“Hoam!”Valerie menutup mulutnya dengan punggung tangan, sementara tangan lainnya memegang gelas kopi instan. Matanya terasa berat, tubuhnya lelah, dan pikiran masih berputar pada malam sebelumnya, ketika teman-temannya membuatnya begadang hingga hampir pagi.Langkahnya sedikit melambat saat akan memasuki lift, ketika tiba-tiba suara berat berbisik di dekat telinganya.“Morning, babe.”Valerie nyaris menjatuhkan kopinya. Ia menoleh cepat, dan di sana, Aldrich berdiri dengan senyum yang membuat hatinya seketika berdebar.Valerie tidak melihat jika ada pria itu sebelumnya di lift. “Kau mengagetkanku!” serunya dengan nada setengah berbisik, takut suara mereka menarik perhatian rekan-rekan kerja lainnya.Aldrich terkekeh pelan, tatapannya bergantian memeriksa gelas kopi di tangan Valerie dan lingkaran gelap di bawah matanya. “Sepertinya kau tidak tidur semalam?” tanyanya, nada suaranya terdengar seperti setengah cemas, setengah menggoda.Valerie mendesah panjang, bahunya meluruh lelah.
“Val, duluan ya!” Jenny melambaikan tangan, bersiap meninggalkan meja kerja.“Oh iya,” jawab Valerie sambil menyusun laporan ke dalam map berwarna-warni. Ia mengurutkannya dengan rapi, dimulai dari laporan prioritas tinggi berwarna merah, laporan penting dengan warna kuning, hingga laporan reguler di map biru. Fokusnya total, memastikan tak ada yang tertinggal.Jenny kembali menghampiri meja Valerie. “Kamu mau dibawain sesuatu nggak, Val?” tanyanya ramah.Valerie tersenyum kecil sambil merapikan map terakhir. “Nggak perlu, Mbak. Aku juga udah selesai kok.”Wajah Jenny berbinar. “Kalau gitu, barengan aja yuk!” ajaknya antusias.Refleks, Valerie menolak. Ia teringat janji makan siangnya dengan Aldrich. “Nggak, Mbak. Mbak duluan aja. Aku nggak apa-apa, kok.”Jenny menaikkan alis, memasang ekspresi penasaran. “Hmm... kamu mau makan siang sama gebetan ya? Ngaku aja deh. Siapa? Aku kenal?” desaknya dengan senyum penuh arti.Valerie membuka mulut, hendak memberi penjelasan, tetapi sebuah su
“Tambahkan lagi untuknya,” kata Aldrich dengan nada tegas namun santai saat melihat pelayan hanya memberikan satu irisan daging sapi panggang ke piring Valerie.Mereka saat ini sedang mengantri makan siang prasmanan dengan meja panjang berlapis kain putih elegan. Piring saji berkilau memantulkan cahaya lampu gantung di atasnya. Ada berbagai pilihan hidangan, dari salad segar, daging panggang beraroma rempah, hingga aneka lauk khas Eropa dan Asia. Para pelayan berpakaian rapi berdiri di belakang meja, siap membantu para tamu.Disudut ruangan juga tersedia aneka dessert lengkap. Dari pada kantin perusahaan, ini sudah seperti restoran hotel bintang lima.Pelayan itu mengangguk cepat, sedikit bingung, tetapi tetap mengambil satu potong daging lagi dengan penjepit perak dan meletakkannya di piring Valerie. “Ah? Baik, Tuan.”Valerie memutar tubuhnya, menatap Aldrich tajam. “Itu sudah cukup,” katanya dengan suara pelan namun penuh tekanan. Ia merasa risih menjadi perhatian orang lain.Na
Aldrich menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Valerie dengan senyum jahil yang mulai terbentuk di wajahnya. Ia tidak langsung menjawab, hanya memainkan map di tangannya seolah sedang memikirkan sesuatu yang serius.“Apa?” Valerie menatapnya dengan dahi berkerut.“Tidak apa-apa,” jawab Aldrich santai, namun tatapan matanya jelas mengatakan sesuatu yang berbeda. “Aku hanya berpikir, apakah kau benar-benar mempersiapkan ini dengan baik, atau hanya ingin membuatku terkesan?”Valerie mendengus kecil, mengabaikan komentar itu meskipun pipinya sedikit memanas. “Tentu saja aku profesional, Tuan Aldrich.”Aldrich terkekeh pelan, lalu bersandar lebih dekat, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. “Bagus. Karena aku suka jika sekretarisku tidak hanya profesional, tapi juga memikirkan hal-hal lain... seperti bagaimana membuatku tidak bisa berpaling darinya.”Valerie menegang sejenak, merasa napasnya hampir tercekat. “Tuan Aldrich,” katanya dengan nada tegas, mencoba mengembalikan pembic
“Ah, lelah sekali!”Valerie menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang empuk, membiarkan kepenatan hari itu meluruh sejenak. Setelah survei panjang yang menguras energi, ia merasa benar-benar kelelahan. qKali ini, ia memutuskan untuk tidak kembali ke mansion Aldrich. Bukan karena dia tidak nyaman, tetapi karena Aldrich pasti akan menemukan cara untuk mengganggunya—entah dengan godaan atau ‘aktivitas panjang yang melelahkan’ dan tak akan membiarkannya terlelap.“Sepertinya aku harus berendam.” pikir Valerie sambil menutup matanya sejenak, membayangkan betapa nikmatnya tenggelam dalam kehangatan air dan busa sabun yang menenangkan.Tak ingin membuang waktu, Valerie bangkit dari ranjang, melepas blazer kerjanya dan berjalan ke kamar mandi. Ia membuka pintu kaca kamar mandinya, menyalakan lampu dengan nuansa kekuningan yang lembut.Kran bathtub segera diputar ke mode air hangat, uap tipis mulai memenuhi ruangan kecil itu. Valerie mengambil botol sabun cair favoritnya dari rak—aroma melati dan
“Hhh...”Valerie menahan desahan yang hampir lolos saat tangan Aldrich menggosok punggungnya dengan gerakan lembut namun penuh kendali. Sensasi itu mengalir ke seluruh tubuhnya, membuatnya sulit untuk tetap tenang.“Kau menyukainya, kan?” bisik Aldrich, nada menggoda terdengar jelas di telinganya.Valerie hanya terdiam, menolak memberikan respons yang bisa membuat Aldrich semakin besar kepala. Namun keheningannya justru membuat pria itu semakin percaya diri.Aldrich mendekatkan wajahnya, bibirnya menyentuh pundak Valerie yang terbuka. Ciuman kecil itu mendarat lembut, namun panasnya seolah membakar kulit Valerie. Dari pundaknya, Aldrich perlahan naik ke leher jenjang Valerie, menelusurinya dengan napas hangat dan ciuman yang lebih dalam.Aroma vanilla yang menempel di kulit Valerie membuat Aldrich tersenyum samar. “Kau wangi sekali,” gumamnya, bibirnya masih menempel di leher Valerie. Ia menyesap aroma itu seolah candu, rakus namun tetap terkendali.“Ahh....”Desahan kecil akhirnya
“Angkat kepalamu sedikit,” ucap Aldrich lembut namun tegas.Pada akhirnya, Valerie menyerah pada keinginan pria itu yang bersikeras mengeringkan rambutnya. Duduk di tepi ranjang dengan handuk kimono membalut tubuhnya, Valerie menatap cermin di hadapannya. Rambut basahnya yang terurai kini berada di tangan Aldrich. Dia menggerakkan hair dryer dengan gerakan terampil, seolah-olah sudah terbiasa melakukannya.“Hm....”Udara hangat dari hair dryer menyapu rambut Valerie, menciptakan sensasi nyaman yang membuat matanya perlahan terasa berat. Dia merapatkan kimono di tubuhnya, memastikan tidak ada bagian yang terbuka terlalu banyak, meskipun Aldrich tampaknya tidak peduli dengan hal itu.Aldrich sesekali mencuri pandang ke arah Valerie melalui pantulan cermin. Ketika tatapan mereka bertemu, ia tersenyum lembut.“Kau ahli sekali,” Valerie tiba-tiba berkomentar, memecah keheningan. Matanya tetap tertutup setengah, suara hair dryer mengiringi pembicaraan mereka. “Apa kau sering melakukan ini
“Lumayan,” komentar Valerie dengan nada datar. Meskipun matanya tak bisa menyembunyikan ketertarikannya pada pasta di depannya. Namun, gengsinya terlalu besar untuk langsung menerima.“Tapi bentuk menarik belum tentu enak,” tambahnya, mencoba terdengar skeptis, meskipun aroma wangi bawang putih, basil, dan saus tomat yang menggoda membuat perutnya kembali keroncongan, mempermalukannya sekali lagi.Aldrich yang mendengar bunyi perut itu hanya terkekeh. Tanpa berkata apa-apa, dia meletakkan piring di meja, lalu menarik Valerie dengan lembut menuju kursi makan.“Duduk di sini,” katanya, nyaris seperti sebuah perintah, tapi tetap terdengar lembut.Setelah Valerie duduk, Aldrich menaruh piring berisi pasta di hadapannya sebelum kembali ke pantry untuk mengambil alat makan. Valerie, yang mengamatinya dari belakang, tersenyum tipis tanpa sadar. Dia tampak begitu memikat, bahkan saat hanya mengambil sendok dan garpu.“Pakai ini. Cepat dimakan,” kata Aldrich, menyerahkan alat makan pada Vale
Tok. Tok.Ketukan lembut terdengar di pintu kamar Valerie. Suaranya disusul suara lembut yang tak pernah gagal membuat Valerie merasa seperti anak kecil lagi.“Sayang, Bunda boleh masuk?”Valerie yang sejak tadi hanya duduk di tepi ranjang, memeluk bantal sambil memandangi jendela, menunggu pesan dari Aldrich, menoleh pelan. Ia mengangguk meski tahu sang bunda tak bisa melihatnya.Pintu terbuka perlahan. Wanita elegan dengan balutan blouse biru pastel itu melangkah masuk, menenteng secangkir susu hangat. Senyum hangatnya muncul lebih dulu, sebelum ia duduk di sisi tempat tidur Valerie.“Apa kamu merasa nyaman?” tanya Bunda, mengusap pelan tangan Valerie.Valerie mengangguk kecil. “Nyaman, Bun. Lebih dari nyaman.”Tapi bundanya tahu, di balik senyuman itu, ada hal-hal yang masih mengganjal di hati putrinya.Sambil menyerahkan cangkir susu, Bunda menarik napas panjang. “Kamu tahu, waktu Bunda hamil kamu dulu, Bunda juga sering menangis diam-diam.”Valerie menoleh cepat, kaget.“Bunda?”
Ruang interogasi siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada dua penyidik, satu pengacara pendamping dari pihak kepolisian, dan Aldrich yang duduk dengan ekspresi tegas di sisi kanan meja.Jennifer duduk di seberang, tangannya terikat borgol, tapi senyumnya masih setengah mengejek seperti biasa. Rambutnya diikat asal, dan tatapannya tajam menusuk ke arah Aldrich.“Jadi,” ujar penyidik, membuka catatan. “Kita ingin memastikan, benar bahwa semua rencana penjebakan, pengawasan, penyebaran video tak senonoh itu berasal dari Anda?”Jennifer menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menarik napas panjang, lalu melirik Aldrich sejenak. Bibirnya terangkat dalam senyum malas.“Ya,” katanya enteng. “Itu semua ideku.”Ruangan mendadak sunyi.Aldrich hanya memiringkan kepala sedikit, menatapnya lebih dalam. “Kenapa, Jennifer?”Jennifer mendecakkan lidah pelan. “Kenapa? Serius nanya begitu?”Ia mengangkat alis, lalu melipat tangan di atas meja. “Kau tahu, dulunya aku dan Valerie itu sahabat. Bestie, begitu
“Karena… kamu sangat cantik pagi ini. Dan aku butuh waktu untuk menikmati itu tanpa disela siapa pun,” jawabnya jujur, dengan suara rendah dan dalam.Valerie tertawa kecil, menunduk menahan senyum. “Gombal!”“Tidak.” Aldrich melangkah mendekat. “Kamu makin bersinar sejak hamil. Kulitmu, matamu, senyummu… aku bahkan tidak yakin bisa berkonsentrasi bekerja hari ini.”Valerie menegakkan dagunya, pura-pura berani. “Berarti salahku kamu jadi malas kerja?”“Tentu.” Aldrich menatap mata Valerie begitu dekat sekarang. “Dan karena itu…”Tiba-tiba, ia mencondongkan tubuhnya cepat dan mencuri satu kecupan ringan di bibir Valerie, hanya sekelebat, nyaris tak tersentuh angin.Valerie terkejut. “Aldrich!”Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Aldrich sudah menjauh setengah langkah dengan senyum tak berdosa. “Apa? Aku hanya mengambil hakku sebagai tunangan.”“Kalau dilihat Bunda, aku bisa dikunci di kamar sebulan!” Valerie menepuk dada Aldrich dengan gemas, tapi rona merah sudah merayap sampai
Suara bel utama mansion menggema lembut ke seluruh penjuru rumah, membuyarkan tawa keluarga kecil itu di ruang makan.Salah satu maid segera berjalan cepat menuju pintu depan. Tak lama, ia kembali sambil tersenyum, membungkuk sedikit kepada Valerie.“Maaf, Nona Valerie… ada tamu. Tuan Aldrich sudah tiba.”Wajah Valerie seketika berubah. Matanya membulat kecil. “Ha? Aldrich?”Sebelum ia bisa berdiri dari kursinya, langkah-langkah mantap terdengar mendekat. Di ambang ruang makan yang luas dan berlapis marmer itu, Aldrich muncul, membawa sebuket bunga peony berwarna putih kekuningan yang indah, dengan satu kantong kertas berisi botol minuman herbal yang tampaknya dikemas dengan cantik.“Pagi semuanya.” Suaranya rendah dan tenang, tapi senyumnya penuh kelembutan, terarah hanya pada satu orang—Valerie.Valerie yang semula bersandar santai kini duduk lebih tegak. Wajahnya langsung merona. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa hangat, lalu menatap Aldrich dengan cemberut malu-malu
Begitu ia menginjak lantai marmer utama, aroma masakan segar langsung menyergap lebih kuat. Valerie menuju ruang makan, dan saat pintu geser dibuka oleh seorang pelayan lain, matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan yang menggugah selera.Ruang makan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal utama bergaya baroque menggantung anggun di tengah ruangan. Meja makan panjang dari kayu walnut mengkilat ditata sempurna dengan taplak putih bersih dan peralatan makan perak. Di tengah meja, berjejer aneka masakan yang menggoda. Omelette keju, salmon panggang, salad buah segar, aneka roti dan croissant hangat, potongan alpukat dan telur rebus, bubur ayam kampung, serta teh melati dan kopi hitam yang masih mengepul.Di ujung meja, sang ayah, Bastian, sudah duduk santai dengan koran pagi terbuka di depan wajahnya, namun begitu Valerie masuk, ia menurunkannya dan langsung tersenyum lebar.“Lihat siapa yang akhirnya bangun!” serunya sambil berdiri. “Nak, daddymu curiga, bundamu s
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Valerie, menyapu lembut wajahnya yang tenang dan sedikit mengantuk. Kulitnya tampak lebih bercahaya dari biasanya, dengan pipi yang merona alami, sebuah pesona baru yang muncul sejak ia mengandung. Rambutnya yang sedikit berantakan justru membingkai wajah ovalnya dengan manis, membuatnya terlihat semakin menawan meski baru saja terbangun.Ia mengenakan daster satin berwarna lembut—biru muda dengan renda tipis di bagian lengan dan kerah. Bahannya yang jatuh mengikuti lekuk tubuh membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Valerie menggeliat pelan di atas ranjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.Senyuman tipis langsung mengembang di wajahnya begitu layar menyala, ada notifikasi dari Aldrich.Aldrich [07.02 AM]:Pagi, sayang. Sudah bangun?Valerie mengetik dengan cepat, senyumnya makin lebar.Valerie [07.03 AM]:Sudah. Tapi belum mandi. Masih mager di kasur.Kenapa tidak bangunkan aku langsung saja?
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.“Ayah, Bunda…” ucap Valerie lirih. “Aku ingin memberitahu sesuatu.”Bunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. “Apa, sayang?”Valerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku
Langit mulai beranjak senja saat rombongan mobil hitam mewah memasuki gerbang besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di ujung jalan pribadi sepanjang hampir satu kilometer. Pagar besi berornamen emas terbuka perlahan, menampilkan pemandangan mansion Bastian yang seperti diambil dari halaman majalah arsitektur kelas dunia.Mansion itu berdiri tiga lantai dengan dominasi marmer putih krem, jendela-jendela tinggi berbingkai emas matte, dan pilar-pilar kokoh menjulang. Air mancur dengan patung kuda berlapis perunggu menjadi pusat taman depan, dengan rumput yang dipangkas sempurna dan lampu-lampu taman mulai menyala hangat seiring langit menggelap.Saat mobil berhenti, beberapa bodyguard berbadan tegap segera membuka pintu. Valerie turun terlebih dahulu, mengenakan dress soft pink selutut yang membentuk tubuh rampingnya. Flat shoes putihnya menyentuh marmer dengan langkah anggun. Di belakangnya, Aldrich turun dengan gaya khasnya—jas casual warna arang, kemeja putih berpotongan pas
Suasana lorong rumah sakit yang tadinya hanya dipenuhi langkah tenang dan percakapan pelan berubah dalam sekejap. Seorang wanita dengan balutan blouse ketat berwarna merah marun dan rok pensil hitam selutut berjalan mendekat. Tubuhnya tinggi, lekuknya jelas, dan aroma parfum mahal yang menyengat langsung menyelimuti udara di sekitarnya. Sepasang stilettosnya berdetak nyaring di lantai, membuat beberapa kepala menoleh.Tatapannya langsung tertuju pada Aldrich, seperti sasarannya sudah terkunci sejak awal.“Hai,” ujarnya dengan suara mendesah yang dibuat-buat. “Boleh aku minta nomor teleponmu?”Tanpa memperdulikan Valerie, wanita itu dengan santainya meraih lengan Aldrich. Bahkan, saat Valerie hendak bicara, wanita itu mendorong bahunya perlahan ke samping sambil menambahkan.“Adik manis, kau minggir dulu.”Sentuhan itu tak keras, tapi cukup membuat Valerie sedikit terkejut dan melangkah setengah mundur. Aldrich yang menyadari gerakan itu langsung menoleh cepat ke arah Valerie, dan sa