Kaivan merasakan ketegangan di wajah Grisel. Dia bersikap tenang meski Grisel memperlihatkan sikap gelisah.“Aku ke kamar mandi sebentar,” ucap Kaivan lalu mengusap mulut dengan serbet.Kaivan berdiri, lalu meninggalkan meja makan.Grisel tersenyum membalas ucapan Kaivan, tapi setelahnya senyum itu menguar dan tatapan matanya tertuju pada sang ibu yang berdiri di dekat kursi Kaivan.Grisel berdiri, lantas dengan cepat menghampiri wanita tua itu.“Kenapa Ibu bisa di sini?” tanya Grisel sambil menekan suaranya yang ingin sekali meledak. Sorot matanya tajam, memperlihatkan rasa tak senang.Ibu Grisel diam. Memilih mengabaikan putrinya yang emosi.“Jawab, Bu!” geram Grisel sambil mencengkram kedua lengan sang ibu.Wanita tua itu akhirnya menatap pada Grisel.“Ibu jangan macam-macam! Jangan menghancurkan masa depanku!” Grisel bicara dengan penekanan. Dia tak berpikir jika sikapnya sekarang ini benar-benar sudah menyakiti hati ibunya.“Ibu di sini hanya kerja, kenapa kamu harus semarah itu
Eve baru saja keluar dari kamar Bram saat malam hari. Dia tidak bisa buru-buru pulang karena takut Bram curiga, apalagi Eve juga menolak tinggal di apartemen sang kakak.Eve berjalan di koridor dengan perasaan lega karena kondisi Bram sudah berangsur membaik. Setidaknya setelah ini Bram pasti sudah siap mendengarkan fakta yang akan Eve ungkap.Saat baru saja sampai di lobi, Eve terkejut melihat siapa yang berjalan dari luar menghampiri dirinya.“Akhirnya aku menemukanmu,” kata Damian, “kenapa kamu tidak menjawab panggilanku atau membalas pesanku?” tanya Damian saat sudah berdiri di depan Eve.“Aku sibuk mengurus kakakku yang sakit,” jawab Eve datar.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Eve berusaha bersikap biasa.“Apa lagi? Tentu saja mencarimu karena aku mencemaskanmu,” jawab Damian sambil memperlihatkan perhatiannya pada Eve.“Dari mana kamu tahu aku di sini?” tanya Eve menatap curiga.“Aku mencarimu ke apartemen kakakmu karena tidak ada kabar darimu, di sana aku dapat informasi k
Keesokan harinya. Eve sudah bangun dan sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Kai dan Dania.“Senangnya ada yang menyiapkan sarapan, biasanya aku hanya makan roti atau beli di jalan,” celoteh Dania saat melihat Eve sibuk di dapur.Eve menoleh Dania sambil tersenyum.“Ya, mau bagaimana lagi. Masa aku tidak melakukan yang berguna untukmu di sini, padahal sudah diberi tumpangan,” seloroh Eve.“ish … kenapa bicaranya seperti itu? Aku tidak butuh balasan, kamu mau tinggal di sini saja aku sudah sangat senang ada temannya,” balas Dania.Eve hanya tersenyum.“Oh ya, kapan kamu akan memperkenalkan Kai pada kakakmu?” tanya Dania. Dia mengambil potongan wortel di mangkuk lalu memasukkan ke mulut sambil menunggu jawaban Eve.“Mungkin besok atau lusa. Kemarin kondisi Kak Bram sudah sangat baik, semoga Kak Bram siap mendengar fakta soal Kai,” ucap Eve penuh harap meski ada rasa sedih karena takut Bram kecewa padanya.“Kenapa? Kamu takut kakakmu marah kalau tahu kamu punya anak di luar nikah?” tan
Kai berada di mobil bersama Kaivan. Dia duduk sambil memperhatikan jalanan yang dilewati mereka. Kai menoleh Kaivan, melihat pria itu sedang mengecek tablet pintar.“Kita mau ke mana?” tanya Kai penasaran.Kaivan menoleh pada Kai. Dia meletakkan tablet pintar di pangkuan, lalu menjawab, “Bertemu temanku sebentar, lalu setelahnya menuruti semua keinginan Kai.”Kai mengerutkan alis penasaran.“Kai mau minta apa?” tanya Kaivan, “akan aku turuti semua permintaan Kai.”Kai berpikir. Ekspresi wajah bocah itu sangat lucu saat ini.“Kai mau ketemu Papi,” jawab Kai sambil menatap Kaivan seraya mengedipkan mata lucu.Kaivan terdiam.Akan tetapi sedetik kemudian Kai tertawa.“Paman pasti nggak tahu di mana papinya Kai. Kai hanya bercanda,” ucap bocah laki-laki itu, “belikan Kai cokelat saja, tapi jangan yang ada kacangnya.”Kaivan mengangguk.Setelah beberapa saat. Mereka akhirnya sampai di sebuah apartemen. Kaivan mengajak Kai menemui temannya yang ternyata seorang dokter.“Aku terkejut kamu ma
Eve sudah di rumah sakit. Dia melihat Bram yang baru saja diperiksa dokter.“Kondisi Pak Bram sudah membaik, kalau bisa bertahan seperti ini, besok atau lusa sudah boleh pulang,” ucap dokter setelah memeriksa.Eve merasa sangat lega, begitu juga dengan Alana.“Terima kasih, Dok.” Eve bicara dengan senyum di wajah.Setelah dokter dan perawat pergi. Eve duduk di kursi samping ranjang Bram.“Eve, setelah aku pulang, tinggallah di apartemen bersama kami,” pinta Bram sambil menatap sendu pada Eve.“Iya, Eve. Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi,” timpal Alana yang memang sudah sangat menyesal pernah menyakiti Eve.Eve bingung karena memikirkan Kai, dia mau bicara tapi belum siap karena Bram baru saja membaik.“Kak, sebenarnya ada yang mau aku sampaikan, tapi mungkin besok saja,” kata Eve agak ragu.“Besok? Kenapa tidak sekarang? Apa itu hal penting?” tanya Bram penasaran.“Besok saja,” jawab Eve sambil tersenyum agar Bram tidak cemas.Bram menatap Alana yang mengangguk mengisyaratkan
“Kai ingat, kan? Jangan beritahu Mami kalau pergi denganku,” kata Kaivan saat mereka berada di mobil menuju perusahaan.“Kenapa tidak boleh bilang? Paman cama Bibi Cantik ngajarin Kai bohong, ya?” Kai menatap Kaivan curiga.Kaivan cukup terkejut mendengar ucapan Kai, tapi juga kagum karena Kai memang cerdas.“Bukan berbohong, tapi hanya takut Mami marah saja. Nanti aku pasti bilang kalau mengajak Kai, tapi tidak sekarang. Kai anak cerdas, pasti paham maksudku,” ucap Kaivan menjelaskan.Kai diam sesaat, lalu kemudian mengangguk-angguk pelan.Mereka turun dari mobil yang berhenti di depan lobi. Kai sangat senang mendapat buku gambar dan crayon baru. Dia berjalan menggandeng Kaivan sambil memegang lolipop, sedangkan barangnya dibawa Kaivan.“Nanti di ruanganku dulu, Bibi Cantik akan menyusul Kai saat jam makan siang,” kata Kaivan saat mereka berjalan menuju lift.“Iya.” Kai mengangguk.Saat pintu lift terbuka, Kaivan melihat Grisel yang baru saja akan keluar. Kaivan menatap dingin pada wa
Buku ini akan terus update setiap hari sampai tamat, terima kasih yang sudah membaca kisah ini dan terima kasih atas dukungannya 🙏
Dania sedang sibuk dengan pekerjaannya, di saat ponselnya berdering. Dia melihat nama Eve, membuatnya langsung menjawab. Namun, alangkah terkejutnya Dania saat mendengar suara Eve.“Kai kamu titipkan di mana?” tanya Eve lagi.Dania gelagapan panik karena Eve terdengar marah.“Itu, Kai di perusahaan karena dia tidak mau dititipkan di sana,” jawab Dania jujur.“Kalau bisa, ajak dia segera pulang, aku tunggu di apartemen,” kata Eve dari seberang panggilan.“Kamu tidak mampir ke sini?” tanya Dania memastikan, siapa tahu Eve ingin bernostalgia di perusahaan itu.Hening, tidak ada balasan dari Eve, lalu beberapa saat kemudian Dania mendengar Eve bicara.“Tidak.”Dania mendengar Eve menjawab, tapi setelahnya panggilan itu diakhiri. Dania berpikir Eve pasti sangat marah, sehingga membuat Dania merasa tidak enak hati dan merasa bersalah karena sudah tak jujur.Dania juga berpikir, kenapa Eve tidak mau mampir ke perusahaan padahal hanya berjarak beberapa meter. Bahkan jawaban Eve terdengar sang
Raut wajah Damian terlihat tak senang saat mendengar Kai sangat berharap bertemu Kaivan. Apalagi Kai langsung berlari ke pintu untuk melihat siapa yang datang.‘Apa benar yang datang Kaivan?’ batin Damian.“Paman Kaivan!”Damian mendengar suara teriakan Kai yang begitu lantang. Ternyata benar Kaivan datang, untuk apa Kaivan menemui Eve dan Kai?Di depan, Eve terkejut melihat Kaivan datang apalagi sekarang ada Damian di dalam.“Kamu sudah makan?” tanya Kaivan pada Kai. Dia memperlihatkan bawaan yang dibawa.“Tadi Mami cudah nyuruh Kai makan, tapi Kai nggak mau makan karena nggak ada Paman Kaivan,” jawab Kai berceloteh.Kaivan tersenyum lalu memandang pada Eve yang berdiri di belakang Kai.“Kalau begitu, makan bersama paman, ya.” Kaivan kembali memandang pada Kai lalu siap mengajak masuk.“Cama Paman Damian juga, ya.” Kaivan menghentikan langkah. Dia menatap Kai lalu pada Eve secara bergantian.“Damian?”Eve melipat bibir sambil memalingkan muka.Saat masuk, ekspresi wajah Kaivan berub
“Mami, kapan Paman Kaivan ke cini?” tanya Kai sambil menusuk-nusuk makan siangnya menggunakan garpu.Eve menghela napas kasar, lalu menatap pada Kai.“Paman Kaivan masih kerja, Kai jangan berharap dia datang, ya? Nanti dia tidak fokus bekerja,” kata Eve mencoba bersikap tenang meski ada rasa mengganjal saat Kai membahas soal Kaivan.Kai memasang wajah cemberut. Dia makan dengan malas bahkan sudah hampir setengah jam tapi makanan di piring hanya terjamah sedikit.“Kai makan yang benar agar cepat habis dan Kai lekas sembuh,” ujar Eve sambil mempertahankan senyumnya.“Iya.” Kai menanggapi malas.Saat Kai kembali makan, terdengar suara bel dari pintu depan. Eve dan Kai menoleh bersamaan.“Itu pacti Paman Kaivan!” Kai langsung turun dari kursi lalu berlari menuju pintu.Eve sangat terkejut dengan yang dilakukan Kai. Dia mengejar Kai yang sudah mencapai pintu.Kai langsung membuka pintu, tapi senyumnya memudar ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintu.“Halo, Kai.” Damian berdiri di
Grisel sangat panik dan bingung, tapi dia juga tidak bisa menghindari hal ini. Grisel turun dari mobil lalu berjalan masuk lobi untuk segera naik ke lantai tempat ruangan Kaivan berada.Namun, sebelum dirinya masuk lift, Grisel lebih dulu mendapat pesan dari kepala HRD.[Datanglah ke ruang HRD untuk pemberitahuan perubahan pekerjaan.]Grisel mengerutkan dahi. Apa maksudnya perubahan pekerjaan? Dia menggigit bibir bawah, bingung harus bagaimana lalu akhirnya memilih pergi ke ruang HRD lebih dulu, sebelum pergi ke ruangan Kaivan.Grisel masuk ke ruang HRD dan langsung menemui kepala HRD.“Ada apa saya diminta ke sini?” tanya Grisel.“Saya baru saja mendapat perintah untuk melakukan mutasi pekerjaan. Kamu akan dipindah ke anak cabang Bramanty Group yang ada di luar kota. Surat pemindahannya belum turun, tapi saya diminta menyampaikan ini lebih dulu, agar kamu bisa mempersiapkan diri dan menyelesaikan pekerjaan yang tertunda,” ujar kepala HRD.Grisel membulatkan bola mata lebar.“Tidak mu
Kaivan pergi ke perusahaan. Ekspresi wajahnya begitu dingin, bahkan para staff yang menyapanya merasa merinding karena sikap Kaivan tak seperti biasanya, lebih menakutkan dari sebelumnya.“Apa ada masalah, Pak?” tanya Hendry yang berjalan di belakang Kaivan dan merasa aneh dengan sikap atasannya itu.Kaivan tidak menjawab pertanyaan Hendry. Dia terus mengayunkan kaki masuk lift.Hendry memilih diam. Dia memperhatikan tombol yang ditekan Kaivan. Hendry merasa sedikit aneh, kenapa Kaivan tidak menuju lantainya bekerja, tapi malah ke lantai lain?Lift terbuka di lantai tempat Grisel bekerja. Tentu saja hal itu membuat Hendry bertanya-tanya dengan apa yang terjadi.Saat sampai di lantai divisi itu, ternyata Grisel belum ada di ruang kerjanya.“Di mana Bu Grisel?” tanya Kaivan pada staff yang berdiri saat melihat kedatangannya.“Beliau belum datang, Pak,” jawab staff.Kaivan menyipitkan mata. Dia memandang semua staff yang menunduk, lalu melihat jam dinding menunjukkan pukul setengah delapa
“Kamu harus bertanggung jawab, Kaivan! Jangan jadi pengecut!” Maria mengamuk karena berpikir Kaivan tidak mau bertanggung jawab.Kaivan memegang tangan Maria, lalu membalas, “Aku bukannya tidak mau bertanggung jawab. Tapi Eve yang sepertinya tidak mau.”Maria mengerutkan alis.“Kenapa tidak mau? Pasti ada alasannya, kan?” Maria penasaran. Jika memang Eve wanita yang akan dijadikan istri Kaivan, dia akan mendukung penuh.“Apa perlu ibu yang minta padanya untuk menikah denganmu?” tanya Maria gemas karena merasa putranya sangat lamban.“Jangan!” Kaivan mencegah. “Tidak semudah itu juga, Bu. Aku tidak tahu alasan pastinya, tapi yang jelas Eve ragu.”Semalam Kaivan mendengar apa yang dibicarakan Eve dan Bram. Dia sekarang tahu alasan Eve terus memintanya menjauh. Kaivan menceritakan itu agar Maria paham dan tidak bersikap gegabah.“Jadi, apa rencanamu?” tanya Maria memastikan.“Aku hanya perlu lebih dekat dan meyakinkannya saja. Sepertinya Kai juga sudah menyukaiku, jadi itu akan lebih mud
“Kamu sebenarnya mau bicara apa, Kai? Jangan bilang kamu mau membahas wanita bernama Grisel itu! Ibu tidak sudi!” Maria memberi ultimatum lebih dulu karena telinganya terlalu sakit jika mendengar Kaivan bersama Grisel.Kaivan malah tersenyum lalu menggeleng pelan.“Bukan itu yang mau aku ceritakan,” ujar Kaivan karena melihat sang ibu sudah sangat emosi.“Lalu?” Maria menatap curiga.Kaivan menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan.“Semalam aku pergi mengantar Kai ke rumah sakit untuk periksa. Dia putraku.”“Kaivan!” Maria berteriak karena syok. “Kai? Siapa maksudmu Kai itu? Dan, apa tadi kamu bilang? Putra? Jangan bilang itu anakmu dengan Grisel!” amuk Maria dengan emosi yang memuncak. Dia mencengkram dada karena merasa nyeri.“Bu.” Kaivan langsung turun dari ranjang. Dia meminta Maria untuk duduk lebih dulu.“Makanya, dengarkan aku bicara sampai selesai agar tidak syok,” ujar Kaivan malah menyalahkan ibunya yang kaget.“Siapa yang tidak syok mendengar pengakuanmu, hah!” M
Eve mengecek Kai setelah selesai bicara dan meyakinkan Bram kalau dia akan mengurus semua sendiri. Kai mungkin membutuhkan sosok ayah, tapi Eve tidak mau jika Kaivan terpaksa bertanggung jawab karena adanya Kai. Bisa saja ‘kan, dulu Kaivan tidak menginginkan Kai, sedangkan sekarang sudah terlanjur dan terpaksa menerima?Saat Eve masuk kamar. Dia melihat Kaivan ternyata tertidur di ranjangnya. Dia menatap lekat wajah Kaivan dan Kai yang sama-sama tertidur pulas. Keduanya benar-benar sangat mirip, terutama alisnya.Tidak tega membangunkan Kaivan. Eve memilih membetulkan letak selimut, lalu dia keluar dari kamar dan berniat tidur di sofa.“Bagaimana kondisi Kak Bram, Kak?” tanya Eve saat melihat Alana keluar dari kamar.“Sudah tidak apa-apa. Dia berusaha tidur sekarang,” jawab Alana, “kenapa kamu di luar? Apa Kai belum tidur sampai mantan bosmu juga masih di sana?” tanya Alana keheranan.“Ah, itu ….” Eve menoleh ke pintu kamarnya, lalu kembali memandang Alana. “Dia tertidur bersama Kai.
Bram mengajak bicara Eve di ruang makan. Alana juga ada di sana, dia dan Bram sama-sama menatap Eve sekarang.“Kamu masih tidak mau jujur dengan apa yang terjadi, Eve? Jujur pada kami, apa kamu tidak menganggap kami lagi?” Bram mencoba menekan karena merasa Eve menyembunyikan kebenaran soal ayah Kai.“Bukan begitu, Kak.” Eve bingung harus bagaimana menjelaskannya.“Kalau begitu cerita, Eve. Kami ini keluargamu, apa tidak cukup kamu berbohong dan menyembunyikan soal kehadiran Kai?” Alana ikut bicara demi kebaikan Eve juga Bram.Eve meremat jemari, lalu memberanikan diri menatap kakak dan kakak iparnya.“Katakan padaku, bagaimana bisa Kai langsung dengan mantan bosmu itu? Kalian punya hubungan khusus atau ….” Bram sengaja menjeda ucapannya agar Eve yang melanjutkan.Eve menelan ludah susah payah. Panik dan takut bercampur jadi satu.“Pak Kaivan adalah ayah Kai. Aku tidak sengaja melakukannya dengan dia.” Eve menjawab dengan suara lirih sambil menundukkan kepala.“Apa?” Bram sangat terkej
Kaivan mengantar Eve kembali ke apartemen. Dia sigap keluar dari mobil lalu membuka pintu mobil untuk Eve. Namun, saat Eve akan keluar, Kai bangun dan mencari Kaivan.“Maunya gendong Paman Kaivan.” Kai mengigau dan memberontak tidak mau digendong Eve.Eve menatap Kaivan yang berdiri di luar pintu.Kaivan membungkuk lalu mengambil alih Kai dari pangkuan Eve.“Biar aku yang menggendongnya,” ujar Kaivan.Eve terpaksa memberikan Kai karena terus memberontak. Saat sudah digendong Kaivan, Kai anteng dan langsung mengalungkan kedua lengan di leher pria itu.Mereka masuk bersama. Eve melihat Kai yang kembali tidur dalam gendongan Kaivan. Dia diam sambil terus melangkah, apa begini ikatan antara ayah dan anak meski mereka tidak pernah bertemu? Kenapa begitu erat? Bahkan Kai tidak pernah sedekat ini pada pria lain meski sering bertemu.Mereka sampai di unit apartemen Bram. Saat masuk, ternyata Alana sudah pulang.“Bagaimana kondisinya?” tanya Bram langsung menghampiri bersama Alana.“Dokter bil