Kita harus berhati-hati.”
Ada jeda sejenak sebelum Pak Jaya melanjutkan, “Selain itu, ada juga Roni, seorang pemuda yang bekerja sebagai buruh kasar di ladang kami. Anita, kakak Ana selalu merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. Katanya, Roni sering mengawasinya secara diam-diam, bahkan ketika dia sedang bekerja sendiri di ladang. Anita sering memarahinya. Akupun begitu. saya rasa ini perlu kita selidiki lebih lanjut.”
Rian menyentuh dagunya, merenung. “Tiga nama….. tiga nama ini bisa saja terlibat. Tapi kita tidak bisa hanya mengandalkan dugaan. Kita harus mencari bukti. Kalau tidak, semuanya hanya akan jadi spekulasi.”
Di sisi lain, Bu Lela menatap Pak Jaya dengan serius. “Kita juga harus hati-hati, Pak. Jika mereka benar-benar terlibat, kita harus tahu langkah apa yang harus kita ambil.’’
Rian akhirnya berdiri, tegas. “Baik, kalau begitu kita akan mulai. Kita akan mencari lebih banyak informasi, mengikuti jejak-jejak yang mereka tinggalkan, dan menemui orang-orang yang mungkin tahu lebih banyak. Kita tidak bisa mengandalkan orang lain untuk mencari pelaku ini. Kita yang harus melakukannya.”
Keluarga Ana saling berpandangan, memutuskan untuk menyelidiki sendiri. Keputusan ini bukan hanya didorong oleh rasa kehilangan dan kemarahan, tetapi juga oleh sebuah tekad kuat untuk menemukan kebenaran.
Mereka mulai merencanakan langkah selanjutnya. Rencananya, mereka akan mengunjungi orang-orang yang mereka curigai, mencoba mencari petunjuk atau percakapan yang tidak biasa. Mereka juga akan berbicara dengan beberapa tetangga yang mungkin mengetahui sesuatu yang tidak mereka sadari sebelumnya.
“Yang pertama,” kata Rian dengan tegas, “kita akan mencari tahu lebih dalam tentang Pak Doni. Apa yang sebenarnya terjadi dengan bisnis mereka? Apakah ada hal yang selama ini mereka sembunyikan?”
Pak Dedi menambahkan, “Kita juga harus mencari tahu lebih lanjut tentang Pak Taufik. Coba cari tahu apakah dia memiliki alibi untuk malam kejadian, atau apakah ada orang yang melihatnya di sekitar rumah Ana.”
Pak Jaya menatap keluar jendela. Dia melihat Roni yang sedang memotong rumput liar di depan rumahnya, lalu berkata dengan suara berat, “Dan terakhir, Rian. Kita harus bicara dengannya, mencari tahu apakah dia benar-benar hanya seorang buruh biasa atau ada motif yang lebih besar di baliknya.”
Mereka semua merasa ketegangan itu merayap di setiap sudut rumah. Apa yang akan mereka temukan? Siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan mengerikan ini? Setiap langkah yang mereka ambil semakin mendekat pada kebenaran yang belum sepenuhnya mereka pahami, dan mereka tahu—apapun yang mereka temukan, itu akan mengubah hidup mereka selamanya.
“Ini bukan hanya tentang mencari pelaku,” kata Rian, sambil memandang keluarga Ana dengan penuh tekad. “Ini tentang memastikan keadilan untuk Ana. Tidak ada yang bisa lepas dari ini. Kita akan mendapatkan jawaban.”
Di kantor polisi....Suasana semakin tegang. Berita mengenai penemuan mayat Ana yang mengerikan telah menyebar cepat, dan tekanan dari berbagai pihak semakin meningkat. Meski mereka berusaha bekerja dengan cepat, perkembangan penyelidikan justru tampak lambat, tidak sesuai dengan harapan masyarakat yang sudah terlanjur cemas. Di ruang penyelidikan, kepala kepolisian kota, Jenderal Rimbawa, sedang duduk di meja kerjanya dengan wajah yang tampak kebingungan.Jenderal Rimbawa adalah seorang pria tua berumur 60 Tahun dengan postur tubuh yang masih tegap, meskipun tampak semakin kurus dan lelah. Rambutnya yang dulu hitam kini berubah menjadi abu-abu, dengan beberapa bagian yang hampir memutih, mencerminkan usianya yang semakin menua. Wajahnya terkesan keras, dengan garis-garis kedutan di dahi dan sekitar matanya, menunjukkan pengalaman panjang yang dilalui dalam dunia militer dan kepolisian. Namun, ada sesuatu yang tampak kikuk dalam tatapan matanya—sebuah kebingungan yang seolah mengabur
“Akhirnya! Itu baru informasi yang berguna. Segera lakukan penyelidikan lebih lanjut! Jangan biarkan satu pun petunjuk terlewat!”Rimbawa tampak lega. Sayangnya, para penyidik kini merasa kekurangan dukungan dan petunjuk yang lebih jelas...Padahal di luar gedung kepolisian, wartawan dan masyarakat semakin menuntut jawaban. Mereka semakin curiga dengan keterlambatan penyelidikan yang tampak lamban dan tidak terarah.Di desa-desa, orang-orang mulai berbicara tentang ketidakmampuan aparat kepolisian untuk mengungkap pelaku pembunuhan Ana. Mereka bahkan mulai mencibir kinerja Kepala Kepolisian, yang dipandang lebih sebagai seorang politikus daripada seorang penegak hukum.Namun, tanpa sadar, di balik ketidaksepahaman ini, sebuah petunjuk berharga mungkin saja telah terlewatkan. Mungkin saja, jawabannya sudah ada, tetapi hanya disembunyikan di antara kebingungan yang terus menghantui setiap langkah mereka....Di sisi lain, suasana sekitar rumah Pak Jaya tampak kembali hening setelah keda
Senyum tipis muncul di wajah Joko. "Dan kalian pikir kami tidak tahu? Bahkan jika kita ingin mencari pembunuh, kita harus melihat semua kemungkinan, termasuk kalian berdua."Pak Jaya menundukkan kepalanya, seolah-olah mencoba menenangkan dirinya.Suasana dalam ruangan itu berubah menjadi hening, hanya terdengar suara nafas yang tertahan. Bu Lela menatap suaminya dengan cemas, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.“Baiklah, satu pertanyaan terakhir, apakah nama-nama yang kalian berikan padaku sama dengan yang kalian berikan pada bocah kota itu ?”Pak Jaya tetap tertunduk tanpa membalas pertanyaan Joko.“Diam saja ? baiklah, kami izin pamit. Terima kasih atas kerjasamanya, dan mungkin kami akan kembali lagi dalam waktu dekat.” Ucap Joko yang berjalan keluar pintu.Joko telah keluar dari rumah Pak Jaya namun Ketegangan yang dia bawa kedalam rumah itu semakin memuncak saat Joko mengungkapkan kenyataan bahwa Ana bukan anak kandung Pak Jaya. Apakah hal ini akan membuka tabir kebenaran
Untungnya, kehadiran pasukan buzzer yang sudah mulai bekerja membuat narasi perlahan mulai berubah.Berita pertama yang muncul adalah bahwa Pak Yusuf mencoba memanfaatkan tragedi ini untuk meningkatkan elektabilitasnya.Di media sosial, pesan-pesan yang disebarkan oleh buzzer pemerintah mulai meresap ke dalam benak warga.[Pak Yusuf berusaha meraih simpati dengan cara yang tidak pantas, menjadikan tragedi kematian Ana sebagai alat untuk meraih kekuasaan]Bahkan, ada juga yang mulai mengaitkan Pak Yusuf dengan spekulasi yang lebih gelap, seperti dugaan bahwa dia memiliki koneksi dengan orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu dalam peristiwa pembunuhan ini.Pada awalnya, warga merasa bingung dengan berita-berita yang beredar. Namun, semakin banyak informasi yang masuk, semakin banyak juga yang mulai meragukan niat Pak Yusuf. Mereka merasa khawatir bahwa dia mungkin memang menggunakan tragedi ini untuk menambah peluangnya dalam pemilihan, dan hal itu membuat beberapa warga mulai
Rian berdiri tegak, menatap Pak Jaya dengan tatapan serius. “Jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Kita belum tahu apa-apa,” katanya tegas, meski nada suaranya tak sepenuhnya bisa menyembunyikan kecemasan.Mereka berpencar, memeriksa setiap sudut ruangan. Setiap lembar dokumen yang mereka sentuh terasa seperti menyimpan rahasia gelap. Ketika Rian sampai di meja utama yang sedikit berbeda dengan meja lain diruangan tersebut, ia menemukan laci yang terkunci. Ia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan dengan satu gerakan kecil namun terlihat cekatan, membuka kunci itu.Di dalam laci, terdapat setumpuk dokumen yang terlihat resmi. Namun, di antara dokumen-dokumen itu, ada satu dokumen yang terlihat berbeda. Sebuah daftar pembayaran utang besar, dengan nama-nama yang tertulis rapi. Nama Pak Jaya ada di sana, disertai angka yang mencengangkan. Tapi bukan itu yang membuat darah Rian membeku, melainkan catatan kecil di sudut bawah dokumen. Tulisan tinta merah mencolok itu berbunyi:"Akan d
Senja itu terasa berbeda.Tempat yang seharusnya ramai--entah mengapa sore ini justru terasa sunyi.Padahal biasanya, banyak orang yang melewati jalan ini, menuju pasar raya di ujung sana.Meski demikian, Uri, gadis kecil berusia delapan tahun berjalan begitu ceria di jalanan hutan yang sepi. Ia baru kembali dari pasar raya menuju rumahnya. Ia melangkah di jalan setapak yang membelah hutan di pinggir desa.Sayangnya, semakin dalam Uri melangkah, ketenangan yang semula menenangkan itu mulai terasa berbeda. Angin yang tadinya menyejukkan kini malah berbisik dengan cara yang tak biasa, dan bayang-bayang di balik pohon-pohon tampak bergerak lebih cepat, seolah mengikuti setiap langkahnya.Tas penuh sayuran ia peluk erat, seolah benda itu bisa mengusir rasa takut yang tiba-tiba datang tanpa alasan.Uri berhenti. Ia sadar ada bau aneh, campuran tanah basah, besi, dan sesuatu yang... tidak enak, membuat perutnya bergejolak.Jantungnya berdebar lebih cepat. Pandangannya tertarik pada sesua
Ibu Uri, Murni, terdiam, wajahnya tegang saat mendengar cerita dari Uri. "Uri..." katanya pelan,Namun segera mencoba menenangkan. " Uri, jangan takut. Uri hanya lelah dan khawatir. Ana pasti baik-baik saja."Ayah Uri, Rian, yang mendengar perkataan Uri kemudian datang mendekat mencoba berbicara dengan lembut. "Uri, Jangan takut. Mungkin hanya terbawa perasaan. Uri baru saja melihat banyak orang di pasar, kan?" Ayahnya mencoba memberikan penjelasan yang rasional.Tapi Uri hanya menggoyangkan kepalanya cepat-cepat, tatapannya penuh ketakutan. "Tidak, yah! Ana... dia tidak bergerak. Tidak seperti orang yang tidur. Ada darah... banyak sekali darah. Aku... aku takut ada yang mengejarku!"Murni dan Rian saling pandang, raut wajah mereka kini berubah serius.Mereka tidak tahu bagaimana harus merespons, karena tak ada bukti nyata selain ketakutan yang begitu jelas terlihat di wajah anak mereka."Uri," kata ibunya dengan lembut, " Tenang dulu. Tidak ada yang mengejar. Mungkin hanya karena mer
Setelah 2 minggu malam kejadian penemuan tubuh Ana, udara dingin terasa tidak seperti biasanya seperti biasanya.Selama itu pula, warga yang terbangun pagi-pagi dan ingin menjalani rutinitas harian mereka tidak lagi merasakan ketenangan, seperti yang mereka rasakan dihari-hari sebelumnya.Berita tentang penemuan tubuh Ana sudah menyebar seperti api yang menyambar tumpukan jerami. Desas-desus mengenai kejadian itu juga membuat suasana di desa terasa lebih gelap, lebih mencekam.Tak hanya warga desa yang cemas, tetapi seluruh warga kota pun turut heboh.Di alun-alun desa, keramaian mulai terlihat. Beberapa keluarga keluar dari rumah, saling berbicara dalam bisikan, wajah mereka penuh dengan ketakutan dan kebingungan.Televisi dan radio lokal sudah mulai melaporkan kejadian mengerikan yang terjadi semalam. Berita itu menyebar dengan sangat cepat, membawa kekhawatiran hingga ke pelosok kota.Banyak yang belum bisa mempercayai apa yang mereka dengar dan mereka lihat, namun semakin banyak
Rian berdiri tegak, menatap Pak Jaya dengan tatapan serius. “Jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Kita belum tahu apa-apa,” katanya tegas, meski nada suaranya tak sepenuhnya bisa menyembunyikan kecemasan.Mereka berpencar, memeriksa setiap sudut ruangan. Setiap lembar dokumen yang mereka sentuh terasa seperti menyimpan rahasia gelap. Ketika Rian sampai di meja utama yang sedikit berbeda dengan meja lain diruangan tersebut, ia menemukan laci yang terkunci. Ia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan dengan satu gerakan kecil namun terlihat cekatan, membuka kunci itu.Di dalam laci, terdapat setumpuk dokumen yang terlihat resmi. Namun, di antara dokumen-dokumen itu, ada satu dokumen yang terlihat berbeda. Sebuah daftar pembayaran utang besar, dengan nama-nama yang tertulis rapi. Nama Pak Jaya ada di sana, disertai angka yang mencengangkan. Tapi bukan itu yang membuat darah Rian membeku, melainkan catatan kecil di sudut bawah dokumen. Tulisan tinta merah mencolok itu berbunyi:"Akan d
Untungnya, kehadiran pasukan buzzer yang sudah mulai bekerja membuat narasi perlahan mulai berubah.Berita pertama yang muncul adalah bahwa Pak Yusuf mencoba memanfaatkan tragedi ini untuk meningkatkan elektabilitasnya.Di media sosial, pesan-pesan yang disebarkan oleh buzzer pemerintah mulai meresap ke dalam benak warga.[Pak Yusuf berusaha meraih simpati dengan cara yang tidak pantas, menjadikan tragedi kematian Ana sebagai alat untuk meraih kekuasaan]Bahkan, ada juga yang mulai mengaitkan Pak Yusuf dengan spekulasi yang lebih gelap, seperti dugaan bahwa dia memiliki koneksi dengan orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu dalam peristiwa pembunuhan ini.Pada awalnya, warga merasa bingung dengan berita-berita yang beredar. Namun, semakin banyak informasi yang masuk, semakin banyak juga yang mulai meragukan niat Pak Yusuf. Mereka merasa khawatir bahwa dia mungkin memang menggunakan tragedi ini untuk menambah peluangnya dalam pemilihan, dan hal itu membuat beberapa warga mulai
Senyum tipis muncul di wajah Joko. "Dan kalian pikir kami tidak tahu? Bahkan jika kita ingin mencari pembunuh, kita harus melihat semua kemungkinan, termasuk kalian berdua."Pak Jaya menundukkan kepalanya, seolah-olah mencoba menenangkan dirinya.Suasana dalam ruangan itu berubah menjadi hening, hanya terdengar suara nafas yang tertahan. Bu Lela menatap suaminya dengan cemas, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.“Baiklah, satu pertanyaan terakhir, apakah nama-nama yang kalian berikan padaku sama dengan yang kalian berikan pada bocah kota itu ?”Pak Jaya tetap tertunduk tanpa membalas pertanyaan Joko.“Diam saja ? baiklah, kami izin pamit. Terima kasih atas kerjasamanya, dan mungkin kami akan kembali lagi dalam waktu dekat.” Ucap Joko yang berjalan keluar pintu.Joko telah keluar dari rumah Pak Jaya namun Ketegangan yang dia bawa kedalam rumah itu semakin memuncak saat Joko mengungkapkan kenyataan bahwa Ana bukan anak kandung Pak Jaya. Apakah hal ini akan membuka tabir kebenaran
“Akhirnya! Itu baru informasi yang berguna. Segera lakukan penyelidikan lebih lanjut! Jangan biarkan satu pun petunjuk terlewat!”Rimbawa tampak lega. Sayangnya, para penyidik kini merasa kekurangan dukungan dan petunjuk yang lebih jelas...Padahal di luar gedung kepolisian, wartawan dan masyarakat semakin menuntut jawaban. Mereka semakin curiga dengan keterlambatan penyelidikan yang tampak lamban dan tidak terarah.Di desa-desa, orang-orang mulai berbicara tentang ketidakmampuan aparat kepolisian untuk mengungkap pelaku pembunuhan Ana. Mereka bahkan mulai mencibir kinerja Kepala Kepolisian, yang dipandang lebih sebagai seorang politikus daripada seorang penegak hukum.Namun, tanpa sadar, di balik ketidaksepahaman ini, sebuah petunjuk berharga mungkin saja telah terlewatkan. Mungkin saja, jawabannya sudah ada, tetapi hanya disembunyikan di antara kebingungan yang terus menghantui setiap langkah mereka....Di sisi lain, suasana sekitar rumah Pak Jaya tampak kembali hening setelah keda
Di kantor polisi....Suasana semakin tegang. Berita mengenai penemuan mayat Ana yang mengerikan telah menyebar cepat, dan tekanan dari berbagai pihak semakin meningkat. Meski mereka berusaha bekerja dengan cepat, perkembangan penyelidikan justru tampak lambat, tidak sesuai dengan harapan masyarakat yang sudah terlanjur cemas. Di ruang penyelidikan, kepala kepolisian kota, Jenderal Rimbawa, sedang duduk di meja kerjanya dengan wajah yang tampak kebingungan.Jenderal Rimbawa adalah seorang pria tua berumur 60 Tahun dengan postur tubuh yang masih tegap, meskipun tampak semakin kurus dan lelah. Rambutnya yang dulu hitam kini berubah menjadi abu-abu, dengan beberapa bagian yang hampir memutih, mencerminkan usianya yang semakin menua. Wajahnya terkesan keras, dengan garis-garis kedutan di dahi dan sekitar matanya, menunjukkan pengalaman panjang yang dilalui dalam dunia militer dan kepolisian. Namun, ada sesuatu yang tampak kikuk dalam tatapan matanya—sebuah kebingungan yang seolah mengabur
Dua Keluarga yang terlibat, tetapi seluruh warga merasakan kengerian yang sama.Mereka bahkan tidak bisa lagi menutupi rasa takut mereka. Namun, para pemimpin justru sibuk memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan pribadi mereka.Saat ini, Pak Jaya duduk di ruang tamu sembari memandang ke luar jendela. Wajahnya cemas, sementara pikirannya bergulir cepat.Dicobanya menganalisis setiap kejadian yang mungkin mengarah pada pembunuhan yang mengerikan itu.Di sisi lain, Bu Lela, berdiri di dapur, sibuk menyiapkan secangkir teh hangat. Suasana di rumah terasa berat, bahkan aromanya pun tidak sehangat biasanya. Belum sempat ia menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, terdengar ketukan keras di pintu depan. Tanpa berpikir panjang, Bu Lela membuka pintu, dan di sana berdiri keluarga Ana—Rian, Pak Dedi dan beberapa tetangga yang mereka kenal baik.“Pak Jaya,” kata Rian dengan suara berat, penuh beban. "Kami… kami datang untuk berbicara."Pak Jaya berdiri, menyambut mereka dengan tatapan penuh per
Di luar gedung, suara-suara perbincangan semakin keras. Warga mulai berkumpul di sekitar kantor balai desa, menyebar ke jalan-jalan, bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dan mengapa pembunuhan itu bisa terjadi begitu dekat dengan rumah mereka.Rasa takut mulai menguasai mereka, dan itu adalah sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja.Sementara itu, Calon Kepala daerah yang tengah bersiap untuk pemilihan mendengar kabar tentang pembunuhan itu.Mereka melihat ini sebagai kesempatan untuk menarik simpati warga. Salah satu calon yang dikenal dengan pendekatan populis, Pak Yusuf, segera mengadakan konferensi pers, menggambarkan dirinya sebagai calon yang akan mengembalikan rasa aman di desa itu."Kami tidak akan membiarkan desa kita jatuh ke dalam kekacauan," seru Pak Yusuf dengan penuh semangat. "Jika saya terpilih, saya akan memastikan bahwa setiap orang merasa aman di rumah mereka. Tidak ada tempat untuk kriminal di desa ini. Keamanan akan menjadi prioritas utama."Dalam beberapa
Setelah 2 minggu malam kejadian penemuan tubuh Ana, udara dingin terasa tidak seperti biasanya seperti biasanya.Selama itu pula, warga yang terbangun pagi-pagi dan ingin menjalani rutinitas harian mereka tidak lagi merasakan ketenangan, seperti yang mereka rasakan dihari-hari sebelumnya.Berita tentang penemuan tubuh Ana sudah menyebar seperti api yang menyambar tumpukan jerami. Desas-desus mengenai kejadian itu juga membuat suasana di desa terasa lebih gelap, lebih mencekam.Tak hanya warga desa yang cemas, tetapi seluruh warga kota pun turut heboh.Di alun-alun desa, keramaian mulai terlihat. Beberapa keluarga keluar dari rumah, saling berbicara dalam bisikan, wajah mereka penuh dengan ketakutan dan kebingungan.Televisi dan radio lokal sudah mulai melaporkan kejadian mengerikan yang terjadi semalam. Berita itu menyebar dengan sangat cepat, membawa kekhawatiran hingga ke pelosok kota.Banyak yang belum bisa mempercayai apa yang mereka dengar dan mereka lihat, namun semakin banyak
Ibu Uri, Murni, terdiam, wajahnya tegang saat mendengar cerita dari Uri. "Uri..." katanya pelan,Namun segera mencoba menenangkan. " Uri, jangan takut. Uri hanya lelah dan khawatir. Ana pasti baik-baik saja."Ayah Uri, Rian, yang mendengar perkataan Uri kemudian datang mendekat mencoba berbicara dengan lembut. "Uri, Jangan takut. Mungkin hanya terbawa perasaan. Uri baru saja melihat banyak orang di pasar, kan?" Ayahnya mencoba memberikan penjelasan yang rasional.Tapi Uri hanya menggoyangkan kepalanya cepat-cepat, tatapannya penuh ketakutan. "Tidak, yah! Ana... dia tidak bergerak. Tidak seperti orang yang tidur. Ada darah... banyak sekali darah. Aku... aku takut ada yang mengejarku!"Murni dan Rian saling pandang, raut wajah mereka kini berubah serius.Mereka tidak tahu bagaimana harus merespons, karena tak ada bukti nyata selain ketakutan yang begitu jelas terlihat di wajah anak mereka."Uri," kata ibunya dengan lembut, " Tenang dulu. Tidak ada yang mengejar. Mungkin hanya karena mer