Kaivan duduk di mobil yang dikemudikan sopirnya. Saat mobil itu akan memasuki gerbang perusahaan, tiba-tiba saja mobil itu berhenti secara mendadak hingga membuat Kaivan terkejut.“Ada apa?” tanya Kaivan.“Itu, Pak. Ada anak kecil yang berjalan menghalangi jalan,” kata sopir agak panik karena hampir menabrak.Kaivan menengok ke luar jendela, lalu melihat Kai terduduk di jalan sambil mengusap pantat.“Sedang apa dia di sana?” Kaivan keheranan, kenapa Kai dibiarkan berkeliaran di jalanan sendirian. Dia merasa kalau Eve sangat tidak bertanggung jawab sama sekali sebagai ibu.Kaivan akhirnya turun dari mobil lalu menghampiri Kai yang baru saja berdiri. Dia memperhatikan bocah laki-laki yang menggendong tas punggung kecil.“Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu berkeliaran di jalan?” tanya Kaivan sambil menatap datar pada Kai.Kai terkejut lalu memandang Kaivan yang berdiri di dekatnya. Dia pun menjawab, “Kai nggak mau omong cama Paman Galak!”Kai memalingkan muka sambil melipat kedua
Dania ada di meja kerjanya sedang mengecek berkas saat ponselnya berdering.“Halo.” Dania menjawab tanpa melihat siapa yang menghubungi.“Halo, Bu. Maaf, Kai hilang. Dia tidak ada di sini.”Dania melotot mendengar ucapan pengurus penitipan.“Bagaimana bisa hilang?” tanya Dania begitu syok. Bisa-bisa Eve marah padanya jika terjadi sesuatu dengan Kai.“Kai keluar dari gerbang saat kami sedang mengawasi anak lain. Dia pergi sendirian,” jawab pengurus dari seberang panggilan, “kami sedang berusaha mencarinya.”Dania kebingungan dan panik. Dia mengakhiri panggilan karena ingin ikut mencari, tapi sebelum itu Dania mendapat panggilan dari Hendry.“Halo.” Suara Dania terdengar cemas.“Kamu diminta ke ruangan Pak Kaivan,” kata Hendry dari seberang panggilan.“Harus sekarang? Apa bisa nanti saja? Aku ada urusan penting sekarang,” balas Dania mencoba nego.“Harus sekarang. Ada Kai di ruangan Pak Kaivan,” ujar Hendry.Dania terdiam. Kai di ruangan Kaivan? Bagaimana bisa?”“Kenapa Kai bersama Pak K
Kaivan masih fokus dengan pekerjaan di meja. Dia melirik Kai yang anteng di sofa. Kaivan kagum, anak sekecil itu seharusnya aktif dan banyak tingkah, tapi tidak dengan Kai. Kaivan hanya sekali meminta Kai menggambar atau melakukan sesuatu dengan tenang dan anak kecil itu melakukannya.Kaivan menengok ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Dia melihat sudah waktunya jam makan siang.Kaivan menghampiri Kai, lalu bertanya, “Kamu mau makan apa? Akan kupesankan.”“Apa aja boleh,” jawab Kai lalu mengalihkan fokus pandangannya pada pria tinggi berahang tegas yang berdiri di dekatnya itu.“Kata Mami, Kai nggak boleh pilih-pilih makanan, tapi jangan yang ada kacangnya juga,” ujar Kai menjelaskan.Kaivan mengerutkan alis.“Kenapa tidak boleh makan kacang?” tanya Kaivan penasaran.Kai bicara sambil mewarnai. “Kai alergi cama kacang, campe macuk rumah cakit, itu ga enak. Badan Kai, gatel. Teyus maca Kai dicuruh muntah-muntah.”Kaivan terkejut, kenapa bisa sama dengannya?Kaivan tidak ban
Kaivan merasa ada sesuatu yang mengganjal. Setelah makan siang dan melakukan pembicaraan dengan Kai, Kaivan terus memikirkan siapa Kai sebenarnya. Rasanya aneh, meski Kaivan berusaha tidak peduli, kenapa dia penasaran? Apa karena Kai anak Eve, entah kenapa segala tentang Eve selalu menarik baginya?Kaivan menatap Kai yang kekenyangan dan sekarang sedang tidur. Dia membuka laci di meja kerjanya, lalu mengambil bros yang masih disimpannya selama tiga tahun ini. Kaivan kembali melihat 4 angka di belakang bros, dia masih penasaran arti 4 angka itu, meski Grisel sudah menjawabnya.Kaivan menekan tombol di pesawat telepon, meminta agar Hendry masuk ruang kerjanya.“Ya, Pak.” Hendry langsung menghadap pada Kaivan.“Aku ingin kamu menyelidiki sesuatu,” perintah Kaivan sambil menggenggam bros yang ada di tangan.“Siap, Pak.”**Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Hari sudah sore dan Dania pun datang ke ruangan Kaivan untuk menjemput Kai.“Bibi Cantik. Bentar, Kai ciap-ciap.” Kai terlihat s
Kaivan memperhatikan ekspresi wajah Grisel yang gelagapan panik. Dia terus menatap dan meyakini jika kecurigaannya benar.Kaivan mengingat kejadian beberapa hari lalu, saat dia mengantar Grisel pulang ke apartemen. Dia merasa aneh dengan sikap Grisel saat ada wanita yang menemui Grisel waktu itu, apalagi Grisel menarik kasar, sampai membuat Kaivan bertanya-tanya meski dia tidak mau peduli.Kaivan tidak langsung pulang. Dia menunggu, hingga melihat wanita tua yang menemui Grisel berjalan sambil menangis. Berniat menghentikan wanita itu, Kaivan malah hampir menabraknya.“Anda baik-baik saja?” tanya Kaivan ketika turun dari mobil.Wanita itu malah menangis sejadi-jadinya.Kaivan semakin penasaran, siapa wanita itu dan kenapa menangis seperti ini.“Kenapa Anda tidak menabrak saya saja, biarkan saja mati saja!” Ibu Grisel menangis sejadi-jadinya.Kaivan melihat beberapa orang memperhatikannya, lalu dia berkata, “Jika Bibi ada masalah, bisa ceritakan kepadaku. Bagaimana kalau masuk mobil du
Kaivan merasakan ketegangan di wajah Grisel. Dia bersikap tenang meski Grisel memperlihatkan sikap gelisah.“Aku ke kamar mandi sebentar,” ucap Kaivan lalu mengusap mulut dengan serbet.Kaivan berdiri, lalu meninggalkan meja makan.Grisel tersenyum membalas ucapan Kaivan, tapi setelahnya senyum itu menguar dan tatapan matanya tertuju pada sang ibu yang berdiri di dekat kursi Kaivan.Grisel berdiri, lantas dengan cepat menghampiri wanita tua itu.“Kenapa Ibu bisa di sini?” tanya Grisel sambil menekan suaranya yang ingin sekali meledak. Sorot matanya tajam, memperlihatkan rasa tak senang.Ibu Grisel diam. Memilih mengabaikan putrinya yang emosi.“Jawab, Bu!” geram Grisel sambil mencengkram kedua lengan sang ibu.Wanita tua itu akhirnya menatap pada Grisel.“Ibu jangan macam-macam! Jangan menghancurkan masa depanku!” Grisel bicara dengan penekanan. Dia tak berpikir jika sikapnya sekarang ini benar-benar sudah menyakiti hati ibunya.“Ibu di sini hanya kerja, kenapa kamu harus semarah itu
Eve baru saja keluar dari kamar Bram saat malam hari. Dia tidak bisa buru-buru pulang karena takut Bram curiga, apalagi Eve juga menolak tinggal di apartemen sang kakak.Eve berjalan di koridor dengan perasaan lega karena kondisi Bram sudah berangsur membaik. Setidaknya setelah ini Bram pasti sudah siap mendengarkan fakta yang akan Eve ungkap.Saat baru saja sampai di lobi, Eve terkejut melihat siapa yang berjalan dari luar menghampiri dirinya.“Akhirnya aku menemukanmu,” kata Damian, “kenapa kamu tidak menjawab panggilanku atau membalas pesanku?” tanya Damian saat sudah berdiri di depan Eve.“Aku sibuk mengurus kakakku yang sakit,” jawab Eve datar.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Eve berusaha bersikap biasa.“Apa lagi? Tentu saja mencarimu karena aku mencemaskanmu,” jawab Damian sambil memperlihatkan perhatiannya pada Eve.“Dari mana kamu tahu aku di sini?” tanya Eve menatap curiga.“Aku mencarimu ke apartemen kakakmu karena tidak ada kabar darimu, di sana aku dapat informasi k
Keesokan harinya. Eve sudah bangun dan sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Kai dan Dania.“Senangnya ada yang menyiapkan sarapan, biasanya aku hanya makan roti atau beli di jalan,” celoteh Dania saat melihat Eve sibuk di dapur.Eve menoleh Dania sambil tersenyum.“Ya, mau bagaimana lagi. Masa aku tidak melakukan yang berguna untukmu di sini, padahal sudah diberi tumpangan,” seloroh Eve.“ish … kenapa bicaranya seperti itu? Aku tidak butuh balasan, kamu mau tinggal di sini saja aku sudah sangat senang ada temannya,” balas Dania.Eve hanya tersenyum.“Oh ya, kapan kamu akan memperkenalkan Kai pada kakakmu?” tanya Dania. Dia mengambil potongan wortel di mangkuk lalu memasukkan ke mulut sambil menunggu jawaban Eve.“Mungkin besok atau lusa. Kemarin kondisi Kak Bram sudah sangat baik, semoga Kak Bram siap mendengar fakta soal Kai,” ucap Eve penuh harap meski ada rasa sedih karena takut Bram kecewa padanya.“Kenapa? Kamu takut kakakmu marah kalau tahu kamu punya anak di luar nikah?” tan
Hari pernikahan Eve dan Kaivan tiba. Malam sebelum acara pernikahan, Eve berada di kamar sedang istirahat setelah makan malam.“Eve, boleh aku masuk?” tanya Alana setelah sebelumnya mengetuk pintu.“Masuklah, Kak.”Alana membuka pintu kamar Eve. Dia melihat adik iparnya itu sedang duduk memegang ponsel.“Ada apa, Kak?” tanya Eve sambil menggeser posisi duduknya di ranjang untuk memberi tempat agar Alana bisa duduk.Alana duduk di dekat Eve. Dia menatap pada adik iparnya itu.“Besok kamu akan menikah. Aku dan kakakmu selama ini menyadari, belum pernah memberikan yang terbaik, terutama aku yang sering sekali bersikap tak baik karena rasa iri padamu. Tapi, semua sudah berlalu. Aku tidak bisa memberi apa pun selain mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaanmu,” ucap Alana sambil menggenggam erat telapak tangan Eve.Bola mata Eve berkaca-kaca. Dia mengulum bibir untuk menahan tangisnya.“Tidak memberi apa-apa bagaimana, Kak? Aku bisa kuliah dan tumbuh juga karena usaha kalian. Ya, meski Kak
Siang itu Eve pergi ke perusahaan Kaivan. Dia mengantar makanan karena Kaivan berkata jika sangat sibuk.“Kamu masih sibuk?” tanya Eve saat masuk ruangan Kaivan.Kaivan menatap pada Eve. Melihat calon istrinya itu datang, Kaivan langsung menutup tirai dinding kaca agar para staff tak melihat apa yang dilakukannya.“Kenapa tirainya ditutup?” tanya Eve keheranan.Kaivan mendekat pada Eve, lalu mengecup pipi wanita itu.“Biar mereka tidak melihat ini,” jawab Kaivan.Eve terkejut sampai memukul lengan Kaivan karena gemas.Eve mengajak Kaivan duduk. Dia membuka pembungkus makanan agar Kaivan bisa segera menyantap makan siang.“Aku sebenarnya masih harus memilah berkas, sepertinya tidak bisa makan siang dulu,” kata Kaivan.Eve menatap pada Kaivan, lalu membalas, “Kamu tetap harus makan meski sedang sibuk. Kamu memilah berkas, biar aku yang menyuapi.”Senyum mengembang di wajah Kaivan saat mendengar ide Eve. Dia mengajak Eve ke meja kerja, memosisikan kursi lain di samping kursi kerjanya agar
Eve dan Kaivan masih duduk berdua di samping rumah setelah semua orang pulang. Kaivan menggenggam erat telapak tangan Eve seperti tak berniat melepas.“Kamu dan Damian benar-benar sudah berbaikan?” tanya Eve memastikan.“Ya, anggap saja begitu. Tapi aku akan tetap memantaunya, meski bisa dibilang kalau dia sudah berumur, tapi Damian itu masih labil.”Eve terkekeh pelan mendengar ucapan Kaivan.“Kenapa malah tertawa?” tanya Kaivan dengan dahi berkerut halus.“Ya, labil sepertimu tampaknya,” balas Eve sambil melirik Kaivan.“Siapa bilang aku labil?” Kaivan tidak terima Eve mengatainya seperti itu.Eve menahan tawa. Dia menggeser posisi hingga menatap pada Kaivan lalu menjelaskan, “Jika kamu tidak labil, kamu pasti akan segera menikahi Grisel waktu itu.”Kaivan terkesiap, lalu mengelak, “Itu bukan labil, tapi hanya belum yakin.”“Aku memang berjanji akan menikahi, tapi itu untuk wanita yang aku tiduri. Dan saat Grisel mengakuinya, entah kenapa ada yang janggal, karena itu aku tidak seger
Malam itu. Kaivan dan yang lain makan malam bersama di rumah Maria. Ada Bram dan Alana juga yang diundang ke rumah.“Kalian jangan sungkan, ya. Makan saja apa yang kalian suka, kalau mau memilih menu lain yang tidak ada di meja, bilang saja. Tidak usah malu-malu, anggap rumah sendiri,” ucap Maria pada Bram dan Alana.Bram dan Alana mengangguk. Mereka benar-benar canggung diajak makan malam di rumah Maria.Saat mereka sedang makan malam, pelayan datang menemui Maria.“Itu, Bu. Pak Damian dan Mbak Dania datang,” kata pelayan.“Oh, suruh masuk saja. Aku yang mengundang mereka untuk makan malam bersama,” balas Maria.Pelayan itu mengangguk lalu segera pergi ke depan untuk mempersilakan Damian dan Dania masuk.Eve menoleh pada Kaivan. Dia melihat pria itu memasang wajah datar dan tak senang. Eve memilih diam dan tak berkomentar sama sekali.Damian dan Dania masuk. Dania langsung menyapa Maria dan yang lain, sedangkan Damian menatap pada Kaivan yang tak memandang ke arahnya sama sekali.“Ay
Bram buru-buru turun dari mobil saat sampai di rumah Kaivan. Dia dijemput sopir Kaivan karena sangat mencemaskan Eve ketika tadi menghubungi.“Bagaimana keadaanmu? Kenapa kamu tidak segera menghubungiku?” tanya Bram langsung mengecek apakah Eve terluka atau tidak.“Aku baik-baik saja, Kak. Kak Bram tidak perlu mencemaskanku seperti ini,” ucap Eve mencoba menenangkan.Bram menatap sendu, lalu menghela napas pelan.Eve mengajak Bram duduk lebih dulu, kemudian menceritakan yang terjadi dan kondisi Grisel saat ini.Bram menghela napas kasar, baru kemudian berkomentar.“Dia punya pilihan agar hidupnya lebih baik, tapi dia malah memilih cara yang salah dan memaksakan sesuatu yang seharusnya tak dia miliki,” ujar Bram, “ya sudahlah, terpenting kamu baik-baik saja.”Bram menatap Eve penuh kelegaan.Eve mengangguk-angguk sambil memulas senyum agar Bram lega.**Setelah Eve merasa lebih baik, dia dan Kaivan pergi mengunjungi Grisel ke rumah sakit untuk melihat perkembangan dan laporan medis dar
Eve mengajak Kaivan menemui ibu Grisel. Bagaimanapun mereka harus memberitahu kondisi Grisel pada wanita itu. Eve sendiri juga tidak bisa merasa tenang begitu saja karena secara langsung atau tidak, Eve juga memperburuk depresi Grisel.“Pak.” Wanita tua itu langsung sedikit membungkuk saat melihat Kaivan di belakang dan menemuinya.Eve langsung merangkul pundak wanita tua itu, kemudian berkata, “Bibi ada yang mau aku bicarakan.”Wanita itu terkejut, bahkan terlihat takut.“Apa saya membuat kesalahan?” tanya wanita tua itu.“Tidak, Bi. Bibi tidak berbuat salah, hanya saja ada yang memang harus kami bicarakan dengan Bibi,” ucap Eve mencoba tenang meski takut dengan reaksi ibu Grisel.“Duduklah, Bi.” Kaivan bicara dengan tegas agar wanita itu tidak kebingungan.Eve mengajak ibu Grisel duduk, begitu juga dengan Eve dan Kaivan yang duduk berhadapan dengan wanita itu.Wanita itu terlihat gemetar, bahkan jemarinya saling meremas sambil menatap pada Eve dan Kaivan secara bergantian.Eve ingin
Kaivan pergi ke rumah sakit setelah Eve agak tenang. Dia juga sudah berpesan pada Maria untuk menjaga Eve.Sesampainya di rumah sakit, Kaivan menemui Hendry yang ada di depan ruang inap bersama pengacara yang ditunjuk untuk menangani kasus itu, hanya berjaga-jaga jika Grisel tiba-tiba menuntut Eve.“Bagaimana?” tanya Kaivan begitu sudah berada di hadapan Hendry dan pengacara.Hendry dan pengacara itu menatap aneh pada Kaivan, membuat Kaivan mengerutkan alis.“Ada apa? Grisel ingin menuntut Eve, atau dia membuat onar lagi?” tanya Kaivan menaruh curiga.“Bukan,” jawab Hendry sambil menggeleng.“Lalu?” tanya Kaivan dengan satu sudut alis tertarik ke atas.“Lebih baik Anda lihat sendiri, dokter juga ada di dalam,” kata Hendry.Kaivan tentunya semakin penasaran, ada apa sebenarnya sampai Hendry tak menjelaskan langsung padanya. Dia akhirnya masuk ke ruang inap, lalu melihat sendiri apa yang terjadi pada Grisel.Dokter masih mengecek kondisi Grisel bersama dua perawat, bahkan kini Grisel ha
Eve dan Kaivan masih menunggu sampai Grisel selesai CT-Scan, saat itu Hendry datang setelah mengecek kamera Cctv di apartemen.“Bagaimana?” tanya Kaivan.“Saya mendapat salinannya, Pak. Sebentar saya kirim ke Anda,” kata Hendry.Hendry mengirimkan video rekaman Cctv ke ponsel Kaivan, lalu menjelaskan, “Semua murni karena kesalahan Grisel yang menyerang Eve dulu, Pak. Bahkan jatuhnya Grisel sebenarnya tidak sepenuhnya salah Eve karena seperti yang terlihat di rekaman itu, kaki Grisel tersandung kakinya sendiri yang membuatnya jatuh ke belakang dan kepalanya langsung menghantam cermin.”Eve dan Kaivan mengamati rekaman itu, ternyata benar jika kejadian yang menimpa Grisel sepenuhnya bukan salah Eve.“Tapi tetap saja, dia terluka karena aku mendorongnya lebih dulu,” ucap Eve tetap cemas. Dia bisa terlibat dengan hukum karena masalah ini.Kaivan menggenggam erat tangan Eve, lalu berkata, “Kamu tenang saja. Biar pengacaraku yang mengurus semuanya. Ada bukti yang kita pegang juga ada saksi,
Eve terus mempertahankan cincinnya. Dia takkan mengalah lagi dari Grisel setelah apa yang Grisel lakukan padanya selama ini.“Kamu tidak layak memakai cincin ini. Ini seharusnya menjadi milikku!” teriak Grisel terus mencoba melepas cincin dari jari Eve.Eve terus mempertahankan cincin itu, begitu tangannya bisa lepas dari genggaman Grisel, Eve langsung mendorong Grisel agar menjauh darinya.Namun nahas, Grisel terdorong cukup kuat, hingga mundur sebelum akhirnya menabrak cermin yang terpajang di dinding dekat lift. Kaca itu pecah seiring Grisel yang terjatuh berlumuran darah karena luka akibat benturan cukup keras.Eve sangat syok. Dia tak berniat mencelakai Grisel, tapi ternyata Grisel malah terluka karena perbuatannya.Semua yang di sana juga terkejut, apalagi Grisel langsung tak sadarkan diri.Eve gemetar karena panik.Grisel dibawa ke rumah sakit. Eve juga ikut karena merasa harus bertanggung jawab. Dia sudah menghubungi Kaivan karena ketakutan, Eve juga tidak mungkin menghubungi