Siapa yah kira-kira yang menculik Carmen, MyRe? IG penulis:@deasta18
Brak' Raymond membanting laptop secara kasar, meluapkan emosi dan panik yang menyatu dalam dirinya pada laptop tersebut. "Tu-Tuan--" Diego berniat menghentikan Raymond, akan tetapi dia cukup takut mendekat pada Raymond. Emosi tuannya tak stabil–mengamuk! "Pak Tua sialan!" marah Raymond, berteriak gusar dan kencang. "Tuan, tenangkan diri anda." Raymond tak mengindahkan perkataan Diego. Dia meraih kunci mobil lalu segera beranjak dari ruang kerja-nya. Pria tua itu menculik istrinya, Raymond tidak akan memaafkan ayahnya jika dia berani bertindak keji pada Carmen. "Jika dia berani melukai istriku, aku bersumpah akan melenyapkannya dengan tanganku sendiri," geram Raymond rendah, berjalan cepat–berakhir berlari karena terlalu khawatir pada Carmen. Carmen sempat menelponnya dan dari suara penculik itu, Raymond tahu jika itu ayahnya. Dia sangat membenci ayahnya dan sekarang jauh lebih membencinya. *** "Apa suamimu tidak memberimu makan?" tanya Lennon Abraham, pemimp
"Kita pulang," ucap Raymond, masih mendekap tubuh istrinya–menatap tajam pada ayahnya. Setelah mengatakan hal itu, Raymond membawa Carmen dari sana. Namun, langkah kakinya berhenti karena ucapan ayahnya. "Tidak kusangka Ayah akan melihatmu jatuh cinta," ucap Lennon dengan nada serak dan datar, memperhatikan Raymond–putranya, yang terlihat begitu perhatian pada Carmen. Satu hal yang membuatnya tak percaya, Raymond takut kehilangan Carmen. Putranya pernah sangat peduli pada perempuan, pernah jatuh cinta juga dan ini bukan pertama kalinya. Siran Aurlesya adalah cinta pertama putranya, seorang perempuan yang pernah tumbuh bersama Raymond. Hubungan keluarga Siran dan mereka, dulunya sangat dekat. Namun karena sebuah insiden, semua menjadi kacau. Siran sudah lama bersama Raymond dan mereka pernah menjadi pasangan kekasih saat mereka kecil. Namun, setelah besar, Siran memilih menikah dengan pria lain. Ketika perempuan itu meninggalkan Raymond dan memilih menikah dengan pria lain, Raym
"Aku mencintaimu," ucap Raymond dengan nada lembut, satu tangannya terangkat untuk menyentuh pipi Carmen–mengusapnya lembut. Carmen mendongak, menatap Raymond dengan tatapan mata yang sulit diartikan. Tak dapat dipungkiri, jantungnya berdebar kencang karena pengakuan cinta Raymond. Hatinya berbunga-bunga dan kupu-kupu terasa seperti sedang beterbangan dalam perut. Namun, mengingat Raymond memiliki wanita di sekitarnya, Carmen menepis perasaan senang tersebut. Dia tidak percaya cinta Raymond, dia tidak percaya! "Ta-tapi … Kak Siran bilang dalam waktu tiga bulan, Mas Kaizer akan mencampakkan ku," ucap Carmen buru-buru, memasang muka murung dan tatapan mata berkaca-kaca. Raymond menggelengkan kepala pelan, menyangkal perkataan Carmen. "Aku tidak mungkin melakukan itu, Ura. Aku menginginkanmu selamanya berada di sisiku." Carmen tak mengatakan apa-apa, dia memilih menundukkan kepala karena tak ingin bersitatap dengan manik gelap suaminya. Sial! Tatapan pria ini sangat dalam, Carme
"Kau sedang jatuh cinta padaku?" tanya Raymond, cukup senang dan percaya diri. Carmen menggelengkan kepala kuat, menatap kaku bercampur muram pada suaminya. "Bukaan, Mas Kaizer. Aku deg degkan dan gemetaran karena aku lapar." Langkah Raymond seketika berhenti, wajah berseri-seri seketika hilang dan berganti dengan raut muka dingin. "Petffffmmm." Diego rasanya ingin tertawa mendengar itu. Namun, sebelum dia melakukannya, Raymond lebih dulu menatapnya–melayangkan tatapan dingin yang mematikan padanya. "Ekhmm." Diego berdehem, berusaha menyingkirkan gejolak tawa yang terasa masih menggelitik perut. Sial! Ini pilihan yang sangat berat. Antara tertawa dan mati! Bukan hanya Diego, para maid yang berbaris rapi untuk menyambut tuan dan nyonyanya, juga mendadak menunduk dalam. Mereka berusaha menahan tawa, beberapa dari mereka mengigit bibir dan ada juga yang mengepalkan tangan. Sebetulnya sah sah saja mereka tertawa, tak ada yang melarang. Hanya saja nyawa taruhannya! Ra
Carmen melompat dari pangkuan Raymond, menatap pria itu dengan tampang muka penuh kecurigaan. "Aku tidak percaya. Ini pasti hanya akal-akalan Mas Kaizer saja," ucap Carmen, memicingkan mata pada Raymond, "Juhi sudah lama meninggal dan keturunannya-- tidak ada yang mengenal." Raymond menaikkan sebelah alis, memperlihatkan smirk tipis di bibir. Dia duduk bossy di sofa, menyandar lalu menatap lurus ke arah perempuan cantik ini. "Aku mengenal cucu kesayangannya." Carmen menatap aneh pada Raymond. Apakah pria ini bisa ia percayai? Tapi-- terakhir kali dia menonton Juhi di TV, saat dia masih kecil, Juhi memang pernah mengaku kalau dia punya seorang cucu yang sangat dekat dengannya. "Kalau kau bosan padaku, aku bisa menikahkan mu dengan cucunya," ucap Raymond begitu santai. Carmen melebarkan mata, reflek menggelengkan kepala dan menatap panik pada suaminya. Raymond kejam sekali! Se-sekalipun Raymond mencampakkannya suatu saat nanti, akan tetapi pria ini tidak berhak mengoper Carmen pa
Carmen mengelus dada karena lega bisa kabur dari Selin dan Raymond. Setelah tenang, Carmen berjalan santai. Akan tetapi dia tetap mengelus dada, masih tak menyangka jika Raymond kencan dengan ibu tirinya sendiri. "Tanda-tanda akhir season," gumam Carmen pelan, "anak jalan dengan ibu tirinya. Ck ck ck …." Carmen geleng-geleng kepala sembari berdecak. Melihat sebuah toko permen, mata Carmen membulat lebar. Senyuman cerah langsung muncul di bibirnya. Dengan riang dan antusias, dia masuk ke toko itu. Sebenarnya Carmen terganggu melihat Selin dan Raymond di sini. Istri mana yang tak sakit hati melihat suaminya jalan dengan perempuan lain? Dan ini masih jam kerja, di mana seharusnya Raymond di kantor tetapi malah ada di mall dengan ibu tirinya. Apakah Raymond memiliki perasaan pada ibu tirinya sehingga dia menyempatkan diri menemani wanita itu jalan-jalan di mall? Namun, daripada larut dalam kesedihan, Carmen memilih tetap mengunakan akal sehat. Ini kesempatannya bisa lepas da
"Su-suami," gumam Carmen pelan, mirip seperti bisikan tetapi sepertinya sosok itu mendengarnya. Terbukti karena sosok itu langsung menoleh pada Carmen. "Ha-hai, Mas Kaizer," sapa Carmen gugup, mau tak mau dia terpaksa kembali berpura-pura manis demi keselamatan diri. Sedangkan Lennon, dia menghela napas pelan–menatap putra dan menantunya secara bergantian. Dia geleng-geleng kepala, tak habis pikir pada kedua makhluk ini. "Ayah kira kau datang karena apa. Ternyata … kau tahu Chestnut akan ke sini," ucap Lennon datar. Putranya mendadak datang ke sini dan saat ditanya datang karena apa, Raymond hanya diam. Sekarang Lennon tahu kenapa Raymond datang ke rumah ini. Raymond tak menanggapi ayahnya, memilih tetap menatap tajam pada istrinya. Sedangkan Carmen sudah panik setengah mati. Dia seketika teringat pada pria penguntit di toko permen. Ja-jangan-jangan itu Raymond?! Tapi pakaian suaminya dan pria itu berbeda. Raymond mengenakan tuxedo biru gelap, sedangkan pria tadi mengenakan
"Maafkan aku, Tuan Lennon," pinta Selin dengan suara pelan dan parau. Air matanya terus mengalir, punggungnya sangat sakit! Apa salahnya Selin berharap pada perlindungan Raymond tanpa peduli jika Raymond memperalatnya?! Lennon sangat kejam–mengurungnya di sini, dan tak ada yang bisa mengeluarkannya dari tempat ini. Kecuali Raymond! Hanya Raymond yang setara Lennon, dan hanya Raymond yang bisa melawan ayahnya. Dia tahu dia murahan karena menggoda Raymond dan menawarkan tubuhnya pada pria itu. Tapi salahkan dia ingin mengharapkan perlindungan dari pria mengerikan yang sedang mencambuknya ini?! "Maafkan aku …," rintih Selin lalu berakhir pingsan karena tidak kuat. Lennon langsung berhenti mencambuk Selin, dia menyerahkan cambuk pada Vior lalu menyuruh maid membawa Selin dari sana. "Tuan, kurasa anda terlalu kejam." Vior menatap iba pada Selin, lalu beralih menatap tuannya yang masih berbalut kemarahan. "Perlu! Agar Selin tidak berani mendekati Raymond lagi." Lennon berka
"Kak Lemon," jawab Talita dengan nada takut bercampur gugup. Jawabannya tersebut membuat orang-orang menatap terkejut pada Talita, merasa aneh ataupun heran. Sebab, kenapa Talita malah memilih Raymond? Bukankah seharunya Talita memilih salah satu dari orang tuanya? Bukan Raymond. "Sayang, Tuan Raymond bukan pilihan," ucap Laudia lembut pada cucunya. Hanya pura-pura karena dia juga tak menyukai Talita, anak ini akan menjadi beban di keluarga Klopper. Yah, kecuali Siran menikah dengan Lennon, mungkin anak ini akan menjadi cucu kesayangannya. Talita melepas pelukan Siran dari tubuh kecilnya. Dia berdiri ditengah dengan tubuh kecil yang ketakutan. Talita menatap satu per satu orang-orang di sana, memperhatikan wajah mereka yang terlihat menakutkan bagi Talita. Meski masih kecil, tapi Talita tahu mereka semua tak menginginkan Talita. Tapi …-Talita menatap ke arah Raymond yang menampilkan air muka datar. Kemudian dia menatap ayah dan berakhir pada mamanya. "Talita tidak menyayangi Mam
"Tetapi Ayah tidak mau menikah dengan Mama, jadi kamu harus memilih salah satunya," ujar Siran lagi dengan nada sendu supaya mendapat simpati dari yang lainnya. Dia sengaja mengatakan hal itu, agar Talita memaksa Lennon untuk menikahinya. Secara ragu, Talita menatap ke arah Lennon, akan tetapi anak itu langsung menunduk takut karena melihat wajah marah ayahnya. Dia tidak berani! "Jadi Talita ingin bersama Ayah atau Mama?" tanya Siran kembali dengan nada rendah, sengaja membelai rambut Talita agar dia terlihat lembut dan menyayangi anak itu. "Bukankah dulu Kak Lennon tidak ingin Talita? Jadi biarkan saja Talita ikut dengan Siran. Toh, status Talita juga bukan anak sah keluarga Abraham," ucap Rihana dengan nada tegas, memberi tanggapan pada Lennon. Memang benar, Rihana ingin Lennon menikahi Siran, karena dengan begitu nama baik Lennon perlahan akan pudar. Selain itu, dia ingin balas dendam pada Selin. Sebab jika Lennon menikah dengan Siran, maka posisi Selin akan semakin rendah. Itu
"Aku hanya ingin anakku kembali padaku. Aku yang membesarkan Talita dengan segenap jiwa. Sedangkan kalian semua, dulu kalian ingin melenyapkannya kan?" ucap Siran dengan sedih, duduk di lantai sebagai hukuman dari ayahnya. Sebelumnya, dia mendapat tamparan di wajahnya dari Lennon. Itu sangat sakit! Untungnya ayahnya memohon supaya Lennon berhenti menamparnya. Mantan suami dan mertuanya juga datang ke sini. Mereka ingin mengetahui apa sebenarnya terjadi, dan seperti apa selanjutnya. Selain itu, mereka datang untuk menuntut Raymond pada Lennon karena Raymond menendang perut Harlen. Perut Harlen lebam dan sakit, dan itu perbuatan kejam Raymond. "Itu karena kami tidak tahu kalau anak yang kau kandung, itu anak Kak Lennon," ucap Rihana dengan nada lembut, tetapi terkesan menyindir–seperti menggiring orang-orang supaya berpikir kalau Lennon adalah pria bejad. Padahal semua sudah tahu jika Lennon adalah korban kelicikan Siran. Lennon dijebak oleh wanita menjijikan ini! "Apa mak
Carmen langsung melebarkan senyuman pada Raymond, melambaikan tangan pada suaminya tersebut. Namun, dia tetap berdiri di kaku di tempatnya. Faktanya, bukan hanya chef lain yang takut Raymond di sini. Carmen juga sangat takut karena dia yang akan menjadi bulan-bulanan suaminya di sini. Melihat Vincen tak jauh darinya, Carmen mendekati pria itu lalu berbisik padanya. "Kepala Chef yang memanggilnya ke sini yah?" bisik Carmen pelan. "Menjauh, Carmen. Saya dalam masalah besar," balas Vincen, sudah berkeringat dingin sambil menatap panik pada Raymond. Tiba-tiba Carmen mendekatinya dan Raymond yang ada di depan sana langsung melayangkan tatapan membunuh padanya. "Makanya jawab, Kepala Chef." Carmen berbisik lagi. Vincen menganggukkan kepala. "Saya takut Tuan Harlen melukaimu, Carmen. Oleh sebab itu saya menghubungi Tuan Raymond.""Hehehe … terimakasih, Kepala Chef. Kamu membuat kita semua dalam bahaya," cengenges Carmen, menatap tertekan pada Vincen. Astaga! Kenapa atasannya ini harus
"Hah?" Carmen melongo kaget mendengar penuturan Harlen. Menurut Carmen, pria ini sangat tidak sopan dan keterlaluan karena membahas hal seperti itu pada Carmen. Pertama, mereka tak sedekat itu dan yang kedua, apa hak nya membongkar masalah 'itu seseorang? 'Kupikir Abraham paling tak sopan itu Mas Kaizer, ternyata masih ada Fir'aun satu ini.' batin Carmen, menatap malu bercampur meringis mendengar ucapan Harlen barusan. Namun, Carmen mencoba tenang dan tak terpancing kemarahan. "Yah, suamimu seorang hyper. Dan suatu saat, setelah kau tidak bisa memuaskannya lagi, kau akan dicampakkan. Lebih baik sekarang minta cerai lah padanya, Carmen, sebelum kau dicampakkan," lanjut Harlen, menyunggingkan smirk tipis karena merasa Carmen terhasut oleh ucapannya. Lihatlah! Raut muka Carmen seperti menahan jijik. Tentu saja! Perempuan baik-baik seperti Carmen akan sangat menghindari pria hyper. Karena itu dianggap tidak benar. "Sok tahu! Orang Mas Kaizer tank kok," ucap Carmen tiba-tiba. R
"Pipiku sudah tidak apa-apa, Mas," ucap Carmen, di mana saat ini dia dan suaminya telah di rumah mereka. Raymond tengah mengompres pipinya, padahal sebelumnya pria ini juga sudah mengobatinya. "Syuttt." Raymond memberi isyarat supaya Carmen diam, "pipimu merah karena wanita gila itu. Apa masih sakit, Sweetheart?" tanya Raymond kemudian, menyentuh pipi istrinya dengan lembut pada pelan. Dia sangat berhati-hati karena takut menyakiti istrinya. Carmen menggelengkan kepala. "Ini tidak sakit, Mas. Percaya deh padaku," ucapnya pelan, berusaha meyakinkan suaminya yang terlihat masih sangat khawatir. "Seharusnya aku tidak membawamu ke sana." Raymond menarik Carmen dalam pelukannya, mendekap istrinya secara hangat, "maaf," lanjutnya. "Ti-tidak perlu meminta maaf, Mas Kaizer," cicit Carmen, merasa tak enak pada Raymond. Suaminya tidak salah sama sekali dan Carmen juga tak punya pikiran untuk menyalahkan Raymond. Malah, dia sangat senang! Karena ketika dia mendapat masalah di keluarga
"Mama, ada Ayah," ucap Carmen, setelah membawa Lennon masuk dalam kamar tersebut. Selin mendongak, memasang wajah kaget bercampur gugup. Matanya membulat, menatap panik bercampur malu pada Lennon. Sedangkan pria itu, terlihat memasang muka datar. Sehingga Selin sulit menebak apa yang pria pikirkan. "Oh." Selin buru-buru duduk, membungkuk pada suaminya untuk memberi hormat, "a-ada apa Tuan? Kenapa anda datang ke sini? Apa Tuan butuh sesuatu?" tanya Selin dengan bahasa yang begitu formal. Carmen menggaruk pipi, memperhatikan mertuanya yang berbicara sangat formal. Dia ingin mengatakan aneh, tetapi bukankah dulu dia juga berbicara formal pada Raymond?! "Tidak ada." Lennon menjawab santai, berjalan ke kasur lalu duduk di pinggir. Dia menepuk tempat di sebelahnya, isyarat supaya Selin duduk di sana. Selin menurut, mendekat pada suaminya lalu duduk di sebelah Lennon. "Apa Tuan ingin membicarakan sesuatu?" tanya Selin kembali. "Humm." Lennon berdehem singkat, dia menoleh sejenak
"Chestnut, Ayah tidak …-" "Cukup tahu, Ayah!" ucap Carmen dengan nada ketus, meraih pergelangan Selin lalu menariknya supaya pergi dari sana. "Ayo, Mama, kita pergi dari sini. Aku akan membantu Mama mengemasi barang, Mama minggat dari rumah ini supaya Ayah senang. Aku juga akan membantu Mama mengurus surat perceraian dengan Ayah," ucap Carmen dengan nada lantang, bergegas masuk sambil menarik paksa Selin. Raymond menghadang saat di pintu, dia berniat marah karena Carmen kabur. Namun, mengejutkannya, Carmen mendorongnya cukup kuat lalu menyenggol lengan Raymond secara sengaja–saat dia melewati Raymond. "Damn!" umpat Raymond pelan, berkacak pinggang sambil memperhatikan punggung istrinya yang kian menjauh. Kening Raymond mengerut karena bingung. Apa dia melakukan kesalahan? Di sisi lain, Lennon terdiam dan membeku mendengar ucapan Carmen tadi. Hell! Kenapa anak kecil dengan cengiran manis itu mendadak menyeramkan?! 'Mama minggat dari rumah ini supaya Ayah senang. Aku ju
Mendengar ucapan Selin, Rihana seketika tersenyum manis. Dia senang karena Rihana berpihak padanya. Namun, ucapan Selin selanjutnya membuat Rihana memucat. "Sebelumnya, Nyonya Rihana menyuruhku untuk mengambil cup cake strawberry untuknya. Mendengar aku diperintah oleh Nyonya Rihana, Carmen menegur. Kurasa Carmen menegur dengan kalimat dan nada yang sopan, Tuan Lennon. Carmen bahkan mengucapkan kata maaf dalam kalimatnya, Carmen hanya mengatakan 'Ada maid di sini jadi kenapa bukan maid yang Nyonya Rihana perintahkan untuk mengambilnya kue. Akan tetapi Nyonya Rihana menganggap Carmen lancang dan dia memarahi Carmen--" "Carmen memang salah. Aku memintamu mengambil kue karena kebetulan kamu ada di dekat kue. Apa salahnya? Carmen yang sok-sokan dan tidak punya sopan santun!" kesal Rihana, buru-buru mencari pembenaran untuk dirinya supaya Lennon tidak marah padanya. Selin tak memperdulikan ucapan Rihana. Dia melanjutkan kalimatnya yang sempat terpotong oleh Rihana, "Aku menyerahkan