Senja itu terasa berbeda.
Tempat yang seharusnya ramai--entah mengapa sore ini justru terasa sunyi.Padahal biasanya, banyak orang yang melewati jalan ini, menuju pasar raya di ujung sana.
Meski demikian, Uri, gadis kecil berusia delapan tahun berjalan begitu ceria di jalanan hutan yang sepi. Ia baru kembali dari pasar raya menuju rumahnya. Ia melangkah di jalan setapak yang membelah hutan di pinggir desa.
Sayangnya, semakin dalam Uri melangkah, ketenangan yang semula menenangkan itu mulai terasa berbeda.
Angin yang tadinya menyejukkan kini malah berbisik dengan cara yang tak biasa, dan bayang-bayang di balik pohon-pohon tampak bergerak lebih cepat, seolah mengikuti setiap langkahnya.
Tas penuh sayuran ia peluk erat, seolah benda itu bisa mengusir rasa takut yang tiba-tiba datang tanpa alasan.
Uri berhenti.
Ia sadar ada bau aneh, campuran tanah basah, besi, dan sesuatu yang... tidak enak, membuat perutnya bergejolak.
Jantungnya berdebar lebih cepat. Pandangannya tertarik pada sesuatu di balik semak-semak di dekat batu besar pinggir jalan.
Uri memberanikan diri untuk maju selangkah, lalu berhenti lagi. Muncul rasa ragu, tapi rasa penasaran yang tak ia mengerti membuatnya mendekat. Tangannya yang kecil gemetar ketika ia menyibakkan daun-daun semak itu.
Lalu ia melihatnya.
Di sana, tergeletak dalam posisi yang tak wajar, tubuh Ana, sahabatnya!
Itu adalah pemandangan yang begitu mengerikan, seolah-olah waktu berhenti sejenak, terhenti oleh kengerian yang begitu nyata dan tak dapat dipahami.
....
"Ana?" lirihUri merasakan kegelisahan yang semakin membelit dadanya.
Ia ingin menangis namun sesuatu yang ada didalam dadanya seakan menahan semua emosi yang ingin ia keluarkan.
Tubuh gadis kecil yang tergeletak tak bernyawa seakan menghantui setiap tarikan napasnya. Awalnya ia tak mengenali wajah itu, namun setelah beberapa detik matanya terperangkap dalam suasana mencekam, akhirnya ia tersadar bahwa itu sahabat kecilnya, Ana.
Napas Uri terasa sesak, dan seketika, rasa takut yang telah menguasai tubuhnya membuat ia tidak bisa lagi berpikir jernih.
Srak!
Tanpa sengaja, kakinya bergerak, dan dalam sekejap ia berlari.
Langkah dari kaki kecilnya semakin cepat, semakin panik, seolah ada sesuatu yang mengejarnya. Di dalam kepalanya, bayangan Ana yang tergeletak tak bernyawa terus mengganggu, seolah wajah itu muncul di setiap sudut jalan yang ia lewati.
Hutan yang biasa sunyi kini terasa penuh dengan bisikan—seperti suara langkah kaki yang mengikuti, semakin mendekat. Uri menoleh ke belakang, namun hanya ada kegelapan yang semakin meluas, menyelimuti jalan setapak yang biasa ia lalui.
Jantungnya berdegup kencang. Suara napasnya yang terengah-engah terdengar bersamaan dengan ketakutannya yang semakin memuncak, menciptakan irama yang tak terkendali. "Ana..." bisiknya dalam hati, dan suara itu seolah memberi dorongan untuk berlari lebih cepat.
Yang ia inginkan hanya satu: kembali ke rumah, berlindung dalam pelukan ibu dan ayahnya, dan melupakan semua yang baru saja ia lihat.
Namun, semakin ia berlari, semakin ia merasa ada yang mengejarnya. Apakah itu hanya perasaan? Ataukah ada sesuatu yang nyata, yang mengintai di belakangnya? Uri tidak tahu. Setiap langkah terasa semakin berat, seperti ada tangan tak terlihat yang menahannya.
Ia ingin berteriak, tetapi suara itu terkunci di tenggorokan.
Hah....Hanya napasnya yang keluar, terengah-engah, semakin cepat. Semakin dekat, semakin dekat—sesuatu itu mengikutinya.
Setelah berlari sejauh yang ia bisa, Uri akhirnya melihat rumahnya di kejauhan, tampak seperti sebuah pelabuhan yang jauh dari badai, meski suasana yang ia rasakan begitu mencekam. Rumah itu, meski sederhana, kini terasa berbeda, lebih besar, lebih mengintimidasi di bawah langit senja yang mulai gelap.
Dinding kayu yang dulu tampak biasa, kini tampak megah di antara rumah-rumah lain yang lebih kecil dan lusuh. Cahaya hangat dari jendela yang besar memancar ke luar, menyinari jalan setapak yang membelah pekarangan menuju pintu depan.
Tetapi, cahaya yang biasanya membawa rasa nyaman itu kini terasa lain, seperti sebuah ilusi yang mengingatkan Uri pada apa yang baru saja ia lihat di hutan. Sinar matahari yang hampir terbenam memberi nuansa oranye yang memerah, seolah melukis rumah itu dengan warna yang tidak wajar, membingkai setiap sudut dengan kesan dramatis.
Dari kejauhan, rumah itu seolah menonjol di tengah desa yang tenang, tampak mewah meskipun tak begitu besar, satu-satunya yang memiliki pagar kayu yang terjaga rapi, dan atap yang masih tegak meski usianya sudah tua.
Namun, di balik kenyamanan yang pernah diberikan rumah itu, Uri merasa ada sesuatu yang berubah. Bayang-bayang dari pepohonan yang semakin memanjang mengaburkan jalan setapak, menciptakan gambaran yang lebih menyeramkan daripada biasanya. Semakin ia mendekat, semakin ia merasa ada yang ganjil—sesuatu yang mengintai di balik cahaya hangat itu.
Dalam setiap langkah, rumah itu semakin terasa asing, dan bayangan mayat temannya, Ana, yang masih terperangkap dalam benaknya, semakin membebani pikirannya. Meskipun itu adalah tempat yang selalu dia anggap aman, Uri tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang tumbuh dalam dirinya.
Dengan sisa tenaga yang ada, dengan kaki mungil itu ia berlari secepat mungkin, hampir tersandung di tanah yang licin.
Setelah akhirnya sampai di depan rumah, Uri berdiri terengah-engah, tubuhnya masih gemetar dari ketakutan yang begitu mendalam. Wajahnya tampak pucat, hampir tak bernyawa, dengan mata yang membelalak lebar seolah menatap sesuatu yang tak kasatmata.
Bola matanya, yang biasanya penuh keceriaan, kini tampak kosong, berkilau dengan kecemasan yang tak tertahankan.
Bulu matanya yang panjang tampak basah, beberapa tetes air mata masih membasahi pipinya, bercampur dengan keringat yang mengalir deras.
Mulutnya terbuka sedikit, seakan hendak berkata sesuatu, namun kata-kata itu terhenti, tertahan di tenggorokan.
Bibirnya bergetar, sulit untuk menahan isakan yang hampir keluar. Ekspresinya begitu bingung, seperti tak bisa memproses apa yang baru saja ia alami. Raut wajahnya memperlihatkan kebingungan yang mendalam, kebingungan antara rasa takut yang menguasainya dan kenyataan yang begitu sulit untuk ia terima.
Tangan kecilnya masih memegang erat tas penuh sayuran yang kini terasa begitu berat. Setiap gerakan tubuhnya lambat dan terkesan canggung, seolah ia sedang berada dalam keadaan terperangkap antara dunia nyata dan mimpi buruk.
Wajahnya yang dulunya penuh dengan keceriaan kini tampak rapuh, seolah dibebani oleh rasa takut yang begitu besar, yang datang begitu tiba-tiba dan tak bisa dijelaskan.
Tanpa pikir panjang, ia menarik pintu dengan kedua tangan yang bergetar. "Ibu! Ayah!" suaranya bergetar, tercekat, serak, dan terputus-putus.
Begitu pintu terbuka, ibunya langsung berlari mendekat, dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Uri! Ada apa? Kenapa berlarian?" tanya ibunya dengan cemas, menarik tubuh Uri ke dalam pelukannya.
Uri menggenggam erat pakaian ibunya, merasa sedikit tenang meskipun tubuhnya masih gemetar. "Ana... Ana..." suaranya hampir hilang di antara isakan tangisnya. "Ana di hutan... dia... dia... mati!"
Ibu Uri, Murni, terdiam, wajahnya tegang saat mendengar cerita dari Uri. "Uri..." katanya pelan,Namun segera mencoba menenangkan. " Uri, jangan takut. Uri hanya lelah dan khawatir. Ana pasti baik-baik saja."Ayah Uri, Rian, yang mendengar perkataan Uri kemudian datang mendekat mencoba berbicara dengan lembut. "Uri, Jangan takut. Mungkin hanya terbawa perasaan. Uri baru saja melihat banyak orang di pasar, kan?" Ayahnya mencoba memberikan penjelasan yang rasional.Tapi Uri hanya menggoyangkan kepalanya cepat-cepat, tatapannya penuh ketakutan. "Tidak, yah! Ana... dia tidak bergerak. Tidak seperti orang yang tidur. Ada darah... banyak sekali darah. Aku... aku takut ada yang mengejarku!"Murni dan Rian saling pandang, raut wajah mereka kini berubah serius.Mereka tidak tahu bagaimana harus merespons, karena tak ada bukti nyata selain ketakutan yang begitu jelas terlihat di wajah anak mereka."Uri," kata ibunya dengan lembut, " Tenang dulu. Tidak ada yang mengejar. Mungkin hanya karena mer
Setelah 2 minggu malam kejadian penemuan tubuh Ana, udara dingin terasa tidak seperti biasanya seperti biasanya.Selama itu pula, warga yang terbangun pagi-pagi dan ingin menjalani rutinitas harian mereka tidak lagi merasakan ketenangan, seperti yang mereka rasakan dihari-hari sebelumnya.Berita tentang penemuan tubuh Ana sudah menyebar seperti api yang menyambar tumpukan jerami. Desas-desus mengenai kejadian itu juga membuat suasana di desa terasa lebih gelap, lebih mencekam.Tak hanya warga desa yang cemas, tetapi seluruh warga kota pun turut heboh.Di alun-alun desa, keramaian mulai terlihat. Beberapa keluarga keluar dari rumah, saling berbicara dalam bisikan, wajah mereka penuh dengan ketakutan dan kebingungan.Televisi dan radio lokal sudah mulai melaporkan kejadian mengerikan yang terjadi semalam. Berita itu menyebar dengan sangat cepat, membawa kekhawatiran hingga ke pelosok kota.Banyak yang belum bisa mempercayai apa yang mereka dengar dan mereka lihat, namun semakin banyak
Di luar gedung, suara-suara perbincangan semakin keras. Warga mulai berkumpul di sekitar kantor balai desa, menyebar ke jalan-jalan, bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dan mengapa pembunuhan itu bisa terjadi begitu dekat dengan rumah mereka.Rasa takut mulai menguasai mereka, dan itu adalah sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja.Sementara itu, Calon Kepala daerah yang tengah bersiap untuk pemilihan mendengar kabar tentang pembunuhan itu.Mereka melihat ini sebagai kesempatan untuk menarik simpati warga. Salah satu calon yang dikenal dengan pendekatan populis, Pak Yusuf, segera mengadakan konferensi pers, menggambarkan dirinya sebagai calon yang akan mengembalikan rasa aman di desa itu."Kami tidak akan membiarkan desa kita jatuh ke dalam kekacauan," seru Pak Yusuf dengan penuh semangat. "Jika saya terpilih, saya akan memastikan bahwa setiap orang merasa aman di rumah mereka. Tidak ada tempat untuk kriminal di desa ini. Keamanan akan menjadi prioritas utama."Dalam beberapa
Dua Keluarga yang terlibat, tetapi seluruh warga merasakan kengerian yang sama.Mereka bahkan tidak bisa lagi menutupi rasa takut mereka. Namun, para pemimpin justru sibuk memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan pribadi mereka.Saat ini, Pak Jaya duduk di ruang tamu sembari memandang ke luar jendela. Wajahnya cemas, sementara pikirannya bergulir cepat.Dicobanya menganalisis setiap kejadian yang mungkin mengarah pada pembunuhan yang mengerikan itu.Di sisi lain, Bu Lela, berdiri di dapur, sibuk menyiapkan secangkir teh hangat. Suasana di rumah terasa berat, bahkan aromanya pun tidak sehangat biasanya. Belum sempat ia menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, terdengar ketukan keras di pintu depan. Tanpa berpikir panjang, Bu Lela membuka pintu, dan di sana berdiri keluarga Ana—Rian, Pak Dedi dan beberapa tetangga yang mereka kenal baik.“Pak Jaya,” kata Rian dengan suara berat, penuh beban. "Kami… kami datang untuk berbicara."Pak Jaya berdiri, menyambut mereka dengan tatapan penuh per
Di kantor polisi....Suasana semakin tegang. Berita mengenai penemuan mayat Ana yang mengerikan telah menyebar cepat, dan tekanan dari berbagai pihak semakin meningkat. Meski mereka berusaha bekerja dengan cepat, perkembangan penyelidikan justru tampak lambat, tidak sesuai dengan harapan masyarakat yang sudah terlanjur cemas. Di ruang penyelidikan, kepala kepolisian kota, Jenderal Rimbawa, sedang duduk di meja kerjanya dengan wajah yang tampak kebingungan.Jenderal Rimbawa adalah seorang pria tua berumur 60 Tahun dengan postur tubuh yang masih tegap, meskipun tampak semakin kurus dan lelah. Rambutnya yang dulu hitam kini berubah menjadi abu-abu, dengan beberapa bagian yang hampir memutih, mencerminkan usianya yang semakin menua. Wajahnya terkesan keras, dengan garis-garis kedutan di dahi dan sekitar matanya, menunjukkan pengalaman panjang yang dilalui dalam dunia militer dan kepolisian. Namun, ada sesuatu yang tampak kikuk dalam tatapan matanya—sebuah kebingungan yang seolah mengabur
“Akhirnya! Itu baru informasi yang berguna. Segera lakukan penyelidikan lebih lanjut! Jangan biarkan satu pun petunjuk terlewat!”Rimbawa tampak lega. Sayangnya, para penyidik kini merasa kekurangan dukungan dan petunjuk yang lebih jelas...Padahal di luar gedung kepolisian, wartawan dan masyarakat semakin menuntut jawaban. Mereka semakin curiga dengan keterlambatan penyelidikan yang tampak lamban dan tidak terarah.Di desa-desa, orang-orang mulai berbicara tentang ketidakmampuan aparat kepolisian untuk mengungkap pelaku pembunuhan Ana. Mereka bahkan mulai mencibir kinerja Kepala Kepolisian, yang dipandang lebih sebagai seorang politikus daripada seorang penegak hukum.Namun, tanpa sadar, di balik ketidaksepahaman ini, sebuah petunjuk berharga mungkin saja telah terlewatkan. Mungkin saja, jawabannya sudah ada, tetapi hanya disembunyikan di antara kebingungan yang terus menghantui setiap langkah mereka....Di sisi lain, suasana sekitar rumah Pak Jaya tampak kembali hening setelah keda
Senyum tipis muncul di wajah Joko. "Dan kalian pikir kami tidak tahu? Bahkan jika kita ingin mencari pembunuh, kita harus melihat semua kemungkinan, termasuk kalian berdua."Pak Jaya menundukkan kepalanya, seolah-olah mencoba menenangkan dirinya.Suasana dalam ruangan itu berubah menjadi hening, hanya terdengar suara nafas yang tertahan. Bu Lela menatap suaminya dengan cemas, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.“Baiklah, satu pertanyaan terakhir, apakah nama-nama yang kalian berikan padaku sama dengan yang kalian berikan pada bocah kota itu ?”Pak Jaya tetap tertunduk tanpa membalas pertanyaan Joko.“Diam saja ? baiklah, kami izin pamit. Terima kasih atas kerjasamanya, dan mungkin kami akan kembali lagi dalam waktu dekat.” Ucap Joko yang berjalan keluar pintu.Joko telah keluar dari rumah Pak Jaya namun Ketegangan yang dia bawa kedalam rumah itu semakin memuncak saat Joko mengungkapkan kenyataan bahwa Ana bukan anak kandung Pak Jaya. Apakah hal ini akan membuka tabir kebenaran
Untungnya, kehadiran pasukan buzzer yang sudah mulai bekerja membuat narasi perlahan mulai berubah.Berita pertama yang muncul adalah bahwa Pak Yusuf mencoba memanfaatkan tragedi ini untuk meningkatkan elektabilitasnya.Di media sosial, pesan-pesan yang disebarkan oleh buzzer pemerintah mulai meresap ke dalam benak warga.[Pak Yusuf berusaha meraih simpati dengan cara yang tidak pantas, menjadikan tragedi kematian Ana sebagai alat untuk meraih kekuasaan]Bahkan, ada juga yang mulai mengaitkan Pak Yusuf dengan spekulasi yang lebih gelap, seperti dugaan bahwa dia memiliki koneksi dengan orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu dalam peristiwa pembunuhan ini.Pada awalnya, warga merasa bingung dengan berita-berita yang beredar. Namun, semakin banyak informasi yang masuk, semakin banyak juga yang mulai meragukan niat Pak Yusuf. Mereka merasa khawatir bahwa dia mungkin memang menggunakan tragedi ini untuk menambah peluangnya dalam pemilihan, dan hal itu membuat beberapa warga mulai
Rian berdiri tegak, menatap Pak Jaya dengan tatapan serius. “Jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Kita belum tahu apa-apa,” katanya tegas, meski nada suaranya tak sepenuhnya bisa menyembunyikan kecemasan.Mereka berpencar, memeriksa setiap sudut ruangan. Setiap lembar dokumen yang mereka sentuh terasa seperti menyimpan rahasia gelap. Ketika Rian sampai di meja utama yang sedikit berbeda dengan meja lain diruangan tersebut, ia menemukan laci yang terkunci. Ia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan dengan satu gerakan kecil namun terlihat cekatan, membuka kunci itu.Di dalam laci, terdapat setumpuk dokumen yang terlihat resmi. Namun, di antara dokumen-dokumen itu, ada satu dokumen yang terlihat berbeda. Sebuah daftar pembayaran utang besar, dengan nama-nama yang tertulis rapi. Nama Pak Jaya ada di sana, disertai angka yang mencengangkan. Tapi bukan itu yang membuat darah Rian membeku, melainkan catatan kecil di sudut bawah dokumen. Tulisan tinta merah mencolok itu berbunyi:"Akan d
Untungnya, kehadiran pasukan buzzer yang sudah mulai bekerja membuat narasi perlahan mulai berubah.Berita pertama yang muncul adalah bahwa Pak Yusuf mencoba memanfaatkan tragedi ini untuk meningkatkan elektabilitasnya.Di media sosial, pesan-pesan yang disebarkan oleh buzzer pemerintah mulai meresap ke dalam benak warga.[Pak Yusuf berusaha meraih simpati dengan cara yang tidak pantas, menjadikan tragedi kematian Ana sebagai alat untuk meraih kekuasaan]Bahkan, ada juga yang mulai mengaitkan Pak Yusuf dengan spekulasi yang lebih gelap, seperti dugaan bahwa dia memiliki koneksi dengan orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu dalam peristiwa pembunuhan ini.Pada awalnya, warga merasa bingung dengan berita-berita yang beredar. Namun, semakin banyak informasi yang masuk, semakin banyak juga yang mulai meragukan niat Pak Yusuf. Mereka merasa khawatir bahwa dia mungkin memang menggunakan tragedi ini untuk menambah peluangnya dalam pemilihan, dan hal itu membuat beberapa warga mulai
Senyum tipis muncul di wajah Joko. "Dan kalian pikir kami tidak tahu? Bahkan jika kita ingin mencari pembunuh, kita harus melihat semua kemungkinan, termasuk kalian berdua."Pak Jaya menundukkan kepalanya, seolah-olah mencoba menenangkan dirinya.Suasana dalam ruangan itu berubah menjadi hening, hanya terdengar suara nafas yang tertahan. Bu Lela menatap suaminya dengan cemas, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.“Baiklah, satu pertanyaan terakhir, apakah nama-nama yang kalian berikan padaku sama dengan yang kalian berikan pada bocah kota itu ?”Pak Jaya tetap tertunduk tanpa membalas pertanyaan Joko.“Diam saja ? baiklah, kami izin pamit. Terima kasih atas kerjasamanya, dan mungkin kami akan kembali lagi dalam waktu dekat.” Ucap Joko yang berjalan keluar pintu.Joko telah keluar dari rumah Pak Jaya namun Ketegangan yang dia bawa kedalam rumah itu semakin memuncak saat Joko mengungkapkan kenyataan bahwa Ana bukan anak kandung Pak Jaya. Apakah hal ini akan membuka tabir kebenaran
“Akhirnya! Itu baru informasi yang berguna. Segera lakukan penyelidikan lebih lanjut! Jangan biarkan satu pun petunjuk terlewat!”Rimbawa tampak lega. Sayangnya, para penyidik kini merasa kekurangan dukungan dan petunjuk yang lebih jelas...Padahal di luar gedung kepolisian, wartawan dan masyarakat semakin menuntut jawaban. Mereka semakin curiga dengan keterlambatan penyelidikan yang tampak lamban dan tidak terarah.Di desa-desa, orang-orang mulai berbicara tentang ketidakmampuan aparat kepolisian untuk mengungkap pelaku pembunuhan Ana. Mereka bahkan mulai mencibir kinerja Kepala Kepolisian, yang dipandang lebih sebagai seorang politikus daripada seorang penegak hukum.Namun, tanpa sadar, di balik ketidaksepahaman ini, sebuah petunjuk berharga mungkin saja telah terlewatkan. Mungkin saja, jawabannya sudah ada, tetapi hanya disembunyikan di antara kebingungan yang terus menghantui setiap langkah mereka....Di sisi lain, suasana sekitar rumah Pak Jaya tampak kembali hening setelah keda
Di kantor polisi....Suasana semakin tegang. Berita mengenai penemuan mayat Ana yang mengerikan telah menyebar cepat, dan tekanan dari berbagai pihak semakin meningkat. Meski mereka berusaha bekerja dengan cepat, perkembangan penyelidikan justru tampak lambat, tidak sesuai dengan harapan masyarakat yang sudah terlanjur cemas. Di ruang penyelidikan, kepala kepolisian kota, Jenderal Rimbawa, sedang duduk di meja kerjanya dengan wajah yang tampak kebingungan.Jenderal Rimbawa adalah seorang pria tua berumur 60 Tahun dengan postur tubuh yang masih tegap, meskipun tampak semakin kurus dan lelah. Rambutnya yang dulu hitam kini berubah menjadi abu-abu, dengan beberapa bagian yang hampir memutih, mencerminkan usianya yang semakin menua. Wajahnya terkesan keras, dengan garis-garis kedutan di dahi dan sekitar matanya, menunjukkan pengalaman panjang yang dilalui dalam dunia militer dan kepolisian. Namun, ada sesuatu yang tampak kikuk dalam tatapan matanya—sebuah kebingungan yang seolah mengabur
Dua Keluarga yang terlibat, tetapi seluruh warga merasakan kengerian yang sama.Mereka bahkan tidak bisa lagi menutupi rasa takut mereka. Namun, para pemimpin justru sibuk memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan pribadi mereka.Saat ini, Pak Jaya duduk di ruang tamu sembari memandang ke luar jendela. Wajahnya cemas, sementara pikirannya bergulir cepat.Dicobanya menganalisis setiap kejadian yang mungkin mengarah pada pembunuhan yang mengerikan itu.Di sisi lain, Bu Lela, berdiri di dapur, sibuk menyiapkan secangkir teh hangat. Suasana di rumah terasa berat, bahkan aromanya pun tidak sehangat biasanya. Belum sempat ia menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, terdengar ketukan keras di pintu depan. Tanpa berpikir panjang, Bu Lela membuka pintu, dan di sana berdiri keluarga Ana—Rian, Pak Dedi dan beberapa tetangga yang mereka kenal baik.“Pak Jaya,” kata Rian dengan suara berat, penuh beban. "Kami… kami datang untuk berbicara."Pak Jaya berdiri, menyambut mereka dengan tatapan penuh per
Di luar gedung, suara-suara perbincangan semakin keras. Warga mulai berkumpul di sekitar kantor balai desa, menyebar ke jalan-jalan, bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dan mengapa pembunuhan itu bisa terjadi begitu dekat dengan rumah mereka.Rasa takut mulai menguasai mereka, dan itu adalah sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja.Sementara itu, Calon Kepala daerah yang tengah bersiap untuk pemilihan mendengar kabar tentang pembunuhan itu.Mereka melihat ini sebagai kesempatan untuk menarik simpati warga. Salah satu calon yang dikenal dengan pendekatan populis, Pak Yusuf, segera mengadakan konferensi pers, menggambarkan dirinya sebagai calon yang akan mengembalikan rasa aman di desa itu."Kami tidak akan membiarkan desa kita jatuh ke dalam kekacauan," seru Pak Yusuf dengan penuh semangat. "Jika saya terpilih, saya akan memastikan bahwa setiap orang merasa aman di rumah mereka. Tidak ada tempat untuk kriminal di desa ini. Keamanan akan menjadi prioritas utama."Dalam beberapa
Setelah 2 minggu malam kejadian penemuan tubuh Ana, udara dingin terasa tidak seperti biasanya seperti biasanya.Selama itu pula, warga yang terbangun pagi-pagi dan ingin menjalani rutinitas harian mereka tidak lagi merasakan ketenangan, seperti yang mereka rasakan dihari-hari sebelumnya.Berita tentang penemuan tubuh Ana sudah menyebar seperti api yang menyambar tumpukan jerami. Desas-desus mengenai kejadian itu juga membuat suasana di desa terasa lebih gelap, lebih mencekam.Tak hanya warga desa yang cemas, tetapi seluruh warga kota pun turut heboh.Di alun-alun desa, keramaian mulai terlihat. Beberapa keluarga keluar dari rumah, saling berbicara dalam bisikan, wajah mereka penuh dengan ketakutan dan kebingungan.Televisi dan radio lokal sudah mulai melaporkan kejadian mengerikan yang terjadi semalam. Berita itu menyebar dengan sangat cepat, membawa kekhawatiran hingga ke pelosok kota.Banyak yang belum bisa mempercayai apa yang mereka dengar dan mereka lihat, namun semakin banyak
Ibu Uri, Murni, terdiam, wajahnya tegang saat mendengar cerita dari Uri. "Uri..." katanya pelan,Namun segera mencoba menenangkan. " Uri, jangan takut. Uri hanya lelah dan khawatir. Ana pasti baik-baik saja."Ayah Uri, Rian, yang mendengar perkataan Uri kemudian datang mendekat mencoba berbicara dengan lembut. "Uri, Jangan takut. Mungkin hanya terbawa perasaan. Uri baru saja melihat banyak orang di pasar, kan?" Ayahnya mencoba memberikan penjelasan yang rasional.Tapi Uri hanya menggoyangkan kepalanya cepat-cepat, tatapannya penuh ketakutan. "Tidak, yah! Ana... dia tidak bergerak. Tidak seperti orang yang tidur. Ada darah... banyak sekali darah. Aku... aku takut ada yang mengejarku!"Murni dan Rian saling pandang, raut wajah mereka kini berubah serius.Mereka tidak tahu bagaimana harus merespons, karena tak ada bukti nyata selain ketakutan yang begitu jelas terlihat di wajah anak mereka."Uri," kata ibunya dengan lembut, " Tenang dulu. Tidak ada yang mengejar. Mungkin hanya karena mer