“Ah, lelah sekali!”Valerie menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang empuk, membiarkan kepenatan hari itu meluruh sejenak. Setelah survei panjang yang menguras energi, ia merasa benar-benar kelelahan. qKali ini, ia memutuskan untuk tidak kembali ke mansion Aldrich. Bukan karena dia tidak nyaman, tetapi karena Aldrich pasti akan menemukan cara untuk mengganggunya—entah dengan godaan atau ‘aktivitas panjang yang melelahkan’ dan tak akan membiarkannya terlelap.“Sepertinya aku harus berendam.” pikir Valerie sambil menutup matanya sejenak, membayangkan betapa nikmatnya tenggelam dalam kehangatan air dan busa sabun yang menenangkan.Tak ingin membuang waktu, Valerie bangkit dari ranjang, melepas blazer kerjanya dan berjalan ke kamar mandi. Ia membuka pintu kaca kamar mandinya, menyalakan lampu dengan nuansa kekuningan yang lembut.Kran bathtub segera diputar ke mode air hangat, uap tipis mulai memenuhi ruangan kecil itu. Valerie mengambil botol sabun cair favoritnya dari rak—aroma melati dan
“Hhh...”Valerie menahan desahan yang hampir lolos saat tangan Aldrich menggosok punggungnya dengan gerakan lembut namun penuh kendali. Sensasi itu mengalir ke seluruh tubuhnya, membuatnya sulit untuk tetap tenang.“Kau menyukainya, kan?” bisik Aldrich, nada menggoda terdengar jelas di telinganya.Valerie hanya terdiam, menolak memberikan respons yang bisa membuat Aldrich semakin besar kepala. Namun keheningannya justru membuat pria itu semakin percaya diri.Aldrich mendekatkan wajahnya, bibirnya menyentuh pundak Valerie yang terbuka. Ciuman kecil itu mendarat lembut, namun panasnya seolah membakar kulit Valerie. Dari pundaknya, Aldrich perlahan naik ke leher jenjang Valerie, menelusurinya dengan napas hangat dan ciuman yang lebih dalam.Aroma vanilla yang menempel di kulit Valerie membuat Aldrich tersenyum samar. “Kau wangi sekali,” gumamnya, bibirnya masih menempel di leher Valerie. Ia menyesap aroma itu seolah candu, rakus namun tetap terkendali.“Ahh....”Desahan kecil akhirnya
“Angkat kepalamu sedikit,” ucap Aldrich lembut namun tegas.Pada akhirnya, Valerie menyerah pada keinginan pria itu yang bersikeras mengeringkan rambutnya. Duduk di tepi ranjang dengan handuk kimono membalut tubuhnya, Valerie menatap cermin di hadapannya. Rambut basahnya yang terurai kini berada di tangan Aldrich. Dia menggerakkan hair dryer dengan gerakan terampil, seolah-olah sudah terbiasa melakukannya.“Hm....”Udara hangat dari hair dryer menyapu rambut Valerie, menciptakan sensasi nyaman yang membuat matanya perlahan terasa berat. Dia merapatkan kimono di tubuhnya, memastikan tidak ada bagian yang terbuka terlalu banyak, meskipun Aldrich tampaknya tidak peduli dengan hal itu.Aldrich sesekali mencuri pandang ke arah Valerie melalui pantulan cermin. Ketika tatapan mereka bertemu, ia tersenyum lembut.“Kau ahli sekali,” Valerie tiba-tiba berkomentar, memecah keheningan. Matanya tetap tertutup setengah, suara hair dryer mengiringi pembicaraan mereka. “Apa kau sering melakukan ini
“Lumayan,” komentar Valerie dengan nada datar. Meskipun matanya tak bisa menyembunyikan ketertarikannya pada pasta di depannya. Namun, gengsinya terlalu besar untuk langsung menerima.“Tapi bentuk menarik belum tentu enak,” tambahnya, mencoba terdengar skeptis, meskipun aroma wangi bawang putih, basil, dan saus tomat yang menggoda membuat perutnya kembali keroncongan, mempermalukannya sekali lagi.Aldrich yang mendengar bunyi perut itu hanya terkekeh. Tanpa berkata apa-apa, dia meletakkan piring di meja, lalu menarik Valerie dengan lembut menuju kursi makan.“Duduk di sini,” katanya, nyaris seperti sebuah perintah, tapi tetap terdengar lembut.Setelah Valerie duduk, Aldrich menaruh piring berisi pasta di hadapannya sebelum kembali ke pantry untuk mengambil alat makan. Valerie, yang mengamatinya dari belakang, tersenyum tipis tanpa sadar. Dia tampak begitu memikat, bahkan saat hanya mengambil sendok dan garpu.“Pakai ini. Cepat dimakan,” kata Aldrich, menyerahkan alat makan pada Vale
“Kau—”Kalimat Valerie terhenti mendadak ketika lengan kuat Aldrich melingkari pinggangnya dari belakang. Tubuhnya langsung tegang. Ia bisa merasakan napas pria itu yang hangat dan ritmis di tengkuknya. Aroma maskulin khas Aldrich bercampur dengan aroma mint samar, mendekap Valerie sepenuhnya.Aldrich menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya ke leher Valerie. Hidungnya mengendus aroma manis vanilla yang menyeruak dari kulit wanita itu, membuat hasratnya semakin sulit ditahan. Tanpa banyak bicara, ia mengecup lembut sisi leher Valerie, menyisakan jejak hangat di sana.“Kau sudah mendapatkan pelayanan eksklusif dariku,” bisiknya, suaranya rendah dan serak, nyaris seperti geraman. “Sekarang… bagaimana kau akan membayarku, nona?” lanjut Aldrich dengan nada menggoda yang langsung menghantam kesadaran Valerie.Napas Valerie tertahan. Jantungnya berdebar tak karuan. Dia berusaha keras untuk menguasai dirinya sendiri, menggigit bibir bawahnya agar tidak mengeluarkan suara apapun. Namun, usa
"Aldrich, tenagamu itu benar-benar!" keluh Valerie, wajahnya memerah sambil memeluk bantal. Rasa lelah menyerang tubuhnya, terutama di bagian bawah yang terasa pegal akibat 'aktivitas intens' mereka.Setelah 'menghabiskan waktu' di meja makan, Aldrich memang tidak memberinya jeda. Pria itu dengan penuh gairah membawanya ke berbagai tempat di apartemen sebelum akhirnya berakhir di kamar tidur. Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima pagi. Beruntunglah esok adalah akhir pekan.Aldrich tertawa kecil, suaranya terdengar serak namun penuh kehangatan. Ia berbaring di samping Valerie, jemarinya dengan lembut memainkan ujung rambut panjang wanita itu, lalu menciumnya dengan lembut. "Kau seperti dewi candu, babe. Aku tidak bisa berhenti, seolah-olah aku tidak punya tombol off," katanya, suaranya rendah namun menggoda.Valerie melirik Aldrich dengan tatapan mencibir. "Kau bisa meminta izinku terlebih dahulu, Aldrich! Memang kau bosku di kantor, dan calon pilihan ayahku. Tapi ini apartemenku
"Kau datang sendiri?"Adalah hal pertama yang Bastian tanyakan setelah melihat Valerie menghampirinya. Wanita itu mengenakan gaun hitam pas badan yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Gaun tersebut panjang hingga menyapu lantai, namun tetap memamerkan bahunya yang terbuka. Rambutnya ditata rapi ke atas dalam gaya chignon klasik, memperlihatkan leher jenjangnya yang dihiasi kalung berlian sederhana namun elegan. Valerie tampak memesona, seperti bintang yang baru saja turun dari langit.Belum sempat Valerie menjawab, seseorang mendekat dari arah samping. Bau parfum yang menyengat segera menyeruak ke udara, membuat Valerie sedikit mengernyitkan dahi."Oh, sepupu!"Suara itu milik Grache Smith, sepupu jauh Valerie yang selama ini selalu mencari kesempatan untuk merendahkannya. Grache mengenakan gaun merah super ketat dengan belahan dada yang sangat rendah, membuat Valerie berpikir bagaimana gaun itu belum robek saat dipakainya. Bahkan Valerie membayangkan gaun itu akan "meledak"
“Jadi, bagaimana kau tahu aku di sini?” tanya Valerie, matanya menatap tajam pria di hadapannya.Saat ini, mereka sedang berdansa di tengah ballroom megah. Sebelumnya, Bastian dengan bangga memperkenalkan Aldrich kepada seluruh keluarga besar Valerie, seolah Aldrich lebih seperti anaknya sendiri daripada Valerie. Momen itu membuat Valerie merasa campur aduk, tapi entah kenapa dia tak bisa benar-benar kesal pada pria ini.Aldrich tersenyum miring, sebuah senyuman yang memancarkan kepercayaan diri dan sedikit kesan nakal. Tangan kuatnya menekan lembut pinggang Valerie, menariknya lebih dekat hingga jarak di antara mereka nyaris tak ada lagi. Tubuh Valerie kini begitu dekat dengan Aldrich, dan aroma maskulin pria itu menyergap indranya."Aku bisa mengetahui apa saja, meskipun kau tak memberitahukannya padaku, sayang," bisik Aldrich rendah, suaranya begitu lembut namun menghanyutkan. Tatapan matanya mengunci pandangan Valerie, membuat jantung wanita itu berdegup lebih kencang dari bias
“Ada apa ini?”Suara berat Aldrich menggema di ruangan. Langkahnya terhenti begitu melihat Alicia terduduk di lantai, separuh tubuhnya basah kuyup, sementara para karyawan berusaha menahan tawa mereka.Alicia, yang masih sibuk mengatur emosinya, segera berusaha bangkit. Tatapannya beralih pada Aldrich, berharap pria itu akan menolongnya. Namun, Aldrich hanya menatapnya dengan ekspresi datar selama sepersekian detik sebelum perhatiannya beralih kepada Valerie, yang baru saja keluar dari ruangannya.“Selamat pagi, Pak Aldrich. Anda sudah datang?” sapa Valerie dengan senyum tipis, seolah tidak terjadi apa-apa.Sudut bibir Aldrich berkedut. Wanita itu benar-benar tahu cara bermain peran. Dengan wajahnya yang tenang dan sedikit jahil, Valerie paling cantik saat seperti ini. Alicia, yang tidak terima melihat interaksi itu, segera membuka mulutnya dengan nada memanas. “Ini semua salah Valerie, Pak! Dia yang mendorong saya!” serunya, berusaha menuntut pembelaan.Aldrich mengangkat alisnya
Valerie melangkah masuk ke lobi perusahaan dengan penuh percaya diri. Sepasang kaki jenjangnya yang terbungkus stiletto hitam mengayun anggun, berpadu dengan rok pensil selutut yang membentuk lekuk tubuhnya. Blus putih berpotongan rapi membalut tubuh rampingnya dengan sempurna, dipermanis dengan blazer tipis yang menggantung di lengannya. Rambut panjangnya yang bergelombang jatuh sempurna di bahu, mempertegas aura elegan seorang wanita yang tahu betul caranya membawa diri.Namun, baru saja ia hendak menuju ruangannya, suara nyaring yang sudah tak asing lagi terdengar memenuhi ruangan.“Kau datang ke perusahaan ini seolah milik ayahmu saja!”Valerie menghela napas pelan sebelum mengangkat dagunya sedikit. Di hadapannya berdiri Alicia, dengan ekspresi sinis dan tangan yang terlipat di dada. Wanita itu mengenakan gaun ketat berwarna merah marun, dengan potongan rendah yang menonjolkan setiap lekuk tubuhnya. Rambut panjang lurusnya tergerai, dengan riasan yang sedikit berlebihan untuk
Valerie berdiri di depan pantry dengan wajah sedikit mengantuk, mengenakan kemeja Aldrich yang kebesaran di tubuhnya. Kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit tulang selangkanya yang indah, sementara ujung kemeja jatuh hingga pertengahan pahanya. Rambut panjangnya berantakan, bukti dari malam yang panjang dan panas bersama Aldrich.“Garam, penyedap... apalagi ya?” gumamnya pelan, mengetuk-ngetukkan jari di meja sambil berpikir.Dia bukan seseorang yang ahli dalam memasak. Seumur hidupnya, selalu ada pelayan atau chef yang menyiapkan makanan untuknya. Namun, setelah hidup mandiri dan semakin dekat dengan Aldrich, Valerie merasa ingin mencoba sesuatu yang baru—termasuk membuat nasi goreng dadakan pagi ini.Lagipula, Aldrich juga pernah memasakkan sesuatu untuknya. Rasanya tidak adil jika dia hanya menerima tanpa memberi balasan.Menghela napas, Valerie membuka kulkas, mengeluarkan beberapa bahan yang menurutnya bisa digunakan. Dia menatap bawang merah dan bawang putih di tangannya
Aldrich menyeringai kembali, matanya berbinar penuh hasrat. Tanpa ragu, ia menarik tengkuk Valerie, memperdalam ciuman mereka setelah mendengar wanita itu mengatakan tidak akan pulang malam ini.Ciumannya semakin dalam, semakin menuntut. Aldrich melumat bibir Valerie dengan intensitas yang membuat napas mereka saling bercampur. Tangannya merambat ke punggung Valerie, menekan tubuhnya lebih erat ke dadanya yang bidang.Saat Valerie mulai kehilangan kendali, Aldrich pun melepaskan ciumannya, hanya untuk menurunkan bibirnya ke rahang Valerie, menelusuri garis lembutnya sebelum akhirnya mendarat di leher jenjang wanita itu. Ia mengecapnya pelan, kemudian menggigit kecil, menikmati bagaimana tubuh Valerie menegang di bawah sentuhannya."Vanila yang kurindukan," bisiknya, suaranya serak dan dalam, menggema di kulit Valerie, membuat bulu kuduknya meremang.Tanpa memberi kesempatan Valerie untuk berpikir, Aldrich kemudian melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu dan dengan mudah merebah
"Kau benar-benar tidak tertarik padaku?" tanya Aldrich, suaranya lebih dalam dari biasanya.Menatap Valerie dengan mata yang sulit ditebak. Ada keraguan, ada penasaran, dan sedikit—hanya sedikit—kesedihan yang terselip di sana.Valerie terkekeh, nada tawanya sedikit berat karena efek alkohol yang mulai menguasai dirinya. Ia mengangkat gelas wine ke dahinya, membiarkan dinginnya menyentuh kulitnya sejenak sebelum matanya terpejam. Beberapa detik berlalu, lalu ia membuka matanya lagi, menatap Aldrich dengan sorot yang sulit diartikan."Aku suka," katanya, suaranya samar dan menggoda.Aldrich mencondongkan tubuhnya ke depan, ekspresinya berubah serius. "Lalu mengapa kau menolakku?" tanyanya, ada nada sedih.Valerie tersenyum miring, lalu mencondongkan tubuhnya juga, jari-jarinya menyentuh bahu Aldrich dengan lembut. "Dengar," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan. Ia kemudian meletakkan gelasnya ke atas meja, seolah ingin lebih fokus pada percakapan mereka. "Kau itu lelaki pil
"Aku tidak tahan!"Valerie hampir saja berdiri, tapi sebelum dia sempat menggeser kursinya, Jennifer dan Charlos sudah lebih dulu bangkit. Wanita itu menempel mesra di lengan Charlos, tangannya melingkar erat seolah menandai kepemilikannya.Valerie menyipitkan mata, mengamati keduanya yang berjalan keluar dari kafe dengan penuh percaya diri, seakan tak peduli dengan tatapan orang-orang sekitar. Jennifer bahkan tertawa kecil sambil menepuk dada Charlos sebelum mereka benar-benar menghilang di balik pintu kaca."Akhirnya mereka pergi juga," keluh Valerie, lalu menjatuhkan dirinya kembali ke kursi dengan napas panjang.Aldrich, yang sejak tadi menyaksikan reaksinya dengan ekspresi terhibur, terkekeh santai. "Apa kau juga ingin pergi? Tidak perlu menebak, mereka pasti berakhir di hotel malam ini."Valerie menoleh cepat, menatap Aldrich dengan wajah setengah kesal. "Aku tidak peduli!" ketusnya, memutar bola mata.Tapi Aldrich tidak tertipu. Dia melihat bagaimana Valerie meneguk minumannya
“Aku tidak tahu mengapa bisa sebuta itu dan menyukai dia!” keluh Valerie, sebelum meneguk minumannya dengan gerakan cepat dan kesal.Di hadapannya, Aldrich hanya terkekeh kecil. Saat pelayan datang membawa cangkir espresso keduanya, ia mengangguk singkat sebagai tanda terima kasih, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Valerie.“Wajar saja jika manusia khilaf,” komentarnya santai, nada suaranya penuh hiburan melihat ekspresi kesal Valerie.Valerie menghela napas panjang, lalu diam-diam mengangguk, mengakui kebenaran ucapan Aldrich. Dahulu, ia benar-benar menganggap Charlos sebagai pria baik. Seseorang yang ia pikir akan selalu ada untuknya. Namun kenyataannya, pria itu dengan mudah mengkhianatinya, memilih sahabatnya sendiri, Jennifer—dan meninggalkan Valerie begitu saja.Dan sekarang? Mendengar sendiri rencana busuk serta percakapan menjijikkan antara Charlos dan Jennifer membuatnya ingin menertawakan dirinya sendiri. Dulu, ia begitu bodoh hingga menangisi pria brengsek seperti
"Jadi?" Charlos menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Jennifer dengan penuh selidik. "Apa rencanamu?"Jennifer tersenyum kecil, matanya bersinar licik. Dengan gerakan anggun, ia mengaduk kopinya perlahan sebelum menjawab, "Kita akan memainkan kesetiaan sebagai senjata. Buat Aldrich percaya bahwa Valerie masih mencintaimu, bahwa hubungan kalian belum benar-benar berakhir."Charlos mengangkat alis, belum sepenuhnya yakin. "Dan kau yakin itu akan berhasil?"Jennifer tertawa pelan, suara lembutnya penuh racun. "Tentu saja." Ia menatap Charlos tajam. "Valerie meninggalkanmu karena perselingkuhanmu denganku. Sekarang, bagaimana jika Aldrich berpikir Valerie masih berharap kembali padamu? Pria sepertinya tak akan tahan dengan pengkhianatan. Dia pasti akan membenci Valerie."Charlos mengusap dagunya, perlahan senyum terbentuk di wajahnya. Membayangkan skenario itu, membayangkan Valerie yang kaya raya dan terluka, kembali dalam genggamannya, terdengar sangat menarik.Dulu, ia meningga
“Kau tersenyum?” tanya Valerie tak percaya.Aldrich baru saja memintanya menemani lembur, tapi tiba-tiba pria itu malah sibuk dengan ponselnya, mengabaikan Valerie yang menunggu dengan tumpukan berkas di depan. Jam sudah menunjukkan pukul 19.00, kantor mulai sepi, hanya tersisa mereka berdua di ruangan ini.Aldrich yang baru saja menerima pesan dari mata-matanya tentang pergerakan Charlos dan Jennifer terkekeh pelan. Ia mengunci ponselnya dan meletakkannya di atas meja sebelum menatap Valerie dengan senyum yang membuat wanita itu kesal sekaligus penasaran.“Maaf, babe. Aku terlalu fokus.” Suaranya terdengar ringan, tapi ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya.Valerie mendengus, lalu melipat tangan di depan dada, sikapnya seperti seseorang yang sedang merajuk. Namun, detik berikutnya, ia tersadar akan reaksinya sendiri. Mengapa ia bisa bertingkah seperti ini di depan Aldrich dengan begitu alami? Padahal, saat pria itu menyatakan perasaannya, ia dengan tegas menolak.Namun kini, me