Raut keterkejutan tampak jelas di wajah Eve. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendapat panggilan ini.“Bagaimana kabarmu, Eve. Kamu pasti mengenali suaraku, kan?”Eve diam sepersekian detik mendengar suara yang memang diketahuinya itu.Eve bertanya-tanya, dari mana Damian tahu nomor ponselnya? Dia tidak pernah berhubungan sama sekali dengan Damian, lantas kenapa Damian bisa menghubunginya?Eve tak mau bicara dengan Damian. Dia ingin mengakhiri panggilan tapi Damian sudah kembali bicara.“Kenapa kamu diam, Eve? Sejak kapan kamu mengabaikan orang yang berniat baik? Aku hanya ingin tahu kabarmu?” tanya Damian karena mungkin tak mendengar balasan Eve.Eve bingung. Dia akhirnya membalas ucapan Damian.“Baik,” jawab Eve.“Hm … seperti itu,” balas Damian dari seberang panggilan.Eve benar-benar tidak tahu, kenapa Damian menghubunginya dan mau apa pria ini?“Aku dengar kamu tidak lagi kerja di perusahaan Kaivan. Apa kamu ada masalah?” tanya Damian lagi.Dahi Eve berkerut halus mendengar p
Kaivan duduk di ruang kerja rumahnya sambil menatap layar laptop yang terbuka. Dia tidak sedang mengerjakan berkas, tapi sedang larut dalam pikiran yang entah apa sangat mengganggunya.Terdengar suara ketukan pintu. Kaivan menoleh dan ternyata Maria sudah ada di ambang pintu. Dia memandang Maria yang kini berjalan menghampirinya.“Ini sudah malam, kenapa kamu tidak tidur?” tanya Maria meski sebelumnya sempat bersitegang dengan Kaivan, tapi setelahnya hubungan mereka membaik.“Hm … ini baru ingin istirahat,” jawab Kaivan lalu menutup laptop.Maria melihat akhir-akhir ini Kaivan seperti tidak fokus.“Bagaimana kabar Eve? Ibu ingin berkunjung ke perusahaan untuk bertemu dengannya,” ucap Maria tampak antusias.Kaivan menatap Maria, lalu membalas, “Eve sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya.”Maria sangat terkejut mendengar balasan Kaivan. “Kenapa? Kenapa dia mengundurkan diri? Apa dia membuat kesalahan lalu kamu memecatnya?” tanya Maria penasaran.Kaivan menatap Maria yang selalu saja b
Di kota tempat Eve tinggal. Hari itu Eve mulai bekerja membantu mengurus kafe milik Brian.“Kamu hanya perlu memastikan stok bahan di kafe aman. Ini daftar supplier bahan baku di sini, kalau ada yang habis langsung hubungi dan minta kirim saja. Lalu pastikan karyawan mendapat gajinya setiap tanggal satu. Nanti kamu bisa diskusi denganku dulu sebelum tanggal gajian,” ujar Brian menjelaskan sambil memperlihatkan perincian data kafe yang ada di komputer.Eve mengangguk membalas ucapan Brian.“Sekarang kita turun, biar kuperkenalkan dengan karyawan di sini,” ujar Brian.“Brian, apa tidak masalah kalau mereka tahu aku hamil tanpa suami?” tanya Eve terlihat ragu.Brian tersenyum mendengar pertanyaan Eve.“Tenang saja, mereka bukan orang-orang yang berpikiran kolot. Sebelumnya aku juga sudah memberitahu mereka soal kondisimu, jadi percayalah ini bukan masalah,” ucap Brian meyakinkan.Eve ragu meskipun tadi sempat bertemu karyawan Brian dan mereka semua ramah. Dia berusaha tenang dan menghadap
Beberapa hari berlalu. Eve mengurus kafe dengan baik, bahkan tak hanya mengurus data pemasukan dan pengeluaran, Eve juga membantu karyawan lain bekerja sampai membuat karyawan lain tidak enak.“Kak Eve, Kakak tidak usah membantu kami. Kami bisa kok,” kata salah satu karyawan.Eve malah tersenyum dan tetap mengelap meja meski dilarang.“Tidak apa-apa. Aku juga tidak bisa kalau hanya duduk mengecek data. Jadi biarkan aku membantu kalian, ya.” Eve bicara dengan sopan.Karyawan itu bingung sampai melirik teman lainnya, tapi akhirnya membiarkan Eve membantu apalagi siang itu kafe dalam kondisi ramai.Saat Eve membantu membersihkan meja. Brian datang dan terkejut melihat Eve mengelap meja.“Eve, kenapa kamu malah membersihkan meja?” tanya Brian sambil menatap cemas.Eve menoleh ke Brian yang baru saja datang.“Tidak apa-apa, lagian ini tidak berat,” jawab Eve.“Tapi bagaimana kalau kamu kelelahan, hm? Sudah, biarkan itu dibersihkan yang lain,” ujar Brian sangat mencemaskan kondisi kehamilan
Eve tidak menyangka Dania mencari dan merindukannya. Dia berpikir tidak ada yang peduli jika dia pergi, ternyata dia salah. Meski ada yang jahat kepadanya, kenyataannya masih ada yang baik juga.Eve akhirnya menghubungi Dania karena harus menjelaskan juga. Dia merasa jika Dania sangat tulus kepadanya dan mungkin Dania satu-satunya yang peduli kepadanya di perusahaan itu.“Syukurlah kamu menghubungiku,” ucap Dania dari seberang panggilan.Eve tersenyum mendengar suara Dania yang selalu bersemangat.“Maaf tidak memberimu kabar, aku pergi agak buru-buru. Aku dimintai tolong temanku yang butuh orang untuk mengelola kafenya,” ucap Eve langsung menjelaskan pada Dania.“Begitu ya?” tanya Dania dari seberang panggilan.“Itu alasanmu berhenti kerja? Apa benar karena itu? Entah kenapa kurasa mendadak sekali?” tanya Dania terdengar ragu.“Iya, memang begitu. Tidak ada yang mendadak karena sebenarnya itu sudah rencana lama,” balas Eve meragukan meski harus ada kebohongan. Dia tidak mungkin jujur
Eve diam tak percaya mendengar suara dari seberang panggilan. Jelas dia tahu suara siapa itu. Dia tampak terkejut dan bingung sampai gagap harus bicara apa.“Benar ini nomor Evelyn?” Suara pria bernada lugas dan tegas dari seberang terdengar menusuk di telinga Eve.Eve benar-benar panik. Dia mencoba mengatur napas, lalu akhirnya menjawab, “Iya, Pak. Saya Evelyn.”Eve benar-benar masih tak menyangka Kaivan akan menghubunginya. Kenapa Kaivan tiba-tiba mencarinya? Eve panik karena selama ini memang tidak pernah menyimpan nomor ponsel atasannya itu, sehingga tidak tahu kalau yang menghubunginya adalah Kaivan.“Kupikir salah nomor,” ucap Kaivan dari seberang panggilan.“Tidak, Pak.” Eve mencoba untuk tenang meski tangannya agak gemetar saat memegang ponsel yang menempel di telinga.“Apa ada masalah sampai Anda menghubungi saya?” tanya Eve tetap bersikap sopan ke pria itu meski bukan lagi atasannya.“Ya, ada pekerjaan yang mau kutanyakan kepadamu. Staff lain kurang paham dengan berkas yang
Saat sore hari. Dania pulang ke rumah setelah seharian bekerja. Dia memang bekerja di perusahaan Kaivan dan Kaivan sendiri tidak keberatan mengingat sikap juga sifat Dania yang baik.Dania bekerja di perusahaan Kaivan karena ada masalah dengan perusahaan keluarganya sendiri akibat ulah Damian. Saat baru saja masuk rumah. Dania dihadang oleh Damian. Dania menatap datar pada kakak kandungnya itu.“Minggir!” Dania kesal. Dia ingin melewati Damian, tapi kakaknya itu kembali menghadang langkahnya, tidak membiarkan Dania pergi.“Apa maumu, hah?” Dania sampai membentak karena kesal.“Aku hanya mau tanya sesuatu. Apa kamu harus sekasar ini ke kakakmu sendiri?” tanya Damian karena Dania sangat galak.“Kamu memang pantas dikasari!” balas Dania sebal.Damian tak senang dengan sikap Dania. Namun, dia punya tujuannya sendiri sehingga mencoba bersabar menghadapi Dania.“Di perusahaan kamu dekat dengan Eve, kan?” tanya Damian.“Apa itu penting?” tanya balik Dania sambil melipat kedua tangan di depa
Damian sudah berada di depan unit apartemen milik kakak Eve. Dia menekan bel, lalu beberapa saat kemudian tampak Alana di dalam ketika pintu terbuka.“Mau cari siapa?” tanya Alana menatap curiga karena penampilan Damian yang rapi.“Saya temannya Eve. Saya ke sini karena ingin mencarinya,” ucap Damian berbasa-basi agar Alana tidak curiga.“Oh, dia tidak tinggal di sini lagi,” jawab Alana terlihat malas.Damian melihat Alana yang tak senang saat mendengar nama Eve. Dia berpikir, mungkin akan lebih mudah mencari informasi tentang Eve dari Alana.“Sekarang Eve di mana, ya?” tanya Damian.“Mana kutahu,” balas Alana ketus. Bahkan Alana tidak mau memandang ke Damian.Damian berpikir, lalu menyodorkan paper bag yang dibawanya ke Alana.“Sebenarnya saya ada perlu dengan Eve, karena itu mencarinya ke sini. Ini sebenarnya buat Eve, karena dia tidak ada, jadi daripada mubadzir, lebih baik buat Kakak saja,” ucap Damian mencoba merayu.Alana melirik ke paper bag yang disodorkan Damian. Dia melihat
“Mami, kapan Paman Kaivan ke cini?” tanya Kai sambil menusuk-nusuk makan siangnya menggunakan garpu.Eve menghela napas kasar, lalu menatap pada Kai.“Paman Kaivan masih kerja, Kai jangan berharap dia datang, ya? Nanti dia tidak fokus bekerja,” kata Eve mencoba bersikap tenang meski ada rasa mengganjal saat Kai membahas soal Kaivan.Kai memasang wajah cemberut. Dia makan dengan malas bahkan sudah hampir setengah jam tapi makanan di piring hanya terjamah sedikit.“Kai makan yang benar agar cepat habis dan Kai lekas sembuh,” ujar Eve sambil mempertahankan senyumnya.“Iya.” Kai menanggapi malas.Saat Kai kembali makan, terdengar suara bel dari pintu depan. Eve dan Kai menoleh bersamaan.“Itu pacti Paman Kaivan!” Kai langsung turun dari kursi lalu berlari menuju pintu.Eve sangat terkejut dengan yang dilakukan Kai. Dia mengejar Kai yang sudah mencapai pintu.Kai langsung membuka pintu, tapi senyumnya memudar ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintu.“Halo, Kai.” Damian berdiri di
Grisel sangat panik dan bingung, tapi dia juga tidak bisa menghindari hal ini. Grisel turun dari mobil lalu berjalan masuk lobi untuk segera naik ke lantai tempat ruangan Kaivan berada.Namun, sebelum dirinya masuk lift, Grisel lebih dulu mendapat pesan dari kepala HRD.[Datanglah ke ruang HRD untuk pemberitahuan perubahan pekerjaan.]Grisel mengerutkan dahi. Apa maksudnya perubahan pekerjaan? Dia menggigit bibir bawah, bingung harus bagaimana lalu akhirnya memilih pergi ke ruang HRD lebih dulu, sebelum pergi ke ruangan Kaivan.Grisel masuk ke ruang HRD dan langsung menemui kepala HRD.“Ada apa saya diminta ke sini?” tanya Grisel.“Saya baru saja mendapat perintah untuk melakukan mutasi pekerjaan. Kamu akan dipindah ke anak cabang Bramanty Group yang ada di luar kota. Surat pemindahannya belum turun, tapi saya diminta menyampaikan ini lebih dulu, agar kamu bisa mempersiapkan diri dan menyelesaikan pekerjaan yang tertunda,” ujar kepala HRD.Grisel membulatkan bola mata lebar.“Tidak mu
Kaivan pergi ke perusahaan. Ekspresi wajahnya begitu dingin, bahkan para staff yang menyapanya merasa merinding karena sikap Kaivan tak seperti biasanya, lebih menakutkan dari sebelumnya.“Apa ada masalah, Pak?” tanya Hendry yang berjalan di belakang Kaivan dan merasa aneh dengan sikap atasannya itu.Kaivan tidak menjawab pertanyaan Hendry. Dia terus mengayunkan kaki masuk lift.Hendry memilih diam. Dia memperhatikan tombol yang ditekan Kaivan. Hendry merasa sedikit aneh, kenapa Kaivan tidak menuju lantainya bekerja, tapi malah ke lantai lain?Lift terbuka di lantai tempat Grisel bekerja. Tentu saja hal itu membuat Hendry bertanya-tanya dengan apa yang terjadi.Saat sampai di lantai divisi itu, ternyata Grisel belum ada di ruang kerjanya.“Di mana Bu Grisel?” tanya Kaivan pada staff yang berdiri saat melihat kedatangannya.“Beliau belum datang, Pak,” jawab staff.Kaivan menyipitkan mata. Dia memandang semua staff yang menunduk, lalu melihat jam dinding menunjukkan pukul setengah delapa
“Kamu harus bertanggung jawab, Kaivan! Jangan jadi pengecut!” Maria mengamuk karena berpikir Kaivan tidak mau bertanggung jawab.Kaivan memegang tangan Maria, lalu membalas, “Aku bukannya tidak mau bertanggung jawab. Tapi Eve yang sepertinya tidak mau.”Maria mengerutkan alis.“Kenapa tidak mau? Pasti ada alasannya, kan?” Maria penasaran. Jika memang Eve wanita yang akan dijadikan istri Kaivan, dia akan mendukung penuh.“Apa perlu ibu yang minta padanya untuk menikah denganmu?” tanya Maria gemas karena merasa putranya sangat lamban.“Jangan!” Kaivan mencegah. “Tidak semudah itu juga, Bu. Aku tidak tahu alasan pastinya, tapi yang jelas Eve ragu.”Semalam Kaivan mendengar apa yang dibicarakan Eve dan Bram. Dia sekarang tahu alasan Eve terus memintanya menjauh. Kaivan menceritakan itu agar Maria paham dan tidak bersikap gegabah.“Jadi, apa rencanamu?” tanya Maria memastikan.“Aku hanya perlu lebih dekat dan meyakinkannya saja. Sepertinya Kai juga sudah menyukaiku, jadi itu akan lebih mud
“Kamu sebenarnya mau bicara apa, Kai? Jangan bilang kamu mau membahas wanita bernama Grisel itu! Ibu tidak sudi!” Maria memberi ultimatum lebih dulu karena telinganya terlalu sakit jika mendengar Kaivan bersama Grisel.Kaivan malah tersenyum lalu menggeleng pelan.“Bukan itu yang mau aku ceritakan,” ujar Kaivan karena melihat sang ibu sudah sangat emosi.“Lalu?” Maria menatap curiga.Kaivan menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan.“Semalam aku pergi mengantar Kai ke rumah sakit untuk periksa. Dia putraku.”“Kaivan!” Maria berteriak karena syok. “Kai? Siapa maksudmu Kai itu? Dan, apa tadi kamu bilang? Putra? Jangan bilang itu anakmu dengan Grisel!” amuk Maria dengan emosi yang memuncak. Dia mencengkram dada karena merasa nyeri.“Bu.” Kaivan langsung turun dari ranjang. Dia meminta Maria untuk duduk lebih dulu.“Makanya, dengarkan aku bicara sampai selesai agar tidak syok,” ujar Kaivan malah menyalahkan ibunya yang kaget.“Siapa yang tidak syok mendengar pengakuanmu, hah!” M
Eve mengecek Kai setelah selesai bicara dan meyakinkan Bram kalau dia akan mengurus semua sendiri. Kai mungkin membutuhkan sosok ayah, tapi Eve tidak mau jika Kaivan terpaksa bertanggung jawab karena adanya Kai. Bisa saja ‘kan, dulu Kaivan tidak menginginkan Kai, sedangkan sekarang sudah terlanjur dan terpaksa menerima?Saat Eve masuk kamar. Dia melihat Kaivan ternyata tertidur di ranjangnya. Dia menatap lekat wajah Kaivan dan Kai yang sama-sama tertidur pulas. Keduanya benar-benar sangat mirip, terutama alisnya.Tidak tega membangunkan Kaivan. Eve memilih membetulkan letak selimut, lalu dia keluar dari kamar dan berniat tidur di sofa.“Bagaimana kondisi Kak Bram, Kak?” tanya Eve saat melihat Alana keluar dari kamar.“Sudah tidak apa-apa. Dia berusaha tidur sekarang,” jawab Alana, “kenapa kamu di luar? Apa Kai belum tidur sampai mantan bosmu juga masih di sana?” tanya Alana keheranan.“Ah, itu ….” Eve menoleh ke pintu kamarnya, lalu kembali memandang Alana. “Dia tertidur bersama Kai.
Bram mengajak bicara Eve di ruang makan. Alana juga ada di sana, dia dan Bram sama-sama menatap Eve sekarang.“Kamu masih tidak mau jujur dengan apa yang terjadi, Eve? Jujur pada kami, apa kamu tidak menganggap kami lagi?” Bram mencoba menekan karena merasa Eve menyembunyikan kebenaran soal ayah Kai.“Bukan begitu, Kak.” Eve bingung harus bagaimana menjelaskannya.“Kalau begitu cerita, Eve. Kami ini keluargamu, apa tidak cukup kamu berbohong dan menyembunyikan soal kehadiran Kai?” Alana ikut bicara demi kebaikan Eve juga Bram.Eve meremat jemari, lalu memberanikan diri menatap kakak dan kakak iparnya.“Katakan padaku, bagaimana bisa Kai langsung dengan mantan bosmu itu? Kalian punya hubungan khusus atau ….” Bram sengaja menjeda ucapannya agar Eve yang melanjutkan.Eve menelan ludah susah payah. Panik dan takut bercampur jadi satu.“Pak Kaivan adalah ayah Kai. Aku tidak sengaja melakukannya dengan dia.” Eve menjawab dengan suara lirih sambil menundukkan kepala.“Apa?” Bram sangat terkej
Kaivan mengantar Eve kembali ke apartemen. Dia sigap keluar dari mobil lalu membuka pintu mobil untuk Eve. Namun, saat Eve akan keluar, Kai bangun dan mencari Kaivan.“Maunya gendong Paman Kaivan.” Kai mengigau dan memberontak tidak mau digendong Eve.Eve menatap Kaivan yang berdiri di luar pintu.Kaivan membungkuk lalu mengambil alih Kai dari pangkuan Eve.“Biar aku yang menggendongnya,” ujar Kaivan.Eve terpaksa memberikan Kai karena terus memberontak. Saat sudah digendong Kaivan, Kai anteng dan langsung mengalungkan kedua lengan di leher pria itu.Mereka masuk bersama. Eve melihat Kai yang kembali tidur dalam gendongan Kaivan. Dia diam sambil terus melangkah, apa begini ikatan antara ayah dan anak meski mereka tidak pernah bertemu? Kenapa begitu erat? Bahkan Kai tidak pernah sedekat ini pada pria lain meski sering bertemu.Mereka sampai di unit apartemen Bram. Saat masuk, ternyata Alana sudah pulang.“Bagaimana kondisinya?” tanya Bram langsung menghampiri bersama Alana.“Dokter bil
“Ini hanya memar saja, selebihnya tidak ada yang fatal. Namun, untuk berjaga-jaga, saya akan memberikan obat dan salep untuk mencegah pembekuan darah di bagian punggung yang terbentur.”Dokter bicara sambil menulis resep.Kaivan lega. Dia memangku Kai yang tidak mau lepas darinya.Eve menatap Kai. Dia tidak mengerti, kenapa Kai sangat menempel pada Kaivan? Jika Eve meminta Kai menjaga jarak pada seseorang, bocah kecil itu akan patuh. Namun, kenapa Kai tidak patuh kali ini? Apa mungkin karena keduanya memiliki ikatan?Eve menggeleng pelan. Dia mencoba menepis itu. Bisa saja Kai menempel pada Kaivan karena pria itu terus mendekati dan baik pada Kai.“Eve.”Lamunan Eve buyar karena mendengar suara Kaivan. Dia menoleh dan melihat pria itu siap berdiri sambil membawa resep dari dokter.“Terima kasih, Dok.” Eve berdiri mengikuti Kaivan.Keduanya keluar dari ruang pemeriksaan di IGD, menuju apotek.“Kamu melamunkan apa?” tanya Kaivan sambil berjalan bersama Eve.“Tidak ada,” jawab Eve.Kaiva