“Kau tidak pulang hari ini?” tanya Aldrich, suaranya tenang seperti biasanya. Tangan kirinya memegang kemudi dengan santai, sementara tangan kanannya bertumpu di dekat tuas transmisi. Kemeja putihnya dilipat rapi hingga siku, memperlihatkan lengan yang berotot dan mengencang setiap kali ia memutar setir. Cahaya lampu jalanan yang masuk ke dalam mobil memantulkan garis tegas di wajahnya, menambah aura cool yang begitu khas darinya.Valerie, yang duduk di kursi penumpang dengan kepala bersandar ke jendela, mendesah lelah. “Sejak kapan mansionmu menjadi rumah kita?” balasnya, nada suaranya terdengar sedikit sengit meski lebih karena kelelahan.Aldrich terkekeh pelan, senyum tipis bermain di sudut bibirnya. Ia melirik Valerie sekilas, namun cukup cepat kembali memusatkan perhatian pada jalan. “Aku ingin ke apartemen saja,” lanjut Valerie, tangannya mengusap pelipisnya. “Tenagaku sudah terkuras hari ini. Dan besok masih harus bekerja.”Setelah acara pelemparan buket, Valerie hampir tak
Ketika mobil berhenti di depan apartemen Valerie, Aldrich langsung bergegas keluar untuk membukakan pintu penumpang. Valerie menatap heran ke arah pria itu untuk beberapa saat, sebelum segera turun, memegang pintu mobil sebagai penyangga sambil mencoba menyeimbangkan tubuhnya.“Terima kasih untuk hari ini,” ucap Valerie, menatap Aldrich dengan senyum kecil.Aldrich mengangguk, “Kau yakin tidak ingin aku menunggu sampai kau masuk ke dalam?” tanyanya, suaranya terdengar tulus.Valerie menggeleng cepat. “Aku bukan anak kecil, Aldrich. Lagipula, kau juga pasti lelah.”Aldrich menatapnya sebentar, lalu mengangguk. “Baiklah. Istirahatlah. Dan jika besok kau memutuskan untuk libur, beri tahu aku.”Valerie tersenyum tipis sebelum melangkah menuju pintu gedung apartemennya. Namun, saat ia hampir masuk, Aldrich memanggilnya.“Valerie!”Wanita itu berbalik. “Ya?”Aldrich berdiri di sisi mobil, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya tajam namun lembut. “Tidur yang nyenyak. Kau tel
"Oke, minta perhatian semuanya. Perkenalkan, ini Dina. Rekan baru kita di tim Product Development sebagai Lead UI/UX Designer," suara Pak Hartono menggema di ruangan kantor yang luas.Valerie, yang sedang berjalan menuju pantry, menghentikan langkahnya tanpa sengaja. Ia menangkap pengumuman itu sambil memperhatikan wanita yang berdiri di samping Pak Hartono.“Oh, itu wanita tadi,” gumam Valerie pelan, mengingat tabrakan kecil di depan lift pagi tadi.Dina, yang tengah mendengarkan Pak Hartono dengan anggun, tampak percaya diri dalam balutan pakaian formal. Blus putihnya rapi dipadukan dengan rok pensil hitam, rambut pendeknya tertata sempurna, menciptakan kesan profesional yang kuat. Saat Dina melayangkan pandangan ke sekeliling, matanya bertemu dengan Valerie. Ia tersenyum tipis, sopan, seolah mengenali Valerie.Valerie, yang sedikit terkejut, membalas senyum itu sekilas sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju pantry. Ia punya tugas penting: membuat kopi untuk Aldrich atas per
“Berhenti memanggilku ‘babe’, Aldrich. Kita ini sedang di kantor. Kalau ada yang dengar, bagaimana?” keluh Valerie sambil menyandarkan punggungnya di sofa.Aldrich hanya tersenyum santai. “Aku hanya terbiasa. Lagi pula, hanya ada kita di sini,” kerlingnya dengan nada menggoda.Valerie mendecak pelan. Ia mengambil salah satu cookies dalam paper bag yang Aldrich sodorkan. Membuka bungkusnya perlahan, aroma cokelat pekat segera menyeruak, memikat indera penciumannya. Valerie ingin segera menggigitnya, tetapi ia menahan diri agar tidak memperlihatkan ketertarikan berlebihan di depan Aldrich.“Aku tidak menyangka kau begitu perhatian,” gumam Valerie datar sebelum akhirnya menggigit cookies tersebut.Aldrich menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap Valerie dengan intens. “Bagaimana? Apa itu enak?” tanyanya, suaranya terdengar rendah namun penuh perhatian.Rasa manis cokelat langsung meledak di lidah Valerie, diikuti oleh tekstur lembut yang lumer seketika. Perpaduan rasa pahit dan manisnya be
Siang hari, setelah makan siang, Valerie sedang berjalan menuju lift bersama Olin dan Kiara, rekan kerjanya dari divisi lain. Olin bekerja di divisi pemasaran, sementara Kiara dari divisi pengembangan produk. Keduanya sering makan siang bersama Valerie karena mereka satu angkatan saat masuk di HC Group.“Benarkan? Sudah aku katakan makanan hari ini enak!” Olin berkata dengan bangga. Saat mereka bertiga keluar dari kantin, Aldrich tiba-tiba muncul dan menghentikan langkah Valerie. Dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya, kemejanya tampak rapi, meskipun lengan bajunya digulung hingga siku. Tatapan tajamnya langsung mengarah ke Valerie.“Kau belum bersiap?” tanya Aldrich, menatapnya seolah heran mengapa Valerie terlihat santai.Valerie langsung teringat jadwal meeting Aldrich siang ini di perusahaan klien. “Sudah, Pak. Saya ambil tas dulu,” jawab Valerie cepat, hampir setengah panik.Aldrich hanya mendengus kecil, lalu berbalik pergi. Langkahnya santai namun penuh wibawa, mena
Ruang rapat itu dihiasi nuansa kayu mahoni yang elegan, dengan meja panjang di tengahnya yang mampu menampung lebih dari sepuluh orang. Lampu gantung modern memberikan pencahayaan hangat, membuat suasana terasa profesional sekaligus nyaman. Di salah satu sisi ruangan, terdapat jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian lantai dua puluh.Valerie duduk di samping Aldrich, sementara Guritno berada di ujung meja, memegang pena yang sesekali diputar di antara jari-jarinya. Tatapan pria paruh baya itu tajam namun tenang, menunjukkan betapa seriusnya dia terhadap proyek besar ini.Aldrich, dengan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku, terlihat tenang. Dia menatap lurus pada Guritno sambil menyusun kata-kata dengan hati-hati. Di hadapannya terdapat beberapa map yang sebelumnya dipegang Valerie."Terima kasih sudah datang hari ini, Aldrich." Suara Guritno terdengar berat namun tegas. "Kami sudah mendengar reputasi HC Group, terutama dalam proyek-proyek ber
“Kita mau ke mana?” tanya Valerie. Suaranya setengah waspada ketika menyadari jalanan yang mereka lalui tidak menuju kantor maupun mansion Aldrich.Aldrich tetap mengemudi dengan santai. Sesekali, ia melirik Valerie sambil menyunggingkan senyum misterius. “Surprise. Tunggu dan lihat saja nanti,” jawabnya tenang, memancing rasa penasaran Valerie.Mata Valerie membulat. Dengan cepat, ia menyilangkan kedua tangan di depan dada, ekspresinya dibuat-buat waspada. “Kau tidak berniat menculikku dan menjual organ tubuhku, kan?” ucapnya, separuh bercanda tetapi dengan nada sedikit takut.Seketika, bayangan memalukan saat pertemuan pertama mereka melintas di pikirannya. Mungkin saja Aldrich menyimpan dendam karena ia mengira pria itu seorang gigolo.Aldrich meliriknya tak percaya, lalu tertawa kecil. Suara tawanya menggema ringan di dalam mobil. “Kau benar-benar membayangkan aku seburuk itu, babe? Aku terluka,” ucap Aldrich pura-pura serius, meski jelas terlihat bahwa ia tengah menggoda Valer
“Aku jadi ingin menciummu,” celetuk Valerie ringan, matanya menatap Aldrich dengan sorot menggoda.Tadinya, Aldrich tengah berbaring santai di atas tikar dengan satu tangan menyanggah kepalanya, memandang laut yang tenang. Sementara Valerie duduk bersila di sampingnya, sedikit membungkuk, membuat posisi mereka seperti dua level berbeda. Wajah Aldrich terlihat damai, tetapi saat Valerie mengucapkan kalimat itu, ketenangan itu retak seketika.Aldrich menoleh cepat, pupil matanya sempat bergetar sesaat mendengar pernyataan spontan itu. Namun, seperti biasa, pria itu dengan mudah mengontrol ekspresinya. Sebuah senyum kecil muncul di bibirnya, tetapi tatapannya berubah menjadi lebih dalam. Tanpa banyak bicara, dia bangkit setengah duduk, menarik lembut tangan Valerie, dan dalam satu gerakan memutar tubuh wanita itu hingga kini Valerie berada di bawahnya, terlentang di atas tikar.“Aku sedikit berdebar mendengar kau yang berinisiatif duluan,” ujar Aldrich jujur, suaranya terdengar rendah
Tok. Tok.Ketukan lembut terdengar di pintu kamar Valerie. Suaranya disusul suara lembut yang tak pernah gagal membuat Valerie merasa seperti anak kecil lagi.“Sayang, Bunda boleh masuk?”Valerie yang sejak tadi hanya duduk di tepi ranjang, memeluk bantal sambil memandangi jendela, menunggu pesan dari Aldrich, menoleh pelan. Ia mengangguk meski tahu sang bunda tak bisa melihatnya.Pintu terbuka perlahan. Wanita elegan dengan balutan blouse biru pastel itu melangkah masuk, menenteng secangkir susu hangat. Senyum hangatnya muncul lebih dulu, sebelum ia duduk di sisi tempat tidur Valerie.“Apa kamu merasa nyaman?” tanya Bunda, mengusap pelan tangan Valerie.Valerie mengangguk kecil. “Nyaman, Bun. Lebih dari nyaman.”Tapi bundanya tahu, di balik senyuman itu, ada hal-hal yang masih mengganjal di hati putrinya.Sambil menyerahkan cangkir susu, Bunda menarik napas panjang. “Kamu tahu, waktu Bunda hamil kamu dulu, Bunda juga sering menangis diam-diam.”Valerie menoleh cepat, kaget.“Bunda?”
Ruang interogasi siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada dua penyidik, satu pengacara pendamping dari pihak kepolisian, dan Aldrich yang duduk dengan ekspresi tegas di sisi kanan meja.Jennifer duduk di seberang, tangannya terikat borgol, tapi senyumnya masih setengah mengejek seperti biasa. Rambutnya diikat asal, dan tatapannya tajam menusuk ke arah Aldrich.“Jadi,” ujar penyidik, membuka catatan. “Kita ingin memastikan, benar bahwa semua rencana penjebakan, pengawasan, penyebaran video tak senonoh itu berasal dari Anda?”Jennifer menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menarik napas panjang, lalu melirik Aldrich sejenak. Bibirnya terangkat dalam senyum malas.“Ya,” katanya enteng. “Itu semua ideku.”Ruangan mendadak sunyi.Aldrich hanya memiringkan kepala sedikit, menatapnya lebih dalam. “Kenapa, Jennifer?”Jennifer mendecakkan lidah pelan. “Kenapa? Serius nanya begitu?”Ia mengangkat alis, lalu melipat tangan di atas meja. “Kau tahu, dulunya aku dan Valerie itu sahabat. Bestie, begitu
“Karena… kamu sangat cantik pagi ini. Dan aku butuh waktu untuk menikmati itu tanpa disela siapa pun,” jawabnya jujur, dengan suara rendah dan dalam.Valerie tertawa kecil, menunduk menahan senyum. “Gombal!”“Tidak.” Aldrich melangkah mendekat. “Kamu makin bersinar sejak hamil. Kulitmu, matamu, senyummu… aku bahkan tidak yakin bisa berkonsentrasi bekerja hari ini.”Valerie menegakkan dagunya, pura-pura berani. “Berarti salahku kamu jadi malas kerja?”“Tentu.” Aldrich menatap mata Valerie begitu dekat sekarang. “Dan karena itu…”Tiba-tiba, ia mencondongkan tubuhnya cepat dan mencuri satu kecupan ringan di bibir Valerie, hanya sekelebat, nyaris tak tersentuh angin.Valerie terkejut. “Aldrich!”Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Aldrich sudah menjauh setengah langkah dengan senyum tak berdosa. “Apa? Aku hanya mengambil hakku sebagai tunangan.”“Kalau dilihat Bunda, aku bisa dikunci di kamar sebulan!” Valerie menepuk dada Aldrich dengan gemas, tapi rona merah sudah merayap sampai
Suara bel utama mansion menggema lembut ke seluruh penjuru rumah, membuyarkan tawa keluarga kecil itu di ruang makan.Salah satu maid segera berjalan cepat menuju pintu depan. Tak lama, ia kembali sambil tersenyum, membungkuk sedikit kepada Valerie.“Maaf, Nona Valerie… ada tamu. Tuan Aldrich sudah tiba.”Wajah Valerie seketika berubah. Matanya membulat kecil. “Ha? Aldrich?”Sebelum ia bisa berdiri dari kursinya, langkah-langkah mantap terdengar mendekat. Di ambang ruang makan yang luas dan berlapis marmer itu, Aldrich muncul, membawa sebuket bunga peony berwarna putih kekuningan yang indah, dengan satu kantong kertas berisi botol minuman herbal yang tampaknya dikemas dengan cantik.“Pagi semuanya.” Suaranya rendah dan tenang, tapi senyumnya penuh kelembutan, terarah hanya pada satu orang—Valerie.Valerie yang semula bersandar santai kini duduk lebih tegak. Wajahnya langsung merona. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa hangat, lalu menatap Aldrich dengan cemberut malu-malu
Begitu ia menginjak lantai marmer utama, aroma masakan segar langsung menyergap lebih kuat. Valerie menuju ruang makan, dan saat pintu geser dibuka oleh seorang pelayan lain, matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan yang menggugah selera.Ruang makan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal utama bergaya baroque menggantung anggun di tengah ruangan. Meja makan panjang dari kayu walnut mengkilat ditata sempurna dengan taplak putih bersih dan peralatan makan perak. Di tengah meja, berjejer aneka masakan yang menggoda. Omelette keju, salmon panggang, salad buah segar, aneka roti dan croissant hangat, potongan alpukat dan telur rebus, bubur ayam kampung, serta teh melati dan kopi hitam yang masih mengepul.Di ujung meja, sang ayah, Bastian, sudah duduk santai dengan koran pagi terbuka di depan wajahnya, namun begitu Valerie masuk, ia menurunkannya dan langsung tersenyum lebar.“Lihat siapa yang akhirnya bangun!” serunya sambil berdiri. “Nak, daddymu curiga, bundamu s
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Valerie, menyapu lembut wajahnya yang tenang dan sedikit mengantuk. Kulitnya tampak lebih bercahaya dari biasanya, dengan pipi yang merona alami, sebuah pesona baru yang muncul sejak ia mengandung. Rambutnya yang sedikit berantakan justru membingkai wajah ovalnya dengan manis, membuatnya terlihat semakin menawan meski baru saja terbangun.Ia mengenakan daster satin berwarna lembut—biru muda dengan renda tipis di bagian lengan dan kerah. Bahannya yang jatuh mengikuti lekuk tubuh membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Valerie menggeliat pelan di atas ranjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.Senyuman tipis langsung mengembang di wajahnya begitu layar menyala, ada notifikasi dari Aldrich.Aldrich [07.02 AM]:Pagi, sayang. Sudah bangun?Valerie mengetik dengan cepat, senyumnya makin lebar.Valerie [07.03 AM]:Sudah. Tapi belum mandi. Masih mager di kasur.Kenapa tidak bangunkan aku langsung saja?
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.“Ayah, Bunda…” ucap Valerie lirih. “Aku ingin memberitahu sesuatu.”Bunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. “Apa, sayang?”Valerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku
Langit mulai beranjak senja saat rombongan mobil hitam mewah memasuki gerbang besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di ujung jalan pribadi sepanjang hampir satu kilometer. Pagar besi berornamen emas terbuka perlahan, menampilkan pemandangan mansion Bastian yang seperti diambil dari halaman majalah arsitektur kelas dunia.Mansion itu berdiri tiga lantai dengan dominasi marmer putih krem, jendela-jendela tinggi berbingkai emas matte, dan pilar-pilar kokoh menjulang. Air mancur dengan patung kuda berlapis perunggu menjadi pusat taman depan, dengan rumput yang dipangkas sempurna dan lampu-lampu taman mulai menyala hangat seiring langit menggelap.Saat mobil berhenti, beberapa bodyguard berbadan tegap segera membuka pintu. Valerie turun terlebih dahulu, mengenakan dress soft pink selutut yang membentuk tubuh rampingnya. Flat shoes putihnya menyentuh marmer dengan langkah anggun. Di belakangnya, Aldrich turun dengan gaya khasnya—jas casual warna arang, kemeja putih berpotongan pas
Suasana lorong rumah sakit yang tadinya hanya dipenuhi langkah tenang dan percakapan pelan berubah dalam sekejap. Seorang wanita dengan balutan blouse ketat berwarna merah marun dan rok pensil hitam selutut berjalan mendekat. Tubuhnya tinggi, lekuknya jelas, dan aroma parfum mahal yang menyengat langsung menyelimuti udara di sekitarnya. Sepasang stilettosnya berdetak nyaring di lantai, membuat beberapa kepala menoleh.Tatapannya langsung tertuju pada Aldrich, seperti sasarannya sudah terkunci sejak awal.“Hai,” ujarnya dengan suara mendesah yang dibuat-buat. “Boleh aku minta nomor teleponmu?”Tanpa memperdulikan Valerie, wanita itu dengan santainya meraih lengan Aldrich. Bahkan, saat Valerie hendak bicara, wanita itu mendorong bahunya perlahan ke samping sambil menambahkan.“Adik manis, kau minggir dulu.”Sentuhan itu tak keras, tapi cukup membuat Valerie sedikit terkejut dan melangkah setengah mundur. Aldrich yang menyadari gerakan itu langsung menoleh cepat ke arah Valerie, dan sa