“Kita mau ke mana?” tanya Valerie. Suaranya setengah waspada ketika menyadari jalanan yang mereka lalui tidak menuju kantor maupun mansion Aldrich.Aldrich tetap mengemudi dengan santai. Sesekali, ia melirik Valerie sambil menyunggingkan senyum misterius. “Surprise. Tunggu dan lihat saja nanti,” jawabnya tenang, memancing rasa penasaran Valerie.Mata Valerie membulat. Dengan cepat, ia menyilangkan kedua tangan di depan dada, ekspresinya dibuat-buat waspada. “Kau tidak berniat menculikku dan menjual organ tubuhku, kan?” ucapnya, separuh bercanda tetapi dengan nada sedikit takut.Seketika, bayangan memalukan saat pertemuan pertama mereka melintas di pikirannya. Mungkin saja Aldrich menyimpan dendam karena ia mengira pria itu seorang gigolo.Aldrich meliriknya tak percaya, lalu tertawa kecil. Suara tawanya menggema ringan di dalam mobil. “Kau benar-benar membayangkan aku seburuk itu, babe? Aku terluka,” ucap Aldrich pura-pura serius, meski jelas terlihat bahwa ia tengah menggoda Valer
“Aku jadi ingin menciummu,” celetuk Valerie ringan, matanya menatap Aldrich dengan sorot menggoda.Tadinya, Aldrich tengah berbaring santai di atas tikar dengan satu tangan menyanggah kepalanya, memandang laut yang tenang. Sementara Valerie duduk bersila di sampingnya, sedikit membungkuk, membuat posisi mereka seperti dua level berbeda. Wajah Aldrich terlihat damai, tetapi saat Valerie mengucapkan kalimat itu, ketenangan itu retak seketika.Aldrich menoleh cepat, pupil matanya sempat bergetar sesaat mendengar pernyataan spontan itu. Namun, seperti biasa, pria itu dengan mudah mengontrol ekspresinya. Sebuah senyum kecil muncul di bibirnya, tetapi tatapannya berubah menjadi lebih dalam. Tanpa banyak bicara, dia bangkit setengah duduk, menarik lembut tangan Valerie, dan dalam satu gerakan memutar tubuh wanita itu hingga kini Valerie berada di bawahnya, terlentang di atas tikar.“Aku sedikit berdebar mendengar kau yang berinisiatif duluan,” ujar Aldrich jujur, suaranya terdengar rendah
Mobil melaju perlahan di jalanan yang sepi, hanya ditemani suara deburan ombak di kejauhan. Aldrich mengemudi dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain diletakkan santai di sandaran kursi. Valerie duduk di sebelahnya, diam, tetapi pikirannya tak berhenti berputar.Sesekali, ia melirik Aldrich, memperhatikan bagaimana jari-jari pria itu menggenggam setir dengan percaya diri, bagaimana rahangnya yang tegas bergerak saat ia bernapas, dan bagaimana senyumnya yang samar-samar menghiasi wajahnya ketika ia menyadari Valerie sedang memandangnya.“Kau kenapa terus menatapku begitu?” tanya Aldrich tiba-tiba, nadanya penuh godaan.Valerie tersentak, wajahnya memerah. “Aku tidak menatapmu,” bantahnya, meski matanya jelas-jelas masih mengunci pada Aldrich.Aldrich terkekeh, lalu menepikan mobil ke tepi jalan yang sepi, dikelilingi oleh pepohonan rindang dan cahaya bulan yang menyinari jalanan. “Kau ingin bicara sesuatu?” tanyanya, memandang Valerie dengan penuh perhatian.Valerie menelan
“Selamat datang, Tuan. Selamat datang, Nona!”Sambutan itu terdengar serempak dari para staf mansion saat Valerie turun dari mobil. Pintu mobilnya dibukakan dengan sigap oleh salah satu bodyguard Aldrich, sementara pria itu sendiri berdiri di sisi Valerie, menunggu dengan elegan.Valerie tersenyum canggung, matanya berkeliling memandangi fasad megah mansion itu. Ia masih belum terbiasa dengan perlakuan seperti ini, terlebih setiap gerak-geriknya seolah diperhatikan oleh staf yang berjajar rapi.“Kau lapar? Ayo kita makan dulu,” kata Aldrich dengan nada santai, meski jelas ia memperhatikan ekspresi Valerie yang sedikit gugup.Tanpa menunggu jawaban, Aldrich melingkarkan satu tangan di pinggang Valerie dengan gerakan yang sangat alami, menuntunnya masuk ke dalam mansion. Valerie hanya bisa mengikuti langkah pria itu, mencoba mengabaikan sensasi aneh yang timbul dari sentuhan ringan di pinggangnya.Saat mereka tiba di pantry, aroma lezat langsung menyambut mereka. Pantry itu berdesain m
“Aldrich,” panggil Valerie, suaranya tenang namun tegas. Ia meletakkan alat makannya dengan hati-hati di atas piring sebelum menatap Aldrich dengan saksama.Aldrich menghentikan gerakannya, menatap Valerie balik. “Apa?” tanyanya, nada suaranya datar namun penuh perhatian.Valerie menggigit bibir bawahnya, ragu sejenak sebelum melanjutkan. “Kau…” Ia sengaja menggantungkan ucapannya, mempertimbangkan apakah ia benar-benar ingin membahas ini sekarang.Aldrich mengangkat alis, ekspresinya masih sulit ditebak. “Aku apa?” ulangnya, kali ini terdengar sedikit penasaran.Valerie menghela napas pelan, memilih menghindari tatapannya. “Tidak. Aku hanya... penasaran tentangmu. Itu saja,” katanya akhirnya, mencoba terdengar santai meskipun jantungnya berdebar tak menentu.Aldrich tersenyum kecil, meletakkan alat makannya dan menatap Valerie lebih intens. Ia menopang dagu dengan salah satu tangannya, posturnya santai namun tatapannya tajam. “Aku jadi sedikit berdebar karena kau mulai penasaran de
“Ahh... jadi, kau pernah punya kekasih?” Valerie berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Suaranya terdengar berat, mencoba mengalihkan fokus dari intensitas di antara mereka. Aldrich, di sisi lain, tampak tenang, seperti sedang menikmati keunggulannya.Aldrich tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia mengangkat salah satu kaki Valerie dengan gerakan lembut namun tegas, memperlihatkan dominasi alaminya. Ia menatap Valerie dengan sorot mata penuh teka-teki, lalu menundukkan kepala, mengendus ringan aroma yang berasal dari kulitnya, seolah menikmati keberadaan wanita itu dengan semua indranya.Valerie menggigit bibir bawah, merasa malu namun tak mampu mengalihkan pandangan. Jantungnya berdetak lebih cepat saat Aldrich menegakkan tubuhnya kembali, pandangan mereka bertemu.“Tidak bisa dibilang sebagai kekasih,” jawab Aldrich akhirnya, dengan suara serak yang terkesan menggoda. Kata-katanya melayang samar, tidak memberikan kepastian apa pun, justru meninggalkan ruang bagi Valerie untuk
Valerie tidak bisa memungkiri fakta itu, meskipun mulutnya enggan mengakui. Pertama kali melihat Aldrich di Paris—saat dia masih mengira pria itu seorang gigolo—matanya memang tertarik pada tubuh tegap serta wajah tampannya yang begitu sempurna. Namun, rasa gengsinya lebih besar.“Cih. Dalam mimpimu, sayang,” balas Valerie sambil tersenyum penuh arti. Kali ini, dengan sengaja, dia menyentuh titik sensitif Aldrich dengan gerakan menggoda.Aldrich mengerang pelan, suara yang terdengar dalam dan penuh godaan. Cengkramannya di pinggang Valerie semakin menguat, menahan gerakan isengnya. “Kau sengaja ya?” tanyanya, suaranya berat dengan nada menantang.Valerie tidak berusaha membantah. Dia tertawa kecil, puas melihat ekspresi Aldrich yang campuran antara terkendali dan tersiksa. “Aku hanya memastikan kau tidak terlalu santai, Tuan,” katanya dengan nada main-main, matanya berkilat penuh kemenangan.Aldrich menatap Valerie dengan pandangan yang sulit ditebak, separuh geli, separuh terpeso
Kruuk!Valerie memejamkan mata erat, wajahnya langsung menenggelam di dada Aldrich. Dalam hati, dia berharap pria itu tidak mendengar suara perutnya yang baru saja berbunyi.Namun harapannya pupus. Valerie merasakan bahu Aldrich bergetar, dan tak lama suara tawa rendah pria itu pecah, menggema di kamar yang sunyi.“Jangan tertawa!” protes Valerie, suaranya ketus.Alih-alih berhenti, Aldrich justru tertawa lebih keras, membuat Valerie mendengus kesal. Dia mendorong dada Aldrich, lalu bangkit dan duduk bersila, selimutnya ditarik hingga menutupi tubuhnya. Dengan wajah masam, Valerie melipat kedua tangannya di depan dada.“Kau benar-benar tidak bisa menahan diri, ya?” sindir Valerie, menatap Aldrich yang masih berusaha mengendalikan tawanya.“Kebiasaan,” balas Aldrich santai, senyum lebar masih menghiasi wajahnya. Dia bangkit dari tempat tidur, memungut asal kausnya yang tergeletak di lantai, dan memakainya dengan santai.“Kau mau ke mana?” tanya Valerie, menoleh dengan alis terangkat,
Tok. Tok.Ketukan lembut terdengar di pintu kamar Valerie. Suaranya disusul suara lembut yang tak pernah gagal membuat Valerie merasa seperti anak kecil lagi.“Sayang, Bunda boleh masuk?”Valerie yang sejak tadi hanya duduk di tepi ranjang, memeluk bantal sambil memandangi jendela, menunggu pesan dari Aldrich, menoleh pelan. Ia mengangguk meski tahu sang bunda tak bisa melihatnya.Pintu terbuka perlahan. Wanita elegan dengan balutan blouse biru pastel itu melangkah masuk, menenteng secangkir susu hangat. Senyum hangatnya muncul lebih dulu, sebelum ia duduk di sisi tempat tidur Valerie.“Apa kamu merasa nyaman?” tanya Bunda, mengusap pelan tangan Valerie.Valerie mengangguk kecil. “Nyaman, Bun. Lebih dari nyaman.”Tapi bundanya tahu, di balik senyuman itu, ada hal-hal yang masih mengganjal di hati putrinya.Sambil menyerahkan cangkir susu, Bunda menarik napas panjang. “Kamu tahu, waktu Bunda hamil kamu dulu, Bunda juga sering menangis diam-diam.”Valerie menoleh cepat, kaget.“Bunda?”
Ruang interogasi siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada dua penyidik, satu pengacara pendamping dari pihak kepolisian, dan Aldrich yang duduk dengan ekspresi tegas di sisi kanan meja.Jennifer duduk di seberang, tangannya terikat borgol, tapi senyumnya masih setengah mengejek seperti biasa. Rambutnya diikat asal, dan tatapannya tajam menusuk ke arah Aldrich.“Jadi,” ujar penyidik, membuka catatan. “Kita ingin memastikan, benar bahwa semua rencana penjebakan, pengawasan, penyebaran video tak senonoh itu berasal dari Anda?”Jennifer menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menarik napas panjang, lalu melirik Aldrich sejenak. Bibirnya terangkat dalam senyum malas.“Ya,” katanya enteng. “Itu semua ideku.”Ruangan mendadak sunyi.Aldrich hanya memiringkan kepala sedikit, menatapnya lebih dalam. “Kenapa, Jennifer?”Jennifer mendecakkan lidah pelan. “Kenapa? Serius nanya begitu?”Ia mengangkat alis, lalu melipat tangan di atas meja. “Kau tahu, dulunya aku dan Valerie itu sahabat. Bestie, begitu
“Karena… kamu sangat cantik pagi ini. Dan aku butuh waktu untuk menikmati itu tanpa disela siapa pun,” jawabnya jujur, dengan suara rendah dan dalam.Valerie tertawa kecil, menunduk menahan senyum. “Gombal!”“Tidak.” Aldrich melangkah mendekat. “Kamu makin bersinar sejak hamil. Kulitmu, matamu, senyummu… aku bahkan tidak yakin bisa berkonsentrasi bekerja hari ini.”Valerie menegakkan dagunya, pura-pura berani. “Berarti salahku kamu jadi malas kerja?”“Tentu.” Aldrich menatap mata Valerie begitu dekat sekarang. “Dan karena itu…”Tiba-tiba, ia mencondongkan tubuhnya cepat dan mencuri satu kecupan ringan di bibir Valerie, hanya sekelebat, nyaris tak tersentuh angin.Valerie terkejut. “Aldrich!”Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Aldrich sudah menjauh setengah langkah dengan senyum tak berdosa. “Apa? Aku hanya mengambil hakku sebagai tunangan.”“Kalau dilihat Bunda, aku bisa dikunci di kamar sebulan!” Valerie menepuk dada Aldrich dengan gemas, tapi rona merah sudah merayap sampai
Suara bel utama mansion menggema lembut ke seluruh penjuru rumah, membuyarkan tawa keluarga kecil itu di ruang makan.Salah satu maid segera berjalan cepat menuju pintu depan. Tak lama, ia kembali sambil tersenyum, membungkuk sedikit kepada Valerie.“Maaf, Nona Valerie… ada tamu. Tuan Aldrich sudah tiba.”Wajah Valerie seketika berubah. Matanya membulat kecil. “Ha? Aldrich?”Sebelum ia bisa berdiri dari kursinya, langkah-langkah mantap terdengar mendekat. Di ambang ruang makan yang luas dan berlapis marmer itu, Aldrich muncul, membawa sebuket bunga peony berwarna putih kekuningan yang indah, dengan satu kantong kertas berisi botol minuman herbal yang tampaknya dikemas dengan cantik.“Pagi semuanya.” Suaranya rendah dan tenang, tapi senyumnya penuh kelembutan, terarah hanya pada satu orang—Valerie.Valerie yang semula bersandar santai kini duduk lebih tegak. Wajahnya langsung merona. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa hangat, lalu menatap Aldrich dengan cemberut malu-malu
Begitu ia menginjak lantai marmer utama, aroma masakan segar langsung menyergap lebih kuat. Valerie menuju ruang makan, dan saat pintu geser dibuka oleh seorang pelayan lain, matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan yang menggugah selera.Ruang makan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal utama bergaya baroque menggantung anggun di tengah ruangan. Meja makan panjang dari kayu walnut mengkilat ditata sempurna dengan taplak putih bersih dan peralatan makan perak. Di tengah meja, berjejer aneka masakan yang menggoda. Omelette keju, salmon panggang, salad buah segar, aneka roti dan croissant hangat, potongan alpukat dan telur rebus, bubur ayam kampung, serta teh melati dan kopi hitam yang masih mengepul.Di ujung meja, sang ayah, Bastian, sudah duduk santai dengan koran pagi terbuka di depan wajahnya, namun begitu Valerie masuk, ia menurunkannya dan langsung tersenyum lebar.“Lihat siapa yang akhirnya bangun!” serunya sambil berdiri. “Nak, daddymu curiga, bundamu s
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Valerie, menyapu lembut wajahnya yang tenang dan sedikit mengantuk. Kulitnya tampak lebih bercahaya dari biasanya, dengan pipi yang merona alami, sebuah pesona baru yang muncul sejak ia mengandung. Rambutnya yang sedikit berantakan justru membingkai wajah ovalnya dengan manis, membuatnya terlihat semakin menawan meski baru saja terbangun.Ia mengenakan daster satin berwarna lembut—biru muda dengan renda tipis di bagian lengan dan kerah. Bahannya yang jatuh mengikuti lekuk tubuh membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Valerie menggeliat pelan di atas ranjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.Senyuman tipis langsung mengembang di wajahnya begitu layar menyala, ada notifikasi dari Aldrich.Aldrich [07.02 AM]:Pagi, sayang. Sudah bangun?Valerie mengetik dengan cepat, senyumnya makin lebar.Valerie [07.03 AM]:Sudah. Tapi belum mandi. Masih mager di kasur.Kenapa tidak bangunkan aku langsung saja?
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.“Ayah, Bunda…” ucap Valerie lirih. “Aku ingin memberitahu sesuatu.”Bunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. “Apa, sayang?”Valerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku
Langit mulai beranjak senja saat rombongan mobil hitam mewah memasuki gerbang besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di ujung jalan pribadi sepanjang hampir satu kilometer. Pagar besi berornamen emas terbuka perlahan, menampilkan pemandangan mansion Bastian yang seperti diambil dari halaman majalah arsitektur kelas dunia.Mansion itu berdiri tiga lantai dengan dominasi marmer putih krem, jendela-jendela tinggi berbingkai emas matte, dan pilar-pilar kokoh menjulang. Air mancur dengan patung kuda berlapis perunggu menjadi pusat taman depan, dengan rumput yang dipangkas sempurna dan lampu-lampu taman mulai menyala hangat seiring langit menggelap.Saat mobil berhenti, beberapa bodyguard berbadan tegap segera membuka pintu. Valerie turun terlebih dahulu, mengenakan dress soft pink selutut yang membentuk tubuh rampingnya. Flat shoes putihnya menyentuh marmer dengan langkah anggun. Di belakangnya, Aldrich turun dengan gaya khasnya—jas casual warna arang, kemeja putih berpotongan pas
Suasana lorong rumah sakit yang tadinya hanya dipenuhi langkah tenang dan percakapan pelan berubah dalam sekejap. Seorang wanita dengan balutan blouse ketat berwarna merah marun dan rok pensil hitam selutut berjalan mendekat. Tubuhnya tinggi, lekuknya jelas, dan aroma parfum mahal yang menyengat langsung menyelimuti udara di sekitarnya. Sepasang stilettosnya berdetak nyaring di lantai, membuat beberapa kepala menoleh.Tatapannya langsung tertuju pada Aldrich, seperti sasarannya sudah terkunci sejak awal.“Hai,” ujarnya dengan suara mendesah yang dibuat-buat. “Boleh aku minta nomor teleponmu?”Tanpa memperdulikan Valerie, wanita itu dengan santainya meraih lengan Aldrich. Bahkan, saat Valerie hendak bicara, wanita itu mendorong bahunya perlahan ke samping sambil menambahkan.“Adik manis, kau minggir dulu.”Sentuhan itu tak keras, tapi cukup membuat Valerie sedikit terkejut dan melangkah setengah mundur. Aldrich yang menyadari gerakan itu langsung menoleh cepat ke arah Valerie, dan sa