Beranda / Thriller / Jejak Kecil di Tengah Magrib / Kejutan di Tanah Yang Basah

Share

Kejutan di Tanah Yang Basah

Penulis: Eza
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-02 01:04:56

Ibu Uri, Murni, terdiam, wajahnya tegang saat mendengar cerita dari Uri. "Uri..." katanya pelan,

Namun segera mencoba menenangkan. " Uri, jangan takut. Uri hanya lelah dan khawatir. Ana pasti baik-baik saja."

Ayah Uri, Rian, yang mendengar perkataan Uri kemudian datang mendekat mencoba berbicara dengan lembut. "Uri, Jangan takut. Mungkin hanya terbawa perasaan. Uri baru saja melihat banyak orang di pasar, kan?" Ayahnya mencoba memberikan penjelasan yang rasional.

Tapi Uri hanya menggoyangkan kepalanya cepat-cepat, tatapannya penuh ketakutan. "Tidak, yah! Ana... dia tidak bergerak. Tidak seperti orang yang tidur. Ada darah... banyak sekali darah. Aku... aku takut ada yang mengejarku!"

Murni dan Rian saling pandang, raut wajah mereka kini berubah serius.

Mereka tidak tahu bagaimana harus merespons, karena tak ada bukti nyata selain ketakutan yang begitu jelas terlihat di wajah anak mereka.

"Uri," kata ibunya dengan lembut, " Tenang dulu. Tidak ada yang mengejar. Mungkin hanya karena merasa takut. Kita akan mencari tahu semuanya. Sekarang, cobalah tidur. Semua akan baik-baik saja."

Uri hanya mengangguk pelan, meski di dalam hatinya rasa takut masih menggantung. Ia dibimbing menuju kamarnya, dan meskipun tubuhnya sangat lelah, tidur tidak datang begitu saja.

Dalam gelap, bayangan Ana terus menghantuinya, dan bisikan angin yang masuk dari jendela terasa semakin mengganggu.

Uri memejamkan mata, berharap ketika ia membuka mata lagi, dunia yang menakutkan itu akan hilang begitu saja.

Malam itu terasa semakin mencekam, lebih dari biasanya. Di dalam kamarnya, Uri berbaring dengan mata terpejam rapat, namun kantuk tak kunjung datang.

Setiap kali angin berhembus, ia merasa seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam kegelapan, suara bisikan yang tak bisa ia tangkap dengan jelas.

Bayangan Ana yang tergeletak di hutan, dengan darah yang menggenang, terus menghantui setiap sudut pikirannya. Hatinya masih berdebar kencang, dan tubuhnya terus gemetar.

Murni yang duduk di dekat ranjangnya, berusaha menenangkan. “Uri, tidurlah. Semua akan baik-baik saja,” katanya dengan suara lembut, meski ada kecemasan yang tak bisa disembunyikan di matanya.

Uri menggigit bibirnya, berusaha menahan isakan. "Ana... dia... tidak bergerak. Ada darah, Ibu. Banyak sekali darah. Aku takut ada yang mengejarku," gumamnya, suara nyaris hilang, terbawa tangis yang semakin mencekam.

Ibunya menatapnya dengan penuh kasih sayang, meskipun dalam hatinya ada keraguan. "Sshhh, Uri hanya lelah dan khawatir. Tidak ada yang mengejarmu. Kamu pasti hanya terbayang-bayang," ujarnya dengan suara menenangkan, meski hatinya sendiri terasa tak tenang.

Namun Uri hanya menggeleng cepat, air matanya terus mengalir. "Tapi, Ibu... Ana... dia sudah tidak bergerak! Tidak seperti orang yang tidur! Aku takut ada yang... ada yang... mengikuti aku!"

Sementara itu, Rian yang duduk di ruang tamu merasakan kegelisahan yang sama. Ia terdiam lama, memikirkan perkataan anaknya. “Ana di hutan… dia mati…” Kalimat itu terus terngiang di kepalanya. Meski ia berusaha berpikir rasional, ada sesuatu yang tak bisa ia abaikan. Uri bukan anak yang suka berimajinasi. Jika ia mengatakan sesuatu, itu pasti karena ada sesuatu yang nyata.

Dengan tekad yang tiba-tiba menguat, Rian berdiri dan mengenakan sepatu. “Aku akan pergi ke rumah Pak Jaya” ujarnya pada istrinya, wajahnya serius. "Aku merasa kita tidak bisa hanya berdiam diri setelah mendengar itu."

Murni menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Tapi Uri baru saja... dia sangat ketakutan. Apa kamu yakin ini saat yang tepat? Apa yang akan kamu katakan pada mereka?"

Rian menghela napas panjang, matanya penuh tekad. "Aku hanya ingin memastikan. Kalau ada yang salah, kita harus tahu.''

Murni mengangguk pelan, meskipun hatinya berat. “Baik. Pergilah Hati-hati, ya...”

‘’Kunci pintu rumah, bila ada seseorang yang mengetuk pintu, jangan langsung dibuka, dilihat dulu dari baik jendela.’’ Murni hanya mengangguk.

 Rian kemudian pergi, meninggalkan rumah yang terasa semakin sunyi. Malam yang gelap disertai kabut tipis menambah kesan menyeramkan di sepanjang jalan setapak menuju rumah orang tua Ana. Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat, seolah bumi menahannya.

Sesampainya di rumah orang tua Ana, Rian melihat beberapa warga sudah berkumpul di luar, wajah mereka muram, penuh kecemasan.

Beberapa di antaranya tampak sudah lelah, wajah mereka lekat dengan tanda keputusasaan. Terlihat Raianyang hanya terduduk lemah dibawah lantai sambil memegang kepala dengan kedua tangan sementara Ibu Ana terlihat menangis dan coba ditenangkan oleh Anak paling tuanya.

Ketika mereka melihat Rian datang, seorang warga mendekat dan menggelengkan kepala. "Ana belum pulang Pak Rian, sampai saat ini belum ada kabar, Pak, Sekarang kami ingin bergerak mencarinya ke hutan" katanya dengan suara datar.

Rian menggelengkan kepala, masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Uri bilang dia melihat Ana di hutan… dia… dia mengatakan Ana sudah tidak bergerak. Dan ada darah. Banyak darah."

Warga itu terdiam, saling pandang satu sama lain. Ada yang terlihat ragu, tapi ada juga yang jelas terlihat ketakutan. "Bagaimana bisa…?" ujar Ibu Ana, Lita dengan suaranya yang bergetar.

Warga yang mendengarnya terdiam. Beberapa orang saling berpandang-pandangan, sementara yang lain terlihat semakin gelisah.

"Kalau Uri mengatakan begitu, kita harus memeriksa kehutan." kata salah seorang ibu yang anaknya biasa bergaul dengan Uri dan Ana.

Rian hanya bisa mengangguk. Ia bergabung dengan mereka, meski rasa gelisah semakin mencekam hatinya. Jalan setapak menuju hutan terasa semakin panjang, dan suasana malam yang sunyi seakan menambah ketegangan.

Mereka menyusuri jalan itu dengan sebuah senter ditangan dan suara langkah kaki mereka pecah di tengah kesunyian malam.

Hutan yang biasanya memberi ketenangan kini terasa penuh ancaman. Setiap suara dedaunan yang bergerak seperti membawa ketakutan. Setelah beberapa saat, mereka sampai di tempat yang Uri sebutkan, dekat dengan semak-semak dibalik batu besar.

Salah seorang warga yang memimpin pencarian tiba-tiba berhenti. Semua orang mengikuti langkahnya, dan ketika mereka melihat ke depan, Rian merasa darahnya berhenti mengalir.

Di sana, tubuh Ana tergeletak tak bernyawa, persis seperti yang telah diceritakan Uri. Rian terdiam di tempat, napasnya tercekat, dan lututnya melemas hingga hampir ambruk. Ana terbaring dengan posisi yang sangat tak wajar, lehernya miring seperti dipelintir secara paksa. Matanya terbuka lebar, memandang ke arah langit yang gelap, tetapi bukan dengan tatapan kosong melainkan dengan ketakutan yang membeku, seperti menceritakan akhir sebuah kisah yang begitu menyakitkan.

Wajahnya pucat, serta membiru, dengan darah kering yang menggumpal di sekitar pelipis dan mulutnya. Ada bekas cakaran panjang di pipi dan lehernya, meninggalkan luka yang seolah menngisahkan kekerasan yang baru saja terjadi. Darah mengalir pelan dari lubang hidungnya, menetes ke tanah yang basah, bercampur dengan lumpur. Bibirnya yang pecah-pecah sedikit terbuka, seperti hendak berteriak histeris sebelum semuanya berakhir.

Tubuhnya penuh dengan memar dan lebam keunguan yang menyebar di lengan hingga kakinya. Pakaiannya robek dan berlumuran tanah, memperlihatkan luka dalam yang membuat pemandangan itu semakin memilukan dan menyeramkan. Udara di sekitar kejadian terasa dingin dan menyesak dada, membawa rasa takut yang begitu nyata hingga membuat Rian tak sanggup lagi bergerak, hanya bisa terpaku oleh kenyataan yang begitu mengerikan.

Suasana seketika hening. Semua orang terdiam, tidak ada yang bisa berkata-kata.

Ketakutan yang tadi hanya dirasakan oleh Uri kini meresap ke dalam hati setiap orang yang ada di sana. Apa yang mereka lihat, jelas tidak mungkin salah. Ana sudah tiada.

Rian jatuh berlutut, mulutnya terasa kering.

Semua yang ia katakan pada Uri tadi tentang perasaan takut yang berlebihan, seolah terhempas begitu saja. "Ana..." bisiknya, suaranya terhenti di tenggorokan.

Para warga mulai bergerak, memberi ruang pada orang tua Ana yang akhirnya datang ke tempat kejadian.

Mereka terjatuh dan terkulai lemas di samping tubuh Ana, bersama dengan air mata yang mengalir deras. Dengan hati-hati, mereka mengangkat tubuh Ana, dan suasana malam yang tadinya tenang kini dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam.

Rian berdiri, menatap tubuh Ana yang kini dibawa pergi. "Uri benar," katanya pelan dalam hati. "Uri benar."

Malam itu, mereka kembali ke desa dengan hati yang hancur. Mereka sudah menemukan kenyataan yang tidak terduga.

Uri, yang masih terbaring di kamarnya, mungkin telah terlelap dalam ketakutannya. Namun keesokan harinya, kenyataan yang mengerikan itu akan menghantui mereka semua. Hutan, yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka, kini akan membawa kenangan kelam yang tak akan terlupakan.....

Bab terkait

  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Kegemparan di Balik Tembok Kekuasaan

    Setelah 2 minggu malam kejadian penemuan tubuh Ana, udara dingin terasa tidak seperti biasanya seperti biasanya.Selama itu pula, warga yang terbangun pagi-pagi dan ingin menjalani rutinitas harian mereka tidak lagi merasakan ketenangan, seperti yang mereka rasakan dihari-hari sebelumnya.Berita tentang penemuan tubuh Ana sudah menyebar seperti api yang menyambar tumpukan jerami. Desas-desus mengenai kejadian itu juga membuat suasana di desa terasa lebih gelap, lebih mencekam.Tak hanya warga desa yang cemas, tetapi seluruh warga kota pun turut heboh.Di alun-alun desa, keramaian mulai terlihat. Beberapa keluarga keluar dari rumah, saling berbicara dalam bisikan, wajah mereka penuh dengan ketakutan dan kebingungan.Televisi dan radio lokal sudah mulai melaporkan kejadian mengerikan yang terjadi semalam. Berita itu menyebar dengan sangat cepat, membawa kekhawatiran hingga ke pelosok kota.Banyak yang belum bisa mempercayai apa yang mereka dengar dan mereka lihat, namun semakin banyak

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Malam yang Tak Terlupakan

    Di luar gedung, suara-suara perbincangan semakin keras. Warga mulai berkumpul di sekitar kantor balai desa, menyebar ke jalan-jalan, bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dan mengapa pembunuhan itu bisa terjadi begitu dekat dengan rumah mereka.Rasa takut mulai menguasai mereka, dan itu adalah sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja.Sementara itu, Calon Kepala daerah yang tengah bersiap untuk pemilihan mendengar kabar tentang pembunuhan itu.Mereka melihat ini sebagai kesempatan untuk menarik simpati warga. Salah satu calon yang dikenal dengan pendekatan populis, Pak Yusuf, segera mengadakan konferensi pers, menggambarkan dirinya sebagai calon yang akan mengembalikan rasa aman di desa itu."Kami tidak akan membiarkan desa kita jatuh ke dalam kekacauan," seru Pak Yusuf dengan penuh semangat. "Jika saya terpilih, saya akan memastikan bahwa setiap orang merasa aman di rumah mereka. Tidak ada tempat untuk kriminal di desa ini. Keamanan akan menjadi prioritas utama."Dalam beberapa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Penuh dengan Kecurigaan

    Dua Keluarga yang terlibat, tetapi seluruh warga merasakan kengerian yang sama.Mereka bahkan tidak bisa lagi menutupi rasa takut mereka. Namun, para pemimpin justru sibuk memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan pribadi mereka.Saat ini, Pak Jaya duduk di ruang tamu sembari memandang ke luar jendela. Wajahnya cemas, sementara pikirannya bergulir cepat.Dicobanya menganalisis setiap kejadian yang mungkin mengarah pada pembunuhan yang mengerikan itu.Di sisi lain, Bu Lela, berdiri di dapur, sibuk menyiapkan secangkir teh hangat. Suasana di rumah terasa berat, bahkan aromanya pun tidak sehangat biasanya. Belum sempat ia menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, terdengar ketukan keras di pintu depan. Tanpa berpikir panjang, Bu Lela membuka pintu, dan di sana berdiri keluarga Ana—Rian, Pak Dedi dan beberapa tetangga yang mereka kenal baik.“Pak Jaya,” kata Rian dengan suara berat, penuh beban. "Kami… kami datang untuk berbicara."Pak Jaya berdiri, menyambut mereka dengan tatapan penuh per

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Pria Penuh Ambisi

    Di kantor polisi....Suasana semakin tegang. Berita mengenai penemuan mayat Ana yang mengerikan telah menyebar cepat, dan tekanan dari berbagai pihak semakin meningkat. Meski mereka berusaha bekerja dengan cepat, perkembangan penyelidikan justru tampak lambat, tidak sesuai dengan harapan masyarakat yang sudah terlanjur cemas. Di ruang penyelidikan, kepala kepolisian kota, Jenderal Rimbawa, sedang duduk di meja kerjanya dengan wajah yang tampak kebingungan.Jenderal Rimbawa adalah seorang pria tua berumur 60 Tahun dengan postur tubuh yang masih tegap, meskipun tampak semakin kurus dan lelah. Rambutnya yang dulu hitam kini berubah menjadi abu-abu, dengan beberapa bagian yang hampir memutih, mencerminkan usianya yang semakin menua. Wajahnya terkesan keras, dengan garis-garis kedutan di dahi dan sekitar matanya, menunjukkan pengalaman panjang yang dilalui dalam dunia militer dan kepolisian. Namun, ada sesuatu yang tampak kikuk dalam tatapan matanya—sebuah kebingungan yang seolah mengabur

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Kebenaran yang Terpendam

    “Akhirnya! Itu baru informasi yang berguna. Segera lakukan penyelidikan lebih lanjut! Jangan biarkan satu pun petunjuk terlewat!”Rimbawa tampak lega. Sayangnya, para penyidik kini merasa kekurangan dukungan dan petunjuk yang lebih jelas...Padahal di luar gedung kepolisian, wartawan dan masyarakat semakin menuntut jawaban. Mereka semakin curiga dengan keterlambatan penyelidikan yang tampak lamban dan tidak terarah.Di desa-desa, orang-orang mulai berbicara tentang ketidakmampuan aparat kepolisian untuk mengungkap pelaku pembunuhan Ana. Mereka bahkan mulai mencibir kinerja Kepala Kepolisian, yang dipandang lebih sebagai seorang politikus daripada seorang penegak hukum.Namun, tanpa sadar, di balik ketidaksepahaman ini, sebuah petunjuk berharga mungkin saja telah terlewatkan. Mungkin saja, jawabannya sudah ada, tetapi hanya disembunyikan di antara kebingungan yang terus menghantui setiap langkah mereka....Di sisi lain, suasana sekitar rumah Pak Jaya tampak kembali hening setelah keda

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Strategi Politik di Dalam Ketakutan

    Senyum tipis muncul di wajah Joko. "Dan kalian pikir kami tidak tahu? Bahkan jika kita ingin mencari pembunuh, kita harus melihat semua kemungkinan, termasuk kalian berdua."Pak Jaya menundukkan kepalanya, seolah-olah mencoba menenangkan dirinya.Suasana dalam ruangan itu berubah menjadi hening, hanya terdengar suara nafas yang tertahan. Bu Lela menatap suaminya dengan cemas, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.“Baiklah, satu pertanyaan terakhir, apakah nama-nama yang kalian berikan padaku sama dengan yang kalian berikan pada bocah kota itu ?”Pak Jaya tetap tertunduk tanpa membalas pertanyaan Joko.“Diam saja ? baiklah, kami izin pamit. Terima kasih atas kerjasamanya, dan mungkin kami akan kembali lagi dalam waktu dekat.” Ucap Joko yang berjalan keluar pintu.Joko telah keluar dari rumah Pak Jaya namun Ketegangan yang dia bawa kedalam rumah itu semakin memuncak saat Joko mengungkapkan kenyataan bahwa Ana bukan anak kandung Pak Jaya. Apakah hal ini akan membuka tabir kebenaran

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Dokumen

    Untungnya, kehadiran pasukan buzzer yang sudah mulai bekerja membuat narasi perlahan mulai berubah.Berita pertama yang muncul adalah bahwa Pak Yusuf mencoba memanfaatkan tragedi ini untuk meningkatkan elektabilitasnya.Di media sosial, pesan-pesan yang disebarkan oleh buzzer pemerintah mulai meresap ke dalam benak warga.[Pak Yusuf berusaha meraih simpati dengan cara yang tidak pantas, menjadikan tragedi kematian Ana sebagai alat untuk meraih kekuasaan]Bahkan, ada juga yang mulai mengaitkan Pak Yusuf dengan spekulasi yang lebih gelap, seperti dugaan bahwa dia memiliki koneksi dengan orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu dalam peristiwa pembunuhan ini.Pada awalnya, warga merasa bingung dengan berita-berita yang beredar. Namun, semakin banyak informasi yang masuk, semakin banyak juga yang mulai meragukan niat Pak Yusuf. Mereka merasa khawatir bahwa dia mungkin memang menggunakan tragedi ini untuk menambah peluangnya dalam pemilihan, dan hal itu membuat beberapa warga mulai

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Jejak di Balik Pintu?

    Rian berdiri tegak, menatap Pak Jaya dengan tatapan serius. “Jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Kita belum tahu apa-apa,” katanya tegas, meski nada suaranya tak sepenuhnya bisa menyembunyikan kecemasan.Mereka berpencar, memeriksa setiap sudut ruangan. Setiap lembar dokumen yang mereka sentuh terasa seperti menyimpan rahasia gelap. Ketika Rian sampai di meja utama yang sedikit berbeda dengan meja lain diruangan tersebut, ia menemukan laci yang terkunci. Ia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan dengan satu gerakan kecil namun terlihat cekatan, membuka kunci itu.Di dalam laci, terdapat setumpuk dokumen yang terlihat resmi. Namun, di antara dokumen-dokumen itu, ada satu dokumen yang terlihat berbeda. Sebuah daftar pembayaran utang besar, dengan nama-nama yang tertulis rapi. Nama Pak Jaya ada di sana, disertai angka yang mencengangkan. Tapi bukan itu yang membuat darah Rian membeku, melainkan catatan kecil di sudut bawah dokumen. Tulisan tinta merah mencolok itu berbunyi:"Akan d

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17

Bab terbaru

  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Jejak di Balik Pintu?

    Rian berdiri tegak, menatap Pak Jaya dengan tatapan serius. “Jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Kita belum tahu apa-apa,” katanya tegas, meski nada suaranya tak sepenuhnya bisa menyembunyikan kecemasan.Mereka berpencar, memeriksa setiap sudut ruangan. Setiap lembar dokumen yang mereka sentuh terasa seperti menyimpan rahasia gelap. Ketika Rian sampai di meja utama yang sedikit berbeda dengan meja lain diruangan tersebut, ia menemukan laci yang terkunci. Ia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan dengan satu gerakan kecil namun terlihat cekatan, membuka kunci itu.Di dalam laci, terdapat setumpuk dokumen yang terlihat resmi. Namun, di antara dokumen-dokumen itu, ada satu dokumen yang terlihat berbeda. Sebuah daftar pembayaran utang besar, dengan nama-nama yang tertulis rapi. Nama Pak Jaya ada di sana, disertai angka yang mencengangkan. Tapi bukan itu yang membuat darah Rian membeku, melainkan catatan kecil di sudut bawah dokumen. Tulisan tinta merah mencolok itu berbunyi:"Akan d

  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Dokumen

    Untungnya, kehadiran pasukan buzzer yang sudah mulai bekerja membuat narasi perlahan mulai berubah.Berita pertama yang muncul adalah bahwa Pak Yusuf mencoba memanfaatkan tragedi ini untuk meningkatkan elektabilitasnya.Di media sosial, pesan-pesan yang disebarkan oleh buzzer pemerintah mulai meresap ke dalam benak warga.[Pak Yusuf berusaha meraih simpati dengan cara yang tidak pantas, menjadikan tragedi kematian Ana sebagai alat untuk meraih kekuasaan]Bahkan, ada juga yang mulai mengaitkan Pak Yusuf dengan spekulasi yang lebih gelap, seperti dugaan bahwa dia memiliki koneksi dengan orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu dalam peristiwa pembunuhan ini.Pada awalnya, warga merasa bingung dengan berita-berita yang beredar. Namun, semakin banyak informasi yang masuk, semakin banyak juga yang mulai meragukan niat Pak Yusuf. Mereka merasa khawatir bahwa dia mungkin memang menggunakan tragedi ini untuk menambah peluangnya dalam pemilihan, dan hal itu membuat beberapa warga mulai

  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Strategi Politik di Dalam Ketakutan

    Senyum tipis muncul di wajah Joko. "Dan kalian pikir kami tidak tahu? Bahkan jika kita ingin mencari pembunuh, kita harus melihat semua kemungkinan, termasuk kalian berdua."Pak Jaya menundukkan kepalanya, seolah-olah mencoba menenangkan dirinya.Suasana dalam ruangan itu berubah menjadi hening, hanya terdengar suara nafas yang tertahan. Bu Lela menatap suaminya dengan cemas, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.“Baiklah, satu pertanyaan terakhir, apakah nama-nama yang kalian berikan padaku sama dengan yang kalian berikan pada bocah kota itu ?”Pak Jaya tetap tertunduk tanpa membalas pertanyaan Joko.“Diam saja ? baiklah, kami izin pamit. Terima kasih atas kerjasamanya, dan mungkin kami akan kembali lagi dalam waktu dekat.” Ucap Joko yang berjalan keluar pintu.Joko telah keluar dari rumah Pak Jaya namun Ketegangan yang dia bawa kedalam rumah itu semakin memuncak saat Joko mengungkapkan kenyataan bahwa Ana bukan anak kandung Pak Jaya. Apakah hal ini akan membuka tabir kebenaran

  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Kebenaran yang Terpendam

    “Akhirnya! Itu baru informasi yang berguna. Segera lakukan penyelidikan lebih lanjut! Jangan biarkan satu pun petunjuk terlewat!”Rimbawa tampak lega. Sayangnya, para penyidik kini merasa kekurangan dukungan dan petunjuk yang lebih jelas...Padahal di luar gedung kepolisian, wartawan dan masyarakat semakin menuntut jawaban. Mereka semakin curiga dengan keterlambatan penyelidikan yang tampak lamban dan tidak terarah.Di desa-desa, orang-orang mulai berbicara tentang ketidakmampuan aparat kepolisian untuk mengungkap pelaku pembunuhan Ana. Mereka bahkan mulai mencibir kinerja Kepala Kepolisian, yang dipandang lebih sebagai seorang politikus daripada seorang penegak hukum.Namun, tanpa sadar, di balik ketidaksepahaman ini, sebuah petunjuk berharga mungkin saja telah terlewatkan. Mungkin saja, jawabannya sudah ada, tetapi hanya disembunyikan di antara kebingungan yang terus menghantui setiap langkah mereka....Di sisi lain, suasana sekitar rumah Pak Jaya tampak kembali hening setelah keda

  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Pria Penuh Ambisi

    Di kantor polisi....Suasana semakin tegang. Berita mengenai penemuan mayat Ana yang mengerikan telah menyebar cepat, dan tekanan dari berbagai pihak semakin meningkat. Meski mereka berusaha bekerja dengan cepat, perkembangan penyelidikan justru tampak lambat, tidak sesuai dengan harapan masyarakat yang sudah terlanjur cemas. Di ruang penyelidikan, kepala kepolisian kota, Jenderal Rimbawa, sedang duduk di meja kerjanya dengan wajah yang tampak kebingungan.Jenderal Rimbawa adalah seorang pria tua berumur 60 Tahun dengan postur tubuh yang masih tegap, meskipun tampak semakin kurus dan lelah. Rambutnya yang dulu hitam kini berubah menjadi abu-abu, dengan beberapa bagian yang hampir memutih, mencerminkan usianya yang semakin menua. Wajahnya terkesan keras, dengan garis-garis kedutan di dahi dan sekitar matanya, menunjukkan pengalaman panjang yang dilalui dalam dunia militer dan kepolisian. Namun, ada sesuatu yang tampak kikuk dalam tatapan matanya—sebuah kebingungan yang seolah mengabur

  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Penuh dengan Kecurigaan

    Dua Keluarga yang terlibat, tetapi seluruh warga merasakan kengerian yang sama.Mereka bahkan tidak bisa lagi menutupi rasa takut mereka. Namun, para pemimpin justru sibuk memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan pribadi mereka.Saat ini, Pak Jaya duduk di ruang tamu sembari memandang ke luar jendela. Wajahnya cemas, sementara pikirannya bergulir cepat.Dicobanya menganalisis setiap kejadian yang mungkin mengarah pada pembunuhan yang mengerikan itu.Di sisi lain, Bu Lela, berdiri di dapur, sibuk menyiapkan secangkir teh hangat. Suasana di rumah terasa berat, bahkan aromanya pun tidak sehangat biasanya. Belum sempat ia menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, terdengar ketukan keras di pintu depan. Tanpa berpikir panjang, Bu Lela membuka pintu, dan di sana berdiri keluarga Ana—Rian, Pak Dedi dan beberapa tetangga yang mereka kenal baik.“Pak Jaya,” kata Rian dengan suara berat, penuh beban. "Kami… kami datang untuk berbicara."Pak Jaya berdiri, menyambut mereka dengan tatapan penuh per

  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Malam yang Tak Terlupakan

    Di luar gedung, suara-suara perbincangan semakin keras. Warga mulai berkumpul di sekitar kantor balai desa, menyebar ke jalan-jalan, bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dan mengapa pembunuhan itu bisa terjadi begitu dekat dengan rumah mereka.Rasa takut mulai menguasai mereka, dan itu adalah sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja.Sementara itu, Calon Kepala daerah yang tengah bersiap untuk pemilihan mendengar kabar tentang pembunuhan itu.Mereka melihat ini sebagai kesempatan untuk menarik simpati warga. Salah satu calon yang dikenal dengan pendekatan populis, Pak Yusuf, segera mengadakan konferensi pers, menggambarkan dirinya sebagai calon yang akan mengembalikan rasa aman di desa itu."Kami tidak akan membiarkan desa kita jatuh ke dalam kekacauan," seru Pak Yusuf dengan penuh semangat. "Jika saya terpilih, saya akan memastikan bahwa setiap orang merasa aman di rumah mereka. Tidak ada tempat untuk kriminal di desa ini. Keamanan akan menjadi prioritas utama."Dalam beberapa

  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Kegemparan di Balik Tembok Kekuasaan

    Setelah 2 minggu malam kejadian penemuan tubuh Ana, udara dingin terasa tidak seperti biasanya seperti biasanya.Selama itu pula, warga yang terbangun pagi-pagi dan ingin menjalani rutinitas harian mereka tidak lagi merasakan ketenangan, seperti yang mereka rasakan dihari-hari sebelumnya.Berita tentang penemuan tubuh Ana sudah menyebar seperti api yang menyambar tumpukan jerami. Desas-desus mengenai kejadian itu juga membuat suasana di desa terasa lebih gelap, lebih mencekam.Tak hanya warga desa yang cemas, tetapi seluruh warga kota pun turut heboh.Di alun-alun desa, keramaian mulai terlihat. Beberapa keluarga keluar dari rumah, saling berbicara dalam bisikan, wajah mereka penuh dengan ketakutan dan kebingungan.Televisi dan radio lokal sudah mulai melaporkan kejadian mengerikan yang terjadi semalam. Berita itu menyebar dengan sangat cepat, membawa kekhawatiran hingga ke pelosok kota.Banyak yang belum bisa mempercayai apa yang mereka dengar dan mereka lihat, namun semakin banyak

  • Jejak Kecil di Tengah Magrib   Kejutan di Tanah Yang Basah

    Ibu Uri, Murni, terdiam, wajahnya tegang saat mendengar cerita dari Uri. "Uri..." katanya pelan,Namun segera mencoba menenangkan. " Uri, jangan takut. Uri hanya lelah dan khawatir. Ana pasti baik-baik saja."Ayah Uri, Rian, yang mendengar perkataan Uri kemudian datang mendekat mencoba berbicara dengan lembut. "Uri, Jangan takut. Mungkin hanya terbawa perasaan. Uri baru saja melihat banyak orang di pasar, kan?" Ayahnya mencoba memberikan penjelasan yang rasional.Tapi Uri hanya menggoyangkan kepalanya cepat-cepat, tatapannya penuh ketakutan. "Tidak, yah! Ana... dia tidak bergerak. Tidak seperti orang yang tidur. Ada darah... banyak sekali darah. Aku... aku takut ada yang mengejarku!"Murni dan Rian saling pandang, raut wajah mereka kini berubah serius.Mereka tidak tahu bagaimana harus merespons, karena tak ada bukti nyata selain ketakutan yang begitu jelas terlihat di wajah anak mereka."Uri," kata ibunya dengan lembut, " Tenang dulu. Tidak ada yang mengejar. Mungkin hanya karena mer

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status