Setelah 2 minggu malam kejadian penemuan tubuh Ana, udara dingin terasa tidak seperti biasanya seperti biasanya.
Selama itu pula, warga yang terbangun pagi-pagi dan ingin menjalani rutinitas harian mereka tidak lagi merasakan ketenangan, seperti yang mereka rasakan dihari-hari sebelumnya.
Berita tentang penemuan tubuh Ana sudah menyebar seperti api yang menyambar tumpukan jerami. Desas-desus mengenai kejadian itu juga membuat suasana di desa terasa lebih gelap, lebih mencekam.
Tak hanya warga desa yang cemas, tetapi seluruh warga kota pun turut heboh.
Di alun-alun desa, keramaian mulai terlihat. Beberapa keluarga keluar dari rumah, saling berbicara dalam bisikan, wajah mereka penuh dengan ketakutan dan kebingungan.
Televisi dan radio lokal sudah mulai melaporkan kejadian mengerikan yang terjadi semalam. Berita itu menyebar dengan sangat cepat, membawa kekhawatiran hingga ke pelosok kota.
Banyak yang belum bisa mempercayai apa yang mereka dengar dan mereka lihat, namun semakin banyak orang yang merasa bahwa kejadian itu bukanlah kebetulan semata.
Di sebuah warung kopi, sekelompok pria paruh baya tengah berkumpul, berbicara dengan suara keras dan penuh tanda tanya.
“Ada apa sebenarnya? Sudah 2 minggu tidak ada perkembangan tentang kejadian ini. Siapa yang bisa menjelaskan ini?” salah seorang dari mereka bertanya dengan nada bingung.
"Semua orang di desa tahu keramahan Ana, dia tidak mungkin mati begitu saja tanpa ada alasan."
Di rumah Uri, ibunya berdiri di depan cermin, berusaha menenangkan dirinya meski jelas terlihat bahwa ia tak bisa menghapus kekhawatiran di wajahnya. Pagi itu terasa begitu berat, seakan tubuhnya dipenuhi ketegangan.
Ketika ia menatap putrinya yang masih terbaring lemah di tempat tidur, hatinya hancur melihat anaknya yang begitu terpuruk dalam ketakutannya. Uri belum berbicara banyak setelah kejadian itu, namun perasaan takut dan kesedihan jelas terlihat di matanya.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu. Uri mengangkat kepalanya, dan ibunya pergi membuka pintu.
Seorang pria muda, seorang reporter dari stasiun televisi lokal, berdiri di depan rumah mereka. Wajahnya tampak serius. “Permisi, Ibu. Kami dari stasiun berita. Bisa saya bicara sebentar?” tanyanya, sebelum ibunya bisa mengatakan apa-apa.
“Ibu, kami telah mewawancarai keluarga korban, namun tidak ada informasi yang kami dapatkan Kejadian ini akan menjadi berita yang sangat besar. Semua orang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ana. Apakah ada yang bisa Anda ceritakan?” reporter itu bertanya dengan penuh rasa penasaran, namun ada rasa tidak sabar di dalam nada suaranya.
Murni terdiam, merasa cemas dan tak tahu harus berkata apa. “Anakku… Anakku baru saja berhadapan dengan kenyataan yang sangat mengerikan,” jawabnya pelan.
“Saya tidak tahu apa yang bisa saya katakan sekarang.”
Namun, si reporter tidak menyerah begitu saja. "Kami hanya butuh sedikit informasi. Ini penting bagi publik untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi."
Setelah beberapa saat hening, ibunya akhirnya menggelengkan kepala. “Kami bahkan dalam keadaan bingung saat ini. Tidak ada satupun orang di desa ini tahu apa yang terjadi. Bahkan polisi tidak mendapatkan apa-apa dari pemeriksaan mereka di lokasi kejadian. Sudah…..Kami ingin berduka sejenak. Mohon, beri kami waktu.”
Reporter itu mengangguk dengan enggan, lalu berbalik meninggalkan rumah Uri.
Sebelum pergi, ia sempat menatap Uri yang masih terbaring di kamar, dengan rasa kasihan yang tersirat di wajahnya.
Seolah tahu bahwa, di balik mata yang tampak kosong itu, Uri memiliki lebih banyak cerita yang belum terungkap.
Di luar, kabar mengenai kejadian itu semakin meluas. Berita mengenai penemuan tubuh Ana yang mengerikan itu sudah mencuat ke media massa, baik lokal maupun nasional.
Orang-orang yang mendengar berita ini, bahkan yang jauh dari desa, mulai merasa khawatir. Hutan yang dulu dikenal sebagai tempat yang tenang kini menjadi tempat yang penuh dengan ketegangan dan rasa takut.
Berita tersebut mengguncang bukan hanya kota tempat desa itu berada, tetapi juga menyebar ke daerah-daerah sekitar.
Semua orang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ana, mengapa tubuhnya ditemukan begitu mengerikan, dan apa yang sebenarnya telah terjadi di hutan itu.
Wawancara dengan saksi mata—termasuk Uri—menjadi perbincangan hangat di kalangan warga kota, meskipun banyak yang skeptis mengenai kebenarannya.
Sementara di kantor polisi, suasana tegang. Para penyidik tampak sibuk, saling berbisik dan merencanakan langkah-langkah termasuk antisipasi kejadian serupa yang mungkin saja kembali terjadi. Namun, meski mereka berusaha bekerja dengan cepat, ada satu hal yang jelas terasa—mereka tidak tahu harus mulai dari mana.
Tidak ada saksi, tidak ada bukti yang jelas, hanya mayat Ana yang ditemukan dengan kondisi yang jauh dari penjelasan rasional.
Tapi bukan hanya polisi yang cemas. Kejadian Ana juga menarik perhatian pejabat pemerintahan daerah.
Pada pagi yang sama, di ruang rapat balai desa, para pejabat dan tokoh-tokoh penting berkumpul. Wajah mereka penuh dengan kekhawatiran, bukan hanya karena pembunuhan yang mengerikan itu, tetapi karena dampaknya yang luar biasa dan bisa jauh lebih besar.
Pak Dayat, Walikota Gayangan, duduk di kursi paling depan, dengan ekspresi tegang di wajahnya. Ia memandang para hadirin yang berada dihadapannya dengan serius. "Kita semua tahu bahwa kejadian ini bisa menjadi bencana besar," katanya, dengan suara yang terdengar berat.
"Bukan hanya bagi keluarga Ana, tetapi juga untuk kita semua. Kita sedang memasuki masa kampanye pemilihan kepala daerah. Dan jika berita ini menyebar lebih luas, kita bisa kehilangan dukungan dari warga, keamanan daerah kita saat ini dipertanyakan."
Seorang anggota dewan, Bu Rani, yang duduk di sisi kanan Pak Dayat, menimpali dengan suara tegas.
"Pak Dayat benar. Ini bukan hanya soal kriminalitas. Ini bisa berimbas pada pemilihan. Orang-orang akan merasa tidak aman. Mereka akan mencari calon yang bisa memberikan keamanan, dan kita tahu siapa yang akan memanfaatkan situasi ini."
Pak Dayat menghela napas, menatap kearah luar jendela, seolah berpikir keras.
"Apa yang dapat kita lakukan untuk meredakan keresahan dan rasa cemas warga saat ini? Jika ini terus berkembang, kita bisa kehilangan banyak suara. Kalau begini terus kita bisa jatuh.’’
Di ruang rapat itu, suasana semakin mencekam. Para pejabat saling bertukar pandang, mencoba mencari solusi.
Bu Rani kemudian berdiri, membuka mulut dengan ide yang tiba-tiba datang begitu cepat.
"Kita perlu menunjukkan tindakan yang cepat, tepat dan tegas. Kita harus menyatakan bahwa kita sudah melakukan segala Upaya untuk mengungkap pelaku kejahatan ini. Jangan biarkan warga berpikir bahwa daerah ini telah kehilangan kendali. Kita harus membuktikan bahwa kita bisa menjaga keamanan mereka."
"Saya setuju," jawab Pak Dayat dengan serius. "Tapi kita juga harus tetap berhati-hati dari setiap langkah yang kita ambil. Terlalu terburu-buru bisa membuat kita terkesan tidak profesional. Yang lebih penting sekarang, kita harus mengatasi persepsi yang berkembang di masyarakat. Kalau perlu, kita buat operasi keamanan yang besar—patroli rutin, penyuluhan kepada warga, apa saja yang bisa menenangkan mereka."
Tepat pada saat itu, pintu ruang rapat terbuka, dan seorang petugas pemerintahan masuk dengan wajah tegang.
"Pak Dayat, Bu Rani," katanya, "kami baru saja menerima laporan dari kantor polisi. Mereka telah menemukan beberapa petunjuk, tapi sampai sekarang masih belum ada bukti yang mengarah kepada siapa pun. Mungkin pelakunya masih berkeliaran di sekitar sini."
Pak Dayat menatap wajah petugas itu dengan serius. "Jadi, kita masih tidak tahu siapa pelakunya?"
Petugas itu mengangguk dengan berat. "Benar, Pak. Mereka masih terus menyelidiki."
Pak Dayat memijat pelipisnya, jelas terlihat bahwa tekanan semakin terasa. "Ini semakin buruk. Semakin lama kita tidak bisa memberikan jawaban yang pasti, semakin banyak orang yang akan merasa terancam. Kita harus bergerak cepat dan panggil Rimbawa keruanganku sekarang"
Di luar gedung, suara-suara perbincangan semakin keras. Warga mulai berkumpul di sekitar kantor balai desa, menyebar ke jalan-jalan, bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dan mengapa pembunuhan itu bisa terjadi begitu dekat dengan rumah mereka.Rasa takut mulai menguasai mereka, dan itu adalah sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja.Sementara itu, Calon Kepala daerah yang tengah bersiap untuk pemilihan mendengar kabar tentang pembunuhan itu.Mereka melihat ini sebagai kesempatan untuk menarik simpati warga. Salah satu calon yang dikenal dengan pendekatan populis, Pak Yusuf, segera mengadakan konferensi pers, menggambarkan dirinya sebagai calon yang akan mengembalikan rasa aman di desa itu."Kami tidak akan membiarkan desa kita jatuh ke dalam kekacauan," seru Pak Yusuf dengan penuh semangat. "Jika saya terpilih, saya akan memastikan bahwa setiap orang merasa aman di rumah mereka. Tidak ada tempat untuk kriminal di desa ini. Keamanan akan menjadi prioritas utama."Dalam beberapa
Dua Keluarga yang terlibat, tetapi seluruh warga merasakan kengerian yang sama.Mereka bahkan tidak bisa lagi menutupi rasa takut mereka. Namun, para pemimpin justru sibuk memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan pribadi mereka.Saat ini, Pak Jaya duduk di ruang tamu sembari memandang ke luar jendela. Wajahnya cemas, sementara pikirannya bergulir cepat.Dicobanya menganalisis setiap kejadian yang mungkin mengarah pada pembunuhan yang mengerikan itu.Di sisi lain, Bu Lela, berdiri di dapur, sibuk menyiapkan secangkir teh hangat. Suasana di rumah terasa berat, bahkan aromanya pun tidak sehangat biasanya. Belum sempat ia menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, terdengar ketukan keras di pintu depan. Tanpa berpikir panjang, Bu Lela membuka pintu, dan di sana berdiri keluarga Ana—Rian, Pak Dedi dan beberapa tetangga yang mereka kenal baik.“Pak Jaya,” kata Rian dengan suara berat, penuh beban. "Kami… kami datang untuk berbicara."Pak Jaya berdiri, menyambut mereka dengan tatapan penuh per
Di kantor polisi....Suasana semakin tegang. Berita mengenai penemuan mayat Ana yang mengerikan telah menyebar cepat, dan tekanan dari berbagai pihak semakin meningkat. Meski mereka berusaha bekerja dengan cepat, perkembangan penyelidikan justru tampak lambat, tidak sesuai dengan harapan masyarakat yang sudah terlanjur cemas. Di ruang penyelidikan, kepala kepolisian kota, Jenderal Rimbawa, sedang duduk di meja kerjanya dengan wajah yang tampak kebingungan.Jenderal Rimbawa adalah seorang pria tua berumur 60 Tahun dengan postur tubuh yang masih tegap, meskipun tampak semakin kurus dan lelah. Rambutnya yang dulu hitam kini berubah menjadi abu-abu, dengan beberapa bagian yang hampir memutih, mencerminkan usianya yang semakin menua. Wajahnya terkesan keras, dengan garis-garis kedutan di dahi dan sekitar matanya, menunjukkan pengalaman panjang yang dilalui dalam dunia militer dan kepolisian. Namun, ada sesuatu yang tampak kikuk dalam tatapan matanya—sebuah kebingungan yang seolah mengabur
“Akhirnya! Itu baru informasi yang berguna. Segera lakukan penyelidikan lebih lanjut! Jangan biarkan satu pun petunjuk terlewat!”Rimbawa tampak lega. Sayangnya, para penyidik kini merasa kekurangan dukungan dan petunjuk yang lebih jelas...Padahal di luar gedung kepolisian, wartawan dan masyarakat semakin menuntut jawaban. Mereka semakin curiga dengan keterlambatan penyelidikan yang tampak lamban dan tidak terarah.Di desa-desa, orang-orang mulai berbicara tentang ketidakmampuan aparat kepolisian untuk mengungkap pelaku pembunuhan Ana. Mereka bahkan mulai mencibir kinerja Kepala Kepolisian, yang dipandang lebih sebagai seorang politikus daripada seorang penegak hukum.Namun, tanpa sadar, di balik ketidaksepahaman ini, sebuah petunjuk berharga mungkin saja telah terlewatkan. Mungkin saja, jawabannya sudah ada, tetapi hanya disembunyikan di antara kebingungan yang terus menghantui setiap langkah mereka....Di sisi lain, suasana sekitar rumah Pak Jaya tampak kembali hening setelah keda
Senyum tipis muncul di wajah Joko. "Dan kalian pikir kami tidak tahu? Bahkan jika kita ingin mencari pembunuh, kita harus melihat semua kemungkinan, termasuk kalian berdua."Pak Jaya menundukkan kepalanya, seolah-olah mencoba menenangkan dirinya.Suasana dalam ruangan itu berubah menjadi hening, hanya terdengar suara nafas yang tertahan. Bu Lela menatap suaminya dengan cemas, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.“Baiklah, satu pertanyaan terakhir, apakah nama-nama yang kalian berikan padaku sama dengan yang kalian berikan pada bocah kota itu ?”Pak Jaya tetap tertunduk tanpa membalas pertanyaan Joko.“Diam saja ? baiklah, kami izin pamit. Terima kasih atas kerjasamanya, dan mungkin kami akan kembali lagi dalam waktu dekat.” Ucap Joko yang berjalan keluar pintu.Joko telah keluar dari rumah Pak Jaya namun Ketegangan yang dia bawa kedalam rumah itu semakin memuncak saat Joko mengungkapkan kenyataan bahwa Ana bukan anak kandung Pak Jaya. Apakah hal ini akan membuka tabir kebenaran
Untungnya, kehadiran pasukan buzzer yang sudah mulai bekerja membuat narasi perlahan mulai berubah.Berita pertama yang muncul adalah bahwa Pak Yusuf mencoba memanfaatkan tragedi ini untuk meningkatkan elektabilitasnya.Di media sosial, pesan-pesan yang disebarkan oleh buzzer pemerintah mulai meresap ke dalam benak warga.[Pak Yusuf berusaha meraih simpati dengan cara yang tidak pantas, menjadikan tragedi kematian Ana sebagai alat untuk meraih kekuasaan]Bahkan, ada juga yang mulai mengaitkan Pak Yusuf dengan spekulasi yang lebih gelap, seperti dugaan bahwa dia memiliki koneksi dengan orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu dalam peristiwa pembunuhan ini.Pada awalnya, warga merasa bingung dengan berita-berita yang beredar. Namun, semakin banyak informasi yang masuk, semakin banyak juga yang mulai meragukan niat Pak Yusuf. Mereka merasa khawatir bahwa dia mungkin memang menggunakan tragedi ini untuk menambah peluangnya dalam pemilihan, dan hal itu membuat beberapa warga mulai
Rian berdiri tegak, menatap Pak Jaya dengan tatapan serius. “Jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Kita belum tahu apa-apa,” katanya tegas, meski nada suaranya tak sepenuhnya bisa menyembunyikan kecemasan.Mereka berpencar, memeriksa setiap sudut ruangan. Setiap lembar dokumen yang mereka sentuh terasa seperti menyimpan rahasia gelap. Ketika Rian sampai di meja utama yang sedikit berbeda dengan meja lain diruangan tersebut, ia menemukan laci yang terkunci. Ia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan dengan satu gerakan kecil namun terlihat cekatan, membuka kunci itu.Di dalam laci, terdapat setumpuk dokumen yang terlihat resmi. Namun, di antara dokumen-dokumen itu, ada satu dokumen yang terlihat berbeda. Sebuah daftar pembayaran utang besar, dengan nama-nama yang tertulis rapi. Nama Pak Jaya ada di sana, disertai angka yang mencengangkan. Tapi bukan itu yang membuat darah Rian membeku, melainkan catatan kecil di sudut bawah dokumen. Tulisan tinta merah mencolok itu berbunyi:"Akan d
Senja itu terasa berbeda.Tempat yang seharusnya ramai--entah mengapa sore ini justru terasa sunyi.Padahal biasanya, banyak orang yang melewati jalan ini, menuju pasar raya di ujung sana.Meski demikian, Uri, gadis kecil berusia delapan tahun berjalan begitu ceria di jalanan hutan yang sepi. Ia baru kembali dari pasar raya menuju rumahnya. Ia melangkah di jalan setapak yang membelah hutan di pinggir desa.Sayangnya, semakin dalam Uri melangkah, ketenangan yang semula menenangkan itu mulai terasa berbeda. Angin yang tadinya menyejukkan kini malah berbisik dengan cara yang tak biasa, dan bayang-bayang di balik pohon-pohon tampak bergerak lebih cepat, seolah mengikuti setiap langkahnya.Tas penuh sayuran ia peluk erat, seolah benda itu bisa mengusir rasa takut yang tiba-tiba datang tanpa alasan.Uri berhenti. Ia sadar ada bau aneh, campuran tanah basah, besi, dan sesuatu yang... tidak enak, membuat perutnya bergejolak.Jantungnya berdebar lebih cepat. Pandangannya tertarik pada sesua
Rian berdiri tegak, menatap Pak Jaya dengan tatapan serius. “Jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Kita belum tahu apa-apa,” katanya tegas, meski nada suaranya tak sepenuhnya bisa menyembunyikan kecemasan.Mereka berpencar, memeriksa setiap sudut ruangan. Setiap lembar dokumen yang mereka sentuh terasa seperti menyimpan rahasia gelap. Ketika Rian sampai di meja utama yang sedikit berbeda dengan meja lain diruangan tersebut, ia menemukan laci yang terkunci. Ia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan dengan satu gerakan kecil namun terlihat cekatan, membuka kunci itu.Di dalam laci, terdapat setumpuk dokumen yang terlihat resmi. Namun, di antara dokumen-dokumen itu, ada satu dokumen yang terlihat berbeda. Sebuah daftar pembayaran utang besar, dengan nama-nama yang tertulis rapi. Nama Pak Jaya ada di sana, disertai angka yang mencengangkan. Tapi bukan itu yang membuat darah Rian membeku, melainkan catatan kecil di sudut bawah dokumen. Tulisan tinta merah mencolok itu berbunyi:"Akan d
Untungnya, kehadiran pasukan buzzer yang sudah mulai bekerja membuat narasi perlahan mulai berubah.Berita pertama yang muncul adalah bahwa Pak Yusuf mencoba memanfaatkan tragedi ini untuk meningkatkan elektabilitasnya.Di media sosial, pesan-pesan yang disebarkan oleh buzzer pemerintah mulai meresap ke dalam benak warga.[Pak Yusuf berusaha meraih simpati dengan cara yang tidak pantas, menjadikan tragedi kematian Ana sebagai alat untuk meraih kekuasaan]Bahkan, ada juga yang mulai mengaitkan Pak Yusuf dengan spekulasi yang lebih gelap, seperti dugaan bahwa dia memiliki koneksi dengan orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu dalam peristiwa pembunuhan ini.Pada awalnya, warga merasa bingung dengan berita-berita yang beredar. Namun, semakin banyak informasi yang masuk, semakin banyak juga yang mulai meragukan niat Pak Yusuf. Mereka merasa khawatir bahwa dia mungkin memang menggunakan tragedi ini untuk menambah peluangnya dalam pemilihan, dan hal itu membuat beberapa warga mulai
Senyum tipis muncul di wajah Joko. "Dan kalian pikir kami tidak tahu? Bahkan jika kita ingin mencari pembunuh, kita harus melihat semua kemungkinan, termasuk kalian berdua."Pak Jaya menundukkan kepalanya, seolah-olah mencoba menenangkan dirinya.Suasana dalam ruangan itu berubah menjadi hening, hanya terdengar suara nafas yang tertahan. Bu Lela menatap suaminya dengan cemas, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.“Baiklah, satu pertanyaan terakhir, apakah nama-nama yang kalian berikan padaku sama dengan yang kalian berikan pada bocah kota itu ?”Pak Jaya tetap tertunduk tanpa membalas pertanyaan Joko.“Diam saja ? baiklah, kami izin pamit. Terima kasih atas kerjasamanya, dan mungkin kami akan kembali lagi dalam waktu dekat.” Ucap Joko yang berjalan keluar pintu.Joko telah keluar dari rumah Pak Jaya namun Ketegangan yang dia bawa kedalam rumah itu semakin memuncak saat Joko mengungkapkan kenyataan bahwa Ana bukan anak kandung Pak Jaya. Apakah hal ini akan membuka tabir kebenaran
“Akhirnya! Itu baru informasi yang berguna. Segera lakukan penyelidikan lebih lanjut! Jangan biarkan satu pun petunjuk terlewat!”Rimbawa tampak lega. Sayangnya, para penyidik kini merasa kekurangan dukungan dan petunjuk yang lebih jelas...Padahal di luar gedung kepolisian, wartawan dan masyarakat semakin menuntut jawaban. Mereka semakin curiga dengan keterlambatan penyelidikan yang tampak lamban dan tidak terarah.Di desa-desa, orang-orang mulai berbicara tentang ketidakmampuan aparat kepolisian untuk mengungkap pelaku pembunuhan Ana. Mereka bahkan mulai mencibir kinerja Kepala Kepolisian, yang dipandang lebih sebagai seorang politikus daripada seorang penegak hukum.Namun, tanpa sadar, di balik ketidaksepahaman ini, sebuah petunjuk berharga mungkin saja telah terlewatkan. Mungkin saja, jawabannya sudah ada, tetapi hanya disembunyikan di antara kebingungan yang terus menghantui setiap langkah mereka....Di sisi lain, suasana sekitar rumah Pak Jaya tampak kembali hening setelah keda
Di kantor polisi....Suasana semakin tegang. Berita mengenai penemuan mayat Ana yang mengerikan telah menyebar cepat, dan tekanan dari berbagai pihak semakin meningkat. Meski mereka berusaha bekerja dengan cepat, perkembangan penyelidikan justru tampak lambat, tidak sesuai dengan harapan masyarakat yang sudah terlanjur cemas. Di ruang penyelidikan, kepala kepolisian kota, Jenderal Rimbawa, sedang duduk di meja kerjanya dengan wajah yang tampak kebingungan.Jenderal Rimbawa adalah seorang pria tua berumur 60 Tahun dengan postur tubuh yang masih tegap, meskipun tampak semakin kurus dan lelah. Rambutnya yang dulu hitam kini berubah menjadi abu-abu, dengan beberapa bagian yang hampir memutih, mencerminkan usianya yang semakin menua. Wajahnya terkesan keras, dengan garis-garis kedutan di dahi dan sekitar matanya, menunjukkan pengalaman panjang yang dilalui dalam dunia militer dan kepolisian. Namun, ada sesuatu yang tampak kikuk dalam tatapan matanya—sebuah kebingungan yang seolah mengabur
Dua Keluarga yang terlibat, tetapi seluruh warga merasakan kengerian yang sama.Mereka bahkan tidak bisa lagi menutupi rasa takut mereka. Namun, para pemimpin justru sibuk memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan pribadi mereka.Saat ini, Pak Jaya duduk di ruang tamu sembari memandang ke luar jendela. Wajahnya cemas, sementara pikirannya bergulir cepat.Dicobanya menganalisis setiap kejadian yang mungkin mengarah pada pembunuhan yang mengerikan itu.Di sisi lain, Bu Lela, berdiri di dapur, sibuk menyiapkan secangkir teh hangat. Suasana di rumah terasa berat, bahkan aromanya pun tidak sehangat biasanya. Belum sempat ia menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, terdengar ketukan keras di pintu depan. Tanpa berpikir panjang, Bu Lela membuka pintu, dan di sana berdiri keluarga Ana—Rian, Pak Dedi dan beberapa tetangga yang mereka kenal baik.“Pak Jaya,” kata Rian dengan suara berat, penuh beban. "Kami… kami datang untuk berbicara."Pak Jaya berdiri, menyambut mereka dengan tatapan penuh per
Di luar gedung, suara-suara perbincangan semakin keras. Warga mulai berkumpul di sekitar kantor balai desa, menyebar ke jalan-jalan, bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dan mengapa pembunuhan itu bisa terjadi begitu dekat dengan rumah mereka.Rasa takut mulai menguasai mereka, dan itu adalah sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja.Sementara itu, Calon Kepala daerah yang tengah bersiap untuk pemilihan mendengar kabar tentang pembunuhan itu.Mereka melihat ini sebagai kesempatan untuk menarik simpati warga. Salah satu calon yang dikenal dengan pendekatan populis, Pak Yusuf, segera mengadakan konferensi pers, menggambarkan dirinya sebagai calon yang akan mengembalikan rasa aman di desa itu."Kami tidak akan membiarkan desa kita jatuh ke dalam kekacauan," seru Pak Yusuf dengan penuh semangat. "Jika saya terpilih, saya akan memastikan bahwa setiap orang merasa aman di rumah mereka. Tidak ada tempat untuk kriminal di desa ini. Keamanan akan menjadi prioritas utama."Dalam beberapa
Setelah 2 minggu malam kejadian penemuan tubuh Ana, udara dingin terasa tidak seperti biasanya seperti biasanya.Selama itu pula, warga yang terbangun pagi-pagi dan ingin menjalani rutinitas harian mereka tidak lagi merasakan ketenangan, seperti yang mereka rasakan dihari-hari sebelumnya.Berita tentang penemuan tubuh Ana sudah menyebar seperti api yang menyambar tumpukan jerami. Desas-desus mengenai kejadian itu juga membuat suasana di desa terasa lebih gelap, lebih mencekam.Tak hanya warga desa yang cemas, tetapi seluruh warga kota pun turut heboh.Di alun-alun desa, keramaian mulai terlihat. Beberapa keluarga keluar dari rumah, saling berbicara dalam bisikan, wajah mereka penuh dengan ketakutan dan kebingungan.Televisi dan radio lokal sudah mulai melaporkan kejadian mengerikan yang terjadi semalam. Berita itu menyebar dengan sangat cepat, membawa kekhawatiran hingga ke pelosok kota.Banyak yang belum bisa mempercayai apa yang mereka dengar dan mereka lihat, namun semakin banyak
Ibu Uri, Murni, terdiam, wajahnya tegang saat mendengar cerita dari Uri. "Uri..." katanya pelan,Namun segera mencoba menenangkan. " Uri, jangan takut. Uri hanya lelah dan khawatir. Ana pasti baik-baik saja."Ayah Uri, Rian, yang mendengar perkataan Uri kemudian datang mendekat mencoba berbicara dengan lembut. "Uri, Jangan takut. Mungkin hanya terbawa perasaan. Uri baru saja melihat banyak orang di pasar, kan?" Ayahnya mencoba memberikan penjelasan yang rasional.Tapi Uri hanya menggoyangkan kepalanya cepat-cepat, tatapannya penuh ketakutan. "Tidak, yah! Ana... dia tidak bergerak. Tidak seperti orang yang tidur. Ada darah... banyak sekali darah. Aku... aku takut ada yang mengejarku!"Murni dan Rian saling pandang, raut wajah mereka kini berubah serius.Mereka tidak tahu bagaimana harus merespons, karena tak ada bukti nyata selain ketakutan yang begitu jelas terlihat di wajah anak mereka."Uri," kata ibunya dengan lembut, " Tenang dulu. Tidak ada yang mengejar. Mungkin hanya karena mer