“Tolong beri tahu saya alasan kalian saling bertengkar di toilet,” ucap Pak Haris. Beliau adalah Kepala Divisi Sumber Daya Manusia.Beberapa saat yang lalu, terjadi pertengkaran yang berujung pada perkelahian hebat antara Bunga dan Aulia dengan tiga karyawan wanita. Ketiga orang itu ternyata adalah staf dari Departemen Pelatihan dan Pengembangan yang berada di bawah Divisi Sumber Daya Manusia.Di tengah perkelahian mereka, seseorang yang aku tunggu selama satu jam akhirnya datang. Ayu, perempuan itu bekerja keras memisahkan mereka. Namun sungguh sayang, orang-orang itu tidak dapat dilerai. Jika bukan karena baju yang dibawa oleh Ayu tak sobek oleh mereka, aku yakin adu jotos masih berlangsung hingga saat ini.“Perempuan ini yang duluan, Pak. Dia main pukul sampai muka kami memar,” ucap Rina.Berdasarkan ingatanku tentang warna suara mereka saat di dalam toilet, aku yakin bahwa Rina merupakan orang yang sama dengan wanita kedua.
“Ih aneh banget sih mereka. Hujan juga enggak kok pakai payung,” celetuk seorang ibu muda yang berusia sekitar tiga puluh tahun.Orang ini sedang mencibir kami karena menggunakan payung saat mengantre di pintu masuk taman bermain. Meskipun waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, namun suhu di tempat ini sudah cukup untuk memanasi hati.“Ma, adek mau kipas,” pinta seorang anak kecil, putra dari ibu yang baru saja mencibir kami.“Mama enggak ada kipas. Tahan aja dulu sebentar. Nanti di dalam juga adem,” ujar ibu tersebut pada putranya.Anak kecil mana bisa tahan dengan cuaca panas, kecuali dia sedang bermain dengan teman sebayanya. Benar saja, tak lama setelah meminta kipas, anak itu pun menangis pada ibunya.Tindakan ibu ini sangat aku sesalkan. Kalau bepergian dengan anak, harusnya dia mempersiapkan semua kebutuhan mulai dari yang penting seperti makanan dan minuman, juga kebutuhan yang sifatnya tidak mendesak seperti, kipas, power bank, payung, baju ganti, dan lainnya.Aku kira
“Selamat siang, saya Alba Ayuningtyas, dengan siapa saya berbicara?” ucapku saat menerima panggilan melalui interkom.Aku segera membuka buku catatan panggilan masuk yang ada di meja dan menyiapkan alat tulis.“Selamat siang Bu Alba, saya Kevin Samudra, Sekretaris Perusahaan,” jawab pria tersebut dari panggilan telepon.“Baik Pak Kevin, bagaimana saya bisa membantu?” sambungku.Pak Kevin berdeham, lalu beliau berkata, “Saya perlu bertemu dengan Pak Malik segera, pada pukul berapa beliau memiliki waktu?”“Baik, sebelumnya mohon beri tahu keperluan Bapak dengan beliau,” jawabku.“Saya perlu arahan beliau karena saya sedang berada di puncak piramida,” ucap Pak Kevin.Ya Tuhan, kode ini…“Mohon tunggu sebentar, Pak,” ucapku pada lelaki yang menjadi penghubung antara Pecitra dan para investor.Badanku menjadi tegang seketika itu juga sa
Aku rasa suamiku sedang kekurangan cairan sehingga pikirannya menjadi tidak fokus. Di dunia ini, mana ada pengusaha yang ingin harga saham perusahaannya turun bahkan sampai lima puluh persen.Oh Tuhan. Hamba mohon padamu, tolong kembalikan kewarasan suamiku. Jangan biarkan lelaki ini linglung berkepanjangan.“Maaf Pak. Mohon ulangi lagi instruksi Bapak. Sepertinya pendengaran saya bermasalah barusan,” pinta Pak Kevin.Bukan pendengaran si Sekretaris Perusahaan yang bermasalah, melainkan kepala sang CEO-nya.Atas permintaan Pak Kevin, Rasenda pun mengulangi perkataannya. “Saya bilang, dalam waktu tiga bulan, Bapak harus menurunkan harga saham pecitra sampai lima puluh persen.”“Lakukan dengan halus, dimulai dari tanggal ex-dividen satu minggu lagi,” lanjutnya.Aku hanya bisa meringis mendengar perintah gila yang keluar dari mulut lelaki ini. Bisa-bisanya dia menurunkan harga saham hanya karena dia ingin agar diriku dapat membelinya dengan harga murah.“Maaf Pak. Kalau kita menurunkan ha
“Ngapain sih kamu ke sini?” tanya Rasenda pada Rosiana. Tubuh lelaki itu memancarkan aura kegelapan yang mencekam.Rosiana melipat bibirnya ke dalam, kemudian dia berkata, “Mau kasih ini.”Wanita itu menunjukkan minuman yang dia bawa. “Ini bisnis waralaba punya grup kami yang baru buka di gedung sebelah. Berhubung ada promo beli dua gratis satu, makanya aku bawa buat kalian,” imbuhnya.“Itu saja?” tanya Rasenda penuh selidik.Aku sadar betul kalau mereka bertemu pasti akan berdebat panjang. Hal ini tentu saja tidak enak untuk dilihat oleh orang lain, terutama mereka yang tak mengenal Rasenda dan Rosiana dengan baik.“Kalian sebaiknya mengobrol di dalam saja. Kalau terus di sini takutnya mengganggu para karyawan,” saranku pada mereka.Setelah mendengar nasihatku, akhirnya Rasenda menyuruh Rosiana untuk masuk ke ruangannya dan berbicara di sana. Sementara itu, diriku melihat Aulia per
“Sebenarnya apa yang kamu lakukan sampai anak mantuku menjadi bahan gosip orang-orang di luar sana?!” pekik Ibu Susan pada Rasenda.Angin besar yang sedang menerpa Pecitra membuat Ibu Susan memanggil kami ke rumahnya. Berita yang beredar dan juga pandangan publik tentang anak dan menantunya membuat wanita ini naik pitam.“Kamu pasti tahu kan kalau mereka menghina Alba?!” cecar wanita itu.Selama kami disidang oleh Ibu Susan, Rasenda menggenggam tanganku erat dan tak mau melepaskannya.“Ini semua semua salah Rara, Ma,” ucap suamiku.“Rara yang merahasiakan ini semua dari publik, makanya semua orang jadi salah paham,” lanjutnya.Saat lelaki ini berbohong pada ibunya untuk melindungiku, aku pun ingin menyanggah ucapan tersebut. Namun, suami menghalanginya.“Saya merahasiakan pernikahan ini karena malu belum memberi pesta yang pantas untuk istri,” ujar suamiku.“Kalau status pernikahan kami diumumkan ke publik tanpa pesta pernikahan terlebih dahulu, takutnya Alba menjadi bahan gunjingan.
“Pak Rasendriya! Pak…, Pak….”“Minta waktunya sebentar, Pak.”Saat tiba di tempat parkir yang terletak di basemen, kami berdua disambut oleh puluhan wartawan dari berbagai media, baik cetak maupun online. Mereka menghampiri kami dengan kamera yang menyala, lengkap dengan lampu kilat yang menyilaukan.Aku tidak peduli siapa yang memberi tahu mereka di mana letak parkir mobil untuk eksekutif. Namun, hal ini tak bisa aku maafkan karena kehadiran mereka sangat mengganggu.“Tolong berikan tanggapan Bapak mengenai kabar perselingkuhan Anda dengan Sekretaris Alba,” ucap salah seorang wartawan dari majalah bisnis.“Apa benar kalau Ibu Alba yang menggoda Bapak duluan?” tanya salah wartawan lainnya.“Bagaimana perasaan istri Bapak di rumah?” Kali ini pertanyaan datang dari wartawan media online.Di tengah kondisi yang ricuh, Rasenda menggenggam erat tanganku dan enggan un
“Selamat pagi Pak Malik dan Ibu Alba,” sapa Pak Kevin ketika beliau masuk ke ruang kerja Rasenda.Saat beliau menginjakkan kaki di ruangan ini, penampilanku sungguh berantakan. Badan rebahan di sofa dan sekujur tubuh bau minyak angin. Satu-satunya orang yang bisa disalahkan atas semua ini adalah Rasenda, suamiku sendiri. Dia yang mengoles minyak tersebut dari kening hingga kaki.“Kamu mau ngapain?” tanya sang CEO.“Mau duduk,” jawabku singkat.Tidak enak jika aku tetap berbaring di sofa, sementara ada karyawan lain di ruangan ini. Demi kenyamanan bersama, aku harus mengubah posisi saat ini. Namun, saat hendak melakukannya Rasenda malah bertingkah.“Tidak perlu duduk. Berbaring saja, kamu kan masih pusing,” ujarnya.Rasanya ingin aku jambak saja rambut suamiku. Tidak masalah jika hanya ada kami berdua. Tetapi sekarang kan sudah ada Pak Kevin. Takutnya beliau berpikir kalau aku adalah istri