Kaivan merasa ada sesuatu yang mengganjal. Setelah makan siang dan melakukan pembicaraan dengan Kai, Kaivan terus memikirkan siapa Kai sebenarnya. Rasanya aneh, meski Kaivan berusaha tidak peduli, kenapa dia penasaran? Apa karena Kai anak Eve, entah kenapa segala tentang Eve selalu menarik baginya?Kaivan menatap Kai yang kekenyangan dan sekarang sedang tidur. Dia membuka laci di meja kerjanya, lalu mengambil bros yang masih disimpannya selama tiga tahun ini. Kaivan kembali melihat 4 angka di belakang bros, dia masih penasaran arti 4 angka itu, meski Grisel sudah menjawabnya.Kaivan menekan tombol di pesawat telepon, meminta agar Hendry masuk ruang kerjanya.“Ya, Pak.” Hendry langsung menghadap pada Kaivan.“Aku ingin kamu menyelidiki sesuatu,” perintah Kaivan sambil menggenggam bros yang ada di tangan.“Siap, Pak.”**Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Hari sudah sore dan Dania pun datang ke ruangan Kaivan untuk menjemput Kai.“Bibi Cantik. Bentar, Kai ciap-ciap.” Kai terlihat s
Kaivan memperhatikan ekspresi wajah Grisel yang gelagapan panik. Dia terus menatap dan meyakini jika kecurigaannya benar.Kaivan mengingat kejadian beberapa hari lalu, saat dia mengantar Grisel pulang ke apartemen. Dia merasa aneh dengan sikap Grisel saat ada wanita yang menemui Grisel waktu itu, apalagi Grisel menarik kasar, sampai membuat Kaivan bertanya-tanya meski dia tidak mau peduli.Kaivan tidak langsung pulang. Dia menunggu, hingga melihat wanita tua yang menemui Grisel berjalan sambil menangis. Berniat menghentikan wanita itu, Kaivan malah hampir menabraknya.“Anda baik-baik saja?” tanya Kaivan ketika turun dari mobil.Wanita itu malah menangis sejadi-jadinya.Kaivan semakin penasaran, siapa wanita itu dan kenapa menangis seperti ini.“Kenapa Anda tidak menabrak saya saja, biarkan saja mati saja!” Ibu Grisel menangis sejadi-jadinya.Kaivan melihat beberapa orang memperhatikannya, lalu dia berkata, “Jika Bibi ada masalah, bisa ceritakan kepadaku. Bagaimana kalau masuk mobil du
Kaivan merasakan ketegangan di wajah Grisel. Dia bersikap tenang meski Grisel memperlihatkan sikap gelisah.“Aku ke kamar mandi sebentar,” ucap Kaivan lalu mengusap mulut dengan serbet.Kaivan berdiri, lalu meninggalkan meja makan.Grisel tersenyum membalas ucapan Kaivan, tapi setelahnya senyum itu menguar dan tatapan matanya tertuju pada sang ibu yang berdiri di dekat kursi Kaivan.Grisel berdiri, lantas dengan cepat menghampiri wanita tua itu.“Kenapa Ibu bisa di sini?” tanya Grisel sambil menekan suaranya yang ingin sekali meledak. Sorot matanya tajam, memperlihatkan rasa tak senang.Ibu Grisel diam. Memilih mengabaikan putrinya yang emosi.“Jawab, Bu!” geram Grisel sambil mencengkram kedua lengan sang ibu.Wanita tua itu akhirnya menatap pada Grisel.“Ibu jangan macam-macam! Jangan menghancurkan masa depanku!” Grisel bicara dengan penekanan. Dia tak berpikir jika sikapnya sekarang ini benar-benar sudah menyakiti hati ibunya.“Ibu di sini hanya kerja, kenapa kamu harus semarah itu
Eve baru saja keluar dari kamar Bram saat malam hari. Dia tidak bisa buru-buru pulang karena takut Bram curiga, apalagi Eve juga menolak tinggal di apartemen sang kakak.Eve berjalan di koridor dengan perasaan lega karena kondisi Bram sudah berangsur membaik. Setidaknya setelah ini Bram pasti sudah siap mendengarkan fakta yang akan Eve ungkap.Saat baru saja sampai di lobi, Eve terkejut melihat siapa yang berjalan dari luar menghampiri dirinya.“Akhirnya aku menemukanmu,” kata Damian, “kenapa kamu tidak menjawab panggilanku atau membalas pesanku?” tanya Damian saat sudah berdiri di depan Eve.“Aku sibuk mengurus kakakku yang sakit,” jawab Eve datar.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Eve berusaha bersikap biasa.“Apa lagi? Tentu saja mencarimu karena aku mencemaskanmu,” jawab Damian sambil memperlihatkan perhatiannya pada Eve.“Dari mana kamu tahu aku di sini?” tanya Eve menatap curiga.“Aku mencarimu ke apartemen kakakmu karena tidak ada kabar darimu, di sana aku dapat informasi k
Keesokan harinya. Eve sudah bangun dan sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Kai dan Dania.“Senangnya ada yang menyiapkan sarapan, biasanya aku hanya makan roti atau beli di jalan,” celoteh Dania saat melihat Eve sibuk di dapur.Eve menoleh Dania sambil tersenyum.“Ya, mau bagaimana lagi. Masa aku tidak melakukan yang berguna untukmu di sini, padahal sudah diberi tumpangan,” seloroh Eve.“ish … kenapa bicaranya seperti itu? Aku tidak butuh balasan, kamu mau tinggal di sini saja aku sudah sangat senang ada temannya,” balas Dania.Eve hanya tersenyum.“Oh ya, kapan kamu akan memperkenalkan Kai pada kakakmu?” tanya Dania. Dia mengambil potongan wortel di mangkuk lalu memasukkan ke mulut sambil menunggu jawaban Eve.“Mungkin besok atau lusa. Kemarin kondisi Kak Bram sudah sangat baik, semoga Kak Bram siap mendengar fakta soal Kai,” ucap Eve penuh harap meski ada rasa sedih karena takut Bram kecewa padanya.“Kenapa? Kamu takut kakakmu marah kalau tahu kamu punya anak di luar nikah?” tan
Kai berada di mobil bersama Kaivan. Dia duduk sambil memperhatikan jalanan yang dilewati mereka. Kai menoleh Kaivan, melihat pria itu sedang mengecek tablet pintar.“Kita mau ke mana?” tanya Kai penasaran.Kaivan menoleh pada Kai. Dia meletakkan tablet pintar di pangkuan, lalu menjawab, “Bertemu temanku sebentar, lalu setelahnya menuruti semua keinginan Kai.”Kai mengerutkan alis penasaran.“Kai mau minta apa?” tanya Kaivan, “akan aku turuti semua permintaan Kai.”Kai berpikir. Ekspresi wajah bocah itu sangat lucu saat ini.“Kai mau ketemu Papi,” jawab Kai sambil menatap Kaivan seraya mengedipkan mata lucu.Kaivan terdiam.Akan tetapi sedetik kemudian Kai tertawa.“Paman pasti nggak tahu di mana papinya Kai. Kai hanya bercanda,” ucap bocah laki-laki itu, “belikan Kai cokelat saja, tapi jangan yang ada kacangnya.”Kaivan mengangguk.Setelah beberapa saat. Mereka akhirnya sampai di sebuah apartemen. Kaivan mengajak Kai menemui temannya yang ternyata seorang dokter.“Aku terkejut kamu ma
Eve sudah di rumah sakit. Dia melihat Bram yang baru saja diperiksa dokter.“Kondisi Pak Bram sudah membaik, kalau bisa bertahan seperti ini, besok atau lusa sudah boleh pulang,” ucap dokter setelah memeriksa.Eve merasa sangat lega, begitu juga dengan Alana.“Terima kasih, Dok.” Eve bicara dengan senyum di wajah.Setelah dokter dan perawat pergi. Eve duduk di kursi samping ranjang Bram.“Eve, setelah aku pulang, tinggallah di apartemen bersama kami,” pinta Bram sambil menatap sendu pada Eve.“Iya, Eve. Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi,” timpal Alana yang memang sudah sangat menyesal pernah menyakiti Eve.Eve bingung karena memikirkan Kai, dia mau bicara tapi belum siap karena Bram baru saja membaik.“Kak, sebenarnya ada yang mau aku sampaikan, tapi mungkin besok saja,” kata Eve agak ragu.“Besok? Kenapa tidak sekarang? Apa itu hal penting?” tanya Bram penasaran.“Besok saja,” jawab Eve sambil tersenyum agar Bram tidak cemas.Bram menatap Alana yang mengangguk mengisyaratkan
“Kai ingat, kan? Jangan beritahu Mami kalau pergi denganku,” kata Kaivan saat mereka berada di mobil menuju perusahaan.“Kenapa tidak boleh bilang? Paman cama Bibi Cantik ngajarin Kai bohong, ya?” Kai menatap Kaivan curiga.Kaivan cukup terkejut mendengar ucapan Kai, tapi juga kagum karena Kai memang cerdas.“Bukan berbohong, tapi hanya takut Mami marah saja. Nanti aku pasti bilang kalau mengajak Kai, tapi tidak sekarang. Kai anak cerdas, pasti paham maksudku,” ucap Kaivan menjelaskan.Kai diam sesaat, lalu kemudian mengangguk-angguk pelan.Mereka turun dari mobil yang berhenti di depan lobi. Kai sangat senang mendapat buku gambar dan crayon baru. Dia berjalan menggandeng Kaivan sambil memegang lolipop, sedangkan barangnya dibawa Kaivan.“Nanti di ruanganku dulu, Bibi Cantik akan menyusul Kai saat jam makan siang,” kata Kaivan saat mereka berjalan menuju lift.“Iya.” Kai mengangguk.Saat pintu lift terbuka, Kaivan melihat Grisel yang baru saja akan keluar. Kaivan menatap dingin pada wa
Eve berada di salah satu kamar yang terdapat di hotel tempat pesta pernikahan diadakan. Dia datang lebih awal karena harus dirias oleh MUA yang sudah ditunjuk oleh Kaivan.Alana menemani Eve di kamar. Dia terus memperhatikan Eve yang sedang dirias sampai akhirnya siap.“Kamu sangat cantik,” puji Alana seraya menghampiri Eve yang baru saja selesai dirias.Eve menatap Alana dari pantulan cermin. Dia tersenyum malu karena mendapat pujian dari kakak iparnya itu.Alana menatap cukup lama pada Eve, lalu mengeluarkan sesuatu dari tas kecil yang dibawanya.Eve memperhatikan. Tidak tahu apa yang akan diberikan oleh kakak iparnya itu.“Kakakmu dan aku sepakat memberikan ini sebagai hadiah pernikahanmu, memang tidak mewah dan mahal, tapi kami berharap ini cukup berkesan untukmu,” ujar Alana memberikan kalung dengan liontin berinisial E.Eve sangat terkejut. Dia sampai menggeleng kepala pelan karena tak bisa menerima hadiah itu. Dia tahu kondisi ekonomi kakak dan kakak iparnya sedang susah, tapi
Hari pernikahan Eve dan Kaivan tiba. Malam sebelum acara pernikahan, Eve berada di kamar sedang istirahat setelah makan malam.“Eve, boleh aku masuk?” tanya Alana setelah sebelumnya mengetuk pintu.“Masuklah, Kak.”Alana membuka pintu kamar Eve. Dia melihat adik iparnya itu sedang duduk memegang ponsel.“Ada apa, Kak?” tanya Eve sambil menggeser posisi duduknya di ranjang untuk memberi tempat agar Alana bisa duduk.Alana duduk di dekat Eve. Dia menatap pada adik iparnya itu.“Besok kamu akan menikah. Aku dan kakakmu selama ini menyadari, belum pernah memberikan yang terbaik, terutama aku yang sering sekali bersikap tak baik karena rasa iri padamu. Tapi, semua sudah berlalu. Aku tidak bisa memberi apa pun selain mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaanmu,” ucap Alana sambil menggenggam erat telapak tangan Eve.Bola mata Eve berkaca-kaca. Dia mengulum bibir untuk menahan tangisnya.“Tidak memberi apa-apa bagaimana, Kak? Aku bisa kuliah dan tumbuh juga karena usaha kalian. Ya, meski Kak
Siang itu Eve pergi ke perusahaan Kaivan. Dia mengantar makanan karena Kaivan berkata jika sangat sibuk.“Kamu masih sibuk?” tanya Eve saat masuk ruangan Kaivan.Kaivan menatap pada Eve. Melihat calon istrinya itu datang, Kaivan langsung menutup tirai dinding kaca agar para staff tak melihat apa yang dilakukannya.“Kenapa tirainya ditutup?” tanya Eve keheranan.Kaivan mendekat pada Eve, lalu mengecup pipi wanita itu.“Biar mereka tidak melihat ini,” jawab Kaivan.Eve terkejut sampai memukul lengan Kaivan karena gemas.Eve mengajak Kaivan duduk. Dia membuka pembungkus makanan agar Kaivan bisa segera menyantap makan siang.“Aku sebenarnya masih harus memilah berkas, sepertinya tidak bisa makan siang dulu,” kata Kaivan.Eve menatap pada Kaivan, lalu membalas, “Kamu tetap harus makan meski sedang sibuk. Kamu memilah berkas, biar aku yang menyuapi.”Senyum mengembang di wajah Kaivan saat mendengar ide Eve. Dia mengajak Eve ke meja kerja, memosisikan kursi lain di samping kursi kerjanya agar
Eve dan Kaivan masih duduk berdua di samping rumah setelah semua orang pulang. Kaivan menggenggam erat telapak tangan Eve seperti tak berniat melepas.“Kamu dan Damian benar-benar sudah berbaikan?” tanya Eve memastikan.“Ya, anggap saja begitu. Tapi aku akan tetap memantaunya, meski bisa dibilang kalau dia sudah berumur, tapi Damian itu masih labil.”Eve terkekeh pelan mendengar ucapan Kaivan.“Kenapa malah tertawa?” tanya Kaivan dengan dahi berkerut halus.“Ya, labil sepertimu tampaknya,” balas Eve sambil melirik Kaivan.“Siapa bilang aku labil?” Kaivan tidak terima Eve mengatainya seperti itu.Eve menahan tawa. Dia menggeser posisi hingga menatap pada Kaivan lalu menjelaskan, “Jika kamu tidak labil, kamu pasti akan segera menikahi Grisel waktu itu.”Kaivan terkesiap, lalu mengelak, “Itu bukan labil, tapi hanya belum yakin.”“Aku memang berjanji akan menikahi, tapi itu untuk wanita yang aku tiduri. Dan saat Grisel mengakuinya, entah kenapa ada yang janggal, karena itu aku tidak seger
Malam itu. Kaivan dan yang lain makan malam bersama di rumah Maria. Ada Bram dan Alana juga yang diundang ke rumah.“Kalian jangan sungkan, ya. Makan saja apa yang kalian suka, kalau mau memilih menu lain yang tidak ada di meja, bilang saja. Tidak usah malu-malu, anggap rumah sendiri,” ucap Maria pada Bram dan Alana.Bram dan Alana mengangguk. Mereka benar-benar canggung diajak makan malam di rumah Maria.Saat mereka sedang makan malam, pelayan datang menemui Maria.“Itu, Bu. Pak Damian dan Mbak Dania datang,” kata pelayan.“Oh, suruh masuk saja. Aku yang mengundang mereka untuk makan malam bersama,” balas Maria.Pelayan itu mengangguk lalu segera pergi ke depan untuk mempersilakan Damian dan Dania masuk.Eve menoleh pada Kaivan. Dia melihat pria itu memasang wajah datar dan tak senang. Eve memilih diam dan tak berkomentar sama sekali.Damian dan Dania masuk. Dania langsung menyapa Maria dan yang lain, sedangkan Damian menatap pada Kaivan yang tak memandang ke arahnya sama sekali.“Ay
Bram buru-buru turun dari mobil saat sampai di rumah Kaivan. Dia dijemput sopir Kaivan karena sangat mencemaskan Eve ketika tadi menghubungi.“Bagaimana keadaanmu? Kenapa kamu tidak segera menghubungiku?” tanya Bram langsung mengecek apakah Eve terluka atau tidak.“Aku baik-baik saja, Kak. Kak Bram tidak perlu mencemaskanku seperti ini,” ucap Eve mencoba menenangkan.Bram menatap sendu, lalu menghela napas pelan.Eve mengajak Bram duduk lebih dulu, kemudian menceritakan yang terjadi dan kondisi Grisel saat ini.Bram menghela napas kasar, baru kemudian berkomentar.“Dia punya pilihan agar hidupnya lebih baik, tapi dia malah memilih cara yang salah dan memaksakan sesuatu yang seharusnya tak dia miliki,” ujar Bram, “ya sudahlah, terpenting kamu baik-baik saja.”Bram menatap Eve penuh kelegaan.Eve mengangguk-angguk sambil memulas senyum agar Bram lega.**Setelah Eve merasa lebih baik, dia dan Kaivan pergi mengunjungi Grisel ke rumah sakit untuk melihat perkembangan dan laporan medis dar
Eve mengajak Kaivan menemui ibu Grisel. Bagaimanapun mereka harus memberitahu kondisi Grisel pada wanita itu. Eve sendiri juga tidak bisa merasa tenang begitu saja karena secara langsung atau tidak, Eve juga memperburuk depresi Grisel.“Pak.” Wanita tua itu langsung sedikit membungkuk saat melihat Kaivan di belakang dan menemuinya.Eve langsung merangkul pundak wanita tua itu, kemudian berkata, “Bibi ada yang mau aku bicarakan.”Wanita itu terkejut, bahkan terlihat takut.“Apa saya membuat kesalahan?” tanya wanita tua itu.“Tidak, Bi. Bibi tidak berbuat salah, hanya saja ada yang memang harus kami bicarakan dengan Bibi,” ucap Eve mencoba tenang meski takut dengan reaksi ibu Grisel.“Duduklah, Bi.” Kaivan bicara dengan tegas agar wanita itu tidak kebingungan.Eve mengajak ibu Grisel duduk, begitu juga dengan Eve dan Kaivan yang duduk berhadapan dengan wanita itu.Wanita itu terlihat gemetar, bahkan jemarinya saling meremas sambil menatap pada Eve dan Kaivan secara bergantian.Eve ingin
Kaivan pergi ke rumah sakit setelah Eve agak tenang. Dia juga sudah berpesan pada Maria untuk menjaga Eve.Sesampainya di rumah sakit, Kaivan menemui Hendry yang ada di depan ruang inap bersama pengacara yang ditunjuk untuk menangani kasus itu, hanya berjaga-jaga jika Grisel tiba-tiba menuntut Eve.“Bagaimana?” tanya Kaivan begitu sudah berada di hadapan Hendry dan pengacara.Hendry dan pengacara itu menatap aneh pada Kaivan, membuat Kaivan mengerutkan alis.“Ada apa? Grisel ingin menuntut Eve, atau dia membuat onar lagi?” tanya Kaivan menaruh curiga.“Bukan,” jawab Hendry sambil menggeleng.“Lalu?” tanya Kaivan dengan satu sudut alis tertarik ke atas.“Lebih baik Anda lihat sendiri, dokter juga ada di dalam,” kata Hendry.Kaivan tentunya semakin penasaran, ada apa sebenarnya sampai Hendry tak menjelaskan langsung padanya. Dia akhirnya masuk ke ruang inap, lalu melihat sendiri apa yang terjadi pada Grisel.Dokter masih mengecek kondisi Grisel bersama dua perawat, bahkan kini Grisel ha
Eve dan Kaivan masih menunggu sampai Grisel selesai CT-Scan, saat itu Hendry datang setelah mengecek kamera Cctv di apartemen.“Bagaimana?” tanya Kaivan.“Saya mendapat salinannya, Pak. Sebentar saya kirim ke Anda,” kata Hendry.Hendry mengirimkan video rekaman Cctv ke ponsel Kaivan, lalu menjelaskan, “Semua murni karena kesalahan Grisel yang menyerang Eve dulu, Pak. Bahkan jatuhnya Grisel sebenarnya tidak sepenuhnya salah Eve karena seperti yang terlihat di rekaman itu, kaki Grisel tersandung kakinya sendiri yang membuatnya jatuh ke belakang dan kepalanya langsung menghantam cermin.”Eve dan Kaivan mengamati rekaman itu, ternyata benar jika kejadian yang menimpa Grisel sepenuhnya bukan salah Eve.“Tapi tetap saja, dia terluka karena aku mendorongnya lebih dulu,” ucap Eve tetap cemas. Dia bisa terlibat dengan hukum karena masalah ini.Kaivan menggenggam erat tangan Eve, lalu berkata, “Kamu tenang saja. Biar pengacaraku yang mengurus semuanya. Ada bukti yang kita pegang juga ada saksi,