Mentari tidak berniat kembali ke kamar Rakhan. Ia memutuskan tinggal di kamar lamanya dan tidak peduli lagi jika Handoko mengetahui hal itu. Semuanya sudah berakhir. Undangan rasa lapar dari perutnya pun tidak lagi menjadi target Mentari untuk segera bangkit dari tempat tidur dan turun ke ruang makan. Atau setidaknya, ia bisa memanggil salah satu ART di sana untuk mengantarkan makanan ke kamarnya. Tidak terbersit sedikit pun ide untuk mengisi perutnya. Mentari putus asa dan terlalu lelah. Ia memejam dan merilekskan tubuhnya.Sementara itu, Rakhan baru kembali hampir tengah malam. Seperti remaja yang baru patah hati, raut wajah Rakhan tampak kusut dan mood-nya untuk bicara lebih banyak dari biasanya menurun drastis. Ia nyaris tidak berbicara ketika ia nongkrong bersama teman-temannya di pub tadi. Ia kehilangan seler
Terbalut rasa sesal yang mendalam dan kekhawatiran, Mentari beringsut menjauh dari Rakhan. Punggungnya menekan punggung ranjang yang terbuat dari besi bermotif bunga. Mentari terus menekan selimut di dada untuk menutupi bagian depan tubuhnya. Sementara itu, seluruh wajah dan seputaran matanya tersengat rasa panas. Getaran di bibirnya mengindikasikan adanya kesedihan yang sedang ditahan.Rakhan berguling ke sisi lain, lalu menurunkan kakinya dari ranjang, dan segera mengenakan pakaian. Sekelumit rasa bersalah menghujam dadanya dengan kencang. Sekali lagi ia melakukan kebodohan yang sama. Ia memanfaatkan situasi. Perang di kepalanya kembali berkecamuk, tapi ia memutuskan untuk tidak meninggalkan Mentari. Rakhan mengancingkan kemejanya pelan-pelan sambil merangkai kata-kata. Ia duduk kembali di atas ranjang dengan posisi miring. Satu kakinya terlipat sementara kaki lainnya di biarkan menggantung dan bertumpu
Handoko hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku anak dan menantunya. Sulit untuk menyatukan dua hati yang bertentangan, pikirnya.“Tari!” Rakhan memegang lengan atas Mentari untuk menghentikan langkahnya. Ia kemudian bergerak ke hadapan Mentari. “Kau mau ke mana?”Mentari menatap Rakhan. Kilat matanya menajam seakan sedang mengancam. Namun, ia memalis sesaat kemudian.“Tari, aku tidak bermaksud merendahkan atau menghina ayahmu. Aku minta maaf—““Aku mau ke kampus,” potong Mentari mengabaikan permintaan maaf Rakhan. Ia menatap Rakhan sesaat, lalu mengalihkan lagi tatapannya ke arah lain.“Aku akan mengantarmu.”“Tidak perlu. Aku mau naik bus.”“Suka atau tidak, aku akan mengantarmu,” desis Rakhan. Rahangya masih mengeras dan dadanya masih berdebar kencang ketika ia menarik tangan Mentari untuk mengikuti langkahnya ke garasi. Kebisuan dan kesedihan yang terpancar dari mata Mentari memicu keheningan di sepanjang perjalanan. Perasaannya kembali tercabik-cabik pagi ini. Nam
“Non, Tuan—““Pernah ke sana atau tidak?!” potong Mentari dengan tegas.“Non, Tuan bilang—““Ya, sudah.” Mentari mengerti sikap yang ditunjukkan Anton. Tangan kanan ayahnya itu akan mengatakan ‘tidak’ jika ia tidak melakukannya, tapi ucapannya akan berputar-putar seperti baling-baling bambu jika ia benar melakukannya. Ia sudah mengenal Anton sejak ia masih anak-anak. Ia memahami betul sifat dan karakter pria itu. “Papa di mana?”“Di halaman belakang, Non. Lagi ngopi.”Memutus tanya-jawab, Mentari meninggalkan Anton tanpa permisi. Ia bergegas menuju halaman belakang. Dari ambang pintu dapur, Mentari melihat Lucian sedang duduk santai ditemani kopi hitam di gazebo bambu di pinggir kolam ikan. Pria baya itu sudah terlihat sehat dan segar kembali, padahal baru saja dirawat di rumah sakit dua minggu yang lalu. “Papa seharusnya menghindari kopi kalau tidak mau jantung Papa kambuh lagi.” Kalimat itu menjadi pengganti salam yang seharusnya Mentari ucapkan ketika ia mencapai gazebo dan berdir
“Apa maumu?” Mentari memberanikan diri bertanya.“Mengantarmu pulang.” “Siapa kau?”Tidak menjawab, pria itu lantas mendorong Mentari untuk melangkah. Tangannya turun ke pinggang Mentari dan melingkar dengan posesif. Mempertimbangkan berbagai risiko yang akan didapat, Mentari memilih untuk mengikuti arahan pria itu tanpa berteriak. Mereka berjalan keluar dari kelab seperti sepasang kekasih. Sampai tiba di depan sedan berlogo kuda jingkrak di pelataran parkir khusus, pria itu baru melepaskan tangannya dari pinggang Mentari. Dengan sopan pria itu membukakan pintu mobilnya untuk Mentari. “Silakan.” Pria itu mempersilakan Mentari masuk.“Tidak,” tegas Mentari, “aku membawa mobil sendiri.”“Biarkan saja mobilmu di sini. Nanti orangku akan mengantarkannya ke rumahmu.”“Aku tidak pergi dengan orang asing. Maaf, aku harus pergi.” Mentari berbalik, tapi pria itu berhasil mencekal tangannya. Mentari berbalik lagi dan menatap pria itu dengan tatapan geram. “Dengar, … siapa pun namamu. Kau tida
Wajah Lucian tampak tak berekspresi, datar. Ia tidak terpengaruh oleh ketidakramahan dan ucapan Rakhan. “Apa maksudmu, Nak?” tanyanya.“Kenapa Anda begitu terobsesi untuk menjadikanku menantu?” “Terobsesi?” Lucian tertawa selama beberapa saat setelah mendengar pertanyaan Rakhan. “Pilihan kata yang lucu. Tapi, memang benar aku ingin sekali menjadikanmu menantu.”“Kenapa harus aku? Ada perjanjian apa antara Anda dengan Ayah?”“Tidak ada,” tegas Lucian, “aku hanya ingin kau yang menjadi suami Mentari. Bukan yang lain.”“Alasannya?”“Karena hanya kau yang bisa menjaga Mentari.”“Kalau begitu, Anda tidak butuh menantu, tapi seorang bodyguard.”“Betul sekali. Aku butuh seseorang yang bisa menjaga Mentari dan kau satu-satunya orang yang bisa melakukan itu.”Rakhan menyatukan alis. Matanya yang menyipit mengekspresikan rasa heran dan terkejutnya. “Kenapa Anda yakin sekali kalau aku bisa menjaga putri Anda. Aku bahkan tidak pernah tahu dan mengenal Mentari sebelum aku dan dia menikah, begitup
“Mau ke mana?” Rakhan bertanya dengan suara sedikit berat dan ditahan. “Keluar.”“Ini kamarmu. Atau, kau mau kita ke kamarku?”Mentari terperanjat. Ia spontan menatap Rakhan. Tiba-tiba saja ia butuh minum karena tenggorokannya terasa mengering. Aroma citrus yang kemudian melintasi cuping hidungnya menciptakan denyut pusing. Rakhan mulai membuat Mentari kehilangan konsentrasi. Pria itu handal membuat dirinya mabuk kepayang walau hanya dengan tatapan.“Aku tidak mau berada di sini kalau kau tidak keluar.” Mentari berlagak tidak terpengaruh oleh keberadaan Rakhan.Rakhan menjalin jemarinya ke jemari Mentari dan menggenggamnya erat. “Aku mau keluar ....” Rakhan terdiam sejenak, lalu melanjutkan lagi ucapannya dengan nada tegas. “Di dalammu.”“Apa?!” Kerutan terbentuk di antara Alis Mentari. Ia berusaha memahami ucapan Rakhan dan ... Mentari menunduk sambil memijat dahinya. “Kau sungguh mesum.”Tanpa Mentari sadari satu tangan Rakhan sudah melingkar ke pinggang dan merayap di punggungnya.
Bagi Mentari, sikap Rakhan malam itu tidak berbeda dengan sikap Rakhan di awal pernikahan mereka. Sempat lumer dan sedikit memberikan perhatian, ternyata semua itu hanya Rakhan lakukan untuk bisa mengetahui situasi dan memanfaatkan keluguannya. Semalaman kepala Mentari dipenuhi oleh prasangka dan keraguan. Meskipun akhirnya ia bisa tidur pulas, tetapi bayangan peristiwa manis bersama Rakhan yang dipahitkan tetap menggerogoti jiwanya.Terik matahari menyengat kota dan seluruh penduduknya di awal Agustus. Ucapan Lucian mengenai kekhawatiran Mentari akan laporan Edo kepada pihak polisi terbukti benar. Baik Mentari maupun Rakhan tidak satu pun dari mereka yang menerima surat panggilan dari pihak berwenang tersebut. Mentari tidak merasa senang, apalagi tenang. Ia merasa ada sesuatu yang sedang bergerak, merangkak, merancang sesuatu, dan bersembunyi dari pandangannya dan semua orang. Mentari hanya bisa menebak-nebak. Di sisi lain, Mentari harus rela kebebasannya terkekang lantaran setelah
Setelah kejadian siang tadi, Rakhan merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Namun, sebagian dari dirinya tetap merasa gelisah. Setibanya di rumah, ia mendapati Mentari yang sedang duduk di ruang tamu sedang menidurkan Arga di pangkuannya. Kehangatan yang terpancar dari pandangan Mentari selalu menjadi penghiburan bagi Rakhan, meskipun malam itu ia tahu bahwa berita yang akan disampaikannya bukanlah sesuatu yang ringan.Rakhan melepas jasnya dan berjalan mendekati Mentari. Ia mengecup bibir Mentari, lalu dahi Arga. Semampunya Rakhan mencoba tersenyum seakan-akan tidak ada yang terjadi. Namun, Mentari tahu ekspresi Rakhan tidak seperti biasa. Wanita itu bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal dari cara Rakhan menatapnya.“Kau baik-baik saja?” tanya Mentari penuh kuriositas sambil menepuk-nepuk paha Arga yang mulai tertidur pulas. Tatapannya penuh dengan kekhawatiran meski ia berusaha terlihat tenang.Rakhan mengambil napas dalam-dalam, lalu duduk di sebelahnya. “Ada sesuatu
Rakhan mengecup pipi Mentari, lalu berkata pelan di telinganya, “Sampai bertemu sore nanti.”“Hubungi aku kalau kau ada meeting dadakan, ya,” ucap Mentari sambil menurunkan Arga dari gendongannya.“Tentu saja.” Sekali lagi Rakhan mengecup pipi Mentari. “Aku pergi. I love you.”“Aku juga. Hati-hati di jalan.”Usai makan siang bersama Mentari, Rakhan kembali ke kantornya. Siang itu, Jakarta tampak begitu terik, tetapi Rakhan hampir tidak merasakannya. Pikirannya kembali dijejali berbagai urusan pekerjaan, terutama proyek yang melibatkan Annika. Namun, tak dapat dipungkiri, sosok Evander pun kerap muncul di benaknya sejak pertemuan mereka. Ia masih meragukan pria itu meskipun kredibilitasnya sebagai pengacara profesional tidak diragukan lagi. Tanpa ia sadari, mobil yang dikemudikan sopirnya sudah hampir setengah perjalanan. Mereka baru saja berhenti di perempatan ketika tiba-tiba dua orang pria berhelm yag mengendarai sepeda motor sport mendekat ke jendela mobilnya. Rakhan yang tengah a
Rakhan duduk di belakang meja kerjanya. Pandangannya menembus jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Sementara itu, pikirannya dipenuhi dengan informasi yang baru saja diterima. Drew datang ke kantornya pagi itu dengan sebuah rahasia yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang keluarga Annika.“Evander adalah saudara sepupu Annika,” kata Drew sambil meletakkan map di meja Rakhan. “Anak dari adik tiri ayahnya yang tidak pernah dipublikasikan. Keluarga mereka merahasiakan hubungan itu, karena ibu Evander dan kakak ayahnya Annika tidak pernah menikah.”Rakhan menggenggam tepi meja, mencerna kata-kata Drew dengan hati-hati. “Pantas aku tidak menemukan informasi apa pun tentang hubungan mereka di media sosial dan situs pencarian. ”“Benar,” sahut Drew. “Mereka punya ikatan keluarga yang cukup rumit. Itu sebabnya hubungan mereka disembunyikan. Oh, iya. Kau juga harus tahu bahwa Evander itu seorang duda. Mantan istrinya orang Jerman. Mereka bercerai tiga tahun
Rakhan pulang lebih larut dari biasanya. Pekerjaan di kantor membuatnya kelelahan, tetapi begitu membuka pintu, kehangatan yang familiar segera menyambutnya. Cahaya lampu yang terang dan cerah, aroma harum masakan yang masih tersisa di udara, dan yang paling menyenangkan, Mentari sudah berdiri di ambang pintu dengan senyuman manis yang selalu membuatnya merasa tenang.Mentari berjalan mendekat dan seperti kebiasaannya, ia memberikan ciuman lembut di pipi Rakhan. “Selamat datang, sayang,” bisik Mentari dengan lembut.Rakhan tersenyum, merasakan sejenak kehangatan itu. “Selalu menyenangkan pulang ke rumah,” jawabnya pelan sambil membelai lembut rambut Mentari. Seketika, rasa lelahnya menjadi berkurang.“Aku sudah memasak makanan favoritmu, sup asparagus kepiting.” Mentari mengumumkan menu makan malam yang telah disajikannya di atas meja makan.“Wah, makan besar nih!” Rakhan menanggapi dengan antusias. “Kalau begitu, aku mandi dulu. Nanti kita makan bareng.”“Jangan lama-lama, ya. Aku su
Sore itu, rumah Mentari dan Rakhan dipenuhi dengan kehangatan. Arga sedang bermain di tengah ruang keluarga, sementara Mentari dan Rakhan duduk di sofa sambil menikmati teh hangat. Angin sepoi-sepoi dari jendela yang terbuka membawa suasana tenang. Untuk beberapa saat, mereka bisa melupakan kesibukan dan drama di luar sana.Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika suara bel pintu berbunyi. Mentari menatap Rakhan dengan sedikit heran. Mereka tidak sedang menantikan tamu sore ini.“Siapa ya kira-kira?” tanya Mentari sambil berdiri dan menuju pintu.Rakhan mengangkat bahu dan melirik Arga yang masih sibuk bermain, lalu dia berdiri mengikuti istrinya. Ketika Mentari membuka pintu, mereka mendapati Annika berdiri di sana bersama seorang pria bertubuh tinggi yang tidak lain adalah Evander."Annika? Evander?" Mentari terkejut, tapi senyumnya tetap ramah. "Apa yang membawa kalian ke sini?"Annika tersenyum dan mengangkat sebuah bingkisan di tangannya. "Kami datang untuk mengucapkan terim
Rakhan menatap Aldy dengan tajam. "Ketika kau menyakiti seseorang, itu menjadi urusan semua orang. Apalagi kalau dia orang yang aku kenal."Annika terduduk di atas paving block. Kedua tangannya bertumpuk menutupi pipinya yang bengkak sambil menangis. Mentari dengan cepat berjongkok di samping Annika, memeriksa keadaan wanita itu. “Kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kekhawatiran.Annika menoleh pelan ke arah Mentari. Sambil terisak-isak, wanita itu berkata dengan suara bergetar dan jelas sekali ia sedang menyembunyikan rasa sakitnya. “A-aku nggak apa-apa.” Aldy melangkah mendekat, masih marah, tapi Rakhan berdiri tegak di depannya, seperti dinding pelindung yang tidak mungkin ditembus. "Pergilah sebelum situasi ini menjadi lebih buruk buatmu," kata Rakhan dingin dan dengan nada mengancam yang jelas.Aldy tampak ragu sejenak. Ekspresi wajahnya terlihat mengeras. “Dia tunanganku. Aku punya hak atas dia!”Rakhan tidak bergeming, hanya menatap Aldy dengan mata yang penuh amarah. "Kau ti
Mentari mengambil napas dalam-dalam, menenangkan degup jantungnya yang terasa berantakan. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia memutuskan bahwa menunggu tanpa kepastian hanya akan membuat pikirannya semakin semrawut. Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan melangkah menuju gerai kopi tempat Rakhan dan Annika duduk. Suara langkah kakinya terasa begitu berat, seakan-akan setiap langkah membawa sejuta pertanyaan yang menunggu jawaban.Ketika Mentari tiba di depan meja mereka, Rakhan yang awalnya fokus pada pembicaraannya dengan Annika, mendongak dan terkejut melihat kehadirannya. Dalam sekejap ekspresi serius di wajahnya berubah menjadi bingung. Namun, itu hanya sesaat sebelum akhirnya menyambut Mentari dengan senyum."Tari? Kamu di sini?" Rakhan bertanya, suaranya terdengar tenang tapi menyimpan keheranan.Annika yang duduk di hadapan Rakhan tersenyum manis menyambut istri sang mantan. "Hai, Mentari. Lama tak bertemu."Mentari memaksakan diri tersenyum, berusaha menjaga
"Arga sudah tidur?" Rakhan bertanya pelan, mengintip dari balik pintu kamar.Mentari mengangguk sambil menepuk-nepuk punggung putra mereka yang baru saja terlelap. "Iya, baru saja."Rakhan mendekat, duduk di tepi ranjang sambil mengamati wajah kecil Arga. "Dia sudah semakin besar. Cepat sekali waktu berlalu."Mentari tersenyum tipis. "Iya, rasanya baru kemarin aku menggendongnya untuk pertama kali."Keluarga kecil Mentari dan Rakhan telah menemukan ritme kebahagiaan mereka. Kehadiran Arga, putra mereka yang kini genap berusia satu tahun, melengkapi segala yang pernah diimpikan Mentari. Meski terkadang malam-malam panjang diisi tangisan bayi dan kelelahan, bagi Mentari, setiap detik bersama Arga dan Rakhan merupakan kebahagiaan tersendiri. Rakhan, meski jarang bisa menunjukkan sisi romantisnya, ia selalu membuat hari-hari Mentari penuh dengan kejutan kecil yang manis. Sebuah pelukan tiba-tiba, hadiah yang sederhana tapi bermakna, atau sekadar ikut begadang di sampingnya saat Arga sedan
Gemuruh emosi mendadak memenuhi dada dan membuatnya sesak napas. Berusaha tetap tenang, Mentari melontarkan tanya tanpa emosi berlebihan, “Kau masih berhubungan dengannya?”“Ada pekerjaan yang mengharuskan aku tetap terhubung dengannya.” Rakhan menjelaskan dengan hati-hati.Sementara itu, ponsel Rakhan terus berdering membuat telinga Mentari tidak nyaman. Mentari mengembus napas. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan kekesalannya hingga ia hanya diam.“Tari ....”Mentari mengembus napas. Mencoba untuk bersikap dewasa memang tidak mudah tapi perlu dicoba. “Angkat saja.”“Kau yakin?”“Iya.”