“Megan.”Valerie memanggil dengan lembut, membuat tiga pasang mata di ruangan itu beralih padanya. Sudah hampir pukul tiga dini hari, tetapi keempat sahabat itu masih terjaga, menikmati malam penuh canda tawa.“Kenapa kalian menatapku seperti itu?” tanya Megan, mengernyit curiga melihat senyum-senyum penuh arti dari ketiga sahabatnya.Valerie tertawa kecil, lalu berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan sebuah kotak persegi yang diikat pita dua warna, hitam dan pink, tampak elegan namun menggoda.“Kami punya sesuatu untukmu,” kata Valerie sambil mengangkat kotak itu di depan Megan. Ia menatap Luna dan Hanna sekilas, meminta persetujuan sebelum menyerahkannya. Setelah mendapat anggukan semangat dari keduanya, Valerie menyodorkan kotak itu kepada Megan.“Apa ini?” Megan menerima kado tersebut dengan mata yang tiba-tiba berkaca-kaca. Ia mencoba menahan emosinya, tapi jelas hadiah itu mengharukannya.“Bukalah, kau akan tahu,” ujar Luna dengan senyum
“Hoam!”Valerie menutup mulutnya dengan punggung tangan, sementara tangan lainnya memegang gelas kopi instan. Matanya terasa berat, tubuhnya lelah, dan pikiran masih berputar pada malam sebelumnya, ketika teman-temannya membuatnya begadang hingga hampir pagi.Langkahnya sedikit melambat saat akan memasuki lift, ketika tiba-tiba suara berat berbisik di dekat telinganya.“Morning, babe.”Valerie nyaris menjatuhkan kopinya. Ia menoleh cepat, dan di sana, Aldrich berdiri dengan senyum yang membuat hatinya seketika berdebar.Valerie tidak melihat jika ada pria itu sebelumnya di lift. “Kau mengagetkanku!” serunya dengan nada setengah berbisik, takut suara mereka menarik perhatian rekan-rekan kerja lainnya.Aldrich terkekeh pelan, tatapannya bergantian memeriksa gelas kopi di tangan Valerie dan lingkaran gelap di bawah matanya. “Sepertinya kau tidak tidur semalam?” tanyanya, nada suaranya terdengar seperti setengah cemas, setengah menggoda.Valerie mendesah panjang, bahunya meluruh lelah.
“Val, duluan ya!” Jenny melambaikan tangan, bersiap meninggalkan meja kerja.“Oh iya,” jawab Valerie sambil menyusun laporan ke dalam map berwarna-warni. Ia mengurutkannya dengan rapi, dimulai dari laporan prioritas tinggi berwarna merah, laporan penting dengan warna kuning, hingga laporan reguler di map biru. Fokusnya total, memastikan tak ada yang tertinggal.Jenny kembali menghampiri meja Valerie. “Kamu mau dibawain sesuatu nggak, Val?” tanyanya ramah.Valerie tersenyum kecil sambil merapikan map terakhir. “Nggak perlu, Mbak. Aku juga udah selesai kok.”Wajah Jenny berbinar. “Kalau gitu, barengan aja yuk!” ajaknya antusias.Refleks, Valerie menolak. Ia teringat janji makan siangnya dengan Aldrich. “Nggak, Mbak. Mbak duluan aja. Aku nggak apa-apa, kok.”Jenny menaikkan alis, memasang ekspresi penasaran. “Hmm... kamu mau makan siang sama gebetan ya? Ngaku aja deh. Siapa? Aku kenal?” desaknya dengan senyum penuh arti.Valerie membuka mulut, hendak memberi penjelasan, tetapi sebuah su
“Tambahkan lagi untuknya,” kata Aldrich dengan nada tegas namun santai saat melihat pelayan hanya memberikan satu irisan daging sapi panggang ke piring Valerie.Mereka saat ini sedang mengantri makan siang prasmanan dengan meja panjang berlapis kain putih elegan. Piring saji berkilau memantulkan cahaya lampu gantung di atasnya. Ada berbagai pilihan hidangan, dari salad segar, daging panggang beraroma rempah, hingga aneka lauk khas Eropa dan Asia. Para pelayan berpakaian rapi berdiri di belakang meja, siap membantu para tamu.Disudut ruangan juga tersedia aneka dessert lengkap. Dari pada kantin perusahaan, ini sudah seperti restoran hotel bintang lima.Pelayan itu mengangguk cepat, sedikit bingung, tetapi tetap mengambil satu potong daging lagi dengan penjepit perak dan meletakkannya di piring Valerie. “Ah? Baik, Tuan.”Valerie memutar tubuhnya, menatap Aldrich tajam. “Itu sudah cukup,” katanya dengan suara pelan namun penuh tekanan. Ia merasa risih menjadi perhatian orang lain.Na
Aldrich menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Valerie dengan senyum jahil yang mulai terbentuk di wajahnya. Ia tidak langsung menjawab, hanya memainkan map di tangannya seolah sedang memikirkan sesuatu yang serius.“Apa?” Valerie menatapnya dengan dahi berkerut.“Tidak apa-apa,” jawab Aldrich santai, namun tatapan matanya jelas mengatakan sesuatu yang berbeda. “Aku hanya berpikir, apakah kau benar-benar mempersiapkan ini dengan baik, atau hanya ingin membuatku terkesan?”Valerie mendengus kecil, mengabaikan komentar itu meskipun pipinya sedikit memanas. “Tentu saja aku profesional, Tuan Aldrich.”Aldrich terkekeh pelan, lalu bersandar lebih dekat, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. “Bagus. Karena aku suka jika sekretarisku tidak hanya profesional, tapi juga memikirkan hal-hal lain... seperti bagaimana membuatku tidak bisa berpaling darinya.”Valerie menegang sejenak, merasa napasnya hampir tercekat. “Tuan Aldrich,” katanya dengan nada tegas, mencoba mengembalikan pembic
“Ah, lelah sekali!”Valerie menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang empuk, membiarkan kepenatan hari itu meluruh sejenak. Setelah survei panjang yang menguras energi, ia merasa benar-benar kelelahan. qKali ini, ia memutuskan untuk tidak kembali ke mansion Aldrich. Bukan karena dia tidak nyaman, tetapi karena Aldrich pasti akan menemukan cara untuk mengganggunya—entah dengan godaan atau ‘aktivitas panjang yang melelahkan’ dan tak akan membiarkannya terlelap.“Sepertinya aku harus berendam.” pikir Valerie sambil menutup matanya sejenak, membayangkan betapa nikmatnya tenggelam dalam kehangatan air dan busa sabun yang menenangkan.Tak ingin membuang waktu, Valerie bangkit dari ranjang, melepas blazer kerjanya dan berjalan ke kamar mandi. Ia membuka pintu kaca kamar mandinya, menyalakan lampu dengan nuansa kekuningan yang lembut.Kran bathtub segera diputar ke mode air hangat, uap tipis mulai memenuhi ruangan kecil itu. Valerie mengambil botol sabun cair favoritnya dari rak—aroma melati dan
“Hhh...”Valerie menahan desahan yang hampir lolos saat tangan Aldrich menggosok punggungnya dengan gerakan lembut namun penuh kendali. Sensasi itu mengalir ke seluruh tubuhnya, membuatnya sulit untuk tetap tenang.“Kau menyukainya, kan?” bisik Aldrich, nada menggoda terdengar jelas di telinganya.Valerie hanya terdiam, menolak memberikan respons yang bisa membuat Aldrich semakin besar kepala. Namun keheningannya justru membuat pria itu semakin percaya diri.Aldrich mendekatkan wajahnya, bibirnya menyentuh pundak Valerie yang terbuka. Ciuman kecil itu mendarat lembut, namun panasnya seolah membakar kulit Valerie. Dari pundaknya, Aldrich perlahan naik ke leher jenjang Valerie, menelusurinya dengan napas hangat dan ciuman yang lebih dalam.Aroma vanilla yang menempel di kulit Valerie membuat Aldrich tersenyum samar. “Kau wangi sekali,” gumamnya, bibirnya masih menempel di leher Valerie. Ia menyesap aroma itu seolah candu, rakus namun tetap terkendali.“Ahh....”Desahan kecil akhirnya
“Angkat kepalamu sedikit,” ucap Aldrich lembut namun tegas.Pada akhirnya, Valerie menyerah pada keinginan pria itu yang bersikeras mengeringkan rambutnya. Duduk di tepi ranjang dengan handuk kimono membalut tubuhnya, Valerie menatap cermin di hadapannya. Rambut basahnya yang terurai kini berada di tangan Aldrich. Dia menggerakkan hair dryer dengan gerakan terampil, seolah-olah sudah terbiasa melakukannya.“Hm....”Udara hangat dari hair dryer menyapu rambut Valerie, menciptakan sensasi nyaman yang membuat matanya perlahan terasa berat. Dia merapatkan kimono di tubuhnya, memastikan tidak ada bagian yang terbuka terlalu banyak, meskipun Aldrich tampaknya tidak peduli dengan hal itu.Aldrich sesekali mencuri pandang ke arah Valerie melalui pantulan cermin. Ketika tatapan mereka bertemu, ia tersenyum lembut.“Kau ahli sekali,” Valerie tiba-tiba berkomentar, memecah keheningan. Matanya tetap tertutup setengah, suara hair dryer mengiringi pembicaraan mereka. “Apa kau sering melakukan ini
"Kenapa kau membawaku ke sini? Ini bukan apartemenku," tanya Valerie dengan suara serak. Ia mengucek matanya, mencoba mengusir kantuk yang masih tersisa.Perlahan, pandangannya mulai fokus, dan ia baru menyadari bahwa mereka berada di depan sebuah mansion megah. Bangunan itu menjulang tinggi dengan arsitektur klasik yang elegan, diterangi cahaya lampu temaram yang memberi kesan hangat sekaligus misterius.Di kursi kemudi, Aldrich duduk santai. Satu tangannya bertumpu pada kemudi, sementara yang lain menopang dagunya. Matanya mengamati Valerie dengan sabar. Ia tidak membangunkannya tadi, hanya menunggu hingga wanita itu terjaga sendiri."Kau tertidur di mobil, jadi kupikir lebih baik langsung membawamu ke sini," ujar Aldrich akhirnya. Suaranya tenang, seolah keputusan itu adalah hal yang paling wajar di dunia.Valerie mengernyit, masih mencoba mencerna keadaan. "Tapi... kenapa di sini?"Aldrich menoleh, menatapnya dalam-dalam sebelum tersenyum tipis. "Kau mengandung anakku. Akan lebih
“Bunda!”Valerie langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri sang bunda saat ibunya baru saja membuka pintu.“Val, bagaimana keadaan ayahmu?” tanya bundanya panik.Segera, ia mendekat ke ranjang Bastian, menatap wajah suaminya yang tertidur damai.Valerie mendesah, ikut menatap ayahnya. “Sudah lebih baik, Bun. Ayah hanya perlu beristirahat.”Bunda Valerie menghela napas lega. “Syukurlah.” Saat itulah, ia menyadari kehadiran Aldrich yang berdiri tak jauh dari Valerie.“Oh, Aldrich, kau di sini?” tanyanya dengan senyum tipis.Aldrich mengusap tengkuknya singkat sebelum mengangguk. “Ya, Bun. Aku merindukan Valerie,” jawabnya dengan nada santai, tetapi penuh makna.Bunda Valerie terkekeh pelan. “Apa sebaiknya pernikahan kalian dimajukan saja?” godanya dengan nada riang.Wajah Valerie seketika memanas. Ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi godaan ibunya. Di satu sisi, pertunangan mereka hanyalah pura-pura. Namun, di sisi lain, Valerie kini mengandung anak Aldrich. Ia mulai ragu apaka
Aldrich dengan santai menambahkan beberapa potong ikan salmon panggang ke piring Valerie. “Tambah ini, kudengar ini bagus untuk ibu hamil,” katanya ringan. Tak lupa, ia juga menaruh sepotong alpukat dan segelas susu hangat di hadapan Valerie.Valerie mendesah, menatap Aldrich dengan ekspresi tak habis pikir. Piringnya sudah penuh sesak dengan berbagai macam makanan—nasi merah, sayur bayam, potongan daging tanpa lemak, telur rebus, hingga buah-buahan yang dipotong rapi. Makanan itu hampir menggunung, seolah cukup untuk di makan oleh dua orang… Oh, tunggu, memang begitu kenyataannya.“Cukup, Aldrich! Aku tidak bisa menghabiskan semuanya,” protes Valerie, tangannya refleks menahan tangan Aldrich yang hendak menambahkan lagi sesuatu ke piringnya.Aldrich berkedip, pura-pura tak mengerti. “Kenapa? Ini semua bergizi. Kamu harus makan dengan baik, sayang.”Valerie mengerang pelan, meletakkan sendoknya. “Aku ini manusia, bukan tempat sampah.”Aldrich tertawa, akhirnya mengalah. “Baiklah, ba
"Kupikir kau tidak menginginkan anak ini," isak Valerie di sela tangisnya.Aldrich sedikit melepaskan pelukannya, lalu menghapus air mata Valerie dengan lembut. Senyum tipis terukir di wajahnya. "Kenapa kau berpikir seperti itu, sayang?" tanyanya dengan suara penuh kasih.Valerie menggeleng, matanya masih basah. "Bukankah hubungan kita hanya pura-pura? Dalam perjanjian, tidak ada satu pun pembahasan tentang anak. Kupikir kau pasti akan membenci kehamilan ini."Aldrich terdiam, membiarkan kata-kata Valerie mengendap dalam pikirannya. Sekejap kemudian, ia menarik wanita itu kembali ke dalam pelukannya, lebih erat dari sebelumnya. Aldrich mengecup puncak kepala Valerie, lalu turun ke kelopak matanya yang masih basah. Ia melanjutkan ke pipinya, menenangkan setiap jejak air mata dengan sentuhan bibirnya yang lembut."Aku memang tidak pernah berpikir kau akan hamil, babe. Tapi kehamilanmu adalah kejutan paling berharga dalam hidupku." Suaranya terdengar penuh kebahagiaan, disertai tawa ke
Aldrich melajukan mobilnya kembali ke rumah sakit dengan kecepatan tinggi. Dia tidak peduli dengan klakson dari kendaraan lain.Satu-satunya yang ada di pikirannya adalah Valerie. Dia harus melihatnya, memastikan bahwa dia baik-baik saja.Setibanya di rumah sakit, Aldrich memarkir mobilnya dengan kasar dan segera bergegas masuk. Langkahnya panjang dan cepat, penuh urgensi. Di depan kamar rawat Bastian, beberapa bodyguardnya berjaga ketat. Mereka berdiri dengan sikap waspada, seolah siap menghadapi ancaman kapan saja.Saat melihat Aldrich, salah satu bodyguard langsung menyapa dengan sopan, lalu memberi jalan untuknya. Aldrich hanya mengangguk singkat sebelum mendorong pintu dan masuk.Pemandangan pertama yang menyambutnya adalah Valerie, tertidur di tepi ranjang ayahnya. Tubuhnya sedikit membungkuk, kepalanya bertumpu pada lengan, sementara jemarinya masih menggenggam tangan Bastian. Wajahnya tampak lelah, seakan sudah terlalu banyak melalui hari yang berat.Aldrich mendekat dengan h
Berhasil. Henry berhasil menangkap sebelah tangan Jennifer di detik terakhir.Tubuh Jennifer sudah setengah tergantung di udara, kakinya tak lagi berpijak di balkon. Angin malam menusuk kulitnya, membuat tubuhnya semakin gemetar. Matanya melebar, napasnya tersengal saat menyadari hanya tangan Henry yang menjadi satu-satunya penyelamatnya dari kematian."Pegang aku!" suara Henry terdengar tegas, tapi ada nada panik di dalamnya.Jennifer menatapnya dengan campuran keterkejutan dan ketakutan. Tangannya yang lain mencakar-cakar udara, mencari sesuatu untuk dipegang, tapi tidak ada yang bisa dia raih selain genggaman Henry yang semakin erat."Aku tidak bisa—" suara Jennifer bergetar, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan."Kau bisa!" Henry menggertakkan giginya, otot-otot lengannya menegang saat dia menarik tubuh Jennifer perlahan.Namun, Jennifer terus meronta. Dia menggeliat, seolah ingin tetap jatuh. "Lepaskan aku! Aku tidak mau ditangkap!""Diam, sialan!" Henry berteriak, menarik Jen
Jennifer menggigit kukunya sembari berjalan mondar-mandir di ruang tamunya. Tatapannya terpaku pada layar televisi yang terus menayangkan berita tentang penangkapan Charlos."Bodoh!" gerutunya gemas, menggertakkan gigi.Dia menghela napas kasar, satu tangan bertolak pinggang sementara tangan lainnya meremas rambutnya sendiri. "Tenang, Jenn… Charlos tidak akan bisa menyeretmu secara langsung. Kau tidak akan masuk penjara," ucapnya, mencoba menenangkan diri.Tapi rasa panik tetap menggigitnya.Rencana menculik dan menyebarkan video editan Valerie—semua itu adalah idenya. Namun, Jennifer tidak pernah menyangka Charlos akan sebodoh itu hingga tertangkap dengan begitu mudah."Sial! Aku harus kabur!"Tanpa membuang waktu, Jennifer bergegas mengeluarkan koper, memasukkan barang-barang berharganya dengan terburu-buru. Tangannya gemetar saat mengambil paspor dan uang tunai yang sudah ia simpan sejak lama untuk keadaan darurat seperti ini.Namun sebelum koper itu penuh, suara ketukan keras men
Valerie berlari secepat yang dia bisa, napasnya memburu. Lorong rumah sakit terasa semakin panjang dan mencekam. Dia bisa mendengar langkah kaki berat yang mengejarnya, mendekat semakin cepat.Saat menoleh ke belakang, mata Valerie melebar melihat Charlos yang semakin dekat. Wajah pria itu dipenuhi amarah dan obsesinya yang semakin tak terkendali.“Berhenti, Valerie!” seru Charlos, suaranya menggema di lorong kosong.Tapi Valerie tidak mau berhenti. Dia mempercepat langkahnya, menyeberangi koridor lain, mencari tempat yang bisa dia gunakan untuk bersembunyi. Namun, di tikungan berikutnya, tubuhnya ditarik kasar.“Akh—!” Valerie hampir menjerit, tetapi Charlos buru-buru membekap mulutnya dengan tangan.“Jangan melawan,” bisik Charlos dengan nada mengancam. “Kita perlu bicara, Valerie. Kau pikir bisa lari dariku?”Valerie meronta, mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman Charlos begitu kuat.Sebelum Charlos bisa membawanya pergi lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki cepa
“Sebentar,” katanya sebelum keluar dari ruangan untuk menerima panggilan.Sementara itu, Valerie kembali menatap ayahnya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh perlahan. “Ayah… bertahanlah, ya,” bisiknya.Ia ingin berbagi kabar tentang kehamilannya. Tentang bagaimana dia kini mengandung cucu Bastian. Tapi kapan waktu yang tepat? Ayahnya masih terbaring lemah di sini, sementara hidupnya sendiri masih dipenuhi ketidakpastian.Tiba-tiba, Valerie merasakan pusing yang aneh. Pandangannya sedikit berputar, dan ia harus memejamkan mata sejenak untuk meredakan rasa tidak nyaman itu.“Aku harus kuat,” gumamnya pelan.Namun, sebelum ia bisa benar-benar menenangkan diri, Aldrich kembali masuk dengan ekspresi yang lebih serius dari sebelumnya.“Ada apa?” tanya Valerie, mencoba membaca raut wajah pria itu.Aldrich ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Ada masalah di perusahaan. Aku harus pergi sebentar.”“Lagi?” tanya Valerie menghela, menatapnya dalam diam. Di satu sisi, ia ingin