Chapter: Jejak di Balik Pintu?Rian berdiri tegak, menatap Pak Jaya dengan tatapan serius. “Jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Kita belum tahu apa-apa,” katanya tegas, meski nada suaranya tak sepenuhnya bisa menyembunyikan kecemasan.Mereka berpencar, memeriksa setiap sudut ruangan. Setiap lembar dokumen yang mereka sentuh terasa seperti menyimpan rahasia gelap. Ketika Rian sampai di meja utama yang sedikit berbeda dengan meja lain diruangan tersebut, ia menemukan laci yang terkunci. Ia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan dengan satu gerakan kecil namun terlihat cekatan, membuka kunci itu.Di dalam laci, terdapat setumpuk dokumen yang terlihat resmi. Namun, di antara dokumen-dokumen itu, ada satu dokumen yang terlihat berbeda. Sebuah daftar pembayaran utang besar, dengan nama-nama yang tertulis rapi. Nama Pak Jaya ada di sana, disertai angka yang mencengangkan. Tapi bukan itu yang membuat darah Rian membeku, melainkan catatan kecil di sudut bawah dokumen. Tulisan tinta merah mencolok itu berbunyi:"Akan d
Terakhir Diperbarui: 2025-01-17
Chapter: DokumenUntungnya, kehadiran pasukan buzzer yang sudah mulai bekerja membuat narasi perlahan mulai berubah.Berita pertama yang muncul adalah bahwa Pak Yusuf mencoba memanfaatkan tragedi ini untuk meningkatkan elektabilitasnya.Di media sosial, pesan-pesan yang disebarkan oleh buzzer pemerintah mulai meresap ke dalam benak warga.[Pak Yusuf berusaha meraih simpati dengan cara yang tidak pantas, menjadikan tragedi kematian Ana sebagai alat untuk meraih kekuasaan]Bahkan, ada juga yang mulai mengaitkan Pak Yusuf dengan spekulasi yang lebih gelap, seperti dugaan bahwa dia memiliki koneksi dengan orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu dalam peristiwa pembunuhan ini.Pada awalnya, warga merasa bingung dengan berita-berita yang beredar. Namun, semakin banyak informasi yang masuk, semakin banyak juga yang mulai meragukan niat Pak Yusuf. Mereka merasa khawatir bahwa dia mungkin memang menggunakan tragedi ini untuk menambah peluangnya dalam pemilihan, dan hal itu membuat beberapa warga mulai
Terakhir Diperbarui: 2025-01-12
Chapter: Strategi Politik di Dalam KetakutanSenyum tipis muncul di wajah Joko. "Dan kalian pikir kami tidak tahu? Bahkan jika kita ingin mencari pembunuh, kita harus melihat semua kemungkinan, termasuk kalian berdua."Pak Jaya menundukkan kepalanya, seolah-olah mencoba menenangkan dirinya.Suasana dalam ruangan itu berubah menjadi hening, hanya terdengar suara nafas yang tertahan. Bu Lela menatap suaminya dengan cemas, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.“Baiklah, satu pertanyaan terakhir, apakah nama-nama yang kalian berikan padaku sama dengan yang kalian berikan pada bocah kota itu ?”Pak Jaya tetap tertunduk tanpa membalas pertanyaan Joko.“Diam saja ? baiklah, kami izin pamit. Terima kasih atas kerjasamanya, dan mungkin kami akan kembali lagi dalam waktu dekat.” Ucap Joko yang berjalan keluar pintu.Joko telah keluar dari rumah Pak Jaya namun Ketegangan yang dia bawa kedalam rumah itu semakin memuncak saat Joko mengungkapkan kenyataan bahwa Ana bukan anak kandung Pak Jaya. Apakah hal ini akan membuka tabir kebenaran
Terakhir Diperbarui: 2025-01-12
Chapter: Kebenaran yang Terpendam“Akhirnya! Itu baru informasi yang berguna. Segera lakukan penyelidikan lebih lanjut! Jangan biarkan satu pun petunjuk terlewat!”Rimbawa tampak lega. Sayangnya, para penyidik kini merasa kekurangan dukungan dan petunjuk yang lebih jelas...Padahal di luar gedung kepolisian, wartawan dan masyarakat semakin menuntut jawaban. Mereka semakin curiga dengan keterlambatan penyelidikan yang tampak lamban dan tidak terarah.Di desa-desa, orang-orang mulai berbicara tentang ketidakmampuan aparat kepolisian untuk mengungkap pelaku pembunuhan Ana. Mereka bahkan mulai mencibir kinerja Kepala Kepolisian, yang dipandang lebih sebagai seorang politikus daripada seorang penegak hukum.Namun, tanpa sadar, di balik ketidaksepahaman ini, sebuah petunjuk berharga mungkin saja telah terlewatkan. Mungkin saja, jawabannya sudah ada, tetapi hanya disembunyikan di antara kebingungan yang terus menghantui setiap langkah mereka....Di sisi lain, suasana sekitar rumah Pak Jaya tampak kembali hening setelah keda
Terakhir Diperbarui: 2025-01-12
Chapter: Pria Penuh AmbisiDi kantor polisi....Suasana semakin tegang. Berita mengenai penemuan mayat Ana yang mengerikan telah menyebar cepat, dan tekanan dari berbagai pihak semakin meningkat. Meski mereka berusaha bekerja dengan cepat, perkembangan penyelidikan justru tampak lambat, tidak sesuai dengan harapan masyarakat yang sudah terlanjur cemas. Di ruang penyelidikan, kepala kepolisian kota, Jenderal Rimbawa, sedang duduk di meja kerjanya dengan wajah yang tampak kebingungan.Jenderal Rimbawa adalah seorang pria tua berumur 60 Tahun dengan postur tubuh yang masih tegap, meskipun tampak semakin kurus dan lelah. Rambutnya yang dulu hitam kini berubah menjadi abu-abu, dengan beberapa bagian yang hampir memutih, mencerminkan usianya yang semakin menua. Wajahnya terkesan keras, dengan garis-garis kedutan di dahi dan sekitar matanya, menunjukkan pengalaman panjang yang dilalui dalam dunia militer dan kepolisian. Namun, ada sesuatu yang tampak kikuk dalam tatapan matanya—sebuah kebingungan yang seolah mengabur
Terakhir Diperbarui: 2024-12-02
Chapter: Penuh dengan KecurigaanDua Keluarga yang terlibat, tetapi seluruh warga merasakan kengerian yang sama.Mereka bahkan tidak bisa lagi menutupi rasa takut mereka. Namun, para pemimpin justru sibuk memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan pribadi mereka.Saat ini, Pak Jaya duduk di ruang tamu sembari memandang ke luar jendela. Wajahnya cemas, sementara pikirannya bergulir cepat.Dicobanya menganalisis setiap kejadian yang mungkin mengarah pada pembunuhan yang mengerikan itu.Di sisi lain, Bu Lela, berdiri di dapur, sibuk menyiapkan secangkir teh hangat. Suasana di rumah terasa berat, bahkan aromanya pun tidak sehangat biasanya. Belum sempat ia menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, terdengar ketukan keras di pintu depan. Tanpa berpikir panjang, Bu Lela membuka pintu, dan di sana berdiri keluarga Ana—Rian, Pak Dedi dan beberapa tetangga yang mereka kenal baik.“Pak Jaya,” kata Rian dengan suara berat, penuh beban. "Kami… kami datang untuk berbicara."Pak Jaya berdiri, menyambut mereka dengan tatapan penuh per
Terakhir Diperbarui: 2024-12-02