“Bukalah.”Aldrich menyodorkan kotak persegi berukuran sedang yang dihias dengan pita satin elegan. Di atas kotak itu, tertera logo sebuah brand terkenal yang Valerie tahu harganya pasti tidak murah.“Kau tidak serius memberiku lingerie, kan?” Valerie melotot, mengingat candaan Aldrich saat masih di kantor tadi.Aldrich tertawa lepas, suara tawanya memenuhi ruang mobil. Ia melepaskan sebelah tangannya dari kemudi untuk menutup mulut menggunakan punggung tangannya, seolah menahan diri agar tidak terlalu keras tertawa.“Buka saja, Babe,” jawab Aldrich dengan santai. “Kau akan tahu setelah melihatnya.”Mata Valerie menyipit penuh kecurigaan. “Kau terlihat sangat mencurigakan,” katanya sambil memegang kotak itu erat.Aldrich meliriknya sekilas, senyuman menggoda masih terukir di wajahnya. “Jika itu memang lingerie, aku akan merasa sangat kecewa jika kau menolak memakainya malam ini.”Valerie memutar bola matanya dengan dramatis. “Kalau ini benar lingerie, kau tidak akan bisa melihatku mem
Di apartemennya, Valerie mencoba menenangkan diri, namun tawa riuh dari teman-temannya di ruang tamu segera mengalihkan perhatian.“Valerie! Kau akhirnya datang!” seru Megan dengan senyum lebar, langsung melompat dari sofa untuk menghampirinya.“Lama sekali! Apa Aldrich menahanmu terlalu lama?” goda Hanna dengan tatapan jahil.Valerie menahan napas sejenak sebelum menghela napas panjang. Ia melepas sepatu dengan gerakan lelah, lalu meletakkan kotak hadiah di meja. “Tak usah tanya, kalian tidak akan percaya apa yang terjadi.”Mata Luna langsung tertuju pada kotak itu. “Apa itu?” tanyanya penuh rasa ingin tahu. “Hadiah dari si bos tampanmu?”Valerie mendesah. Tidak mungkin ia menjelaskan semuanya—pertemuan pertamanya dengan Aldrich di Paris, bagaimana ia salah menduga bahwa pria itu adalah seorang gigolo yang ia bayar hanya untuk melupakan sakit hatinya karena Charlos. Serta perjodohan konyol yang diatur Ayahnya. Itu semua terlalu memalukan untuk dibahas, bahkan dengan teman-temannya.
“Hah...”Valerie menghela napas panjang sebelum membuka pintu apartemennya. Aldrich baru saja pergi, meninggalkan aroma parfumnya yang masih melekat di udara.Perasaan Valerie sedikit tak enak. Dia tahu jika teman-temannya akan bertanya setelah ini. Klik. Pintu terbuka, dan benar saja akan tebakannya beberapa saat lalu. “Apa yang kalian lihat?” tanyanya, memicingkan mata ke arah teman-temannya yang tengah menatapnya dengan senyum penuh arti.Luna langsung menghampirinya, mengambil dua kantong besar berisi camilan dari tangan Valerie dan membawanya ke dapur. “Jadi, siapa pria tadi? Itu Aldrich, kan?” tanyanya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.Valerie menghela napas lagi, menatap teman-temannya yang jelas-jelas menunggu jawaban. “Ya, dia Aldrich,” katanya akhirnya, berusaha terdengar santai.“Damn! Kau tidak bilang kalau dia setampan itu!” seru Hanna, hampir memekik.Megan dan Luna mengangguk cepat, setuju tanpa ragu.“Lalu bagaimana ceritanya dia sampai mengantarkan camilan
“Megan.”Valerie memanggil dengan lembut, membuat tiga pasang mata di ruangan itu beralih padanya. Sudah hampir pukul tiga dini hari, tetapi keempat sahabat itu masih terjaga, menikmati malam penuh canda tawa.“Kenapa kalian menatapku seperti itu?” tanya Megan, mengernyit curiga melihat senyum-senyum penuh arti dari ketiga sahabatnya.Valerie tertawa kecil, lalu berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan sebuah kotak persegi yang diikat pita dua warna, hitam dan pink, tampak elegan namun menggoda.“Kami punya sesuatu untukmu,” kata Valerie sambil mengangkat kotak itu di depan Megan. Ia menatap Luna dan Hanna sekilas, meminta persetujuan sebelum menyerahkannya. Setelah mendapat anggukan semangat dari keduanya, Valerie menyodorkan kotak itu kepada Megan.“Apa ini?” Megan menerima kado tersebut dengan mata yang tiba-tiba berkaca-kaca. Ia mencoba menahan emosinya, tapi jelas hadiah itu mengharukannya.“Bukalah, kau akan tahu,” ujar Luna dengan senyum
“Hoam!”Valerie menutup mulutnya dengan punggung tangan, sementara tangan lainnya memegang gelas kopi instan. Matanya terasa berat, tubuhnya lelah, dan pikiran masih berputar pada malam sebelumnya, ketika teman-temannya membuatnya begadang hingga hampir pagi.Langkahnya sedikit melambat saat akan memasuki lift, ketika tiba-tiba suara berat berbisik di dekat telinganya.“Morning, babe.”Valerie nyaris menjatuhkan kopinya. Ia menoleh cepat, dan di sana, Aldrich berdiri dengan senyum yang membuat hatinya seketika berdebar.Valerie tidak melihat jika ada pria itu sebelumnya di lift. “Kau mengagetkanku!” serunya dengan nada setengah berbisik, takut suara mereka menarik perhatian rekan-rekan kerja lainnya.Aldrich terkekeh pelan, tatapannya bergantian memeriksa gelas kopi di tangan Valerie dan lingkaran gelap di bawah matanya. “Sepertinya kau tidak tidur semalam?” tanyanya, nada suaranya terdengar seperti setengah cemas, setengah menggoda.Valerie mendesah panjang, bahunya meluruh lelah.
“Val, duluan ya!” Jenny melambaikan tangan, bersiap meninggalkan meja kerja.“Oh iya,” jawab Valerie sambil menyusun laporan ke dalam map berwarna-warni. Ia mengurutkannya dengan rapi, dimulai dari laporan prioritas tinggi berwarna merah, laporan penting dengan warna kuning, hingga laporan reguler di map biru. Fokusnya total, memastikan tak ada yang tertinggal.Jenny kembali menghampiri meja Valerie. “Kamu mau dibawain sesuatu nggak, Val?” tanyanya ramah.Valerie tersenyum kecil sambil merapikan map terakhir. “Nggak perlu, Mbak. Aku juga udah selesai kok.”Wajah Jenny berbinar. “Kalau gitu, barengan aja yuk!” ajaknya antusias.Refleks, Valerie menolak. Ia teringat janji makan siangnya dengan Aldrich. “Nggak, Mbak. Mbak duluan aja. Aku nggak apa-apa, kok.”Jenny menaikkan alis, memasang ekspresi penasaran. “Hmm... kamu mau makan siang sama gebetan ya? Ngaku aja deh. Siapa? Aku kenal?” desaknya dengan senyum penuh arti.Valerie membuka mulut, hendak memberi penjelasan, tetapi sebuah su
“Tambahkan lagi untuknya,” kata Aldrich dengan nada tegas namun santai saat melihat pelayan hanya memberikan satu irisan daging sapi panggang ke piring Valerie.Mereka saat ini sedang mengantri makan siang prasmanan dengan meja panjang berlapis kain putih elegan. Piring saji berkilau memantulkan cahaya lampu gantung di atasnya. Ada berbagai pilihan hidangan, dari salad segar, daging panggang beraroma rempah, hingga aneka lauk khas Eropa dan Asia. Para pelayan berpakaian rapi berdiri di belakang meja, siap membantu para tamu.Disudut ruangan juga tersedia aneka dessert lengkap. Dari pada kantin perusahaan, ini sudah seperti restoran hotel bintang lima.Pelayan itu mengangguk cepat, sedikit bingung, tetapi tetap mengambil satu potong daging lagi dengan penjepit perak dan meletakkannya di piring Valerie. “Ah? Baik, Tuan.”Valerie memutar tubuhnya, menatap Aldrich tajam. “Itu sudah cukup,” katanya dengan suara pelan namun penuh tekanan. Ia merasa risih menjadi perhatian orang lain.Na
Aldrich menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Valerie dengan senyum jahil yang mulai terbentuk di wajahnya. Ia tidak langsung menjawab, hanya memainkan map di tangannya seolah sedang memikirkan sesuatu yang serius.“Apa?” Valerie menatapnya dengan dahi berkerut.“Tidak apa-apa,” jawab Aldrich santai, namun tatapan matanya jelas mengatakan sesuatu yang berbeda. “Aku hanya berpikir, apakah kau benar-benar mempersiapkan ini dengan baik, atau hanya ingin membuatku terkesan?”Valerie mendengus kecil, mengabaikan komentar itu meskipun pipinya sedikit memanas. “Tentu saja aku profesional, Tuan Aldrich.”Aldrich terkekeh pelan, lalu bersandar lebih dekat, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. “Bagus. Karena aku suka jika sekretarisku tidak hanya profesional, tapi juga memikirkan hal-hal lain... seperti bagaimana membuatku tidak bisa berpaling darinya.”Valerie menegang sejenak, merasa napasnya hampir tercekat. “Tuan Aldrich,” katanya dengan nada tegas, mencoba mengembalikan pembic
Ruang interogasi siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada dua penyidik, satu pengacara pendamping dari pihak kepolisian, dan Aldrich yang duduk dengan ekspresi tegas di sisi kanan meja.Jennifer duduk di seberang, tangannya terikat borgol, tapi senyumnya masih setengah mengejek seperti biasa. Rambutnya diikat asal, dan tatapannya tajam menusuk ke arah Aldrich.“Jadi,” ujar penyidik, membuka catatan. “Kita ingin memastikan, benar bahwa semua rencana penjebakan, pengawasan, penyebaran video tak senonoh itu berasal dari Anda?”Jennifer menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menarik napas panjang, lalu melirik Aldrich sejenak. Bibirnya terangkat dalam senyum malas.“Ya,” katanya enteng. “Itu semua ideku.”Ruangan mendadak sunyi.Aldrich hanya memiringkan kepala sedikit, menatapnya lebih dalam. “Kenapa, Jennifer?”Jennifer mendecakkan lidah pelan. “Kenapa? Serius nanya begitu?”Ia mengangkat alis, lalu melipat tangan di atas meja. “Kau tahu, dulunya aku dan Valerie itu sahabat. Bestie, begitu
“Karena… kamu sangat cantik pagi ini. Dan aku butuh waktu untuk menikmati itu tanpa disela siapa pun,” jawabnya jujur, dengan suara rendah dan dalam.Valerie tertawa kecil, menunduk menahan senyum. “Gombal!”“Tidak.” Aldrich melangkah mendekat. “Kamu makin bersinar sejak hamil. Kulitmu, matamu, senyummu… aku bahkan tidak yakin bisa berkonsentrasi bekerja hari ini.”Valerie menegakkan dagunya, pura-pura berani. “Berarti salahku kamu jadi malas kerja?”“Tentu.” Aldrich menatap mata Valerie begitu dekat sekarang. “Dan karena itu…”Tiba-tiba, ia mencondongkan tubuhnya cepat dan mencuri satu kecupan ringan di bibir Valerie, hanya sekelebat, nyaris tak tersentuh angin.Valerie terkejut. “Aldrich!”Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Aldrich sudah menjauh setengah langkah dengan senyum tak berdosa. “Apa? Aku hanya mengambil hakku sebagai tunangan.”“Kalau dilihat Bunda, aku bisa dikunci di kamar sebulan!” Valerie menepuk dada Aldrich dengan gemas, tapi rona merah sudah merayap sampai
Suara bel utama mansion menggema lembut ke seluruh penjuru rumah, membuyarkan tawa keluarga kecil itu di ruang makan.Salah satu maid segera berjalan cepat menuju pintu depan. Tak lama, ia kembali sambil tersenyum, membungkuk sedikit kepada Valerie.“Maaf, Nona Valerie… ada tamu. Tuan Aldrich sudah tiba.”Wajah Valerie seketika berubah. Matanya membulat kecil. “Ha? Aldrich?”Sebelum ia bisa berdiri dari kursinya, langkah-langkah mantap terdengar mendekat. Di ambang ruang makan yang luas dan berlapis marmer itu, Aldrich muncul, membawa sebuket bunga peony berwarna putih kekuningan yang indah, dengan satu kantong kertas berisi botol minuman herbal yang tampaknya dikemas dengan cantik.“Pagi semuanya.” Suaranya rendah dan tenang, tapi senyumnya penuh kelembutan, terarah hanya pada satu orang—Valerie.Valerie yang semula bersandar santai kini duduk lebih tegak. Wajahnya langsung merona. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa hangat, lalu menatap Aldrich dengan cemberut malu-malu
Begitu ia menginjak lantai marmer utama, aroma masakan segar langsung menyergap lebih kuat. Valerie menuju ruang makan, dan saat pintu geser dibuka oleh seorang pelayan lain, matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan yang menggugah selera.Ruang makan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal utama bergaya baroque menggantung anggun di tengah ruangan. Meja makan panjang dari kayu walnut mengkilat ditata sempurna dengan taplak putih bersih dan peralatan makan perak. Di tengah meja, berjejer aneka masakan yang menggoda. Omelette keju, salmon panggang, salad buah segar, aneka roti dan croissant hangat, potongan alpukat dan telur rebus, bubur ayam kampung, serta teh melati dan kopi hitam yang masih mengepul.Di ujung meja, sang ayah, Bastian, sudah duduk santai dengan koran pagi terbuka di depan wajahnya, namun begitu Valerie masuk, ia menurunkannya dan langsung tersenyum lebar.“Lihat siapa yang akhirnya bangun!” serunya sambil berdiri. “Nak, daddymu curiga, bundamu s
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Valerie, menyapu lembut wajahnya yang tenang dan sedikit mengantuk. Kulitnya tampak lebih bercahaya dari biasanya, dengan pipi yang merona alami, sebuah pesona baru yang muncul sejak ia mengandung. Rambutnya yang sedikit berantakan justru membingkai wajah ovalnya dengan manis, membuatnya terlihat semakin menawan meski baru saja terbangun.Ia mengenakan daster satin berwarna lembut—biru muda dengan renda tipis di bagian lengan dan kerah. Bahannya yang jatuh mengikuti lekuk tubuh membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Valerie menggeliat pelan di atas ranjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.Senyuman tipis langsung mengembang di wajahnya begitu layar menyala, ada notifikasi dari Aldrich.Aldrich [07.02 AM]:Pagi, sayang. Sudah bangun?Valerie mengetik dengan cepat, senyumnya makin lebar.Valerie [07.03 AM]:Sudah. Tapi belum mandi. Masih mager di kasur.Kenapa tidak bangunkan aku langsung saja?
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.“Ayah, Bunda…” ucap Valerie lirih. “Aku ingin memberitahu sesuatu.”Bunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. “Apa, sayang?”Valerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku
Langit mulai beranjak senja saat rombongan mobil hitam mewah memasuki gerbang besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di ujung jalan pribadi sepanjang hampir satu kilometer. Pagar besi berornamen emas terbuka perlahan, menampilkan pemandangan mansion Bastian yang seperti diambil dari halaman majalah arsitektur kelas dunia.Mansion itu berdiri tiga lantai dengan dominasi marmer putih krem, jendela-jendela tinggi berbingkai emas matte, dan pilar-pilar kokoh menjulang. Air mancur dengan patung kuda berlapis perunggu menjadi pusat taman depan, dengan rumput yang dipangkas sempurna dan lampu-lampu taman mulai menyala hangat seiring langit menggelap.Saat mobil berhenti, beberapa bodyguard berbadan tegap segera membuka pintu. Valerie turun terlebih dahulu, mengenakan dress soft pink selutut yang membentuk tubuh rampingnya. Flat shoes putihnya menyentuh marmer dengan langkah anggun. Di belakangnya, Aldrich turun dengan gaya khasnya—jas casual warna arang, kemeja putih berpotongan pas
Suasana lorong rumah sakit yang tadinya hanya dipenuhi langkah tenang dan percakapan pelan berubah dalam sekejap. Seorang wanita dengan balutan blouse ketat berwarna merah marun dan rok pensil hitam selutut berjalan mendekat. Tubuhnya tinggi, lekuknya jelas, dan aroma parfum mahal yang menyengat langsung menyelimuti udara di sekitarnya. Sepasang stilettosnya berdetak nyaring di lantai, membuat beberapa kepala menoleh.Tatapannya langsung tertuju pada Aldrich, seperti sasarannya sudah terkunci sejak awal.“Hai,” ujarnya dengan suara mendesah yang dibuat-buat. “Boleh aku minta nomor teleponmu?”Tanpa memperdulikan Valerie, wanita itu dengan santainya meraih lengan Aldrich. Bahkan, saat Valerie hendak bicara, wanita itu mendorong bahunya perlahan ke samping sambil menambahkan.“Adik manis, kau minggir dulu.”Sentuhan itu tak keras, tapi cukup membuat Valerie sedikit terkejut dan melangkah setengah mundur. Aldrich yang menyadari gerakan itu langsung menoleh cepat ke arah Valerie, dan sa
“Jadi, apa yang ingin kau katakan tentang Charlos kemarin malam?” tanya Valerie pelan, matanya tetap tertuju pada layar, tapi perhatiannya jelas hanya untuk pria di sebelahnya.Aldrich menghabiskan sisa popcorn di dalam mulutnya, lalu menoleh menatap Valerie. Dengan santai namun penuh intensi, tangannya yang berada di bahu Valerie menarik wanita itu semakin mendekat. Tanpa berkata apa-apa terlebih dulu, Aldrich menunduk dan melabuhkan satu kecupan lembut di bibir Valerie.Ciuman itu singkat, tapi cukup untuk membuat darah Valerie berdesir. Wajahnya otomatis memerah, namun ia dengan cepat mengontrol ekspresinya, pura-pura tetap biasa saja meski jantungnya berdebar dua kali lebih kencang.Aldrich tersenyum kecil atas reaksi Valerie, lalu menjawab dengan nada tenang, “Dia mengakui semuanya, sayang. Dan kemungkinan sidang pertamanya tidak akan lama lagi.”Valerie mengangguk pelan, lalu memiringkan tubuhnya agar bisa lebih fokus mendengarkan. Tatapan Aldrich berubah serius saat melanjutka