Kaivan duduk di ruang kerja rumahnya sambil menatap layar laptop yang terbuka. Dia tidak sedang mengerjakan berkas, tapi sedang larut dalam pikiran yang entah apa sangat mengganggunya.Terdengar suara ketukan pintu. Kaivan menoleh dan ternyata Maria sudah ada di ambang pintu. Dia memandang Maria yang kini berjalan menghampirinya.“Ini sudah malam, kenapa kamu tidak tidur?” tanya Maria meski sebelumnya sempat bersitegang dengan Kaivan, tapi setelahnya hubungan mereka membaik.“Hm … ini baru ingin istirahat,” jawab Kaivan lalu menutup laptop.Maria melihat akhir-akhir ini Kaivan seperti tidak fokus.“Bagaimana kabar Eve? Ibu ingin berkunjung ke perusahaan untuk bertemu dengannya,” ucap Maria tampak antusias.Kaivan menatap Maria, lalu membalas, “Eve sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya.”Maria sangat terkejut mendengar balasan Kaivan. “Kenapa? Kenapa dia mengundurkan diri? Apa dia membuat kesalahan lalu kamu memecatnya?” tanya Maria penasaran.Kaivan menatap Maria yang selalu saja b
Di kota tempat Eve tinggal. Hari itu Eve mulai bekerja membantu mengurus kafe milik Brian.“Kamu hanya perlu memastikan stok bahan di kafe aman. Ini daftar supplier bahan baku di sini, kalau ada yang habis langsung hubungi dan minta kirim saja. Lalu pastikan karyawan mendapat gajinya setiap tanggal satu. Nanti kamu bisa diskusi denganku dulu sebelum tanggal gajian,” ujar Brian menjelaskan sambil memperlihatkan perincian data kafe yang ada di komputer.Eve mengangguk membalas ucapan Brian.“Sekarang kita turun, biar kuperkenalkan dengan karyawan di sini,” ujar Brian.“Brian, apa tidak masalah kalau mereka tahu aku hamil tanpa suami?” tanya Eve terlihat ragu.Brian tersenyum mendengar pertanyaan Eve.“Tenang saja, mereka bukan orang-orang yang berpikiran kolot. Sebelumnya aku juga sudah memberitahu mereka soal kondisimu, jadi percayalah ini bukan masalah,” ucap Brian meyakinkan.Eve ragu meskipun tadi sempat bertemu karyawan Brian dan mereka semua ramah. Dia berusaha tenang dan menghadap
Beberapa hari berlalu. Eve mengurus kafe dengan baik, bahkan tak hanya mengurus data pemasukan dan pengeluaran, Eve juga membantu karyawan lain bekerja sampai membuat karyawan lain tidak enak.“Kak Eve, Kakak tidak usah membantu kami. Kami bisa kok,” kata salah satu karyawan.Eve malah tersenyum dan tetap mengelap meja meski dilarang.“Tidak apa-apa. Aku juga tidak bisa kalau hanya duduk mengecek data. Jadi biarkan aku membantu kalian, ya.” Eve bicara dengan sopan.Karyawan itu bingung sampai melirik teman lainnya, tapi akhirnya membiarkan Eve membantu apalagi siang itu kafe dalam kondisi ramai.Saat Eve membantu membersihkan meja. Brian datang dan terkejut melihat Eve mengelap meja.“Eve, kenapa kamu malah membersihkan meja?” tanya Brian sambil menatap cemas.Eve menoleh ke Brian yang baru saja datang.“Tidak apa-apa, lagian ini tidak berat,” jawab Eve.“Tapi bagaimana kalau kamu kelelahan, hm? Sudah, biarkan itu dibersihkan yang lain,” ujar Brian sangat mencemaskan kondisi kehamilan
Eve tidak menyangka Dania mencari dan merindukannya. Dia berpikir tidak ada yang peduli jika dia pergi, ternyata dia salah. Meski ada yang jahat kepadanya, kenyataannya masih ada yang baik juga.Eve akhirnya menghubungi Dania karena harus menjelaskan juga. Dia merasa jika Dania sangat tulus kepadanya dan mungkin Dania satu-satunya yang peduli kepadanya di perusahaan itu.“Syukurlah kamu menghubungiku,” ucap Dania dari seberang panggilan.Eve tersenyum mendengar suara Dania yang selalu bersemangat.“Maaf tidak memberimu kabar, aku pergi agak buru-buru. Aku dimintai tolong temanku yang butuh orang untuk mengelola kafenya,” ucap Eve langsung menjelaskan pada Dania.“Begitu ya?” tanya Dania dari seberang panggilan.“Itu alasanmu berhenti kerja? Apa benar karena itu? Entah kenapa kurasa mendadak sekali?” tanya Dania terdengar ragu.“Iya, memang begitu. Tidak ada yang mendadak karena sebenarnya itu sudah rencana lama,” balas Eve meragukan meski harus ada kebohongan. Dia tidak mungkin jujur
Eve diam tak percaya mendengar suara dari seberang panggilan. Jelas dia tahu suara siapa itu. Dia tampak terkejut dan bingung sampai gagap harus bicara apa.“Benar ini nomor Evelyn?” Suara pria bernada lugas dan tegas dari seberang terdengar menusuk di telinga Eve.Eve benar-benar panik. Dia mencoba mengatur napas, lalu akhirnya menjawab, “Iya, Pak. Saya Evelyn.”Eve benar-benar masih tak menyangka Kaivan akan menghubunginya. Kenapa Kaivan tiba-tiba mencarinya? Eve panik karena selama ini memang tidak pernah menyimpan nomor ponsel atasannya itu, sehingga tidak tahu kalau yang menghubunginya adalah Kaivan.“Kupikir salah nomor,” ucap Kaivan dari seberang panggilan.“Tidak, Pak.” Eve mencoba untuk tenang meski tangannya agak gemetar saat memegang ponsel yang menempel di telinga.“Apa ada masalah sampai Anda menghubungi saya?” tanya Eve tetap bersikap sopan ke pria itu meski bukan lagi atasannya.“Ya, ada pekerjaan yang mau kutanyakan kepadamu. Staff lain kurang paham dengan berkas yang
Saat sore hari. Dania pulang ke rumah setelah seharian bekerja. Dia memang bekerja di perusahaan Kaivan dan Kaivan sendiri tidak keberatan mengingat sikap juga sifat Dania yang baik.Dania bekerja di perusahaan Kaivan karena ada masalah dengan perusahaan keluarganya sendiri akibat ulah Damian. Saat baru saja masuk rumah. Dania dihadang oleh Damian. Dania menatap datar pada kakak kandungnya itu.“Minggir!” Dania kesal. Dia ingin melewati Damian, tapi kakaknya itu kembali menghadang langkahnya, tidak membiarkan Dania pergi.“Apa maumu, hah?” Dania sampai membentak karena kesal.“Aku hanya mau tanya sesuatu. Apa kamu harus sekasar ini ke kakakmu sendiri?” tanya Damian karena Dania sangat galak.“Kamu memang pantas dikasari!” balas Dania sebal.Damian tak senang dengan sikap Dania. Namun, dia punya tujuannya sendiri sehingga mencoba bersabar menghadapi Dania.“Di perusahaan kamu dekat dengan Eve, kan?” tanya Damian.“Apa itu penting?” tanya balik Dania sambil melipat kedua tangan di depa
Damian sudah berada di depan unit apartemen milik kakak Eve. Dia menekan bel, lalu beberapa saat kemudian tampak Alana di dalam ketika pintu terbuka.“Mau cari siapa?” tanya Alana menatap curiga karena penampilan Damian yang rapi.“Saya temannya Eve. Saya ke sini karena ingin mencarinya,” ucap Damian berbasa-basi agar Alana tidak curiga.“Oh, dia tidak tinggal di sini lagi,” jawab Alana terlihat malas.Damian melihat Alana yang tak senang saat mendengar nama Eve. Dia berpikir, mungkin akan lebih mudah mencari informasi tentang Eve dari Alana.“Sekarang Eve di mana, ya?” tanya Damian.“Mana kutahu,” balas Alana ketus. Bahkan Alana tidak mau memandang ke Damian.Damian berpikir, lalu menyodorkan paper bag yang dibawanya ke Alana.“Sebenarnya saya ada perlu dengan Eve, karena itu mencarinya ke sini. Ini sebenarnya buat Eve, karena dia tidak ada, jadi daripada mubadzir, lebih baik buat Kakak saja,” ucap Damian mencoba merayu.Alana melirik ke paper bag yang disodorkan Damian. Dia melihat
Kaivan tetap tenang dan memasang wajah datar mendengar ucapan Grisel, meskipun wanita itu juga tampak kesal.“Apa benar kamu yang ada di kamarku malam itu?” tanya Kaivan sekali lagi untuk meyakinkan dirinya sendiri.Grisel terkejut Kaivan kembali membahas hal itu. Dia tetap kukuh mengakui kalau itu dirinya. Meskipun Kaivan memintanya periksa selaput dara, dia tidak takut karena pernah tidur dengan Damian dan sudah tidak perawan.“Tentu saja, kenapa Anda masih menanyakannya?” tanya Grisel meyakinkan.Kaivan menatap datar, lalu kembali bicara. “Kenapa kamu tidak takut saat mengakuinya? Bagaimana kalau aku melakukan sesuatu yang buruk padamu karena kamu berani naik ranjangku? Kenapa kamu seperti tak memikirkan resiko jika mengaku?” tanya Kaivan dengan nada penekanan. Bahkan kedua matanya menyipit curiga.Grisel terkejut sampai gelagapan mendengar pertanyaan Kaivan.“Ya, itu karena saya yakin kalau Anda tidak mungkin melakukan hal buruk. Saya yakin Anda adalah orang yang bertanggung jawab
Hari pernikahan Eve dan Kaivan tiba. Malam sebelum acara pernikahan, Eve berada di kamar sedang istirahat setelah makan malam.“Eve, boleh aku masuk?” tanya Alana setelah sebelumnya mengetuk pintu.“Masuklah, Kak.”Alana membuka pintu kamar Eve. Dia melihat adik iparnya itu sedang duduk memegang ponsel.“Ada apa, Kak?” tanya Eve sambil menggeser posisi duduknya di ranjang untuk memberi tempat agar Alana bisa duduk.Alana duduk di dekat Eve. Dia menatap pada adik iparnya itu.“Besok kamu akan menikah. Aku dan kakakmu selama ini menyadari, belum pernah memberikan yang terbaik, terutama aku yang sering sekali bersikap tak baik karena rasa iri padamu. Tapi, semua sudah berlalu. Aku tidak bisa memberi apa pun selain mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaanmu,” ucap Alana sambil menggenggam erat telapak tangan Eve.Bola mata Eve berkaca-kaca. Dia mengulum bibir untuk menahan tangisnya.“Tidak memberi apa-apa bagaimana, Kak? Aku bisa kuliah dan tumbuh juga karena usaha kalian. Ya, meski Kak
Siang itu Eve pergi ke perusahaan Kaivan. Dia mengantar makanan karena Kaivan berkata jika sangat sibuk.“Kamu masih sibuk?” tanya Eve saat masuk ruangan Kaivan.Kaivan menatap pada Eve. Melihat calon istrinya itu datang, Kaivan langsung menutup tirai dinding kaca agar para staff tak melihat apa yang dilakukannya.“Kenapa tirainya ditutup?” tanya Eve keheranan.Kaivan mendekat pada Eve, lalu mengecup pipi wanita itu.“Biar mereka tidak melihat ini,” jawab Kaivan.Eve terkejut sampai memukul lengan Kaivan karena gemas.Eve mengajak Kaivan duduk. Dia membuka pembungkus makanan agar Kaivan bisa segera menyantap makan siang.“Aku sebenarnya masih harus memilah berkas, sepertinya tidak bisa makan siang dulu,” kata Kaivan.Eve menatap pada Kaivan, lalu membalas, “Kamu tetap harus makan meski sedang sibuk. Kamu memilah berkas, biar aku yang menyuapi.”Senyum mengembang di wajah Kaivan saat mendengar ide Eve. Dia mengajak Eve ke meja kerja, memosisikan kursi lain di samping kursi kerjanya agar
Eve dan Kaivan masih duduk berdua di samping rumah setelah semua orang pulang. Kaivan menggenggam erat telapak tangan Eve seperti tak berniat melepas.“Kamu dan Damian benar-benar sudah berbaikan?” tanya Eve memastikan.“Ya, anggap saja begitu. Tapi aku akan tetap memantaunya, meski bisa dibilang kalau dia sudah berumur, tapi Damian itu masih labil.”Eve terkekeh pelan mendengar ucapan Kaivan.“Kenapa malah tertawa?” tanya Kaivan dengan dahi berkerut halus.“Ya, labil sepertimu tampaknya,” balas Eve sambil melirik Kaivan.“Siapa bilang aku labil?” Kaivan tidak terima Eve mengatainya seperti itu.Eve menahan tawa. Dia menggeser posisi hingga menatap pada Kaivan lalu menjelaskan, “Jika kamu tidak labil, kamu pasti akan segera menikahi Grisel waktu itu.”Kaivan terkesiap, lalu mengelak, “Itu bukan labil, tapi hanya belum yakin.”“Aku memang berjanji akan menikahi, tapi itu untuk wanita yang aku tiduri. Dan saat Grisel mengakuinya, entah kenapa ada yang janggal, karena itu aku tidak seger
Malam itu. Kaivan dan yang lain makan malam bersama di rumah Maria. Ada Bram dan Alana juga yang diundang ke rumah.“Kalian jangan sungkan, ya. Makan saja apa yang kalian suka, kalau mau memilih menu lain yang tidak ada di meja, bilang saja. Tidak usah malu-malu, anggap rumah sendiri,” ucap Maria pada Bram dan Alana.Bram dan Alana mengangguk. Mereka benar-benar canggung diajak makan malam di rumah Maria.Saat mereka sedang makan malam, pelayan datang menemui Maria.“Itu, Bu. Pak Damian dan Mbak Dania datang,” kata pelayan.“Oh, suruh masuk saja. Aku yang mengundang mereka untuk makan malam bersama,” balas Maria.Pelayan itu mengangguk lalu segera pergi ke depan untuk mempersilakan Damian dan Dania masuk.Eve menoleh pada Kaivan. Dia melihat pria itu memasang wajah datar dan tak senang. Eve memilih diam dan tak berkomentar sama sekali.Damian dan Dania masuk. Dania langsung menyapa Maria dan yang lain, sedangkan Damian menatap pada Kaivan yang tak memandang ke arahnya sama sekali.“Ay
Bram buru-buru turun dari mobil saat sampai di rumah Kaivan. Dia dijemput sopir Kaivan karena sangat mencemaskan Eve ketika tadi menghubungi.“Bagaimana keadaanmu? Kenapa kamu tidak segera menghubungiku?” tanya Bram langsung mengecek apakah Eve terluka atau tidak.“Aku baik-baik saja, Kak. Kak Bram tidak perlu mencemaskanku seperti ini,” ucap Eve mencoba menenangkan.Bram menatap sendu, lalu menghela napas pelan.Eve mengajak Bram duduk lebih dulu, kemudian menceritakan yang terjadi dan kondisi Grisel saat ini.Bram menghela napas kasar, baru kemudian berkomentar.“Dia punya pilihan agar hidupnya lebih baik, tapi dia malah memilih cara yang salah dan memaksakan sesuatu yang seharusnya tak dia miliki,” ujar Bram, “ya sudahlah, terpenting kamu baik-baik saja.”Bram menatap Eve penuh kelegaan.Eve mengangguk-angguk sambil memulas senyum agar Bram lega.**Setelah Eve merasa lebih baik, dia dan Kaivan pergi mengunjungi Grisel ke rumah sakit untuk melihat perkembangan dan laporan medis dar
Eve mengajak Kaivan menemui ibu Grisel. Bagaimanapun mereka harus memberitahu kondisi Grisel pada wanita itu. Eve sendiri juga tidak bisa merasa tenang begitu saja karena secara langsung atau tidak, Eve juga memperburuk depresi Grisel.“Pak.” Wanita tua itu langsung sedikit membungkuk saat melihat Kaivan di belakang dan menemuinya.Eve langsung merangkul pundak wanita tua itu, kemudian berkata, “Bibi ada yang mau aku bicarakan.”Wanita itu terkejut, bahkan terlihat takut.“Apa saya membuat kesalahan?” tanya wanita tua itu.“Tidak, Bi. Bibi tidak berbuat salah, hanya saja ada yang memang harus kami bicarakan dengan Bibi,” ucap Eve mencoba tenang meski takut dengan reaksi ibu Grisel.“Duduklah, Bi.” Kaivan bicara dengan tegas agar wanita itu tidak kebingungan.Eve mengajak ibu Grisel duduk, begitu juga dengan Eve dan Kaivan yang duduk berhadapan dengan wanita itu.Wanita itu terlihat gemetar, bahkan jemarinya saling meremas sambil menatap pada Eve dan Kaivan secara bergantian.Eve ingin
Kaivan pergi ke rumah sakit setelah Eve agak tenang. Dia juga sudah berpesan pada Maria untuk menjaga Eve.Sesampainya di rumah sakit, Kaivan menemui Hendry yang ada di depan ruang inap bersama pengacara yang ditunjuk untuk menangani kasus itu, hanya berjaga-jaga jika Grisel tiba-tiba menuntut Eve.“Bagaimana?” tanya Kaivan begitu sudah berada di hadapan Hendry dan pengacara.Hendry dan pengacara itu menatap aneh pada Kaivan, membuat Kaivan mengerutkan alis.“Ada apa? Grisel ingin menuntut Eve, atau dia membuat onar lagi?” tanya Kaivan menaruh curiga.“Bukan,” jawab Hendry sambil menggeleng.“Lalu?” tanya Kaivan dengan satu sudut alis tertarik ke atas.“Lebih baik Anda lihat sendiri, dokter juga ada di dalam,” kata Hendry.Kaivan tentunya semakin penasaran, ada apa sebenarnya sampai Hendry tak menjelaskan langsung padanya. Dia akhirnya masuk ke ruang inap, lalu melihat sendiri apa yang terjadi pada Grisel.Dokter masih mengecek kondisi Grisel bersama dua perawat, bahkan kini Grisel ha
Eve dan Kaivan masih menunggu sampai Grisel selesai CT-Scan, saat itu Hendry datang setelah mengecek kamera Cctv di apartemen.“Bagaimana?” tanya Kaivan.“Saya mendapat salinannya, Pak. Sebentar saya kirim ke Anda,” kata Hendry.Hendry mengirimkan video rekaman Cctv ke ponsel Kaivan, lalu menjelaskan, “Semua murni karena kesalahan Grisel yang menyerang Eve dulu, Pak. Bahkan jatuhnya Grisel sebenarnya tidak sepenuhnya salah Eve karena seperti yang terlihat di rekaman itu, kaki Grisel tersandung kakinya sendiri yang membuatnya jatuh ke belakang dan kepalanya langsung menghantam cermin.”Eve dan Kaivan mengamati rekaman itu, ternyata benar jika kejadian yang menimpa Grisel sepenuhnya bukan salah Eve.“Tapi tetap saja, dia terluka karena aku mendorongnya lebih dulu,” ucap Eve tetap cemas. Dia bisa terlibat dengan hukum karena masalah ini.Kaivan menggenggam erat tangan Eve, lalu berkata, “Kamu tenang saja. Biar pengacaraku yang mengurus semuanya. Ada bukti yang kita pegang juga ada saksi,
Eve terus mempertahankan cincinnya. Dia takkan mengalah lagi dari Grisel setelah apa yang Grisel lakukan padanya selama ini.“Kamu tidak layak memakai cincin ini. Ini seharusnya menjadi milikku!” teriak Grisel terus mencoba melepas cincin dari jari Eve.Eve terus mempertahankan cincin itu, begitu tangannya bisa lepas dari genggaman Grisel, Eve langsung mendorong Grisel agar menjauh darinya.Namun nahas, Grisel terdorong cukup kuat, hingga mundur sebelum akhirnya menabrak cermin yang terpajang di dinding dekat lift. Kaca itu pecah seiring Grisel yang terjatuh berlumuran darah karena luka akibat benturan cukup keras.Eve sangat syok. Dia tak berniat mencelakai Grisel, tapi ternyata Grisel malah terluka karena perbuatannya.Semua yang di sana juga terkejut, apalagi Grisel langsung tak sadarkan diri.Eve gemetar karena panik.Grisel dibawa ke rumah sakit. Eve juga ikut karena merasa harus bertanggung jawab. Dia sudah menghubungi Kaivan karena ketakutan, Eve juga tidak mungkin menghubungi